Suara yang menyorakkan ruangan gelap, kini mulai menyala dengan terangnya. Nevan terpelangah ketika dirinya berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dekat dengannya.
Bellona dan Felix yang menjadi dua sahabat sudah merencanakan hari ulang tahun tanpa ia ketahui.
Delia terkekeh di balik punggung dirinya dengan menutup mulut yang hampir pecah melebar.
Nevan membalikkan badannya sembari melirik raut Delia—si sepupu yang menahan tawa kelakarnya. “Kalian sudah merencanakan ini sebelumnya?” tanyanya penasaran.
Delia tidak mengacuhkan ucapan Nevan, ia pun segera bergegas mendekati para keluarga beserta sahabat. Di hadapan dirinya, mereka pun mendekat dengan membawa sebuah kue ulang tahun berwarna cokelat.
“Ibu?” sapa Nevan melirik wajah sang ibu yang mulai terlihat tawa kecilnya.
“Hahaha, ternyata kau tidak tahu dengan hari ulang tahunmu?” sebut ibunya dengan kekehnya.
Nevan mu
Apakah Nevan akan membiarkan kedua temannya mengatakan apa yang terjadi pada dirinya kepada kedua orang tuanya? WAJIB VOTE CERITA INI SETELAH BACA!!! Karena apa? Untuk kemajuan novel berasal dari jemari kalian dari hanya menekan tombol VOTE PADA CERITA INI. Maka dari itu, sangat dimohonkan untuk memberi VOTE setelah baca, ya. Terima kasih telah menjadi pembaca setia cerita ini, semoga sehat selalu.
#Selamatmembaca!Nevan tidak mengacuhkan lagi orang yang ada di balik punggungnya. Kini, Bellona dan Felix saling memandang heran sembari mengikuti langkah lelaki yang sekarang lebih terlihat dingin dari biasanya.“Yuk ah!” ajak Felix meraih bahu kawannya.Keduanya memasuki ruangan, dimana keluarga Nevan sudah berkumpul di tengah ruangan sembari menatap kue ulang tahun yang masih menyala terang.Nevan memperhatikan kedua temannya, di salah satunya adalah si kekasih hati.“Nah, ayo sekarang kita liat Nevan niup lilin buat umurnya yang udah masuk ke 24 tahun,” sebut Haris—ayahnya Nevan.Nevan mendekati ke sekeliling keluarga termasuk adik sepupu. Dengan tepuk tangan beserta nyanyian happy birthday bersama tiup lilin. Nevan pun mulai merasa kurang nyaman.“Aduh, ibu dan ayah bikin Nevan malu aja!” gerutunya sambil meraba bagian belakang leher.Rautnya sedikit khawatir ketika dirinya harus
“Tidaaakk!!”Keduanya berteriak keras hingga memecahkan hutan sekitar menjadi deru angin yang meluas. Dedaunan bergerak-gerak cepat dalam sesaat ketika suara itu melengking nyaring.Iblis hitam itu kembali memasuki tongkat sakti milik si Go Jo Woo dengan ganasnya. Kedua orang itu tampak kikuk setelah bertemu dengan wujud iblis kembali.Napas yang tersengal-sengal karena takut sekaligus khawatir. Gerakan detak jantung kini tak beraturan hingga tak sesuai tempo yang dibutuhkan.Go Jo Woo kembali menegakkan tubuhnya ketika melihat tongkat itu berdiri tegak, lalu terjatuh dengan sendirinya.Whuuush!Angin kencang menyapu sekali mereka ketika tongkat itu terlepas dari hadapannya. Jatuh ke atas tanah tepat di hadapan mereka.Angin berhenti bertiup layaknya perintah dari tuannya. Jeong Chin Mae memberanikan diri untuk mendekati tuannya dengan sebuah sapaan.“Tuan,” panggilnya.Go Jo Woo yan
Nevan terkinjat ketika dirinya berkata demikian. Akan tetapi, tubuhnya kembali beranjak ke kursi kemudi dengan pandangan melurus ke jalanan. Bellona mulai mencurigai dirinya ketika situasi yang sempat menjadi agak canggung. Bellona mengerutkan kening lalu memperhatikan segala raut dari wajah Nevan. Nevan mulai berkata dengan dirinya dari dalam jiwanya. “Hei, kenapa kamu nyuruh aku ngucapin itu?” keluhnya. Bellona terpelangah ketika dirinya masih terdiam. “Nevan?” panggil Bellona perlahan. Nevan masih saja terdiam, seolah-olah memikirkan hal sesuatu yang memenuhi pikirannya. “Nevan?” panggil Bellona lagi. Nevan terkinjat setelah panggilan untuknya secara berulang-ulang kembali. Ia pun spontan menoleh ke arah sang kekasih yang hendak menuruni mobil. “Oh!” sergahnya menatap Bellona. “Kamu kenapa? Kelereng apaan sih?” tanya Bellona terheran-heran. “Ah, nggak. Bi
Nevan tersungkur perlahan ke atas lantai kamar dengan ekor sembilan yang muncul tiba-tiba. Ini sebuah peringatan atau hanya sebuah tanggapan hati? Sepertinya sosok Cho Ye Joon sudah tak sabar untuk keluar dari dalam tubuh Nevan. Akan tetapi, cara yang masih direncanakan belum dilakukan dengan baik. Nevan menengadahkan pandangannya ke atas langit-langit ruangan dengan raut merengut. “Kenapa harus aku?” “Dan kenapa aku harus mendapatkan sosok dirimu ini?” keluh Nevan dengan sifat aslinya yang suka merengek. “Haaa, menyedihkan sekali!” Nevan mulai menatap datar isi ruangan dengan melirik ke dalam tubuhnya. “Tunggu dulu!” sebutnya beranjak. Ia pun beranjak menuju sebuah cermin, dimana wujud dari Cho Ye Joon sesekali menunjukkan dirinya. “Aku baru memperhatikan kalau kita sangat mirip,” sebutnya terpelangah. Cho Ye Joon sesekali menampakkan dirinya, tetapi perlahan menghilang hingga Nevan tak percaya menatap diri sendiri den
Melihat Felix memasuki ruangan lorong hingga pada bangunan luas tersebut. Wajahnya masih terlihat datar layaknya pria dingin yang sempurna. Memang benar! Dan memang seperti itulah pria yang sama sekali tidak pernah berpacaran.Menunjukkan sifat dingin bukan berarti dirinya angkuh, jahat, atau disebut tidak perduli. Pria ini memiliki waktu dan pilihan tersendiri yang dapat dilontarkannya pada pilihan hati tak terduga.Langkahnya mulai mendekati anak tangga sambil menggotong ransel mengiringi anak tangga. Dalam lirikan jalan, matanya tersorot pada sebuah ruangan seluas mata memandang.Semua yang memandang agak canggung menyapa dirinya, ada sebagian yang mengucil dan ada yang mengagumi. Namun, ia bahkan tak memperdulikan apapun yang sedang terjadi dan terdengar dari telinganya tersebut.Di balik ruangan kosong, ia pun mulai memasuki ruang perpustakaan. Ruang pertama yang selalu mereka kunjungi ketika tib
Nevan menatap pria yang ada di hadapan mereka, sedangkan Felix sedang menentukan pilihan kemana dia akan pergi. Lalu, tubuhnya berbalik menatap Bellona dengan seriusnya. Di samping itu, si dosen bergegas melangkah mendekati posisi Bellona bersama Nevan yang termangu diam. “Nevan, ikut aku!” ajak si dosen. Nevan menatap raut Felix yang masih belum bergerak perlahan, ia pun malah meranggul spontan untuk menyahut ajakan si dosen. Keduanya bergegas menaiki anak tangga, dimana penglihatan Bellona merasa kurang nyaman dari kepergian Nevan bersama sang dosen. Akhirnya, ia pun memajukan langkah menghadap Felix bersama Adelia yang sama sekali tidak saling bersahutan. “Elo kenapa?” tanya Bellona sambil berbalik badan. “Kita harus memulainya, Bel,” sebut Felix. Sontak, Adelia tercengang ketika mendengar ucapan ungkapan ‘memulainya’. Dirinya mengerutkan kening sambil menahan emosi dalam pikira
Bellona yang pergi begitu saja dari ruang perpustakaan. Sementara Felix hanya terpengah dengan menaruh salah satu tangannya ke balik bagian belakang kepala. Dimana dirinya berdiri dengan raut keheranan sekaligus bingung. “Gue nggak ngerti, apa sih?” gerutunya. Felix memutar kepalanya secara berulang-ulang kali. Tiba-tiba, terkinjat dengan dua bola mata yang terpaku pada satu jawaban hatinya. “Hah!” sergahnya menegakkan posisi wajah. “Jangan-jangan … Bellona??” pikirnya mulai mengacungkan jemari telunjuk ke arah depan. Felix mengayunkan kakinya untuk melangkah mengejar dari seseorang yang sudah ia kenal sejak kecil. Lantas, bagaimana dengan keputusan dari dalam pikiran Felix saat ini? Kakinya terus mengayun dengan cekatan hingga menuju luar ruangan. Matanya mulai mengiringi jalanan menuju ke sekeliling ruangan. Letaknya pada satu titik pertemuan sosok Bellona
Raut Rendy terpengah dengan gigi merapat rapi saat tatapan matanya tersorot pada seorang gadis. Gadis yang menjadi pasangan kencan buta termasuk kegagalan semata. Davira berbalik, berjalan cepat dengan membawa segala emosinya. Sementara Rendy beranjak cepat, kembali memperhatikan seluruh ruangan sepi. Tak ada satu pun manusia, kecuali dirinya seorang. Dengan cekatan, ia pun mulai melangkah menuju ruang kelas berikutnya. Dimana langkah sendiri kini dikejutkan seseorang dari balik dinding kepadanya. “Duar!!” teriak Nevan kepadanya. “Haaaa!!” sergah Rendy terbelalak lebar dengan dua tangan meninggi ke atas. Pandangan matanya ke arah si lelaki yang dikenalnya, seorang teman sekaligus tempat berbagi cerita. “Haa, Nevan. Elo ngagetin gue aja nih! Jantung gue hampir copot, tau!” gerutu Rendy menggusarkan dadanya perlahan. Nevan yang menahannya di balik cekikikan yang ditutup