Aku menghempaskan diriku di kursi penumpang, setelah Erick berhasil meminta bantuan polisi untuk menghadang mobil penculik Hira. Beni mengikuti petunjuk Erick untuk mengantarkanku ke kantor polisi tersebut.
Kuhela nafas panjang. Pikiranku sungguh kacau. Memikirkan Ivan yang masih terbaring koma di rumah sakit, dan kini Hira menjadi korban penculikan. Aku tak habis pikir. Semua ini terjadi saat aku kebetulan berada di sekitar tempat kejadian. Andai aku tidak berada di sana, apa yang terjadi pada Ivan dan Hira?
Aku kemudian mengirim pesan kepada Erick untuk menelpon keluarga Hira tentang kejadian ini. Aku sudah berjanji pada ibu, tidak akan menunjukkan keberadaanku pada orang-orang di lingkunganku yang lalu. Aku telah berjanji kepada ibu, untuk menghilang sementara waktu.
Aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu.
Dulu aku begitu mudah menyerah. Aku sangat lemah, tidak percaya diri, lebih memilih diam da
Beberapa hari setelah aku mengikuti Erick, ia menceritakan bagaimana usaha ayahku dulu dalam memulai bisnisnya. Ayah memulai bisnisnya dengan berjualan di pinggir jalan selama 4 bulan. Tiap hari barang yanga dijual ayah berganti-ganti. Kadang pakaian, sepatu dan sandal, aneka perhiasan imitasi, tas dan lain sebagainya. Seiring waktu berjalan, ada seseorang yang menitipkan pakaian hasil produksinya untuk dijualkan ayah, sehingga ayah membuat gerobak yang bisa untuk menaruh dagangannya. Lambat laun usaha ayah semakin lancar. Ayah memberanikan diri untuk menyewa sebuah tempat untuk dijadikan toko guna memajang lebih banyak pakaian untuk dijual, karena nama Ayah semakin dikenal oleh produsen baju sebagai tempat menitip dagangan yang amanah. Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan berganti tahun, hidup ayah dan ibu mulai mengalami perubahan. Dua tahun kemudian, hadirlah aku menjadi pelengkap kebahagian ayah dan ibu. Aku menjadi penyemangat ayah u
Pertemuanku dengan Mr. Smith berlangsung hingga larut malam. Erick mencatat hal-hal yang penting dari pertemuan itu. Malam itu Mr. Smith menginap di kastilku dan lusa baru akan kembali ke Inggris. Esok pagi dirinya akan bertemu dengan ibu. Ntah apa yang hendak ia bicarakan dan laporkan pada ibu. Keesokan paginya, kami bertiga menikmati sarapan bersama sebelum masing-masing dari kami berangkat dengan kesibukan kami sendiri. Erick ia akan tetap bersamaku, sedang Beni kutugaskan untuk mencari lokasi untuk dijadikan markas besar, tempat semua kegiatan mulai dari latihan fisik, ruang rapat, dan mess untuk anggota, berpusat. Roy masih memimpin beberapa orang untuk melakukan penjagaan di ruang tempat Ivan dirawat, sedangkan Andrew kusuruh untuk mengawasi rumah ibu, rumah Om Gunawan dan komplek perumahan di sekitar sana, dan melaporkan keadaannya pada Erick bila ada sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba aku teringat dengan keadaan Hira pasca tragedi penculik
Aku mendengarkan cerita Ivan dengan seksama. "Hingga akhirnya..." tiba-tiba cerita Ivan terputus. Sosok Beni masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu yang sama sekali tidak terdengar olehku karena begitu seriusnya mendengar cerita Ivan. "Maaf Tuan, saya sudah mengetuk sebanyak lima kali tapi Tuan tidak kunjung menjawab," ujar Beni menundukkan kepalanya. "Sebaiknya berita penting yang akan kau sampaikan kepadaku," ujarku kesal. Beni melangkah mendekat ke arahku, lalu berbicara dengan berbisik. Aku terhenyak mendengar apa yang dikatakan Beni barusan. Aku kemudian beranjak berdiri dan berpamitan pada Ivan untuk menghubungi seseorang sebentar. Setelah sampai di luar kamar Ivan, aku langsung menghubungi Mr. Smith, menanyakan kebenaran informasi yang disampaikan Beni tadi. Jawaban yang kudengar dari Mr. Smith membuatku tercengang. Hira menjadi sasaran pembunuhan setelah rencana penculikannya beberapa waktu lalu gagal.
Aku meletakkan tas ransel yang kosong di atas tempat tidurku. Kemudian, aku mulai memilih beberapa potong pakaian, kaus t-hirt, kemeja, dan baju koko serta beberapa celana panjang dan pendek, untuk kubawa ke rumah Ibu. Ya, beberapa hari kedepan aku akan kembali tinggal bersama Ibu. Ketika kemarin sore aku singgah sebentar di rumah Ibu, Ibu memberiku ijin untuk tinggal di sana tapi hanya untuk beberapa hari karena masih banyak hal yang harus aku pelajari dan kerjakan bersama Erick. Ibu sangat tegas untuk hal itu, karena beliau menaruh harapan yang begitu besar agar aku dapat membongkar semua permainan busuk musuh-musuh mendiang ayah. Akupun tidak dapat membantahnya, karena di dalam diriku sendiri, terselip keinginan dan dendam yang harus bisa aku wujud dan balaskan kepada mereka yang sudah bermain kotor di belakang punggung ayahku. Erick datang mengetuk pintu kamarku, lalu masuk dengan membawa beberapa map yang harus aku baca saat itu juga. Aku mengh
Tahun ini adalah tahun terakhirku di sekolah abu-abu. Tahun ini pun menjadi awal diriku akan menginjakkan kaki bukan lagi di gedung sekolah melainkan gedung kampus, yang di dalamnya akan ada banyak orang-orang dengan pakaian bebas berkerah menuntut ilmu sesuai dengan minat mereka masing-masing. Sama halnya dengan Hira. Ini adalah tahun terakhirnya di sekolah menengah pertama sekaligus tahun awal menyandang identitas sebagai pelajar sekolah menengah atas. Ia mengikuti jejak diriku dengan meneruskan di sekolah yang satu yayasan dengan yang dulu, meneruskan jenjang menengah pertamanya di tempatku dulu. Aku masih asyik membolak balikkan beberapa pamflet yang diberikan seseorang saat mobilku berhenti di perempatan tak jauh dari komplek perumahan Ibu. Aku teringat sesuatu hal. Bukankah Hira hari ini sedang menjalani MOS? gumamku dalam hati. Terbersit keinginan untuk melihatnya mengikuti ospek hari ini. Kulihat anak-a
Sebuah ide yang kurasa bisa aku gunakan untuk membantu Hira terlintas dalam benakku. Aku menatap sosok Ivan yang duduk di hadapanku, yang masih asyik mengunyah roti bakar untuk kedua kalinya. Ivan menghentikan gerakan mengunyahnya karena merasakan pandanganku mengarah kepadanya cukup lama. "Ya...ya...ya... as you wish my friend," jawabnya tanpa bertanya apa yang aku minta. Aku tersenyum, tidak salah aku menempatkannya bersama Andrew dan Roy di tim Rajawali. Ivan bisa memahami perintah dan apa yang harus ia lakukan hanya dengan melihat mimik wajahku menyesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung di sekitarku. "Berpura-puralah sebagai mahasiswa yang akan kerja praktek lapangan di sini," ujarku. Ivan mengangguk, berdiri dan berjalan meninggalkanku. Tampak dari jauh Ivan terlibat percakapan singkat dengan Hira. Hira menunjuk-nunjuk wajahnya. Aku mengernyitkan keningku berusaha menebak apa maksud Hira. Lalu, Hira terlihat menganggukkan kepala sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Bukan karena hari ini aku akan mulai profesi baruku sebagai pelatih basket, tapi karena aku harus menghadiri kuliah umum perdanaku sebagai mahasiswa baru. Erick kemarin sempat mengusulkan aku untuk tidak perlu mengikuti kuliah umum yang tampaknya akan memakan waktu lama dan juga membosankan. Ide Erick itu sempat terlintas di benakku, tapi, sebagai mahasiswa yang baik aku harus mengikuti semua rangkaian acara yang sudah dipersiapkan untuk menyambut mahasiswa baru. Bukankah bila kita ingin dihormati, maka kita harus mulai menghormati orang lain terlebih dulu? Bila kita ingin seseorang menjadi baik, maka kita harus memulai dari diri kita sendiri?Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar mandi, dan mulai membersihkan tubuhku dengan air dingin. Lima belas menit kemudian aku sudah selesai memakai kemejaku dan bersiap mengenakan sepatu kets ku. Ibu sudah menyiapkan sarapan di meja makan dibantu bik Sum. Aku duduk berhadap
Kami memulai sesi pertemuan hari ni dengan bermain basket sebagai salam perkenalan kami. Ada sekitar sepuluh siswa yang datang hari ini. Menurut pak Yuda yang sempat mampir sebelum permainan perkenalan ini dimulai, yang datang adalah siswa kelas 11, pemain inti tapi itu belum semua hadir, ada beberapa yang belum datang. Untuk jadwal kelas 8 baru akan dimulai besok. Pengaturan jadwal setelah ini kedepannya akan mengikuti jadwalku.Dari kesepuluh yang hadir ditambah dengan diriku dan Ivan, maka dibentuk dua kelompok. Aku berada di grup Ring dan Ivan memimpin grup Basket. Kejar-kejaran angkapun terjadi. Yang awalnya gedung olahrga hanya berisi kami, 12 orang, tanpa disadari sudah dipenuhi banyak penonton. Teriakan - teriakan memberi semangat terdengar saling bersahutan. Keringat menetes di keningku, kaos oblongku basah kuyup. Tidak berbeda dengan yang lain. Kami terus menggenjot adrenalin penonton lewat atraksi jump shoot yang memang menjadi keahlianku dan atraksi long
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag