Seminggu sudah kejadian penganiayaan itu berlalu. Kini aku kembali masuk sekolah. Aku sekarang duduk di tingkat menengah pertama, kelas 2. Kali ini aku berangkat dengan sepeda. Iya, ibu membelikanku sepeda agar tidak perlu melewati jalan tikus yang selalu digunakan tempat nongkrong anak-anak yang tidak jelas identitasnya. Namun sejak kejadian yang aku alami jalan tersebut sepi. Tidak ada lagi anak-anak nongkrong yang sering kali memeras orang yang sedang melintasi jalan tersebut, atau pesta minum-minuman keras yang ujungya berakhir dengan kericuhan diantara mereka sendiri.
Perangkat kerukunan warga bersama warga memutuskan untuk membangun pos keamanan yang dijaga oleh hansip dan warga dengan jadwal bergiliran. Hal ini untuk mencegah kejadian penganiayaan dan pemerasan berulang kembali.
Aku mengayuh sepedaku. Saat hendak berbelok ke kanan, aku melihat seorang gadis kecil berjalan bersama seorang wanita yang usianya tidak jauh dari ibuku, sambil memanggul tas di punggungnya. Sepertinya sang ibu bercerita sesuatu hal yang lucu sehingga terdengar gelak tawanya yang renyah saat aku melewatinya. Tawa itu, sama dengan tawa yang ku dengar beberapa hari kemarin.
Sepeda ku parkir di tempat paling pojok dari tempat parkir khusus sepeda. Aku berjalan keluar dari tempat parkir menuju kelas ku yang berada di tingkat 2 bangunan tiga lantai sayap kanan.
Aku bukanlah sosok yang suka dengan keramaian. Aku justru lebih senang dengan kesunyian yang bisa membuat hatiku tenang. Aku melewati aula, kemudian gedung olahraga tempat dimana aku sering menghabiskan waktu bersama tim basketku. Belum habis langkahku meninggalkan gedung olahraga itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menghentikkan langkahku dan menoleh ke belakang. Tampak Pak Yuda berdiri sambil memegang bola basket di tangannya
"Sudah siap untuk latihan nanti sore?" tanya pelatih basketku itu. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku. "Siap, Pak,"jawabku. Ia membalas senyumku lalu berlalu ke ruang guru yang berada di lantai satu gedung yang sama dengan kelasku.
Aku melanjutkan langkahku. Ketika kakiku mulai menaiki tangga, aku mendengar bisik-bisik di samping kanan-kiriku. Aku heran mengapa gadis-gadis labil itu selalu berbisik-bisik saat mereka melihatku, apalagi saat seperti ini, ketika aku berada tak jauh dari mereka. Aku hanya fokus dengan langkahku. Tak kuhiraukan teriakan histeris mereka, pandangan beserta senyuman yang mereka lemparkan padaku saat tanpa sengaja aku menatap atau membalas tatapan mereka
"Hai..hai..hai, bintang basket kita sudah kembali.." teriak Ivan yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku hanya diam mendengar teriakannya.
"Kenapa tidak kamu lawan saja mereka?" tanyanya. Aku tetap diam.
"Ikut kelas bela diri deh Sat, biar kamu lebih pede buat balas mereka," Ivan kini berjalan dihadapanku. Aku hanya mengedikkan bahuku sembari membenarkan tas selempang yang hampir melorot dari bahuku.
Badanku memang kecil. Tidak terlalu kecil tapi bila dibandingkan teman-teman sebayaku yang masuk dalam tim basket, aku termasuk yang paling kecil diantara mereka. Pernah aku protes kepada ibuku soal tubuhku yang tak kunjung tinggi seperti teman-temanku lainnya. Namun, ibu hanya tersenyum dan berkata,"Sabar, kamu kelak akan lebih tinggi dibandingkan teman-temanmu". Begitu jawaban yang kudapat setiap aku mengajukan protes perihal postur tubuhku.
Di tim basket, aku termasuk pemain inti dan bertugas sebagai penembak bola. Tim basket berjumlah 10 orang dengan , 5 sebagai pemain inti dan 5 lainnya sebagai pemain cadangan. Biasanya aku melakukan tugasku dengan teknik set shoot dan jump shoot. Set shoot adalah teknik menembak yang dilakukan dengan diam di tempat lalu memasukkan bola dengan satu atau dua tangan. Sedangkan jump shoot adalah teknik memasukkan bola dengan melompat.
Tanpa terasa kelas kami 2 G sudah di depan mata. Aku dan Ivan memasuki kelas dengan berjalan beriringan. Melihat kedatanganku, seisi kelas mulai merubungiku, menanyakan perihal kejadian yang menimpaku minggu lalu. Aku menceritakan dengan singkat, intinya saja. Kemudian mereka membubarkan diri setelah mendoakan kebaikan untukku yang langsung ku amini saat itu juga.
Bel tanda masuk berbunyi. Jam pertama hari ini adalah matematika. Aku tidak begitu mengalami kesulitan untuk mapel yang satu ini. Bu Santi yang mengajar matematika sudah sangat hafal denganku karena sering mendampingiku saat mengikuti perlombaan matematika antar sekolah baik tingkat lokal maupun nasional. Beliau memasuki kelas dan menaruh buku di meja guru, kemudian menghampiri mejaku dan menanyakan keadaanku dan sedikit tentang hal yang aku alami minggu lalu. Beliau menepuk bahuku setelah mendengar cerita singkatku dan memberiku nasihat agar tetap semangat. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku dengan takzim.
Hari itu kulalui seperti biasa, hanya saja, begitu banyak orang yang menaruh simpati kepadaku atas peristiwa tempo hari, yang ternyata tersebar luas sehingga mengundang perhatian masyarakat di kotaku. Aku menjadi paham mengapa jalan tempat aku dianiaya kemarin menjadi sepi dan dialihkan fungsinya oleh perangkat lingkungan sekitarku.
Pelajaran hari ini berjalan normal tanpa kendala. Begitu bel tanda selesainya pelajaran berbunyi, Ivan dan aku berjalan keluar kelas bersama menuju gedung olahraga untuk mengikuti latihan basket yang rutin dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu. Latihan berlangsung selama 90 menit. Rony, sang kapten datang agak terlambat karena harus mengikuti rapat OSIS terlebih dulu. Setelah sesi latihan pertama selesai, Rony dan Pak Yuda terlibat percakapan serius.
Setelah latihan sesi kedua selesai, Pak Yuda mengumumkan bahwa 2 bulan lagi akan ada turnamen bola basket antar sekolah menengah pertama. Berhubung pelaksanaan turnamen berbenturan dengan jadwal try out Rony maka untuk sementara waktu, kedudukan kapten tim akan diserahkan pada Ivan yang sebelumnya menjabat sebagai wakil kapten tim.
Aku berjalan mengambil sepedaku usai latihan basket selesai. Tiba-tiba seorang gadis mencegatku di pintu keluar parkiran. Aku mengernyitkan keningku, memandang heran gadis yang berdiri di depanku. Aku hanya diam tanpa menanyakan apa maksud sikapnya itu. Ia memberikan sebuah kartu undangan ulang tahun, dan dengan terpaksa aku terima. Tanpa basa-basi aku mengayuh sepedaku menjauh darinya meninggalkan tempat parkir sepeda.
Kartu undangan itu adalah kartu undangan yang kesekian puluh yang kuterima selama aku bersekolah disini. Kata Ivan, meski aku bertubuh kecil tidak seperti dirinya atau bahkan Rony, aku memiliki jumlah penggemar yang jumlahnya tak kalah banyak dengan Aji, sang ketua OSIS yang terkenal karena ketampanannya. Aku hanya tertawa dingin mendengar nya.
Aku mengayuh sepedaku pelan, dan kembali, aku melihat gadis yang sama dengan yang kutemui tadi pagi sedang bermain dengan kucing di depan halaman rumahnya. Gadis yang sama dengan yang beberapa hari lalu datang ke tokoku.
Hira. Aku menggumamkan namanya. Saat melintas depan rumahnya, aku menatap lekat wajahnya, agar aku bisa mengingat lekat dalam memori otakku.
Hira. Kembali aku gumamkan namanya. Namaku Satya, aku menggumamkan namaku sendiri.
Sampai berjumpa esok pagi.
Pagi ini, aku berangkat agak lebih pagi dari biasanya, karena ada jam praktik di laboratorium fisika di jam ke 0. Ibu menyiapkan bekal 2 rangkap roti isi selai kacang kesukaanku serta air putih hangat seperti biasanya. Aku tidak begitu suka pergi ke kantin. Aku hanya akan ke sana bila diseret paksa oleh teman-temanku. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi, aku tidak suka dengan keramaian. Satu-satunya keramaian yang aku suka hanya keramaian pada saat tim basketku melawan tim dari sekolah lain dalam suatu pertandingan. Kembali ke masalah kantin tadi. Karena kantin selalu penuh saat jam istirahat, maka sebisa mungkin aku menghindari kantin. Aku tidak suka dengan perhatian lebih yang diberikan oleh gadis-gadis labil di sekolahku, bila aku berada di kantin. Aku tidak seperti Aji, sang Ketua OSIS, yang justru terlihat santai bila didekati oleh kaum hawa. Sejak dulu. Sejak pertama kali aku menapakkan kakiku di sekolah ini, aku sudah membatasi diriku sendiri untuk tidak
Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira. Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun. Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan. Aku menghela nafa
Empat hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira. Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan. Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah. Aku saat ini sedang menjalani masa k
Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku. "Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati. Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. Tidak lama menunggu, satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim
Hira masih sibuk memilih jajan yang akan ia bawa untuk bekal di sekolahnya besok. Sesaat sebelumnya ia memilih buku gambar yang terletak di etalase tempat ku duduk di belakangnya. Ia terus melihat ke arah etalase. Aku sempat terkejut karena ia menatap ke arah etalase sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kukira ia mengetahui keberadaanku. Ternyata, aku salah. Senyum yang menghias wajahnya itu dikarenakan gambar sampul buku gambar yang ada di etalase adalah gambar kesukaannya. Snow White. Aku terkekeh dalam hati, menertawakan ke-pede-an ku yang kebablasan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sedikit tergesa karena kuatir Hira akan mengetahui keberadaanku di toko. Di dalam ketergesaanku, aku teringat akan oleh-oleh yang aku belikan untuk Hira kemarin. Beruntung saat ini Hira sedang berbelanja di toko ibu, aku segera berlari mengambil bungkusan kecil itu yang masih berada di dalam tas ranselku. Aku
Kata-kata ibu barusan tidak bisa kumengerti sepenuhnya. Apa maksudnya saatnya aku kembali mengenal siapa diriku sebenarnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pria blasteran di hadapanku hanya duduk diam seribu bahasa. Raut wajahnya angkuh dan dingin. Rahangnya seperti dipahat menjadi bentuk paling kaku yang pernah aku temui. Aku terus menelusuri semua yang ada pada dirinya. Wajah blasteran, bentuk wajah kaku, aura dingin dari dirinya berusaha mengintimidasiku. Jas yang ia pakai tampak bukan sembarang jas. Sangat jelas terlihat bila itu buatan penjahit profesional. Lama ku berdiam diri. Bermain dengan pikiran dan imajinasiku sendiri tentang pria dingin yang ada di depanku. Kupikir, dengan diamku yang begitu lama, ia akan mengajukan keberatan dan memecah kesunyian diantara kami dengan perintah atau petuah khas seorang asisten yang mengingatkan tuannya akan jadwal atau kegiatan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Asisten? Sebut saja pria yang bernama Erick
Tanpa terasa, setahun telah berlalu. Aku tetap berangkat sekolah seperti biasa, hanya saja kini aku diantar dan dijemput oleh Erick, asisten pribadiku. Latihan basketpun berjalan seperti biasanya, namun pada akhirnya, aku pun harus mengundurkan diri dari tim. Aku tidak lagi mengayuh sepeda sehingga tidak lagi bisa mengawasi Hira dari kejauhan, seperti yang biasa aku lakukan dulu. Kini, aku mengawasinya dari balik jendela mobil yang mengantar dan menjemputku. Ketika Hira sudah dijemput atau sudah tiba di rumahnya, barulah aku akan meminta Erick untuk melesat meninggalkan tempat itu Erick terus memberiku berbagai macam hal yang baru untukku. Aku tidak mengerti. Namun, aku mencoba memahami semampu yang aku bisa. Perlombaan basket yang seharusnya kuikuti, kubatalkan. Untuk sementara, aku mengundurkan diri dari tim. Keinginan untuk mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa ayah, membuatku menghentikan semua kegiatan yang biasa aku lakukan. Tapi, khusus untuk Hira, a
Aku masih duduk di ruang tunggu tepat di depan ruang ICU, ruang dimana Ivan sedang mendapat penanganan serius. Roy, salah satu kaki kananku yang membawa Ivan ke rumah sakit ini, duduk di sampingku dan melaporkan kondisi Ivan saat ditemukan dan dibawa ke rumah sakit. Ivan mengalami 2 luka tusukan di bagian perut, kaki kanan patah, pelipis sobek, dan sedikit pendarahan di hidung. Kuremas kesal botol air mineral yang ada dalam genggaman tanganku, mendengar laporan dari Roy. Dasar bajingan-bajingan tak berguna! Umpatku kesal. Untung aku memilih melewati jalan yang merupakan tembusan dari jalan pintas itu, lokasi penganiayaanku dulu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi dengan Ivan. Melihat kondisinya dari jauh saat aku masih berada di dalam mobil, Ivan sudah terlihat kepayahan. Kulirik jam tanganku, jam 9. Aku beranjak berdiri dan melambaikan tanganku ke Andrew, yang baru saja datang, meminta ia untuk datang mendekat. "Erick, cari tahu identitas
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag