Di malam hari yang cerah, beberapa orang warga berkerumun di salah satu lapangan yang dikenal sebagai markas Red Carnaval. Polisi menjaga agar tidak ada orang yang bisa mendekat, sementara gosip berhembus diantara para kerumunan warga.
“Mereka menjual obat-obatan, para pemain sirkus itu.”
“Aku dengar mereka juga memperjualbelikan manusia.”
“Ck, sudah kuduga orang-orang sirkus itu tidak baik. Binatang yang mereka gunakan sebagai bagian dari atraksi itu terlihat tersiksa.”
“Kau menyukai atraksi mereka.”
“Ah, tidak. Aku selalu tahu kalau mereka orang-orang jahat. Hei, lihat! Itu rombongannya! Mana ketua mereka – si Joe?”
“Dia ditembak mati oleh Detektif gila itu.”
Mereka menatap para petugas yang sibuk menggiring beberapa orang ke dalam mobil polisi atau menyusup masuk ke dalam mobil-mobil karavan untuk mencari bukti. Para warga semakin asyik berdiskusi apalagi setelah melihat beberapa tim medis keluar membawa kantong-kantong jenazah.
Di luar hiruk pikuk tersebut, seorang petugas polisi berjalan mendekat ke seorang detektif yang sedang merokok di ujung terjauh bangunan.
“Detektif Easton,” panggil petugas tersebut. “Terima kasih, kerja bagus!”
Detektif Cora Easton mengangguk. Ia menawarkan rokok yang ditolak dengan halus. “Apa kau menemukannya?”
Petugas polisi itu memahami pertanyaan Cora Easton, dan menjawab. “Sayangnya belum. Petugas kami sedang mendata identitas anak-anak yang dipekerjakan, tetapi nihil.” ia mendesah. “Kondisi anak-anak itu sangat mengkhawatirkan, baik dari segi mental maupun kesehatan. Bajingan ini benar-benar…”
Sebelum ucapannya selesai, seorang petugas polisi lain berlari menghampirinya. “Kapten, sepertinya kami menemukan yang Detektif Easton cari.”
Cora Easton berdiri lebih tegak dan mematikan rokoknya. Petugas polisi yang bersamanya tadi berkata kepada bawahannya setelah bertukar pandangan sekilas dengan Cora Easton.
“Tunjukan dimana dia.”
Petugas tersebut mengangguk dan berjalan mendahului sembari menjelaskan kondisinya. “Dia masih berada di kandang…”
“Tunggu, kandang?” nada suara kaptennya meninggi beberapa oktaf dengan tidak percaya.
Petugas polisi itu mengangguk. “Kondisinya lebih mengerikan dibandingkan anak-anak lain. Kandangnya diletakan bersama dengan hewan-hewan – di sebuah gudang yang digunakan sebagai tempat latihan. Awalnya, petugas lapangan mengira dia adalah monyet,” jelasnya terburu-buru. “Kami berusaha mengeluarkannya sejak tadi karena dia tampak terluka, tapi..”
Keraguan petugas itu membuat sang kapten dan Detektif Cora Easaton menoleh kepadanya secara bersamaan. Langkah mereka melambat.
“Tapi?”
“...Dia menggigit.”
Mereka sampai di sebuah gudang luas yang gelap. Sinar senter si petugas polisi menyoroti panggung, tali, bola, semua hal yang digunakan oleh para pemain sirkus untuk berlatih. Di sudut yang lain, beberapa kandang dan tali yang digunakan untuk mengikat para binatang terlihat. Bau pesing dan keringat asam menyerang indra penciuman mereka.
“Kami sudah mengevakuasi binatang yang lain.” jelas si petugas.
Cora Easton tidak mempedulikan penjelasannya. Matanya yang gelap mengamati kerumunan petugas polisi dan medis di salah satu kandang kecil di bagian timur bangunan. Ia bisa mendengar suara petugas medis yang terdengar membujuk.
“Kapten!”
Semua petugas berdiri bersiaga saat melihat kapten mereka muncul bersama Detektif yang memegang kunci penting terhadap kasus ini.
“Kalian semua mundur.” perintah sang kapten.
Tanpa banyak bicara, semua petugas menyingkir menjauhi kandang setelah meninggalkan satu senter di jeruji. Cora dapat melihat jeruji besi yang membentuk kurungan yang cukup besar untuk seekor binatang berukuran sedang. Namun, dia tidak melihat binatang di dalamnya, melainkan tumpukan jerami, selembar selimut kotor, botol air, dan seorang anak yang meringkuk di ujung kandang.
Anak itu kecil, kurus, dan kotor. Darah kering terlihat di wajahnya; dan tubuhnya penuh dengan luka baru dan bekas luka lama yang membuatnya terlihat mengerikan sekaligus menyedihkan. Cora Easton menatap mata gelap dimana ketakutan, putus asa, sakit, kebencian berputar di dalamnya… Saat ia berjalan mendekat, Cora bertanya-tanya dalam hati apa yang sudah dialami anak tersebut hingga harus berakhir seperti itu.
Mereka berpandangan selama beberapa saat. Cora kemudian bertanya. “Siapa namamu?”
Terdengar geraman rendah mengancam seperti binatang dari dalam kandang.
“… Apa kau tidak suka aku bertanya siapa namamu?”
Tidak ada jawaban kali ini. Cora melihat tubuh anak itu gemetar seolah menahan amarah atau takut. Mata ambernya terpaku pada Cora seolah pria itu adalah ancaman.
“Kalau kau tidak ingin aku tahu namamu, bagaimana jika aku memberimu nama baru?”
Bocah itu membeku mendengar pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Matanya yang besar membulat kebingungan, dan itulah pertama kalinya Cora melihat keluguan di mata anak yang ketakutan tersebut. Anak itu masih sangat kecil dan ia diperlakukan seperti ini… Tangan Cora, yang berada di dalam saku, terkepal erat. Ia sekarang menyesal menembak mati bajingan bernama Joe tadi.
“Lock. Nama yang bagus, kan?”
Tidak ada jawaban yang keluar, tetapi bocah itu mendengar suara Cora yang bertekad dan melihat sorot matanya yang jernih dan perangainya yang lembut.
Di telinga anak tersebut, perkataan Cora terdengar sebagai undangan untuk membuka lembaran baru. Walau ia curiga, telinganya memerah dan tangan kecilnya gemetar.
Cora berjalan lebih dekat dan menyusupkan tubuh bagian atasnya ke dalam kandang. Tangannya terulur ke arah si bocah dan ia tersenyum hangat.
“Lock,” katanya. “Ayo kita pulang.”
**
Lock membuka matanya dan mengerjap pada langit-langit. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, kakinya kram, dan matanya masih gemetar karena syok. Itu mimpi yang sudah lama sekali tidak muncul..
‘Cora..’
Lock menutup matanya dengan punggung tangannya. “Sial.”
Hanya ada keheningan selama beberapa saat. Lock tahu mengapa dia bermimpi soal Cora setelah sekian lama berusaha menghindar untuk memikirkannya. Semalam, sebelum jatuh tertidur, Lock tanpa sadar membayangkan apa jadinya jika Cora masih ada di sisinya. Cora pasti dapat memberitahu Lock apa yang harus dilakukannya saat keanehan demi keanehan bermunculan di sekelilingnya seperti ini.
“Pikirkan dengan tenang – tidak ada gunanya panik karena itu tidak menyelesaikan masalah.”
Namun tidak lama setelah berkata demikian, Cora lari terbirit-birit saat Lock memberitahunya ada asap hitam muncul dari dalam dapur. Alih-alih tenang, ia malah membuat api semakin bertambah besar dan nyaris membuat mereka berdua terpanggang hidup-hidup. Cora menggerutu saat akhirnya Lock menaruh lap basah di atas api saat dirinya belingsatan.
“Kau lihat? Ini akibatnya jika kau tidak mampu bersikap tenang.”
“…Kau orang dewasa yang aneh.”
Lock mengeluarkan tawa kecil saat mengingat hari-hari tersebut. Setelah ingatan itu reda, perasaan hampa menyerangnya. Lock berusaha mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
“Bibi sebelah pasti masih bertengkar.” gumam Lock, menyadari dia tidak mendengar apapun dari kamar sebelah. Tetangganya biasanya akan memulai aktivitas dengan sangat berisik pada jam tersebut, membuat Lock tidak pernah terlambat bangun ke sekolah.
Lock mendesah dan bangkit berdiri setelah dia mulai bisa tenang kembali.
Beberapa saat kemudian, Lock keluar dari apartemennya untuk berangkat ke sekolah. Tepat saat itu, seseorang juga keluar dari apartemen sebelahnya. Lock mengerutkan kening heran karena wanita itu bukanlah Bibi tetangganya yang biasa ataupun Orim. Wanita paruh baya itu adalah induk semangnya.
“Selamat pagi,” sapa wanita tersebut. “Apakah kau akan berangkat ke sekolah?”
Lock mengangguk samar sementara wanita itu mengeluarkan beberapa kantong sampah dari dalam kamar. Sadar Lock menatapnya, wanita tersebut menjelaskan.
“Ah, kau pasti penasaran. Aku sedang mengamati kondisi kamar kosong ini karena ada penyewa yang tiba-tiba berminat. Nanti siang aku akan memanggil petugas kebersihan dan beberapa tukang untuk merenovasi kamar ini sedikit,” ujarnya sembari mengikat kantong sampah yang ditumpuk di dekat sebuah pot bunga layu. Wanita itu melempar senyum kepada Lock. “Kau pasti senang karena akhirnya mempunyai tetangga, kan? Sudah lama sekali sejak kamar ini dihuni dan…”
Lock tidak lagi mendengarkan ucapan induk semangnya. Pikirannya mendadak kosong dan ia mengerjap bingung. “Kosong..?” akhirnya ia mampu bersuara. “Bagaimana dengan Bibi yang menempati kamar itu?”
Induk semangnya berhenti berbicara dan menatap Lock dengan pandangan aneh. “Apa maksudmu? Kamar ini tidak pernah dihuni oleh siapapun.”
“Bibi tidak mengenal… Orim?” tanya Lock. Dia tidak tahu nama wanita yang menjadi tetangganya selama beberapa tahun belakangan, dan hanya mengetahui nama anak perempuannya.
“…Tidak pernah dengar nama itu sebelumnya.”
Wanita itu menatap Lock seakan ia gila. Tatapan itu begitu nyata hingga Lock yakin ini bukan lelucon. Lock memaksa dirinya yang membeku untuk bergerak ke apartemen tetangganya; ia tidak pernah masuk atau mengintip kamar itu sebelumnya, tapi…
Kamar itu jelas tidak bisa dihuni. Dindingnya memiliki bercak-bercak jamur dan sarang laba-laba. Lantainya kotor dan berdebu, langit-langit di sudut dapur hancur dan kayunya terjatuh membentur bak cucian. Bau lembab dan jamur menyerang indra penciuman Lock – menyodorkan bukti bahwa kamar tersebut tidak pernah dibuka selama beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun.
Jantung Lock berdegup kencang dan keringat dingin muncul di dahinya. ‘Ini… tidak mungkin.’ batinnya. ‘Ini tidak nyata.’
Pada saat ia berbalik untuk menghindari tatapan induk semangnya, mata Lock tanpa sengaja tertumbuk pada pot bunga layu di birai. Beberapa bulan yang lalu, bibi penghuni kamar itu berkata padanya:
“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”
Lock berjalan mendekat dan menarik secarik kertas yang berada di balik pot bunga itu.
Itu tulisan asing dan hanya ada satu kalimat disana yang tidak Lock mengerti. Meskipun demikian, Lock yakin itu adalah tulisan ‘mantan tetangga’ nya.
[Temukan ‘Iophel’.]
Lock memandangi langit biru cerah tidak berawan dengan mata menerawang. Burung-burung terbang bebas di angkasa, berkicau lembut seperti nyanyian indah di siang hari. Suasana terasa indah, tetapi tidak tampak nyata bagi Lock, sama seperti saat ia memikirkan tetangganya yang lenyap tanpa jejak. Semua yang ia alami terasa tidak nyata. Hari itu bergulir dengan sangat cepat. Lock hampir tidak bisa mengingat apapun selama perjalanan ke sekolah, atau saat ia menjemput Avery, dan tidak ingat apa-apa sejak ia masuk kelas hingga saat ini. Ia bahkan tidak menyadari hari sudah siang dan ia sudah berada di atap untuk menghabiskan waktu istirahat sendirian seperti biasanya. Lock tidak heran karena pikirannya penuh dengan semua keanehan yang terjadi di sekelilingnya. Luka lama di tubuhnya hampir lenyap tidak bersisa, ‘pesona’ aneh yang dimilikinya, bisikan mengerikan yang hanya dapat didengar olehnya, mata kanannya yang terkadang mengeluarkan sinar redup bewarna kemerahan; semua te
Hanya suara gemuruh yang terdengar saat Lock selesai. Ia tidak bisa melihat Jihun karena pandangannya ditutup oleh tubuh besar antek Jihun yang berdiri mengelilinginya. Lock menunggu perasaan lega itu datang; dia yakin saat anak-anak di sekelilingnya mengetahui kenyataan bahwa Jihun membohongi mereka, mereka akan pergi meninggalkan pemuda menyedihkan itu. Tapi, tidak ada kelegaan saat Lock membuka kartunya. Ia tersentak mundur saat mengetahui ada sesuatu yang salah. Tepat saat itu, suara tawa Jihun terdengar di tengah-tengah rintikan hujan yang mulai turun. “Puahahahhahahahahaha!” Jihun menyeruak diantara badan kedua temannya. Ia terlihat santai sekali dengan senyum menghiasi wajahnya yang tampan. Air hujan membasahi rambut Jihun dan matanya menatap Lock dengan tatapan mencemooh. “Pegangi dia.” Diluar dugaan Lock, teman-teman Jihun bergerak mengikuti perintah pemuda itu tanpa keraguan sedikitpun. Tangan kanan dan kirinya dipegangi kuat-kuat h
Sherly merenggangkan tubuh mungilnya yang kaku dan keluar dari ‘kapsul’ – yang merupakan tempat kerjanya, dengan perasaan lega. Ia sudah berada di dalam ‘kapsul’ selama 48 jam tanpa beristirahat dan perasaannya tidak baik karena harus menonton banyak hal buruk selama itu. “Sudah selesai, Sherly? Selamat!” Itu adalah salah satu rekannya yang lain, Brahm. Sama seperti Sherly, dia baru saja terbebas dari ‘kapsul’ miliknya setelah hampir 72 jam terkurung. Mata Brahm berkantung, dan tangannya memegang secangkir kopi elixir. Sherly hanya bisa mengangguk, tidak punya tenaga untuk berkata apapun. Ia menyeduh kopi elixir yang tersedia di meja pantri di belakang Brahm dan baru bisa rileks saat kehangatan kopi masuk ke perutnya yang kosong. Bibirnya mengeluarkan desahan lega saat ia menikmati kopi dan memandang kosong ‘kapsul-kapsul’ lain yang berterbangan diatasnya. Empat ‘kapsul’ masih tertutup dan bersinar, menandakan beberapa rekannya bahkan masih belum sele
“Tunggu sebentar,” kata Collin, mengangkat tangan dan mengernyit pada hal tak kasat mata di depannya. “Butuh waktu untuk menghapus elemen-elemen di [Panggung]. Aku tidak suka hujan, ngomong-ngomong. Jadi, mari kita hilangkan efek hujan juga.”Dan selagi ia berkata demikian, satu per satu objek di sekeliling Lock mulai menghilang, mulai dari titik hujan, awan gelap, pipa besi penuh darah, sapu, kayu, bahkan mayat pun lenyap. Sebagai gantinya, langit menjadi biru cerah, burung-burung berkicau di bawahnya dengan riang, mayat berubah menjadi petak bunga, dan lantai atap menjadi rumput hijau.Lock menampar pipinya. “Tidak sakit.”Collin mengalihkan pandangan ke arahnya. “Tentu saja tidak karena [Panggung] telah usai sekarang. Saat ini tubuhmu pasti sedang terkapar pingsan di suatu tempat. Tunggu, biar kuperiksa. Oh, benar. Kau ada di dalam klinik,” Collin tersenyum seolah-olah semua persoalan beres. “Nah, bukankah
“Sepertinya kau membutuhkan waktu untuk berpikir? Apakah ini semua masih terasa tidak nyata untukmu?” “Hanya…” Lock kemudian terdiam, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Lock punya kecenderungan untuk terus bergerak maju tanpa menoleh ke belakang untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi saat ini, setelah dia mendapatkan sedikit jawaban akan takdirnya, tiba-tiba dia menoleh lagi ke belakang untuk menyadari bahwa perjalanan yang ia tempuh sudah sangat jauh. “Wajar jika kau kebingungan dan tidak percaya pada perkataanku,” kata Collin, menanggapi dengan santai. Tangannya berusaha menyentuh seorang bayi yang terbang di dekatnya, namun bayi itu menatapnya dengan ekspresi jengkel saat ia menyentuh tangan yang montok dan menggemaskan itu. Bayi itu menjulurkan lidah dan menghadiahi Collin dengan pantat berbalut popok besar. “… Bagaimanapun, aku harus memberimu apresiasi yang pantas. Kau tampak tenang menghadapi ini semua. Gadis yang kudatangi sebelumnya mengajukan hamp
Setelah beberapa saat membaca beberapa kali penjelasan yang tertulis pada Memo, Lock akhirnya memandang kosong langit-langit ruangan dengan lengan diatas kepalanya. Penjelasan itu tidak terlalu panjang, namun Lock mulai dapat menyusun apa yang terjadi padanya saat di atap tadi. Singkat cerita, itu adalah sebuah proses transformasi [Yang Terpilih]. Proses tersebut didasarkan pada dua hal: Ledakan ‘Caera’ dan munculnya [Panggung]. Setelah kedua hal itu terpicu, [Yang Terpilih] dari Divisi Pengamat, seperti Jo Collin, akan muncul. ‘Caera’ sendiri adalah alias – sebutan untuk energi [Yang Terpilih]. Energi tersebut sedikit demi sedikit terkumpul dalam ‘wadah’ masing-masing individu yang terpilih sebagai ‘Bibit’ – seperti Lock, hingga pada satu titik dimana ‘wadah’ tidak dapat lagi menampung, dan terjadilah Ledakan ‘Caera’. Ledakan ini, pada akhirnya, menciptakan sebuah gelombang energi lain yang disebut sebagai [Panggung]. Tidak banyak penjelasan mengenai [Panggu
Wajah Avery merah padam hingga ke leher. Untungnya, langit menyelamatkannya sebelum ia tergoda menggali tanah untuk mengubur diri beserta harga dirinya; lampu rambu lalu lintas berubah merah sehingga mereka sekarang boleh menyebrang. Avery langsung bergegas menyebrang, menabrak Lock dan berjalan dengan langkah panjang-panjang, bahkan hampir setengah berlari. Seperti biasa, Lock tidak repot-repot mengejarnya ataupun bertanya. Avery tahu itu, dan ia tidak bisa menahan diri untuk setengah bersyukur dan setengah kecewa. Dalam waktu singkat, ia melewati toko yang menjual es krim, dan juga taman di dekat rumahnya. Avery teringat kejadian kemarin dan perlahan langkahnya memelan. Ia terus berdebat dalam hati, dan pada akhirnya membulatkan tekad untuk berhenti dan menoleh ke belakang. Lock, yang selama ini berjalan diam di belakangnya, ikut berhenti dengan raut wajah bertanya. Ekspresinya yang selalu tenang seperti orang bodoh itu membuat Avery geram. “Aku dengar kau
Sherly menyadari sesuatu yang gawat telah terjadi saat ia masuk ke dalam ruang Pengamat nomor 2 dan melihat semua personil belingsatan kesana kemari. Setelah mengamati barang sejenak, ia berbalik pergi diam-diam sebelum yang lainnya menyadari keberadaannya.“Sherly!”‘Sialan.’Sherly mendesah keras dan berbalik untuk mendekati Brahm yang menunggunya dari depan layar raksasa. Mata Brahm yang gelap dan cekung menunjukan bahwa pria itu tidak tidur sama sekali sejak [Panggung Awal] usai.“Apa yang terjadi?” tanya Sherly saat melihat salah satu kapsul yang bertuliskan angka 3 sudah menyala, sementara beberapa orang tampak terburu-buru memasang layar-layar tambahan di ruangan pengamat itu.“Seorang peserta memulai [Panggung Akhir] lebih cepat daripada seharusnya.”Sherly mengangkat satu alisnya, kemudian melirik kapsul 3. “Hah,” dengus Sherly tidak percaya. “Itukah sebabnya Collin s
Ian menghentak-hentakan kaki dengan tidak sabar.“Kenapa kau tidak melakukan apapun!?” serunya marah.Lock berusaha mengabaikan bocah itu selama beberapa hari terakhir, tapi tampaknya tak begitu berhasil. Bukannya berhenti berbuat ulah, Ian malah menjadi-jadi. Benar-benar tipikal bocah menyebalkan. Akhirnya, Lock membuka mata dan menoleh.“Aku sedang melakukan sesuatu.”“Apa? Mengupil? Tidur? Kau tidak melakukan apapun selama beberapa hari ini!”Lock mendesah. Ia tidak menyangka akan tiba hari dimana ia lebih memilih mendengar celotehan Iophel dan Rael dibandingkan orang lain. Bagi Lock sekarang, rengekan Iophel bagaikan nasihat bijak Ibu-ibu, dan kesarkastisan Rael terdengar seperti senandung puji-pujian. Suara Ian? Seperti hewan yang disembelih.“Kau melihat sendiri aku babak belur, ‘kan? Aku sedang menyembuhkan diri.”Ian mengerutkan kening. “Kau terlihat amat san
“Tuan Putri dan kakakku akan melangsungkan upacara pernikahan sebentar lagi – setelah mereka pulang dari Easteria. Hari ini mereka berdua tiba di Istana Easteria dan aku.. aku mulai tidak tenang..” Rigan meragu sejenak. Ia mencondongkan tubuh dan meminta Lock untuk mendekat. “Akhir-akhir ini, Ares melakukan hal yang sangat mencurigakan. Dia sering pergi malam-malam, melewati jalur belakang dan membawa beberapa orang berpakaian serba hitam. Pada saat kembali ke Istana, biasanya ia akan membawa peti-peti besar yang dibawa ke ruang bawah tanah. A, aku mulai berpikir bahwa apapun yang ia lakukan dengan peti itu, berhubungan dengan.. sesuatu yang tidak baik.”Lock mendengarkan Rigan dengan tenang. Ia sama sekali tidak terkejut mendengarkan berita tersebut. Namun, keraguan Rigan saat mengatakan ‘sesuatu yang tidak baik’ itu membangkitkan keingintahuan Lock.‘Apa yang bakal ia katakan? Sepertinya dia hendak menyebutkan sesuatu t
Beberapa jam kemudian, di sebuah ruangan bawah tanah yang berbau pengap dan lembab, Lock Easton membuka matanya. Dia melihat langit-langit rendah dan kotor yang sekarang mulai terlihat familiar baginya yang telah menginap disana selama 2 hari belakangan. Ia melirik sekilas ke sudut ruangan, tempat Ian sedang tertidur. Yakin bahwa bocah tersebut benar-benar tertidur, Lock bangkit berdiri dan menghampiri pintu.“Kau berhasil bertemu dengan kakek itu?” Lock bertanya sambil berjalan naik ke arah pintu.“Kakek itu terlalu mencurigakan.” Suara Rue terdengar dari balik pintu. Lock tertawa kecil. “Memang.”“Aku mendengar pembicaraan anak buah Ares bernama Gin. Mereka berencana untuk menjual bocah itu setelah upacara pernikahan.”Lock melirik Ian yang bergumam sendiri seperti sedang bermimpi buruk. Bocah itu terlihat menyedihkan.“Mereka tidak akan mendapatkan banyak uang dengan menjualnya.
Di bawah lampu remang-remang, sesosok bocah kurus dan kotor yang memiliki ekspresi keras kepala, licik, dan juga menjengkelkan, muncul dari balik bayang-bayang.“Ta-raaa!” Hiro berseru sembari menunjuk Ian. “Kejutan! Ini bocah yang begitu kau sayangi! Pelipur lara saat kau mendengar wanita yang mirip dengan mantan kekasihmu, menikah!”Tetapi, Lock tidak mendengarkan apapun yang dikatakan Hiro. Ia hanya menatap Ian tanpa berkedip.“Bagus sekali,” kata Lock datar. “Apa mereka menyembelih babimu atau apa disini?”Ian memberengut. “Maxi berhasil pergi!” serunya dengan suara melengking menjengkelkan. Bocah itu terlihat marah, yang mana membuat Lock begitu heran. “Kenapa kau lemah sekali? Katamu kau kuat! Kenapa kau membiarkan mereka menculikmu!?”“Maaf?” Hiro memandangi Ian dan Lock bolak balik sambil bersedekap. “Apa aku salah dengar? Siapa yang kuat?”
“Aku sebenarnya tidak yakin apakah air ini dapat membuatmu tersadar, tetapi aku selalu ingin melakukannya.”Dan suara itu. Lock melirik untuk melihat seraut wajah yang ‘sangat’ ia rindukan. Saat melihat wajah berminyak itu, Lock mendadak sadar dia tadi bermimpi.“Ini benar-benar menyegarkan,” ujar Lock. “Terima kasih.”Travis menyipitkan matanya. “Sepertinya kau suka disiram.”Lock berusaha menarik tubuh bagian atasnya. “Tidak, tapi aku suka disadarkan,” katanya. “Aku senang mengetahui bahwa aku tidak melihatmu di dalam mimpi.”“Aku pun tidak suka melihatmu, bahkan di dalam kehidupan nyata.”“Cukup adil.” sahut Lock, nyengir. Ia kemudian mengedarkan pandang ke sekelilingnya.Dia berada di sebuah ruangan lapang berpenerangan remang-remang. Ditilik dari tak adanya jendela dan kelembaban ruangan tersebut, Lock yakin ia ten
Itu sakit sekali hingga nyaris membuat Lock berpikir untuk pura-pura pingsan. Tetapi, ia tak melakukan itu. Belum, karena ia sedang mempersiapkan rasa sakit lain yang mungkin akan muncul sebentar lagi.‘Oh, dan ngomong-ngomong..’Lock tak punya waktu banyak untuk berpikir lebih lama. Jadi, dia mengerahkan kesempatannya yang terakhir untuk menoleh ke arah Maxi yang masih mengamuk.Manipulatif Aura.Bukan hanya Maxi yang terpengaruh, tetapi juga Gin. Mereka terbelalak dengan wajah penuh ketakutan, satu dengan wujud binatang, satunya lagi dalam bentuk manusia. Tentu saja Lock mengabaikan Gin.“Pergi.” katanya, memberi perintah pada Maxi. Suaranya mengandung aura yang begitu intens.Mata Maxi seketika tampak begitu kebingungan dan takut. Ia menguik dan terhuyung mundur selama beberapa detik sebelum ia kemudian berbalik dan pergi melarikan diri.“Jadi, kau melakukan ini semua untuk menyelamatkan babi? Betapa m
Gin berdecak saat melirik para prajurit yang sedang bersusah payah menghadapi hewan raksasa itu. Beberapa prajurit berhasil melukai si babi, tetapi hewan tersebut bertambah marah dan berusaha melukai siapapun yang berada di dekatnya, termasuk kedua orang yang tengah berkelahi di sampingnya.Sampai saat ini, Lock dan Ares sama-sama mampu menghindar dari serangan si babi dan serangan satu sama lain, tetapi Gin kenal Ares. Pria itu mulai tidak sabar, apalagi dikarenakan Lock melompat kesana kemari seperti monyet lepas.“Aku jadi paham mengapa kau mampu menghadapi si Suku Macan itu.” Samar-samar, Gin mendengar suara Lock Easton. “Kau lumayan.”Lock mengayunkan pedangnya. Gerakannya begitu ringan, seolah ia sedang bermain-main. Orang biasa bakal mengira lengan kurus itu hanya mampu merobek kertas dan tak akan mampu membuat luka kecil atau hanya sekedar luka memar. Akan tetapi, Ares menghindarinya; dan tindakannya tepat. Pedang Lock membelah ta
Gin melirik Ares, yang masih tersenyum kecil, tetapi dengan wajah yang semakin kaku – jelas bukan merupakan pertanda baik. “Aku tidak melihat apa manfaatnya kau mengambil hewan liar itu?” kata Ares dingin. “Kami memerlukannya.” Sebuah teriakan memecahkan suasana mencengkram tersebut, membuat para prajurit rendahan cemas. “…Kann!! Lepas..!” Gin kesal. Seperti dugaannya, membawa bocah kotor itu hanya akan menambah masalah. Ia mengedikkan kepala ke arah salah seorang prajurit yang tengah memandanginya dengan ragu-ragu. Prajurit itu mengangguk paham dan memukul karung tersebut dengan keras, menyuruh bocah itu diam. “Tidak perlu repot-repot melakukan itu. Aku akan mengurusnya.” Lock berkata dengan nada yang masih sama ramahnya. Ia mengerling ke arah Ares sembari tersenyum lebar. “Tidak perlu menjelaskan juga, aku bisa memahami. Berikan bocah itu, dan kau bisa melanjutkan apapun yang ingin kau lakukan.” Gin memandang Lock tersebut tanpa berk
Ledakan terjadi dimana bola-bola itu berhenti menggelinding. Ledakan itu tidak besar, tetapi cukup destruktif dan mengeluarkan api hingga desa mulai terbakar. Seakan mengejek, pasukan Ares memodifikasi bom tersebut hingga lebih menyerupai kembang api; seolah mereka ingin menyaksikan desa tersebut terbakar dengan indah. Suara ratapan dan tangis terdengar dari arah para penduduk, sementara beberapa prajurit tertawa dan bertepuk tangan saat menyaksikan kembang api yang mulai membakar desa. Walaupun melihat apa yang terjadi di bawah, baik Soren maupun Lock tidak beranjak sedikitpun. “Ini berkembang ke arah yang kuinginkan.” kata Soren puas. “Oh, ya? Termasuk kembang api itu?” Soren mengacuhkan komentar sarkas Lock, dan berkata, “Kita temui kakek itu setelah ini.” “Untuk apa?” “Kau bodoh? Tentu saja bernegosiasi. Kakek itu pasti akan memberitahu informasi jika kita berjanji akan membebaskan cucunya.” Lock nyaris tak mampu menahan di