“Selamat, ya, Bu El!”Orang pertama yang menyerobot antrean untuk memberi selamat, dan langsung memeluk Elok setelah keluarga mempelai pengantin, adalah Bening. Pelukan erat itu, Bening berikan tanpa sungkan dan rasa bersalah sama sekali. Seakan tidak peduli, bila yang datang di pernikahan Elok dan Lex kesemuanya adalah orang penting.“Makasih, Sayang, ya.” Elok terkekeh. Balas memeluk gadis itu dengan erat. Karena sudah tahu perangai Bening yang memang ceplas ceplos dan kelewat berani, maka Elok bisa memakluminya. Justru hal tersebutlah yang membuat Elok menyukai gadis itu. Bening tidak pernah membicarakan orang di belakang, dan akan mengemukakan protesnya langsung di depan mata.“Ciyeee, Pak Lex, akhirnya bisa ngampp …”Sebelum Bening berceletuk macam-macam, Aga segera membekap mulut istrinya itu. “Selamat, El, Mas!” Aga buru-buru menyalami Elok dan Lex dengan cepat, sementara tangan kirinya masih saja menutup mulut Bening dan segera membawa gadis itu pergi.Pras yang sempat diserob
Lex memasuki kamar Elok dengan perasaan aneh. Sangat bertolak belakang dengan kamar maskulin milik Lex yang berada di apartemen. Kamar Elok sedikit lebih luas dari milikinya, dan terlihat segar dengan dominasi warna biru langit dan putih.Satu sisi dinding yang berada di belakang kepala ranjang, sudah dihias dengan untaian bunga mawar putih yang tampak elegan. Sangat kontras, dengan taburan kelopak mawar merah yang bertebaran di atas ranjang pengantin.“Mas Lex … mau mandi duluan?” Elok mendadak merasa canggung, sampai-sampai harus mengusap leher bagian belakangnya berkali-kali. Sangat jauh berbeda dengan situasi malam pertamanya dengan Harry yang cenderung santai, penuh tawa, dan tanpa ketegangan apapun.Sementara dengan Lex, Elok merasa kegugupan yang luar biasa. Mungkin, karena mereka tidak pernah melakukan hal yang bersifat intim sebelumnya. Hubungan keduanya sebelum menikah benar-benar lurus, tanpa melakukan sesuatu yang melenceng sedikit pun. Hal paling jauh yang pernah mereka l
Bunyi alarm yang begitu asing di telinga, membuat Elok terpaksa membuka mata. Belum sempat kepalanya menoleh untuk melihat ke asal suara, bunyi alarm tersebut mati seketika.“Maaf, aku lupa matikan alarm tadi malam.”Suara berat itu, membuat Elok terperanjat hingga bangkit mendadak dari tidurnya. Sejenak, Elok saling tatap dengan pria terlihat bingung menatapnya.“Are you oke, El?”Elok mengerjap. Beberapa detik kemudian, ia mendesah panjang sambil menghempaskan kembali tubuhnya di ranjang. Elok menarik selimut hingga menutup seluruh kepala, dan mengumpat malu dalam hati.Bagaimana bisa ia melupakan satu janji yang sudah kembali mengikatnya menjadi seorang istri. Terlebih-lebih, Elok telah menikmati malam panas yang sangat melelahkan, dengan pria yang saat ini berada di sebelahnya.“Aku lupa, kalau kita sekarang sudah jadi suami istri,” kata Elok dari balik selimut.“Ah!” Lex bisa memakluminya. Sebenarnya, tidak hanya Elok yang sempat terkejut karena berada satu ranjang dengan orang l
“Pagi, Pa.” Elok menuruni tangga, dan melihat sang papa baru saja keluar dari ruang belakang. “Mau ke mana?”“Ke depan, mau lihat anak-anak bongkar tenda.” Adi berhenti di ujung tangga. Menunggu putrinya hingga berada di lantai yang sama. “Ke mana suamimu?”“Baru mandi.”“Mandi lagi?” Adi memasang wajah datar, dan tidak memberi senyum sama sekali.Mata Elok terbelalak, lalu membuang muka. “Aku mau ke dapur!” serunya sambil meninggalkan Adi tanpa membalas ucapan pria itu. Tahu begini, Elok akan mengadakan ijab kabul dengan menyewa multifunction room di gedung apartemen Lex. Setelah pesta sederhananya selesai, Elok bisa tidur tenang di apartemen sang suami tanpa harus mendengar ledekan dari papanya.Saat melewati ruang makan, Elok segera berbelok karena melihat Gilang tengah duduk dan makan seorang diri. “Heh! Ngambil start duluan, nggak sarapan bareng?”“Aku laper, Mbak.” Gilang memperlambat kunyahannya dan memperhatikan penampilan Elok dari ujung rambut, hingga kaki. Tidak ada yang be
“Boneka?” Lex mendongak. Menatap Elok yang tengah memasukkan baju-baju Kasih ke lemari. Ada tiga koper berukuran besar yang kini berada di kamar Kasih. Koper yang baru saja dibuka Lex, ternyata berisi tumpukan boneka dengan berbagai macam bentuk, yang sebagian besar tidak Lex mengerti. Satu koper lagi, sudah lebih dulu dibuka Elok, dan seluruh isinya adalah pakaian Kasih.“Yang ini juga isinya boneka!” Kasih menepuk koper berwarna pink yang tingginya hampir sama dengan dirinya. Sebenarnya, masih ada beberapa barang lagi yang ingin Kasih bawa, tetapi sang mama memintanya untuk tidak mengangkutnya sekaligus. Lex yang tengah berlutut di samping Kasih, segera mengulurkan tangan untuk meraih koper pink tersebut. Benar saja, Lex kembali melihat tumpukan boneka di dalamnya.“El, kamu nggak bawa baju?” tanya Lex setelah memperhatikan koper yang berada di sisi Elok.Elok meletakkan kembali tumpukan baju yang baru saja ditata di tempat tidur Kasih. Ia menghela sejenak lalu menatap Kasih. “Saya
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun