Kami memulai sesi pertemuan hari ni dengan bermain basket sebagai salam perkenalan kami. Ada sekitar sepuluh siswa yang datang hari ini. Menurut pak Yuda yang sempat mampir sebelum permainan perkenalan ini dimulai, yang datang adalah siswa kelas 11, pemain inti tapi itu belum semua hadir, ada beberapa yang belum datang. Untuk jadwal kelas 8 baru akan dimulai besok. Pengaturan jadwal setelah ini kedepannya akan mengikuti jadwalku.
Dari kesepuluh yang hadir ditambah dengan diriku dan Ivan, maka dibentuk dua kelompok. Aku berada di grup Ring dan Ivan memimpin grup Basket. Kejar-kejaran angkapun terjadi. Yang awalnya gedung olahrga hanya berisi kami, 12 orang, tanpa disadari sudah dipenuhi banyak penonton. Teriakan - teriakan memberi semangat terdengar saling bersahutan. Keringat menetes di keningku, kaos oblongku basah kuyup. Tidak berbeda dengan yang lain. Kami terus menggenjot adrenalin penonton lewat atraksi jump shoot yang memang menjadi keahlianku dan atraksi long
Pertemuan di markas bersama para pengawalku memberikan banyak informasi untukku. Gerombolan preman yang dulu menghajarku dan Ivan ternyata direkrut menjadi pengawal Oom Johan, saudara sepupu ayah, tak terkecuali pemuda dengan tato pegasus di punggungnya. Aku tidak tahu ada kesalahan apa yang sudah dilakukan ayah hingga oom Johan begitu dendam pada ayah. Dendam? Aku menyangsikan bila rasa itu adalah rasa dendam, karena setahuku ayah tidak pernah berkhianat terhadap siapapun. Justru ayahlah yang dikhianati saudara-saudarannya tak terkecuali, oom Johan. Mungkin, rasa itu bukan dendam tapi lebih ke rasa iri dan dengki.Tentang pemuda bertato pegasus. Seingatku ia adalah keponakan dari oom Johan. Jadi bila dikatakan aku dan dia ada hubungan saudara, jawabnya tidak. Itu seingatku tapi entah Ibu. Yang lebih tahu soal ini Ibu.Erick melaporkan bahwa mereka merekrut preman-preman itu dengan iming-iming selain gaji besar juga dijanjikan kesempatan untuk m
Erick dan Ivan meninggalkan ruang kerjaku dan berjalan kembali menuju markas.Hari beranjak petang dan mulai merayap malam. Besok masih ada jadwal kuliah umum di auditorium, dan aku sudah berniat bolos ketimbang bertemu dengan cewek yang seperti kemarin bikin kesal. Dimarahin gimana, didiamkan tambah banyak saja tingkahnya, bikin emosi jiwa.Aku tidak begitu suka dengan perempuan yang model begitu. Aku suka yang biasa, seperti Hira. Iya, seperti Hira. Diamnya justru kusuka. Kata-kata yang ia keluarkan hanya untuk sesuatu yang memang perlu ia ucapkan, senyum dan tawanya tidak mudah juga untuk dilihat dan didengar. Perempuan yang tidak mudah untuk ditaklukkan.Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan kursi kebesaranku, mengambil ponselku dan mencari nama pak Yuda di daftar kontak. Ketemu. Aku langsung saja menekan angka yang muncul di layar ponselku. Aku meminta ijin untuk melihat rekaman cctv yang terpasang diparkiran sepeda motor dan gerbang jal
Ada apa?" tanyaku setelah menghabiskan kopi pahitku."Tuan, sebaiknya kita mengawal Nona Hira pagi ini. Beni mendapat info sudah ada gerakan mencurigakan di sekitar tempat tinggal Hira, sejak beberapa hari terakhir," lapor Erick.Tubuhku meremang. Dadaku mendadak berdegup tak beraturan mendengar nama Hira disebutkan."Rekaman cctv. Berikan aku rekaman cctv yang terpasang di komplek perumahan dan lingkungan sekitar," pintaku pada Erick."Ini Tuan Muda, sudah saya persiaokan," ujar Erick saat menyerahkan flash disk kepadaku.Aku bergegas masuk ke ruang kerjaku dan menghidupkan laptop. Setelah menunggu beberapa saat, kupasangkan flashdisk di laptop.Aku mulai memutar rekaman cctv satu minggu yang lalu. Tidak ada kejadian yang mencolok, hanya beberapa kendaraan yang lewat seperti biasa, itupun warga sekitar.Hari kedua, tidak jauh berbeda, hanya ketambahan 2 motor yang lewat berulang kali, itupun di depan gang jalan masuk menuju kom
Aku berlari menghampiri tubuh Hira yang sudah tergeletak lemah di tengah-tengah perempatan jalan. Aku tidak berani menyentuhnya, aku mencari-cari ponselku dan segera menekan panggilan darurat, meminta dikirimkan ambulance karena ada korban tabrak lari. Aku hanya mampu mengusap pipi Hira yang tidak tergores apapun. Darah tampak mengalir dari hidungnya meski tidak banyak. Hira termasuk pengendara motor yang sangat taat hukum, karena ia mengenakan semua perlengkapan standar untuk menaiki kendaraan motor.Aku melihat Erick yang setengah berlari menyusulku."Telpon Harun. Suruh dia kesini dengan membawa ambulance dalam waktu 5 menit!" perintahku dengan nada bicara sedikit bergetar. Tangan kananku terus memegang titik nadi yang terletak di leher Hira yang masih berdenyut.Panggilan darurat yang tadi aku lakukan tidak juga membawa hasil. Aku sempat hendak menggendong Hira dan membawanya langsung dengan mobilku, tapi aku tidak berani karena aku t
Kini, tinggallah aku, Erick dan Hira di kamar ini. Gadis itu masih tertidur efek dari obat bius yang di berikan Harun saat operasi tadi. Aku menatap ke arah matanya yang kini ditutupi perban. Hatiku miris. Tidak dapat kusembunyikan kesedihan dan kekesalanku."Rick, bagaimana keadaan Ivan?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah Hira."Sudah dilakukan operasi pengangkatan proyektil, Tuan. Kini, Ivan masih belum sadar." Erick menjawab sambil melihat jam tangannya."Seharusnya sekarang sudah sadar, Tuan," Erick meralat jawabannya tadi."Kau tengoklah, Ivan. Lihat seberapa parah lukanya. Minta dokter Erwin yang merawatnya hingga sembuh," titahku pada Erick."Baik, Tuan. Mengenai nona Hira..." tanya Erick terputus."Biar aku yang akan menyampaikan pada oom Gunawan. Sekarang, pergilah," usirku padanya. Erick menundukkan kepalanya mengundurkan diri dan segera pergi meninggalkan kamar Hira.Tinggalah aku sendiri, menatap Hira
Hari ketiga di rumah sakit. Aku masih menunggu Hira di sini. Kemarin aku tidak bisa menemaninya. Hanya datang sebentar lalu pergi lagi dan baru datang dinihari ini tadi. Oom Gunawan dan Tante Ratih tampak lelah, karena Hira kembali histeris bila mengingat penglihatannya yang tidak lagi berfungsi. Lumrah, dan tidak bisa disalahkan. Kehilangan penglihatan secara mendadak.Aku duduk dengan memperhatikan wajah Hira yang tidak lagi pucat seperti tiga hari yang lalu. Cantik, gumamku pelan sambil membenarkan letak selimut Hira. Aku duduk di samping tempat tidur Hira.Hari ini, Harun akan mengadakan beberapa tes untuk melihat berapa besar kemungkinan mata Hira dapat kembali sembuh. Meskipun kemungkinan untuk sembuh itu hanya ada beberapa persen saja, aku akan menyuruh Harun untuk mencarikan dokter terbaik yang bisa menyembuhkan Hira.Sentuhan lembut di tanganku membuatku terjaga dari lelapku. Aku tanpa sadar membiarkan rohku menjelajah dunia lain karena k
Baru saja aku memasukkan satu suapan ke dalam mulutku, terdengar dering ponselku. Aku melihat nama pemanggil. Erick. "Halo," jawabku sambil berusaha menelan isi di dalam mulutku dengan sedikit tergesa. "Kalau tidak ada perubahan, hari ini pulang. Langsung saja ke kastil, lakukan semua persiapan. Mungkin Hira akan aku bawa kesana." Kumatikan ponsel itu, lalu kulanjutkan lagi makan siangku. Aku merasa Ibu terus mengawasiku. Beliau tampak tersenyum dalam sendu. Aku menghentikan suapanku, melangkah mendekat ke arahnya. "Ada apa,Bu?" Aku duduk bersimpuh di depannya. Dibelainya rambutku, sama seperti waktu aku kecil dulu, hal yang dilakukan Ibu bila tiba-tiba teringat Ayah. Aku tahu. Beliau sedang menangis dalam diam, sambil terus mengusap rambutku, berulang membenarkan letak rambutku. Aku hanya diam dan terus menikmati belaiannya. "Ayo cepat dihabiskan makannya. Nanti Hira kamu suapin juga." Titah Ibu menghentikan usapan di rambutku lal
Aku menatap buku-buku jari tangan dokter muda dihadapanku, yang saling terkait satu dengan yang lain. Aku memang sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk dari perkembangan penglihatan Hira. Namun, rasa kecewa tetap saja datang menghampiriku. Ingin rasanya membuang semua yang ada di depanku, tapi itupun tidak akan membawa perubahan pada Hira. "Tapi, Hira tetap bisa pulang hari ini kan?" tanyaku menatap laki-laki berkacamata di depanku. "Bisa, Tuan. Tapi kontrol dan pengawasan akan tetap saya lakukan dengan kunjungan setiap hari," jelasnya dengan nada penuh penekanan. "Karena saya ingin lebih cepat memperoleh kepastian pengobatan yang tepat untuk Nona Hira sebelum semuanya menjadi terlambat meski kemungkinannya hanya beberapa persen saja. Terkadang yang kecil persentasenya ini bisa mendatangkan keajaiban," sambungnya. "Lakukan yang terbaik dan secepat mungkin. Bila memerlukan sesuatu, katakan saja pada Erick." Aku bangkit dari dudukku dan beranjak
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag