“Kamu sudah keterlaluan, El,” desis Harry mencondongkan tubuh, hampir separuh meja persegi yang berada di antara dirinya dan Elok. Saat melihat Kasih yang sudah sangat akrab dengan Lex, dari situlah Harry merasa sangat tersisihkan. Putri kecilnya itu, sedang duduk bersama Lex di sudut ruang restoran cepat saji yang berbeda. Sedang menyantap burgernya, dan tampak antusias mengoceh tanpa henti sedari tadi dengan pria itu. “Kasih, tahu-tahu sudah dekat dengan Lex.”“Sebentar lagi, Mas Lex bakal jadi ayah sambungnya Kasih,” jelas Elok untuk membuka mata Harry lebar-lebar. Karena pria itu meminta untuk bicara empat mata, maka Elok menyetujuinya dan mereka berakhir di restoran yang bersebelahan dengan tempat les Kasih. “Jadi, wajar kalau aku deketin mereka berdua. Dan aku nggak keberatan andai Mas Harry mau mendekatkan Kasih dengan Sandra.”“El, hubunganku dengan Sandra, nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Mas, kamu sadar kalau Sandra itu lagi hamil anakmu, kan?” Elok sampai tidak mengerti,
“Kalau wajan kecil ukuran seperti itu, aku punya. Buat goreng telur.” Lex kemudian mengambil sebuah wajan anti lengket, yang berukuran dua kali lebih besar dari yang dipegang Elok. “Kalau yang seperti ini, aku belum punya.” “Mas Lex bisa goreng telur?” Elok kembali mengingat beberapa barang yang ada di dapur pria itu. Ia mengembalikan wajan kecil ke tempatnya, lalu mengambil wajan yang ada di tangan Lex. “Seingatku, di dapur nggak ada magic com. Apa aku aja yang nggak lihat?” “Aku memang nggak punya magic com di apartemen.” “Terus, goreng telur? Dimakan sama apa?” Sepertinya, daftar barang belanjaan Elok akan bertambah satu lagi. “Kadang, aku bikin sandwich, simple.” Lex kemudian menunjuk panci berbahan granit yang tergantung sejajar dengan kepala Elok. “Panci yang ukuran kecil ini, aku juga punya. Kadang, aku pake buat spaghetti.” “Berarti, kalau mau makan nasi, Mas Lex beli dulu?” tebak Elok seraya meletakkan wajan yang telah ditelitinya di dalam trolli. “Iya.” “Menyedihkan.”
“Sudah?” Elok bersedekap. Menatap Lex yang baru terbangun dari tidur, setelah seluruh penerangan di dalam ruang teater bioskop sudah menyala sepenuhnya. Dengan nyenyaknya, pria itu terlelap padahal film yang mereka tonton belum berjalan 15 menit lamanya.Antara kesal dan tidak tega, akhirnya Elok membiarkan Lex tertidur dan menikmati tontonan yang ada seorang diri.“Maaf.” Lex mengusap pelan wajahnya sebentar. Melihat antrian penonton yang hendak menuruni tangga sejenak, lalu kembali menatap Elok. Ia memberi senyum kecil penuh rasa bersalah dan tidak bisa melakukan hal apapun untuk membela diri. “Tapi suasananya mendukung untuk tidur.”“Harusnya, Mas Lex kalau capek, ngomong.” Elok berdiri lalu mengulurkan tangan pada pria itu. Ia merasa bersalah, karena sudah menyeret Lex pergi ke bioskop seperti sekarang. “Aku ngerti gimana capeknya kerja. Jadi, lain kali kalau memang ngantuk, lagi nggak fit, atau cuma mau istirahat aja di apartemen, aku nggak papa. Nggak akan maksa, daripada Mas Le
“Mas!”Lex menoleh, sambil membukakan pintu mobil penumpang bagian depan untuk Kasih. Ada Aga, yang sedang menghampirinya dengan wajah lelah. Dari situ, Lex menyimpulkan Aga sepertinya baru saja memarkirkan mobil, dan hendak masuk ke dalam gedung apartemen.“Baru pulang?” tanya Lex kemudian menutup pintu mobil, setelah Kasih sudah berada di luar.Aga mengangguk, lalu melihat Kasih yang tersenyum lebar di depan Lex. “Kasih?” Kedua alis Aga tersentak tinggi. Senyumnya tertahan penuh maksud ketika kembali menatap Lex. Awan memang sempat bercerita, Lex akan menikah dengan Elok sebentar lagi, dan Kasihlah yang memberitahu itu semua. Namun, Aga masih ragu karena tidak pernah mendengar gosip apapun di luar sana. “Ngapain ke sini? Mamamu ke mana?”“Mama di atas.” Kasih tersenyum lebar pada Aga, seraya memegang jemari Lex. “Aku ke sini mau lihat kamarku! Nanti, kan, aku pindah ke sini, Om!”“Ahh …” Aga mengangguk-angguk. Akhirnya, ia bisa percaya sepenuhnya dengan cerita Awan, dan hal tersebut
Tarik napas dalam-dalam … hembuskan perlahan.Elok sudah melakukan hal tersebut hingga berulang-ulang, tetapi debaran jantungnya tidak kunjung berdetak pelan. Sudah berulang-ulang pula, Elok menghembus napas di kedua telapak tangan, tapi kesepuluh jemarinya tidak jua kunjung menghangat.Entah mengapa, rasa risau, gusar, bimbang, dan semua keraguan mendadak menyelinap di relung hati. Padahal, acara ijab kabul antara Lex dan dirinya sudah ada di depan mata.Kemudian, suara ketukan pintu, membuat Elok terkejut dan segera berdiri Akan tetapi, kakinya seolah beku di tempat dan tidak bisa beranjak ke mana pun. Lantas, saat pintu kamarnya terbuka, Elok kembali menjatuhkan bokong di sudut ranjang dengan helaan panjang.“Rombongan Pak Raja sudah datang.”Elok menggeram dengan tangan mengepal di depan dada, setelah mendengar ucapan sang mama. Ingin rasanya Elok menarik rambutnya, tapi sadar semua sudah ditata sedemikian rupa. “Ma! Kenapa aku harus nikah buru-buru begini? Harusnya … harusnya aku
“Selamat, ya, Bu El!”Orang pertama yang menyerobot antrean untuk memberi selamat, dan langsung memeluk Elok setelah keluarga mempelai pengantin, adalah Bening. Pelukan erat itu, Bening berikan tanpa sungkan dan rasa bersalah sama sekali. Seakan tidak peduli, bila yang datang di pernikahan Elok dan Lex kesemuanya adalah orang penting.“Makasih, Sayang, ya.” Elok terkekeh. Balas memeluk gadis itu dengan erat. Karena sudah tahu perangai Bening yang memang ceplas ceplos dan kelewat berani, maka Elok bisa memakluminya. Justru hal tersebutlah yang membuat Elok menyukai gadis itu. Bening tidak pernah membicarakan orang di belakang, dan akan mengemukakan protesnya langsung di depan mata.“Ciyeee, Pak Lex, akhirnya bisa ngampp …”Sebelum Bening berceletuk macam-macam, Aga segera membekap mulut istrinya itu. “Selamat, El, Mas!” Aga buru-buru menyalami Elok dan Lex dengan cepat, sementara tangan kirinya masih saja menutup mulut Bening dan segera membawa gadis itu pergi.Pras yang sempat diserob
Lex memasuki kamar Elok dengan perasaan aneh. Sangat bertolak belakang dengan kamar maskulin milik Lex yang berada di apartemen. Kamar Elok sedikit lebih luas dari milikinya, dan terlihat segar dengan dominasi warna biru langit dan putih.Satu sisi dinding yang berada di belakang kepala ranjang, sudah dihias dengan untaian bunga mawar putih yang tampak elegan. Sangat kontras, dengan taburan kelopak mawar merah yang bertebaran di atas ranjang pengantin.“Mas Lex … mau mandi duluan?” Elok mendadak merasa canggung, sampai-sampai harus mengusap leher bagian belakangnya berkali-kali. Sangat jauh berbeda dengan situasi malam pertamanya dengan Harry yang cenderung santai, penuh tawa, dan tanpa ketegangan apapun.Sementara dengan Lex, Elok merasa kegugupan yang luar biasa. Mungkin, karena mereka tidak pernah melakukan hal yang bersifat intim sebelumnya. Hubungan keduanya sebelum menikah benar-benar lurus, tanpa melakukan sesuatu yang melenceng sedikit pun. Hal paling jauh yang pernah mereka l
Bunyi alarm yang begitu asing di telinga, membuat Elok terpaksa membuka mata. Belum sempat kepalanya menoleh untuk melihat ke asal suara, bunyi alarm tersebut mati seketika.“Maaf, aku lupa matikan alarm tadi malam.”Suara berat itu, membuat Elok terperanjat hingga bangkit mendadak dari tidurnya. Sejenak, Elok saling tatap dengan pria terlihat bingung menatapnya.“Are you oke, El?”Elok mengerjap. Beberapa detik kemudian, ia mendesah panjang sambil menghempaskan kembali tubuhnya di ranjang. Elok menarik selimut hingga menutup seluruh kepala, dan mengumpat malu dalam hati.Bagaimana bisa ia melupakan satu janji yang sudah kembali mengikatnya menjadi seorang istri. Terlebih-lebih, Elok telah menikmati malam panas yang sangat melelahkan, dengan pria yang saat ini berada di sebelahnya.“Aku lupa, kalau kita sekarang sudah jadi suami istri,” kata Elok dari balik selimut.“Ah!” Lex bisa memakluminya. Sebenarnya, tidak hanya Elok yang sempat terkejut karena berada satu ranjang dengan orang l