Aku memang penjahat yang sewaktu-waktu bisa menyakitimu.Terima kasih sudah mencoba mengerti diriku.
~ Astro Climton~
***
“Btw, ada yang ingin aku tanyakan lagi. Kenapa kamu terlihat tampan? Aku tidak mendeskripsikanku secara detail, kecuali ciri-ciri umum. Seperti ini, 'kulit putih bak Dewa yang selembut awan, dan kontras warna rambut layaknya tinta pada kertas'.”
'Apa benar hanya membayangkannya, maka terjadi sesuatu di dunia ini?' Tiara memejamkan matanya dan mulai berimajinasi, apa yang akan menjadi pemicu dari awal cerita barunya.
'Mungkin akan menarik jika cerita berawal dari hilangnya Astro dari penjara Dewa, karena diculik Dewi Pencipta. Perjalanan awal Astro membuktikan keadilan, kebenaran di mata Suku Iblis tidak sepenuhnya salah, ini akan menjadi premis yang bagus. Maka, tubuh Astro seharusnya sudah berada di sebelahku sekarang!'
Inilah yang biasanya Tiara lakukan sebelum menulis, membayangkan sebuah situasi dan keadaan seperti apa yang akan ia kembangkan dalam tulisan. Seperti menonton theater di dalam pikirannya sendiri, dan Tiara adalah sutradara yang mengarahkan semuanya, akan disetting seperti apa ceritanya agar menarik.
Perlahan Tiara membuka matanya seperti sedang make a wish ulang tahun. Ia langsung dihadapi wajah Astro yang tampak terkejut, saat menoleh senyumnya terbit melihat Astro ada dua saat ini.
“Sudah!” pekiknya. “Aku tidak percaya jika semudah ini. Sekarang kamu kembalilah ke tubuhmu,” perintah Tiara agar jiwa Astro di depannya memasuki tubuh Astro di sampingnya.
Tiara melihat dengan mata kepala sendiri semua prosesnya, jiwa Astro yang semakin memudar, lalu tubuh Astro bergetar dengan hebat. “Apa sudah bereaksi?”
Tiara terkejut bukan main. Ia melihat langsung jiwa Astro yang mengilang, lalu tubuh Astro berhenti bergetar dan lunglai jatuh dari duduknya. Seketika ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tiara tidak tahu apa yang Astro alami ini hal baik atau hal buruk. Yang pasti gadis itu panik!
“Omili! Omili! Tolong ... Astro pingsang!” teriaknya berlari dari ruang makan mencari pertolongan.
***
Sudah tiga hari berlalu, Astro masih tak sadarkan diri setelah jiwanya bergabung dengan tubuhnya. Sedangkan Tiara yang mau- tidak mau di waktu senggangnya mempelajari hal-hal Suku Iblis. Itu hanya pelajaran biasa yang ia dapat dari celotehan Omili, tapi semakin Tiara mengetahui banyak hal, semakin membuatnya merasa ada yang mengganjal dengan dunia novel ini.
Ada fakta mengejutkan yang baru Tiara ketahui karena Omili yang cerewet itu sudah keceplosan menceritakan hal yang menyakitkan. Salah satu alasan Astro meninggalkan tubuhnya yang berada di penjara, karena tidak sanggup lagi selalu merasa kematian yang terus berulang. Banyak orang yang mendoakan kematian Astro, tidak hanya para Dewa, tapi manusia, tidak lain para pembaca dari novel Tiara.
Dengan ending dimana Astro harus disucikan dari kejahatannya, malah justru menyiksa Astro melebihi mati dan masuk ke dalam neraka.
“Nona tahu akibat dari pensucian dan mendapat doa kematian? Maka Tuan Astro terus merasakan disedotnya energi iblis yang sama saja dicabut nyawanya berkali-kali. Dan itu tidak akan ada selesainya karena Tuan Astro memiliki darah Iblis sejak lahir.” Itulah yang dikatakan Omili.
Kegiatan Tiara saat ini hanya berjalan-jalan di taman istana Astro yang sedang dalam tahap perbaikan. Setiap melihat usaha keras Suku Iblis untuk membangun kembali dunianya, membuat Tiara merenung. Jika Suku Iblis adalah pemeran antagonis untuk Suku Dewa, maka ia sebagai Dewi Pencipta juga pemeran antagonis untuk Suku Iblis.
“NONA! NONA TIARA ...,” teriak Omili yang terbang tergesah-gesah ke arah Tiara.
Tiara yang menghindari di tabrak makhluk yang tidak memiliki rem itu jadi menangkap tubuh Omili seperti nemangkap bola dalam genggamannya, “Uups ... Oke, sekarang tenang dulu. Katakan pelan-pelan ada apa?” Tiara menengkan Omili yang tersengal-sengal tapi berusaha untuk mengatakan sesuatu.
“Tuan Astro- Tuan sudah sadar, dan sekarang dia murka!”
***
Di dunia Suku Dewa. Istana Dewa Agung, ruangan singgasana.
“Hormat saya Yang Mulia Dewa Agung Ammon, tubuh iblis Astro menghilang. Dan disusul dengan cahaya misterius dari inti bumi, letak Suku Iblis berada,” lapor Dewa Epopti, selaku Dewa Pengawas.
“Belakangan ini aku juga mencium kehadiran energi cahaya yang asing di sana, tapi aura yang transparan seperti manusia. Apa jangan-jangan ... Dewi Pencipta Tiran?” Dewa Hati Gefsi terkejut dengan analisanya sendiri. Dia yang sensitif dengan segala energi dan aura tidak mungkin salah merasanya. “Aku pikir ada penciptaan baru di dunia Suku Iblis yang telah hancur, tapi dengan hilangnya tubuh Astro, mungkin ada hubungannya dengan ini.”
Setelah jiwa Astro menghilang, Suku Dewa melakukan pencarian besar-besaran. Hampir 1 tahun pencarian itu tidak membuahkan hasil, seakan jiwa Dewa Kematian lenyap begitu saja. Jika tiba-tiba tubuh Astro sekarang menghilang tanpa sejak dengan energi Dewi Pencipta tercium hingga dunia Suku Dewa, apa yang Dewa Gefsi katakan sangat masuk akal.
“Ya ... aku juga mencium energi cahaya walau samar-samar. Jika benar itu adalah Dewi Pencipta Tiran, tidak baik manusia berada di Suku Murni. Dan sepertinya Dewi Tiran tidak tahu dampak apa yang terjadi jika ia terlalu lama di sana. Lebih baik kita bersiap untuk ke dunia Suku Iblis. Mungkin kakakku akan membuat ulah lagi. Ingat, usahakan untuk tidak menyerang lebih dulu Dewa Astro, jika itu bukan kehendak Dewi Tiran atau pembelaan diri. Karena hanya Dewi Tiran yang berhak menentukan apa yang akan terjadi pada Dewa Astro,” jelas Dewa Ammon dengan sangat tegas.
Ruang singga menjadi riuh, Para Dewa berbisik-bisik mengukapkan rasa kekhawatiran mereka dengan apa yang akan terjadi jika Astro benar-benar diselamatkan langsung oleh Dewi Pencipta.
Dewa Agung Ammon yang terngelam dalam pemikirannya sendiri, membalikkan badannya membelakangi para Dewa itu. ‘Apa season kedua sudah dimulai?’ Sudut bibir Dewa Ammon berkedut merasakan sesuatu yang menarik akan datang. ‘Aku sangat menantikannya.’
***
“Ayo kita kesana!”
Tiara yang menarik tangan goni Omili, tiba-tiba merasa kesulitan. Ternyata Omili menahan tubuhnya untuk tidak ikut bersamanya.
“Tidak, Nona. Saya bisa jadi abu menghadapi Tuan yang sedang murka, jadi Nona sendiri tak apa, kan?”
“Ya udah, kamu tunggu di sini. Atau langsung kabur kalau terjadi apa-apa. Ok!” Tiara sudah terbiasa dengan kebiasaan Omili yang pecicilan, terbang dengan ringannya seperti sedang dikejar-kejar sesuatu.
Tanpa pikir panjang Tiara pergi ke kamar Astro, tapi saat dekat dengan kamar itu pintu tiba-tiba terbuka lebar dengan kebulan asap keluar dari sana. Pelayan yang melayani Astro lari keluar dari kamar tak kalah tergesa-gesa seperti Omili yang ketakutan tadi.
Sekatika Tiara jadi ragu untuk masuk kamar Astro, bagaimanapun lembutnya lelaki itu, dia adalah Raja Iblis. Walaupun Tiara adalah Dewi Penciptanya, ia tidak bisa langsung menggunakan kekuatan imajinasinya itu, pasti otaknya langsung membeku karena ketakutan.
Dengan penuh banyak pertimbangan, tanpa sadar langkah kakinya sudah berada di pinggir pintu kamar Astro. Mencoba mengintip, ia melihat sosok tinggi besar dengan kulit yang hitam pekat. Itu sosok iblis Astro yang membawanya ke dunia novel.
“Keluarlah, Nona.”
Tiara yang sudah ketahuan tidak bisa mengambil langkah mundur. Ketakutannya sama seperti saat Tiara pertama kali bertemu dengan Astro dengan sosok yang sama. Jantung berdegup sangat kencang, bulu halus di lehernya meremang, dan udara dingin seakan tengah menyelimutinya.
“A-astro, apa sudah baikan?” Tiara menguatkan kakinya yang sudah lemas agar tidak jatuh dan tetap berjalan mendekati Astro.
“Bukankah kita harus bicara?” tanya Astro lalu menjentikkan jarinya.
Kamar yang semula berantakan, menjadi rapi. Pintu kamar tertutup rapat yang mungkin sudah dikunci juga oleh Astro.
“Nona sangat bodoh! Menggunakan kekuatan Dewi Pencipta dengan gegabah, itu sama saja memancing para Dewa kemari! Saya membawa Nona menuntut keadilan, tapi Nona malah menghancuran semuanya!”
Sepertinya Tiara sudah terlalu dijamu dengan baik oleh Astro salama ia berada di dunia Suku Iblis. Bahkan semua orang Suku Iblis pun menghormatinya dan memperlakukannya dengan baik. Saat melihat Astro marah, membuat Tiara ketakutan dan juga kecewa.
“Bukannya kamu yang minta sendiri? Aku kasih kesempatan buat kamu, kok malah nyolot sih!” Tiara jadi ikutan marah karena tidak terima dihakimi seperti ini. Padahal niatnya sudah cukup baik, meski ia tidak mau terlibat dalam masalah dunia novel yang sudah tamat ini.
“Iya, tapi tidak gegabah seperti ini. Nona bahkan tidak tahu apapun tentang dunia yang Nona tulis sendiri, lalu dengan bodohnya sudah memihak para Dewa sialan itu! Kesempatan apa yang Nona berikan? Kemanang kedua kalinya untuk para Dewa?” Tatapan mata Astro berubah menjadi sendu seakan tidak memiliki harapan.
“Saya memang kejam, licik, jahat, penghancur, dan mengantar kematian. Saya memang salah telah menghancurkan setengah Suku Dewa dengan kekuatan penghancur saat masih kecil, dan saat remaja saya membunuh para Dewa tanpa alasan. Lalu tiba-tiba saudara sedarah saya dianggap benar dengan menghancurkan saya beralasan menyelamatkan dunia? Nona pikir apa alasan saya melakukan kejahatan seperti itu? Dendam? Ya, saya dendam kepada para Dewa. Karena apa? Mereka yang berkuasa atas langit dan bumi, tapi mereka menjadikan Suku Iblis seperti injakan kaki mereka dengan begitu rendah.”
“Bahkan aku yang terlahir sebagai Dewa, dianggap kutukan, selalu dibedakan, dan diperlakukan dengan buruk. Apa salah jika saya seorang Dewa memiliki darah dari Raja Iblis yang didapat dari kutukan Dewa Agung terdahulu? Apa saya menginginkan takdir seperti itu? Jadi salah jika saya menuntut keadilan dengan memberikan sedikit saja kelimpahan yang dimiliki Suku Dewa kepada Suku Iblis?” Astro tersenyum getir mengingat semuanya. “Pada akhirnya yang jahatlah yang kalah dan harus bertanggung jawab. Itu terjadi jika Nona membuat sudut pandang hanya dari yang inginkan saja.”
Mendengar itu, hati Tiara seperti tertusuk benda tumpul. Air matanya menetes hanya dengan mendengar semua penuturan itu padahal ia belum merenunginya. Karena yang ia dengar adalah kesakitan yang selama ini Astro alami.
Perasaan Tiara bercampur aduk. Setelah banyak kesalahan yang ia tulis sebagai takdir mereka, hanya permintaan diberikan kesempatan yang ia dengar. Terlintas dipikiran Tiara untuk membantu, dengan cepat kesadarannya menepis itu semua.
Menyadari dirinya sudah kehilangan akal, Tiara memukul-mukul dadanya menghilangkan rasa sesak yang telah membuatnya lupa untuk bernapas. Tiara berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Bagaimanapun hingga tercipta dunia novel itu tidaklah masuk akal.
Tiara merasa bersalah, tapi tetap ingin kembali pulang. Ia tidak ingin terlibat hal aneh seperti ini. Jika ini hanya dunia novel, semua ini bukanlah kehidupannya yang sesungguhnya, mungkin saat ini ia sedang bermimpi?
“Astro, setiap peran itu penting. Tidak ada warna jika semuanya berperan baik.” Tiara menegarkan dirinya agar tidak terhanyut ke dalam perasaanya. “Para pembaca mengharapkan happy ending pemeran utamanya, dan itu adalah Ammon. Tentu saja harus ada pemeran yang menjadi batu loncatan untuk pengembangan karakter. Pemeran yang memiliki tujuan hidupnya bertolak belakang dengan tokoh utama, yaitu kamu.”
“Aku hanya mengikuti pepatah. ‘kita akan menuai apa yang kita tanam’. Kesalahanmu adalah dendam, rasa iri, dan amarah. Kau terlalu banyak memupuk banyak kesalahan dalam bertindak kepada para Dewa. Kamu juga Dewa, Dewa kematian. Dan untuk menyempurnakan karakter antagonismu dendam yang sangat besar membangkitkan jiwa Iblis dalam dirimu. Bukankah itu cukup masuk akal? Aku tidak salah membuatmu menjadi jahat!” jelas Tiara, berargumen dengan tegas.
Astro menggeram tidak terima dirinya disebut sebagai penjahat. Kenyataan jika dirinya memang jahat dilihat dari perilakunya yang mudah marah dan bermain kasar, bahkan sampai bisa membunuh masih ia terima. Tapi sampai dirinya dicap jahat karena membela sesuatu yang menurutnya benar, itu sama saja orang-orang yang ia bela pun ikut disalahkan.
Astro yang tumbuhan di masa remaja penuh dengan hinaan. Para Dewa yang mengucilkan dan menjulukinya Iblis, ingatan itu masih melekat pada dirinya. Sampai akhirnya Astro menemukan lingkungan yang dapat menerima dirinya, sebuah jalan yang menghargai keberadaanya. Terlepas dari kenyataan dendam dan sikap buruk lain, Astro membela Suku Iblis yang memiliki stigma yang sama dengannya dan selalu menjadi kambing hitam untuk disalahkan.
Bukankah Tiara keterlaluan hanya melihat dendam yang Astro miliki untuk pengembangan karakter pemeran utama?
Aku mencoba yang terbaik, tapi sepertinya kamu tidak bisa mendengar dan melihatnya. Aku tidak tahu sampai mana bisa bertahan.~ Tiara Alyana ~***Brak! DUAR!Tiara dikejutkan dengan suara gebrakan meja dan ledakan dari tubuh Astro secara bersamaan. Ia sampai terbatuk-batuk dari kebulan debu yang dihasilkan, pandangan pun menjadi kabur. Tiara melihat keadaan sekitar saat kabut sudah menipis, hal pertama yang ditemukan adalah tubuh Astro menjadi sangat besar seperti raksasa. Tiara menganga dan matanya membulat, ia tahu persis jika itu adalah wujud Astro sebagai Raja Iblis.Saat bertarung dengan Ammon di novel Theós of Authority, wujud inilah yang Astro gunakan. Sulit menenangkannya jika seperti ini, karena Astro sudah terpengaruh dengan roh jahat, hingga menutup semua perasaannya dalam dendam yang begitu besar.Setelah mengetahui itu, Tiara tidak melarikan diri dan malah mengamati Astro dengan seksama.
Ya, aku salah ... maaf. Aku tidak coba merubahnya, karena aku tidak bisa. Jika berkenan, mau kita memulainya lagi dari awal bersama?~ Tiara Alyana ~***“AKH!”Tiara terpental sangat jauh. Berakhir dengan dirinya terbentur pohon besar kering tanpa dedaunan, dan batang pohon hangus akibat terbakar kekuatan Astro.“Uhuk! Uhuk!”Tiara bisa merasakan sakit di punggungnya. Rasa sakit yang terus merambat tiap inci membuat tenggorokannya tercekat, rasanya ia seperti tersedak dengan darahnya sendiri yang tidak bisa ia muntahkan. Dengan mata yang masih sanggup ia buka, dirinya menatap nanar Astro yang jauh di sana. Di pikirannya saat ini, untuk segera menyadarkan Astro.Tiara berusaha membangkitkan tubuhnya yang terasa begitu ngilu dan menusuk. Semakin lama pandangannya menjadi kabur dan terasa berat, tapi ia berusaha untuk tetap sadar dan mencoba berbicara pada Astro apa yang sebenarnya sudah ia lakukan.&ldquo
Aku memberikanmu kesempatan untuk kesampatan bagi diriku sendiri yang telah menyesal. Maaf ... tapi kita mulai dari awal lagi, tak apa, kan? ~ Tiara Alyana ~ *** Tiara diselimuti rasa iba pada Astro dengan wujud raja iblisnya. Tanpa sadar air matanya menetes, dadanya sangat sesak, dan hatinya seperti diremas kuat hingga remuk. Ia tidak menyangka jika terjadi seperti ini. Hati Tiara seperti ditusuk ribuan belati, dengan rasa bersalah yang bercampur aduk. Ia baru menyadari kebodohannya yang asal membuat cerita yang menarik, tanpa mempertimbangkan segala sisi dari pemerannya. Walau hanya sekedar cerita dalam novel, jika dunia yang ia buat menjadi nyata, ternyata kekacauanlah yang ia ciptakan. Dan itu berati Tiara lah pemeran antagonisnya di sini. Tiara tidak sanggup melihat pertarungan besar ini secara langsung. Ia merasa tidak berguna, padahal dirinya seorang Dewi Pencipta di dunia ini. Penyesalan yang tersisa untuknya seperti mimpi buruk.
Untuk Dewa Kematian, Raja Iblis, Astro. Gelarmu banyak juga ya, hmm ... Aku kan Dewi Pencipta nih, seharusnya kamu tahu bagaimanapun aku cuma manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Dan kebodohanku itu manusiawi. Aku hanya gadis 20 tahun yang baru memulai kuliah di semester barunya, entah bagaimana imajinasiku dapat menciptakan dunia kalian. Aku minta maaf karena aku- kamu menderita sampai akhir cerita. Tapi yang aku tahu, kamu iblis yang baik Astro. Itu sebabnya aku menurunkan ego untuk memberimu kesempatan. Aku sudah pasrah jika memang harus menetap di dunia novel, tapi untung saja Ammon bisa membawaku kembali ke duniaku. Aku akan membuat cerita untukmu, pada season kedua kali ini. Aku janji akan membuatkan cerita happy ending untukmu. Salam hangat, Si bodoh Tiara, Dewi Pencipta Tiran ^^ ~*~ “Kesempatan kata Nona?” Senyum miring mengembang membaca surat perpisahan dari Tiara. Kertas yang sudah lecak di
Semoga ini harga yang pantas untukku pertaruhkan. Ingatanku, untuk keselamatanmu. ~Tiara Alyana~ *** “Padahal baru semalam, sudah terjadi persaingan ranking antar penulis?” Tiara tidak mengerti, teknik marketing konyol apa lagi yang digunakan Madam Asri. Partisipasi penulis dan pembaca begitu cepat dan meledak-ledak pada aplikasi baru mereka. Yang menjadi pelopor utama dari riset sementara, seratus juta lebih pembaca di aplikasi J&T berkunjung ke novel eksklusif Theós of Authority yang dapat diakses online. Tak kalah juga dengan banyaknya penulis pemula yang mengunggah novel terbaik mereka dan sudah mendapat pembaca yang tak kalah banyak pula. “Begitulah. Gue makin bangga sama lo, Ti.” “Kenapa? Theós of Authority? Gue udah yakin sih, kalau bisa langsung top ranking.” Dengan percaya diri Tiara menjawab. “Bukan. Lo bilang baru menyiapkan projek season kedua, kan? Tadi pagi
Sejak dahulu, Dewa dan Iblis hidup berdampingan walau selalu bersiteru dengan perbedaan pendapat. Berdebatan hingga terjadi perkelahian sering terjadi sebagai solusi akhir, dimana yang menang akan mendapat hak untuk mengambil keputusan.Sampai pengetahuan politik berkembang, di mana persetujuan untuk memilih salah satu pemimpin antara kedua Suku. Sebagai pemimpin langit dan bumi, dan juga mengatur kematian dan kehidupan di seluruh alam.Untuk menghindari pertikaian yang lebih besar, mereka sepakat untuk mencalonkan pemimpin masing-masing Suku. Suku Dewa diwakili oleh Dewa Agung Asoka, dan suku Iblis diwakili oleh Raja Iblis Mammon. Kedua perwakilan diberikan waktu untuk memimpin kedua suku dalam waktu 10 tahun.20 tahun berlalu. Setelah sampai pemilihan pemimpin dengan pengambilan suara terbanyak. Hasil yang didapatkan tidaklah memuaskan. Masing-masing perwakilan mendapatkan suara yang sama, karena rakyat di setiap suku memilih pemimpinnya masing-masing.
Kupikir ini hukuman yang ringan, tapi nyatanya ... aku tersiksa dengan perasan yang hampa ini. Satu pertanyaan yang menetap. “Kenapa aku terus merasa bersalah?”~Tiara Alyana~***“Hoam ....” Tiara menguap tanpa tahu malu. Dengan mata yang sudah sayu ia melipat tangan di atas meja untuk dijadikan bantakan kepalanya.Ilham yang baru masuk kelas dan mengambil duduk di sebelah Tiara keheranan. “Ngapain lo? Belajar?”Tiara hanya menggelangkan kepalanya sebagai jawaban. Dirinya butuh asupan cogan (cowok ganteng) buat menjernihkan mata dan pikiran.Melihat novel Theós of Authority di atas meja, Ilham mulai mengerti, sepertinya Tiara sedang mempelajari ceritanya kembali untuk revisi season keduanya. “Nggak usah diforsir, Ti. Masih ada waktu sampai up minggu ini.”Tiara langsung bengun menatap tajam Ilham yang biacara semau jidatnya. Ia tidak t
Kau pergi setelah berkata akan bertanggungjawab ... Hebat sekali! Jadi tidak masalah aku datang untuk menagihnya, bukan?~ Astro Climton ~***Ruang pertemuan istana Suku Iblis. Dua makhluk immortal bersujud di hadapan Dewa yang menjabat sebagai Raja Iblis saat ini duduk di singgasananya.“Omili, bagaimana dengan tugas yang kuberikan?” tanya Sang Penguasa menopang dagu pada salah satu tangannya.Makhluk bola kuning yang ditanya melirik terlebih dahulu pada makhluk setengah serigala di sebelahnya. Mereka bertukar pandang seakan sedang bertelepati dengan keadaan Tuan mereka. Tatapan kosong dan raut wajah lesuh, setia terpatri sejak kepergian Dewi Pencipta. Semakin lama, kondisi Sang Tuan semakin buruk. Tubuh yang bekerja seakan tanpa jiwa, walau tidak ada celah untuk itu, tapi sangat mengkhawatikan bagi mereka yang berada di sisinya.“Portal yang Anda buat sudah sepenuhnya hilang,” jawab Omili
Setelah membawa Tiara pergi dari perkenalan resmi, Astro memerintahkan Omili untuk melayani dan mengawasinya gadis itu. Astro yakin kerubutan tidak hanya pada Bangsawan Suku Iblis, Dewa Petinggi pun pasti tidak akan tinggal diam. Hingga situasinya saat ini Tiara menjadi tidak aman karena dianggap sebagai objek yang tidak biasa. “Hormat saya Tuan Astro.” Ograien datang ke kamar Astro, namun ia tidak sendiri. Sosok dengan energi Dewa ikut hadir. “Salam hormat kepada Dewa kami, Dewa Kematian.” “Golden?” Sosok yang sudah lama tidak Astro temui. Bukannya tidak sama sekali, dalam beberapa kesempatan Dewa Golden memang hadir saat lima Dewa Petinggi berkumpul, namun itu hanyalah bayangannya. Bayangan adalah salah satu kekuatan Dewa Golden yang dapat memecah diri dalam bentuk bayangan. Dan setiap bayangan dengan memiliki sekian persen dari kesadaran aslinya. Dewa Golden yang disapa santai oleh Astro tersenyum. “Saya pikir Anda tidak menyadarinya, terima kasih sudah mengenali saya.” Astro
“Ini bukan pertemuan pertama kami dengan Sang Dewi. Salam hormat dan kemuliaan tertinggi untuk Dewi Pencipta Tiran. Saya Dewa Hati, Gefsi, salah satu Dewa Petinggi. Senang dapat memperkenalkan diri secara resmi kepada Dewi Pencipta Tiran dengan keadaan sehat.” Sebenarnya Tiara gugup dengan penghormatan seperti itu. Masih terasa tidak nyata, apa lagi dirinya menjadi orang yang tidak biasa menyandang peran Dewi Pencipta. “Okey, terima kasih Dewa Gefsi. Salam kenal.” Astro bernapas lega dengan Tiara yang tidak mengacau dan hanya menjawab seadanya saat diberikan salam penghormatan. Untuk penilaian awal, jawaban seperlunya menunjukkan dominasi dan harga diri dalam posisi yang tinggi. Walau Astro tahu jika Tiara menjawab seperti itu pun, karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dan alasan itu tidak penting saat ini. Sedangkan Ammon, tubuhnya gemetar berusaha keras menahan tawa. Kegugupan Tiara sangat terlihat dari ekspresinya, ya ... tidak ada bawahan yang berani memandang ke atas,
Ukh, Tiara benci pakaian formal dunia Suku Iblis. Harus seberapa terbuka lagi untuk mengekspos bagian tubuhnya? “Ini namanya pelecehan, bagaimana caranya gue minta pertanggung jawaban Astro sialan!” Tidak henti-hentinya Tiara menggerutu sebelum ada yang menjemput. Kerudung yang katanya sebagai penutup diri jika Tiara malu, tidak membantu sama sekali karena transparan. Kini gadis itu hanya memeluk dirinya sendiri berjaga-jaga siapapun yang masuk ke kamarnya nanti. Tolong jangan tanyakan kenapa Tiara mau saja menggunakan pakaian seperti itu, hal itu bisa terjadi jika memang ia bisa menolak. Apa lagi pakaiannya yang dari rumah sudah dibuang. “Tiara! Tidakkah ini keterlaluan jika membuat semua menunggu-“ “KYAAAA!” Tiara tidak merasakan kehadiran seseorang, kemunculan Astro yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Apa lagi suara dalam Astro yang terdengar halus hingga pikiran horor tidak dapat dihindari. Mendengar teriakan Astro langsung bersiaga. “Ada masalah?” “Aish~” Tiara bangkit dar
Ternyata tidak butuh berjalan lebih lama, Ograien dengan kereta kadal yang dibawanya datang sengaja menjemput Tiara. Banar, kadal bukan kuda sebagai kendaraan pengangkut barang. Terlihat seperti buaya dengan sisik yang tajam, tetapi sebesar Komodo. Apapun itu sekarang Tiara sudah berada di kamar Astro dan berguling-guling ria diawasi oleh Omili. Tiara disuruh istirahat dan itulah yang dilakukan, entah sudah berapa lama ia terjebak di lapang rumput tanpa batas itu hingga membuatnya begitu lelah. “Hormat Yang Mulia Raja Iblis Astro.” Salam Omili dengan suara kecil, agar Tiara tidak terbangun. Namun Tiara langsung duduk memperlihatkan dirinya sudah tidak tidur lagi. Ia melihat kedatangan Astro bersama Ograien di belakangnya membawa sesuatu. “Kamu tidak tidur?” tanya Astro yang mengira Tiara sedang tidur. “Aku sudah bangun.” Mungkin sudah terbiasa berbagi kamar dengan Astro sampai Tiara tidak memperdulikan penampilannya yang berantakan saat ini. “Aku akan memanggilkan pelayan untuk
Angin bertiup bagai badai bersama cahaya kehidupan yang menyoroti Tiara, dua kekuatan bertolak belakang yang saling berpadu tanpa perlawanan. Dua Dewa yang menjegal Tiara seketika menegang tak dapat berkutik pada tekanan intimidasi yang dahsyat dari kedua kekuatan besar tersebut. Senjata mereka jatuh, kaki mereka menjadi lemas, sampai bersujud tanpa mampu mengangkat kepala. Ammon yang merasa bertanggung jawab menghampiri Tiara lebih dulu untuk melihat bawahannya lebih dekat. Ia tidak percaya jika para Dewa bisa se-tidak sopan itu bahkan dalam menghakimi seseorang dengan kecurigaan semata. “Huaaa Ammon!” Tiara yang ketakutan menerjang sang Dewa Agung, memeluknya. Tangisannya pecah setelah merasa lega, akibat terguncang dengan apa yang dialaminya saat ini. Ammon mengerti lemahnya Dewi Pencipta Tiran sebagai manusia. Selain itu ia mengernyitkan kening, saat merasakan presensi besar dalam diri Tiara. Sesuatu yang tidak ia rasakan di pertemuan terakhir mereka. “Tidak apa Dewi, mereka b
Tiara menganga melihat gerbang besar entah dari mana. Dua jam yang lalu, Tiara sudah putus asa berjalan tanpa ujung dan tidak menemukan apapun. Hanya hamparan rumput yang luas dan awan kelabu yang tinggi dengan kilat sesekali membelah langit. Perutnya sudah lapar, tidak tahu berapa lama ia berjalan tapi cahaya sekitar masih sama. Tidak lebih terang bertanda siang, ataupun lebih gelap waktunya malam. Dengan ingatan yang penuh Tiara tahu jika tidak memiliki makanan, tapi ia tetap merogoh saku berharap masih ada sesuatu yang bisa ia kunyah. Nyatanya tetap memang tidak ada, hanya sisa uang dari pemberian Ovid saja. Bisa dibilang kaki Tiara yang terus berjalan sudah mati rasa, karena rasa sakit telah ia abaikan. Pikirannya membayangkan jika berhenti sejenak mungkin tidak masalah, tapi Tiara takut. Kecemasan menyusup hatinya. Jika Tiara berhenti berjalan, maka semakin lama ia bertemu dengan Astro dan semakin lama untuknya pulang. Tiara ingin pulang. Keberadaanya di dunia asing itu, se
Seakan telah puas tertidur, Tiara bangun tanpa beban, tanpa mimpi. Banar bukan? Tidur tanpa mimpi itu adalah kualitas istirahat terbaik. Mengedarkan pandangannya, Tiara keheranan dengan alas rumput yang empuk dan hamparan hijau luas sejauh mata memandang. Di atas langit pun terlihat cerah dengan awan tebal, hingga keabu-abuan. Jika digambarkan, cuaca sama saat bumi akan hujan. “Bumi? Kayaknya ini bukan bumi. Gue ada di dunia novel, kan?” Secara langsung Tiara ingat perjalanannya, jika ia berada di dunia novel untuk mencari Astro. Entah kenapa secara bersamaan seperti ada yang terlupakan, pikirannya terasa kosong. Alasan Tiara tertidur ... Karena kelelahan? “Ini dunia Suku Dewa? Tunggu, gue urut satu-satu daerah mana aja yang sudah gue jelajahi.” Tiara mengeluarkan peta di saku jubahnya, peta yang didapatkan dari Ovid ... tapi bukan itu masalahnya. Antara ingatan, pikiran, dan kerja otaknya tidak singkron. Bukan lagi masalah hati dan pikiran, tapi satu fungsi yang sama kendalin
Tiara kecil mendengar begitu banyak cerita yang seakan mengerti, ‘Dewa itu’ juga masih menggedongnya. Mengajak Tiara kecil berkeliling sambil memakan jajanan pasar. Tiba di sebuah ujung jurang dari sebuah bukit ‘Dewa itu’ menurunkan Tiara kecil, dengan kekuatan yang keluar dari ujung jarinya merubah wujud Tiara kembali ke semula. Kontrol kesadaran dan gerak tubuh Tiara pun berangsur pulih, yang sebelumnya bergerak dengan sendirinya. “Kamu kah Dewa? Tapi siapa? Aku tidak pernah menulis sosokmu di dalam novel?” Walau begitu Tiara tetap tidak bisa mengendalikan ucapannya (keceplosan), kali ini karena sifatnya yang impulsif. ‘Dewa itu’ tersenyum. “Sungguh? Sepertinya kamu menulis tentangku walau tidak banyak. Em, biar aku ingat perkataan Istriku mengenai ramalan itu.” “Ramalan?” Tiara bertanya seakan baru mendengarnya, padahal sepanjang ia bersama dengan ‘Dewa itu’ membicarakan banyak hal, termasuk ramalan. “Ah, di bab satu sebagai pembuka. Kamu mengisahkanku seperti seorang pahlawan
Seperti bagian di dalamnya, Tiara bisa mencium aroma makanan yang sangat sedap, rasa yang menyenangkan dan tidak mengganggu sama sekali, suasana yang padat namun terasa damai. Bisa Tiara lihat orang-orang begitu ramah satu sama lain, menyambut dengan senyuman dan minim kejahatan, kecuali anak kecil yang jahil dan mencuri beberapa camilan di toko. Namun semua teratasi dengan baik oleh orang tua mereka yang akhirnya membayar, penjualnya pun berekspresi marah (bercanda) untuk anak-anak saja. Terasa hangat, kedekatan, dan toleransi yang kuat. Mengingatkan Tiara pada suasana kampung halaman, bangunan yang masih berbahan dasar kayu dan dihiasi kain warna-warni, aneka penerangan juga bagian dari karya yang kreatif. Saat matanya tanpa sadar berpapasan dengan yang lain, mereka akan tersenyum lebih dulu yang membuat Tiara sungkan dan menganggukkan kepalanya. Seperti berada di rumah. Orang-orang dengan kulit kecokelatannya berpenampilan manis dan sederhana. Tidak jarang banyak pendatang den