Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.
“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.
“I-iya mas,” gagap Kaluna.
“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.
Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.
Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menuju meja kasir guna memesan minuman. Delvin menerima pesanannya dengan tenang, sebuah fakta baru bagi Kaluna kalau laki-laki dihadapannya ini adalah tipe orang yang tidak terlalu banyak bicara.
“Permisi Delvin, saya boleh ajak kamu ngobrol sebentar?” tanya Kaluna.
Respon pertama yang Kaluna dapatkan adalah wajah bingung Dalvin, namun laki-laki itu segera mengangguk.
“Tunggu pesanannya jadi dulu di meja, nanti saya kesana,” ucap Delvin.
Kaluna mengangguk lalu memilih salah satu kursi kosong didekat jendela. Susasana cafe ini tidak terlalu ramai seperti biasanya, mungkin karena masih jam kerja. Kaluna mengeluarkan laptopnya dan mengerjakan sesuatu hingga fokus nya teralihkan saat segelas matcha latte dingin sudah tersaji manis dihadapannya lengkap dengan sang barista yang sekarang duduk dihadapan Kaluna.
Kaluna berdeham sedikit, netranya sedikit ragu-ragu untuk menatap laki-laki didepannya. Bukan tanpa alasan dirinya seperti ini, hanya saja Ia rasa ini tidak benar.
“Jadi gini, tentang orang yang suka gambar di kertas buram yang pernah kamu ceritakan. Saya boleh minta kontaknya?” tanya Kaluna.
“Buat?” jawab Delvin.
“Enggak, gak buat aneh-aneh kok!” seru Kaluna membuat Delvin tanpa sengaja tertawa kecil.
“Jadi gini, saya kerja di kantor penerbitan bagian desain packaging , kebetulan sedang mencari orang yang bisa gambar sketsa untuk salah satu buku cetakan kami. Saya bingung mau minta tolong siapa, siapa tahu kenalan kamu itu bisa bantu saya,” jelas Kaluna.
Kaluna pasrah, dia bisa saja ditolak karena privasi dan Ia tahu itu. Yang penting sekarang dia sudah mencoba.
“Kebetulan orangnya ada disini,” ucap Delvin yang disambut wajah cerah dari Kaluna.
Delvin pamit sebentar untuk memanggilkan orang tersebut. Kaluna kaget saat Delvin kembali membawa sosok laki-laki yang tadi menyebrang bersamanya. Ia tak menyangka kalau laki-laki tinggi, dengan rahang kokoh, senyum smirk dan penampilan khas bad boy itu merupakan orang yang dicari-carinya.
“Kaluna, kenalin ini Kama yang suka gambar di kertas buram,” ujar Delvin.
Kaluna pun berkenalan dengan sosok Kama tersebut. Meskipun otaknya menolak untuk percaya bahwa gambar cantik bisa keluar dari tangannya, namun mau tak mau Ia harus percaya karena sekarang hanya Kama lah yang bisa membantunya.
Kaluna pun menjelaskan maksud kedatangannya dan langsung diterima baik oleh Kama. Obrolan keduanya berlangsung lama bahkan Kaluna tak sadar kalau jam makan siang sudah selesai dari tadi. Keraguan Kaluna sirna saat Kama bisa membuktikan bahwa sketsa buatannya memang bagus, tapi entah kenapa ada yang berbeda dari hasil gambar Kama dengan gambar yang ada di kertas buram yang Kaluna bawa. Serupa namun tak sama, entah dari mana Kaluna bisa melihatnya, yang pasti untuk sekarang Ia tak terlalu memusingkannya. Kama orangnya asik, sehingga Kaluna mudah akrab dengannya.
“Kalau begitu sampai bertemu seminggu lagi ya Kama, makasih banget udah mau bantuin,” ujar Kaluna.
“Iya, Na. Santai aja. Kamu pulang naik apa?” tanya Kama.
“Kayaknya naik taksi online deh,” jawab Kaluna.
“Sama Delvin aja, dia juga mau pulang, udah mau sore juga Na,” usul Kama.
Tentu saja hal itu mengundang raut wajah tak enak dari Kaluna, dirinya sudah merepotkan dua orang itu hari ini, masa sekarang pulang saja harus nebeng. Kaluna dengan halus menolak ajakan tersebut terlebih di depan meja kasir sosok Delvin yang sudah lengkap dengan jaket dan tasnya menatap Kaluna dan Kama dengan seksama.
“Saya antar, kebetulan saya juga mau pulang,” ucap Delvin.
Bisa terlihat raut wajah Kaluna merasa tak enak sedangkan Kama tersenyum menang. Kama menjelaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja jika ada Delvin, dan Kaluna hanya bisa terdiam.
“Mau mampir makan? Saya lihat tadi kamu skip jam makan siang,” tanya Delvin.
Keduanya kini sudah duduk manis diatas motor milik Delvin. Motor Delvin bukan motor moge ataupun motor berharga puluhan juta, hanya ada motor matic keluaran tahun lalu berwarna biru yang nyaman dikendarai.
“Ah iya boleh,” jawab Kaluna.
Kaluna sendiri lupa kalau dirinya belum kemasukan makanan sejak tadi pagi. Ia hanya sarapan sedikit, pantas saja perutnya sedikit tidak enak.
Delvin melajukan motornya kearah jalanan sudirman. Jalan ini dipenuhi dengan pedangang warung kaki lima dan juga ada area seni jalanan yang terlihat disepanjang jalan. Area seni jalanan sudirman ini tentu saja sudah terkenal didaerah ini, sepanjang jalan sudirman dipenuhi dengan lukisan di dinding-dindingnya, juga dengan para pelukis jalanan, ada juga beberapa anak muda yang membuat pertunjukan musik di ruang terbuka. Tak jarang tempat ini menjadi pusat berkumpulnya para anak muda dikota ini.
Kaluna jarang kesini karena memang tempatnya cukup jauh dari kontrakan, Ia akan kemari jika Evan sudah merengek untuk minta ditemani membeli komik bekas di ujung jalan ini.
Delvin memberhentikan motornya disalah satu warung makan soto ayam yang cukup ramai. Kaluna turun dan segera mencari tempat duduk sedangkan Delvin memesan makanan. Jalan sudirman memang sudah ramai bahkan sebelum malam tiba. Ini masih jam tiga sore tapi setiap tempat sudah ramai dengan pelanggannya sendiri-sendiri.
“Gak papa kan makan disini?” tanya Delvin.
Kaluna tersenyum dan mengangguk.
“Saya bukan orang hedon, makan di pinggir jalan kayak gini udah jadi kebiasaan saya,” jelas Kaluna.
“Kamu sering main kesini?” tanya Kaluna.
Delvin tidak langsung menjawab melainkan menatap jalanan dengan tenang, Kaluna juga tidak mendesak, Ia menunggu.
“Sering, sampai bapak-bapak yang disana kenal saya. Ibu-ibu yang sedang menggoreng gorengan itu juga kenal saya, bahkan pemilik warung soto ini sepertinya tau kisah hidup saya,” jawab Delvin yang disambut tawa manis dari bibir Kaluna.
Kaluna menatap kearah bapak-bapak yang dimaksud Delvin, seorang pria tua yang berjualan camilan tradisional. Hati Kaluna terenyuh, hatinya seakan diremas kuat-kuat melihat bapak tua masih mencari nafkah di saat usia sudah mengikis tenaga dan juga raganya.
“Jangan dilihat gitu, kalau bapaknya tahu bisa-bisa kamu dimarahin,” kata Delvin.
Kaluna menatap Delvin bingung.
“Kenapa?” tanya Kaluna.
“Kurang tahu karena beliau gak pernah cerita sama saya, tapi yang pasti dia paling gak suka ditatap seperti itu,” ujar Delvin.
Percakapan keduanya terhenti karena makanan yang mereka pesan sudah tersaji didepan mata. Keduanya menyantap soto ayam tersebut dengan lahap. Kaluna menikmati suasana sore itu, suasana jalan sudirman yang hangat dengan bunyi klakson dan para musisi jalanan serta semangkuk soto ayam murah meriah yang rasanya enak sekali. Rasanya sudah lama Kaluna tidak menikmati waktu-waktu seperti ini, dan anehnya Ia justru melakukan hal ini dengan Delvin yang adalah orang baru dalam hidupnya.
Kaluna menghabiskan makannya terlebih dahulu, karena kini Delvin masih sibuk dengan piring keduanya. Ia memutuskan untuk membeli beberapa camilan untuk Lila disekitar sana sembari menunggu Delvin selesai dengan makanannya.
Ia memutuskan membeli beberapa crepes, sambil menunggu Kaluna juga sempat memotret beberapa hal karena menurutnya menarik. Kegiatannya terhenti kala seorang anak kecil mendatanginya dengan beberapa lembar kertas.
"Kakak, mau beli gambar ayahku? biar aku bisa cepat pulang dan Ayah juga dapat uang,"ucap anak laki-laki itu.
Kaluna merendahkan tubuhnya setara dengan tinggi anak itu dan melihat gambar-gambar tersebut.
"Berapaan?" tanya Kaluna dengan senyum manisnya.
Melihat anak kecil itu membuat Ia kembali teringat dengan masa lalunya. Ada sosok kaluna kecil disana, bedanya Ia harus bertahan sendirian sedangkan anak ini masih ada orang tua dibelakangnya.
"Lima belas ribu aja kak."
Kaluna mengeluarkan selembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada bocah laki-laki itu dan mengambil satu buah gambar untuknya.
"Kakak ambil satu yah, gambarnya bagus,"ucap Kaluna.
"Gak ada uang kecil kak?"
"Kembaliannya buat kamu aja," ujar Kaluna.
Wajah bocah laki-laki itu langsung senyum sumringah dan berlalu pergi membuat Kaluna juga tak bisa menahan senyumannya.
Namun baru saja hendak pergi dari sana, seorang pria paruh baya datang menghampirinya.
Bapak tersebut memberikan beberapa lembar gambar pemandangan dan berujar, "Saya gak bisa menerima kembalian sebanyak itu mbak, saya tahu maksud mbak nya baik dan saya berterima kasih tapi saya juga gak enak sama mbaknya. Boleh ya mbak bawa saja beberapa gambar saya kalau gak keberatan."
Kaluna tentu menolak, niat dirinya memang untuk membantu mereka tapi sepertinya bapak ini keberatan dengan tindakan Kaluna.
"Saya gak bermaksud pak," jelas Kaluna tak enak hati.
Bapak itu tersenyum ramah, "Saya tahu mbak, makannya tolong ambil saja gambar-gambar saya yang paling mahal biar saya juga dengan senang hati bisa menerima uang mbak. Anggap saja ini juga bentuk terima kasih saya."
Akhirnya Kaluna mengangguk dan mengambil dua gambar lagi kemudian anak dan bapak tersebut pamit pergi.
Ternyata Delvin sedari tadi memperhatikannya, laki-laki itu tersenyum tipis dan berdiri disamping Kaluna yang masih menunggu crepes pesanannya jadi.
"Saya dulu juga gitu, maunya bantu mereka dengan uang lebih tapi malah pulang bawa banyak gambar. Gambarnya memang gak sebagus karya orang terkenal tapi cerita dibaliknya itu beragam," ujar Delvin.
"Kamu kenal mereka?" tanya Kaluna.
"Anaknya namanya Doni dan bapaknya Pak Juna, saya ketemu mereka pas pertama kali kesini. Ceritanya hampir sama seperti yang kamu alami barusan," kata Delvin.
"Tindakan aku nyinggung mereka gak sih?" tanya Kaluna lagi.
Delvin menggeleng, "Enggak, mereka maklum karena kamu gak tau."
"Gimana?"
"Hampir semua seniman di sini punya pemikiran sama, gak semua yang terlihat miskin dan tidak punya apa-apa mentalnya pengemis. Mereka akan menerima sesuai apa yang mereka keluarkan. Prinsip jual beli, karena sekali lagi, mereka gak punya mental ngemis. Kembalian sekecil lima ratus rupiah bakalan mereka cari untuk dibalikin ke kamu," imbuh Delvin.
Penjelasan Delvin sore itu berhasil membungkam Kaluna. Sepanjang jalan Ia terus memikirkannya.
Bahkan orang yang tidak seberuntung Kaluna mempunyai prinsip demikian tegasnya, lalu seperti apakah Kaluna hidup selama ini? Apakah selama ini hidupnya berjalan tanpa ketegasan?
Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet."Udah makan siang Na?" tanya Joan."Udah ce," jawab Kaluna singkat.Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna."Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung."Gak kok ce," ujar Kaluna.Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya."Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam j
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud."Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat."Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk."A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih."Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.&nbs
Evan menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan sinis. Ia tak tahu jika kedatangannya kembali ke sekolah justru disambut dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Yang dirinya takutkan bukan masalah padangan teman-temannya namun kakaknya. Kakaknya dipanggil ke sekolah karena dirinya bertengkar dengan Logan. Evan tahu dirinya salah namun Logan pantas mendapatkan pukulan darinya."Evan, bisa kamu jelaskan awal masalahnya?" tanya Bu Darini selaku wali kelas dan guru bimbingan konseling.Evan hanya diam, Ia tak mau menjelaskan apapun. Namun Logan yang memang cerewet dari sananya malah mendecih keras membuat Evan lagi-lagi tersulut emosi."Ibu kan sudah saya bilangi, dia tuh nonjok saya cuma karena saya baca berita tentang masa lalu dia. Padahal kan seluruh sekolah juga baca, kenapa cuma saya yang ditonjok, harusnya tuh dia juga nonjokin anak-anak lain biar sekalian dikira orang gila," cecar Logan dengan nada sengak.Evan hanya diam tak m
Kaluna mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua. Saat tiba di ruangannya yang bisa Ia temukan hanya Lila da Gama yang sepertinya menunggu dirinya. Kaluna panik namun sebisa mungkin memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang positif meskipun sekarang kenyataannya tak seindah realita, terlalu banyak pikiran negatif yang ada dipikirannya sekarang. "Kamu kemana aja sih!" seru Lila. Sahabatnya itu segera berlalu dan pergi ke runag rapat meninggalkan Kaluna dan Gama yang masih ada disana. "Mas, gimana nih?" tanya Kaluna yang masih panik. "Ya gimana lagi Na, Pak Bos sendiri yang minta dan kamu harus siap dengan semua hal yang terjadi setelah ini," ujar Gama. "Biasanya bapak gak pernah mau ikut rapat besar sama karyawan mas, biasanya dia mau rapatnya sama petinggi aja kan kenapa tiba-tiba?" tanya Kaluna. "Gak tau Kaluna, kamu siapin diri ya." Jawaban Gama sama sekali tidak memberi ketenangan apapun. Kaluna menghirup nafas
Kaluna, Anna dan Erik saling pandang sebelum isi buku hitam itu lebih banyak lagi. Buku ini benar-benar menulis detail informasi tentang dana gelap dari sebuah organisasi pengusaha besar di negeri ini. Dan salah satunya terkait dengan jembatan yang roboh. Kaluna hanya bisa meringis melihat nominal angka yang keluar setiap transaksi, itu bukan jumlah yang kecil."Ini kasus terakhir yang dicatat," ucap Erik begitu melihat lembar terakhir yang penuh tulisan."Pantesan pada kaya dan rumahnya gede-gede, ternyata korup," cibir Anna."Korupsi dana bantuan banjir?" tanya Kaluna."Kamu tau?" sahut Anna."Ayah pernah ngomongin ini sama Om Hadi sebelum kita pindah, aku denger waktu itu," jelas Kaluna."Iya, dana bantuan banjir ini 50% masuk kantong mereka, sisanya baru di distribusikan ke korban banjir," ungkap Erik."Nitidiwiryo?" gumam Erik."Kenapa om?" tanya Kaluna.Erik menunjuk sebuah nama
Kaluna berulang kali menatap Delvin untuk memastikan bahwa apa yang mereka berdua lihat memang benar adanya. Setelahnya Kaluna segera menelfon Anna dan juga menyiapkan tiket pesawat untuk menemui temannya itu. Buku ini, buku yang tadi Kaluna temukan di tas ayahnya adalah buku yang sama yang mereka cari selama ini.Dengan ini Kaluna dapat membalik keadaan. Ia bisa membersihkan nama baik Ayahnya. Kaluna yakin jika bukti ini bisa membuat orang-orang yang dulu membuat keluarganya hancur jadi mendapatkan ganjarannya."Pesawatnya jam berapa?" tanya Delvin yang sedang membersihkan piring bekas makan mereka."Satu jam lagi. Saya mau ke Papa dulu," jawab Kaluna."Saya antar," sahut Delvin."Terima kasih," balas Kaluna.Keduanya segera menuju rumah sakit dan Kaluna menceritakan semuanya pada Sang Papa. Kaluna sangat senang, terlihat dari raut wajahnya yang cerah saat menceritakan hal itu. Evan yang melihat kakaknya seperti kembali di
Kaluna kembali ke rumahnya setelah beberapa hari berada di rumah sakit. Papanya sudah sadar kemarin dan kini ada Evan di sana. Kaluna memasuki kamarnya dengan perlahan, terdapat sedikit debu yang berterbangan karena sudah cukup lama tidak ditempati.Semalam Anna menelfonnya dan mengatakan bahwa persidangan untuk kasus ayahnya akan segera dilaksanakan. Setelah melihat-lihat sekeliling rumah, akhirnya Kaluna memutuskan untuk keluar rumah mencari camilan karena di rumah sama sekali tak ada makanan.Setelah berjalan beberapa meter akhirnya Ia memutuskan untuk membeli gorengan pinggir jalan tanpa pusing. Sepertinya pisang goreng dan secangkir teh dapat mengisi perutnya yang dari pagi belum terisi. Namun sayangnya Kaluna harus kembali duduk dan menunggu pisang goreng kesukaannya digoreng. Akhirnya yang bisa Ia lakukan hanya melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan di depannya."Bahkan meskipun duniaku hancur seperti ini tapi dunia orang lain tetap berjalan s
Suasana tenang di sebuah lorong membuat siapapun enggan untuk bersuara. Kaluna sedari tadi melirik ke arah lampu ruang operasi dan warnanya sama sekali belum berubah sejak dua jam yang lalu. Sang Papa akhirnya dapat melangsungkan operasi setelah menerima donor langka. Ia di sini sendirian karena adiknya masih harus sekolah. Waktu seakan berjalan lebih lambat membuat Kaluna berkali-kali menghela nafas frustasi. Kata dokter operasi ini merupakan operasi yang sedikit sulit karena usia Papanya yang sudah tak lagi muda di tambah mereka harus mencegah pendarahan sekecil mungkin karena stok darah di rumah sakit ini terbatas. Satu jam kembali berlalu dan tiba-tiba lampu di atas pintu kaca tersebut mati membuat Kaluna segera berdiri dengan harap-harap cemas. Beberapa menit kemudian Dokter Stefanus keluar dan menghampiri Kaluna. "Operasi berjalan dengan lancar, tapi kami harus terus pantau kalau saja ada penolakan organ donor dari tubuh Bapak. Untuk beberap
Delvin mengendarai mobil milik Kama menuju bandara. Ia mendapat kabar dari Evan bahwa Kaluna memutuskan untuk kembali dari luar kota hari ini dan Ia diberitahu bahwa perempuan itu sedang dalam kondisi yang labil karena kabar dari adiknya.Akhirnya berbekal informasi tentang penerbangan Kaluna yang Ia punya, Delvin memutuskan untuk menjemput perempuan itu. Delvin sendiri tak tahu mengapa dirinya bisa mau serepot ini padahal Kaluna bisa saja naik taksi atau yang lain. Kenapa Delvin justru menawarkan dirinya sendiri?Delvin meraih ponselnya dan memutuskan untuk menelfon gadis yang beberapa hari ini memenuhi kepalanya tanpa permisi.“Kamu dimana Na?” tanya Delvin.Kaluna mengatakan bahwa dirinya baru saja turun dari pesawat dan sedang menunggu bagasi. Delvin pun segera menambah kecepatannya. Sepuluh menit kemudian Ia sudah sampai di bandara. Ia melihat Kaluna dengan jelas karena sebelumnya perempuan itu bilang akan menunggu di depan, jadi Delvin t
Kaluna menatap sebuah rumah bernuansa modern minimalis di hadapannya. Ternyata setelah bertahun-tahun rumah tersebut tidak berubah sama sekali, hanya saja halaman hijaunya yang luas itu terlihat lebih bagus dari yang terakhir kali Kaluna ingat. Satu jam lalu tiba-tiba ada seseorang yang menelfonnya dan ternyata itu adalah Neneknya. Entah dari mana beliau berhasil mendapatkan nomor milik Kaluna. Neneknya berkata kalau semua keluarga tengah menunggunya di sini, mereka ingin melihat Kaluna. Awalnya Kaluna menolak dengan keras, namun Neneknya berkata kalau dirinya tengah di rawat di rumah karena sakit dan ini permintaan terakhir beliau pada Kaluna karena setelahnya beliau tak akan mengganggu Kaluna lagi. Mau tak mau Kaluna menyetujui hal itu. Di sinilah Kaluna sekarang. Anna baru saja pergi setelah menurunkan Kaluna di sini dengan keraguan yang sama besarnya dengan yang Kaluna rasakan. Dengan langkah pelan dan tarikan nafas yang dalam akhirnya Kal
Anna berulang kali mengumpat kesal di dalam mobil karena lagi-lagi usaha mereka untuk membuat Hadi mengatakan kebenarannya sia-sia. Orang itu tetap memilih untuk bungkam.Kaluna yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil melihat tingkah Anna. Sejak awal Kaluna sudah membayangkan jika ini tidak akan semudah kelihatannya. Lawan mereka adalah manusia dengan tingkat egois sampai ke langit.“Kok kamu tenang aja sih Na, ini persidangannya tinggal beberapa hari lagi loh,” kata Anna.“Kamu tuh bisa tenang dikit gak sih Ann. Luna aja tenang banget kenapa kamu yang tadi ngoceh mulu gak berhenti,” omel Alvi.“Abang!” seru Anna.Keduanya kembali adu mulut dan Kaluna tidak sanggup untuk meghentikan keduanya, akhirnya Ia memilih untuk diam menatap jalanan dan membiarkan perseteruan kakak beradik itu.Kaluna masih punya satu cara yang mungkin dapat mencairkan hati Hadi, namun Ia tak mau lagi melibatkan orang lain apalagi
Kaluna kembali ke kamar Anna setelah Anna dan Erna datang. Tentu saja Alvi sudah mendapatkan jawaban yang Ia tunggu, Kaluna belum punya pacar.“Abang nanya apa aja Na?” tanya Anna yang baru masuk kamar sembari membawa beberapa camilan malam.“Nanyain aku udah punya pacar atau belum,” jawab Kaluna jujur.“Dihhhh, ngegas banget tuh orang. Jangan mau di kerdusin dia Na, kamu berhak dapet yang lebih baik,” cecar Anna membuat Kaluna tak bisa menahan tawanya.“Itu abang kamu Ann,” ingat Kaluna.“Bulan lalu ada cewe yang nangis-nangis ke Mama, katanya habis di putusin sama Abang padahal janjinya di nikahin, drama banget manta-mantan dia tuh. Lagian kamu kan udah punya tambatan hati di sana,” ujar Anna yang di akhiri godaan.Kaluna seketika menghentikan tawanya saat mendengar ucapan Anna. Ia menatap Anna dengan sorot yang bertanya-tanya.“Mas-mas barista ganteng di cafe Naluna.
Anna masih saja tak percaya dengan kedatangan Kaluna yang ternyata masih mengingat alamat rumahnya. Gadis itu sedari tadi tidak berhenti mengoceh hingga membuat Kaluna sedikit jengah.Jika saja mereka tidak sedang berada di rumah Anna, sudah pasti Kaluna akan mengusir perempuan itu. Meskipun sudah berdamai, sisi Kaluna yang sadis masih ada dalam tubuhnya.Kaluna masih bisa mengusir orang yang tidak Ia sukai, mencaci bahkan Ia bisa saja menyeret orang tersebut jika diperlukan. Sisi ini Ia dapatkan setelah sepuluh tahun terakhir.“Ann, lama-lama Mama yang suruh kamu keluar yah,” omel Erna.Kaluna tersenyum sambil menikmati pudding coklat kesukaan Anna. Erna juga sempat mengomeli Kaluna karena datang tanpa bilang-bilang. Jika Kaluna bilang maka akan ada pudding kelapa kesukaan Kaluna di sini.“Ih Mama, dia itu udah bukan Luna yang dulu Mama kenal. Dia jadi lebih sadis, gak lucu kayak dulu,” ujar Anna membuat Kaluna melotot taja