Gimana? Sudah ada bayang-bayang bagaimana kisah Bira? :D :D :D
“Banyu, Dewa, Mas Aga, Reno … Babe, sama Abi, dan ... sudah!” Elok mengetik semua nama tersebut di ponselnya untuk pengingat. Setelah itu, ia hanya memangku ponsel tersebut dan kembali menatap jalan raya yang sore ini terlihat sangat padat. “Dari aku, itu aja.”Setengah jam yang lalu, Lex menjemput Elok di butik milik ibunda Sinar. Elok pergi ke butik tersebut untuk mencoba kebaya yang akan dikenakan pada saat pernikahan mereka nanti. Dari situ, keduanya akan menjemput Kasih di tempat les, lalu pergi jalan-jalan sebentar dan diakhiri dengan makan malam bersama.“Pak Hendra dan ibu Joana?” tanya Lex belum mendengar nama kedua mantan mertua Elok disebut. “Juga … pak Harry? Paling nggak, temui mereka untuk mengabarkan pernikahan kita. Aku nggak mau sampai ada salah paham ke depannya.”“Mereka pasti salah paham.” Elok sudah mendiskusikan hal tersebut dengan Adi. Bagaimanapun juga, Elok harus mengabarkan pernikahannya dengan keluarga Lukito. Apapun pendapat mereka setelah itu, Elok tidak a
“Kamu sudah keterlaluan, El,” desis Harry mencondongkan tubuh, hampir separuh meja persegi yang berada di antara dirinya dan Elok. Saat melihat Kasih yang sudah sangat akrab dengan Lex, dari situlah Harry merasa sangat tersisihkan. Putri kecilnya itu, sedang duduk bersama Lex di sudut ruang restoran cepat saji yang berbeda. Sedang menyantap burgernya, dan tampak antusias mengoceh tanpa henti sedari tadi dengan pria itu. “Kasih, tahu-tahu sudah dekat dengan Lex.”“Sebentar lagi, Mas Lex bakal jadi ayah sambungnya Kasih,” jelas Elok untuk membuka mata Harry lebar-lebar. Karena pria itu meminta untuk bicara empat mata, maka Elok menyetujuinya dan mereka berakhir di restoran yang bersebelahan dengan tempat les Kasih. “Jadi, wajar kalau aku deketin mereka berdua. Dan aku nggak keberatan andai Mas Harry mau mendekatkan Kasih dengan Sandra.”“El, hubunganku dengan Sandra, nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Mas, kamu sadar kalau Sandra itu lagi hamil anakmu, kan?” Elok sampai tidak mengerti,
“Kalau wajan kecil ukuran seperti itu, aku punya. Buat goreng telur.” Lex kemudian mengambil sebuah wajan anti lengket, yang berukuran dua kali lebih besar dari yang dipegang Elok. “Kalau yang seperti ini, aku belum punya.” “Mas Lex bisa goreng telur?” Elok kembali mengingat beberapa barang yang ada di dapur pria itu. Ia mengembalikan wajan kecil ke tempatnya, lalu mengambil wajan yang ada di tangan Lex. “Seingatku, di dapur nggak ada magic com. Apa aku aja yang nggak lihat?” “Aku memang nggak punya magic com di apartemen.” “Terus, goreng telur? Dimakan sama apa?” Sepertinya, daftar barang belanjaan Elok akan bertambah satu lagi. “Kadang, aku bikin sandwich, simple.” Lex kemudian menunjuk panci berbahan granit yang tergantung sejajar dengan kepala Elok. “Panci yang ukuran kecil ini, aku juga punya. Kadang, aku pake buat spaghetti.” “Berarti, kalau mau makan nasi, Mas Lex beli dulu?” tebak Elok seraya meletakkan wajan yang telah ditelitinya di dalam trolli. “Iya.” “Menyedihkan.”
“Sudah?” Elok bersedekap. Menatap Lex yang baru terbangun dari tidur, setelah seluruh penerangan di dalam ruang teater bioskop sudah menyala sepenuhnya. Dengan nyenyaknya, pria itu terlelap padahal film yang mereka tonton belum berjalan 15 menit lamanya.Antara kesal dan tidak tega, akhirnya Elok membiarkan Lex tertidur dan menikmati tontonan yang ada seorang diri.“Maaf.” Lex mengusap pelan wajahnya sebentar. Melihat antrian penonton yang hendak menuruni tangga sejenak, lalu kembali menatap Elok. Ia memberi senyum kecil penuh rasa bersalah dan tidak bisa melakukan hal apapun untuk membela diri. “Tapi suasananya mendukung untuk tidur.”“Harusnya, Mas Lex kalau capek, ngomong.” Elok berdiri lalu mengulurkan tangan pada pria itu. Ia merasa bersalah, karena sudah menyeret Lex pergi ke bioskop seperti sekarang. “Aku ngerti gimana capeknya kerja. Jadi, lain kali kalau memang ngantuk, lagi nggak fit, atau cuma mau istirahat aja di apartemen, aku nggak papa. Nggak akan maksa, daripada Mas Le
“Mas!”Lex menoleh, sambil membukakan pintu mobil penumpang bagian depan untuk Kasih. Ada Aga, yang sedang menghampirinya dengan wajah lelah. Dari situ, Lex menyimpulkan Aga sepertinya baru saja memarkirkan mobil, dan hendak masuk ke dalam gedung apartemen.“Baru pulang?” tanya Lex kemudian menutup pintu mobil, setelah Kasih sudah berada di luar.Aga mengangguk, lalu melihat Kasih yang tersenyum lebar di depan Lex. “Kasih?” Kedua alis Aga tersentak tinggi. Senyumnya tertahan penuh maksud ketika kembali menatap Lex. Awan memang sempat bercerita, Lex akan menikah dengan Elok sebentar lagi, dan Kasihlah yang memberitahu itu semua. Namun, Aga masih ragu karena tidak pernah mendengar gosip apapun di luar sana. “Ngapain ke sini? Mamamu ke mana?”“Mama di atas.” Kasih tersenyum lebar pada Aga, seraya memegang jemari Lex. “Aku ke sini mau lihat kamarku! Nanti, kan, aku pindah ke sini, Om!”“Ahh …” Aga mengangguk-angguk. Akhirnya, ia bisa percaya sepenuhnya dengan cerita Awan, dan hal tersebut
Tarik napas dalam-dalam … hembuskan perlahan.Elok sudah melakukan hal tersebut hingga berulang-ulang, tetapi debaran jantungnya tidak kunjung berdetak pelan. Sudah berulang-ulang pula, Elok menghembus napas di kedua telapak tangan, tapi kesepuluh jemarinya tidak jua kunjung menghangat.Entah mengapa, rasa risau, gusar, bimbang, dan semua keraguan mendadak menyelinap di relung hati. Padahal, acara ijab kabul antara Lex dan dirinya sudah ada di depan mata.Kemudian, suara ketukan pintu, membuat Elok terkejut dan segera berdiri Akan tetapi, kakinya seolah beku di tempat dan tidak bisa beranjak ke mana pun. Lantas, saat pintu kamarnya terbuka, Elok kembali menjatuhkan bokong di sudut ranjang dengan helaan panjang.“Rombongan Pak Raja sudah datang.”Elok menggeram dengan tangan mengepal di depan dada, setelah mendengar ucapan sang mama. Ingin rasanya Elok menarik rambutnya, tapi sadar semua sudah ditata sedemikian rupa. “Ma! Kenapa aku harus nikah buru-buru begini? Harusnya … harusnya aku
“Selamat, ya, Bu El!”Orang pertama yang menyerobot antrean untuk memberi selamat, dan langsung memeluk Elok setelah keluarga mempelai pengantin, adalah Bening. Pelukan erat itu, Bening berikan tanpa sungkan dan rasa bersalah sama sekali. Seakan tidak peduli, bila yang datang di pernikahan Elok dan Lex kesemuanya adalah orang penting.“Makasih, Sayang, ya.” Elok terkekeh. Balas memeluk gadis itu dengan erat. Karena sudah tahu perangai Bening yang memang ceplas ceplos dan kelewat berani, maka Elok bisa memakluminya. Justru hal tersebutlah yang membuat Elok menyukai gadis itu. Bening tidak pernah membicarakan orang di belakang, dan akan mengemukakan protesnya langsung di depan mata.“Ciyeee, Pak Lex, akhirnya bisa ngampp …”Sebelum Bening berceletuk macam-macam, Aga segera membekap mulut istrinya itu. “Selamat, El, Mas!” Aga buru-buru menyalami Elok dan Lex dengan cepat, sementara tangan kirinya masih saja menutup mulut Bening dan segera membawa gadis itu pergi.Pras yang sempat diserob
Lex memasuki kamar Elok dengan perasaan aneh. Sangat bertolak belakang dengan kamar maskulin milik Lex yang berada di apartemen. Kamar Elok sedikit lebih luas dari milikinya, dan terlihat segar dengan dominasi warna biru langit dan putih.Satu sisi dinding yang berada di belakang kepala ranjang, sudah dihias dengan untaian bunga mawar putih yang tampak elegan. Sangat kontras, dengan taburan kelopak mawar merah yang bertebaran di atas ranjang pengantin.“Mas Lex … mau mandi duluan?” Elok mendadak merasa canggung, sampai-sampai harus mengusap leher bagian belakangnya berkali-kali. Sangat jauh berbeda dengan situasi malam pertamanya dengan Harry yang cenderung santai, penuh tawa, dan tanpa ketegangan apapun.Sementara dengan Lex, Elok merasa kegugupan yang luar biasa. Mungkin, karena mereka tidak pernah melakukan hal yang bersifat intim sebelumnya. Hubungan keduanya sebelum menikah benar-benar lurus, tanpa melakukan sesuatu yang melenceng sedikit pun. Hal paling jauh yang pernah mereka l
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak The Real CEO, yaaa : Amy : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Call me Jingga : 750 koin GN + pulsa 150 rb LiaKim?? : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb NuNa : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari rabu, 29 maret 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari kamis ke pihak GN. Tapi, kalau sudah terkumpul semua sebelum itu, bisa langsung saia setor secepatnya. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Mas Triplex dan Mba Elok …. Kissseeess …..
Kasih baru saja menuruni tangga rumah dengan seragam olah raga, ketika ia mendengar suara yang belakangan ini sungguh menyayat hati. Sudah semingguan ini, sang mama hampir tidak bisa melakukan kegiatan apapun karena selalu saja muntah-muntah. Awalnya, Kasih sangat gembira ketika mengetahui akan mendapatkan seorang adik lagi. Namun, setelah itu Kasih sungguh tidak tega saat melihat sang mama lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk berbaring. Tidak seperti kehamilan adik pertamanya saat itu, yang tidak pernah ada drama muntah-muntah dan lemas seperti sekarang. “Mama, kenapa nggak di kamar aja?” Kasih segera menghampiri Elok yang menunduk di wastafel. Wajah sang mama pucat, dan sangat terlihat lelah. “Mama bosan di kamar,” jawab Lex yang tengah menggendong balita berusia dua tahun di tangan kanannya. Sementara satu tangan lagi, sibuk mengusap tengkuk sang istri yang belum memakan makanan apapun sedari tadi. “Nanti Ayah ke sekolah, mau ngurus antar jemput sekolah Kakak. Nggak pap
“Hei!” Elok menepuk bahu Gilang yang sejak tadi duduk diam, sambil memandang ke arah halaman depan kediaman Mahardika. Ada Kasih, Kiya, dan beberapa orang dari Event Organizer yang bernaung di bawah Gilang, tengah menyelesaikan dekorasi pesta kecil yang sebentar lagi akan adakan dengan amat sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti, tanpa mengundang orang luar sama sekali. Pesta kecil usulan Kasih, yang lagi-lagi langsung disetujui oleh Lex tanpa harus berpikir dua kali. Kasih menginginkan sebuah pesta kejutan, untuk mengetahui jenis kelamin sang adik yang akan lahir tiga bulan lagi. Usut punya usut, ternyata ide tersebut Kasih dapatkan dari Bening saat suatu ketika Elok sempat telat menjemput di sekolah. Kedua orang itu berbicara panjang lebar, sampai Bening mengusulkan untuk membuat pesta kecil yang sudah sering dilakukan para kalangan artis atau pengusaha di ibukota. “Kalau suka, dilamar,” ujar Elok kemudian duduk pada kursi besi yang berada di teras. Tepat bersebelahan dengan Gilan
Bersyukur dan berterima kasih. Dua hal itu tidak pernah lepas diucapkan Elok setiap hari, atas kesempatan kedua yang sudah Tuhan berikan. Di antara masalah yang datang bertubi padanya kala itu, Elok masih memiliki keluarga dan banyak sahabat yang bisa dipercaya. Mereka sudah membantu Elok hingga bisa sampai di titik sekarang. Yaaa, walaupun ada yang harus ditukar dan dikorbankan, tetapi hasilnya sangat sepadan. “Jadi, misal nanti adeknya yang lahir cowok, Kasih harus sayang juga.” Sedari awal, Elok harus menjelaskan hal tersebut pada putrinya. Mau apapun jenis kelamin sang adik nanti, Kasih tetap harus bersikap baik karena mereka adalah saudara dan memiliki ibu yang sama. Tidak hanya itu sebenarnya, Kasih juga harus berbuat baik kepada semua orang, tidak terkecuali dan tidak boleh pilih kasih. “Kan, enak kalau punya adek cowok. Nanti kalau sudah besar, ada yang jagain Kasih.” Kasih bersila dan bersedekap sambil menatap perut sang mama yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, saat
“Mas …” “Ya?” “Kenapa di dalam tadi lebih banyak diamnya?” Bila Elok perhatikan lagi, Lex lebih banyak diam sejak mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada dasarnya Lex juga bukan pria yang banyak bicara, tetapi, Elok merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya itu. “Apa ada masalah di kantor?” Lex mengeratkan tautan jemari mereka yang ada di atas pahanya. Menatap counter apotek, dari kursi tunggu yang mereka duduki saat ini. Ada banyak perasaan yang tidak bisa Lex urai, karena mengingat masa lalunya. Karena itulah, selama ia dan Elok berada di ruang periksa, Lex hanya mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama. Déjà vu. Ada rasa takjub dan bahagia yang sama, selama Lex berada di ruang periksa bersama Elok. Melihat layar hitam putih dengan sebuah kantung janin berusia lima minggu, sungguh membuat Lex tidak bisa berkata-kata. “Usia kehamilan almarhum istriku juga lima minggu waktu kami pertama periksa.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Lex. Ada hal yang
“Kalau lantainya ada tiga, bisa bikinin nggak, Om?” Sedari tadi, Kasih hanya menempel pada Aga. Ia melihat pria mencorat-coret desain interior rumah, yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat.Aga lantas tertawa menatap Lex. Bagi Aga, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya tinggal menunggu persetujuan pemilik rumah, barulah ia bisa mengerjakannya. “Gimana, Mas? Tiga lantai?”“Tapi dikasih lift, Om,” sambung Kasih semakin membuat Aga tertawa keras. “Kan, capek, kalau naik tangga dari lantai satu sampai atas.”“Sayang.” Elok meletakkan nampan berisi tiga buah mangkok es campur di atas meja, lalu menatanya satu per satu. “Rumah tiga lantai itu terlalu besar.”“Kan, biar opa sama oma nanti tinggal di rumah kita.” Kasih menggeleng saat melihat es campur yang disajikan Elok. “Terus, ada adek-adekku juga nanti, kan, banyak.”“Banyak?” Lagi-lagi Aga tertawa mendengar kepolosan Kasih. “Memangnya, Kasih mau adek berapa?”Kasih mengulurkan tangan kanannya pada Aga, dan membuka lebar telapak
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas