Lamunannya terinterupsi ketika bus berhenti di halte tujuannya. Hujan kembali turun saat ia turun dari bus, membuat Lock harus berlari menembus hujan hingga ke gedung apartemennya.
Saat dalam perjalanan naik tangga menuju kamarnya yang ada di lantai 3, Lock menyadari bahwa ia basah kuyup dan jejak kakinya mengotori lantai. Mau tidak mau, bayangan tetangganya yang akan menghujaninya dengan 1001 sumpah serapah, terbayang di benak Lock. Bibi sebelah kamarnya selalu mencari hal untuk memarahi Lock, bahkan hingga ke hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini:
“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”
Dia melotot seolah-olah Lock adalah sumber tragedi yang membuat bunganya layu. Saat itu, Lock menjawab dengan wajah serius.
“Itu karena Bibi terlalu banyak tersenyum pada bunga itu.”
Sebelum wanita itu memproses makna jawabannya, Lock menyelinap masuk ke kamar dan tidak keluar hingga keesokan harinya.
Mengingat kejadian tersebut membuat ekspresi wajah Lock menjadi bertambah datar dan suram, tetapi ternyata hari itu tetangga yang ia cemaskan tidak ada – setidaknya yang versi dewasa. Sebagai gantinya, seorang wanita berusia pertengahan 20 tahun sedang duduk meringkuk di depan kamar sebelahnya dalam keadaan basah kuyup seperti Lock.
Wanita itu berambut pirang panjang dengan wajah kaku dan bibir tipis yang terlihat garang. Dia sangat mirip dengan ibunya – dan mempunyai perangai yang mirip pula. Lock tidak ingin berurusan dengan keluarga tetangganya, jadi dia pura-pura tidak melihat wanita itu dan cepat-cepat membuka pintu kamarnya.
“Kau bahkan berpura-pura tidak melihatku?”
Pintu kamar Lock sudah setengah membuka saat ia membeku. Lock tidak punya pilihan lain selain menoleh dan berkata, “Oh, halo. Aku tidak melihatmu tadi.”
“…Apa kau tidak bisa berbohong lebih baik lagi? Dan berhenti tersenyum palsu begitu. Aku muak melihat gigimu.”
Lock mengamati Orim yang berwajah suram dan lelah, sangat tidak seperti biasanya. Lock bertanya basa-basi, “Apa yang terjadi? Mengapa kau basah seperti tikus got?”
“Kau mau mati?”
‘Apa dia bertengkar?’ pikir Lock saat menyadari bahwa pintu kamar di belakang Orim terbuka sedikit. Lock mengangguk yakin. Ia tidak ingin ikut campur urusan tetangganya dan memilih untuk undur diri dengan sopan.
“Hati-hati masuk angin.”
Orim memberinya tatapan garang dan bergumam. “Bocah brengsek.”
Lock buru-buru masuk ke dalam kamar tanpa berkata apapun lagi. Begitu ia masuk ke dalam kamarnya yang gelap dan pengap, Lock mendesah panjang, bersyukur tidak harus mendengar omelan tetangganya. Namun, itu tidak berarti Lock menghadapi ketentraman dan ketenangan karena beberapa saat kemudian, bisikan samar terdengar di telinganya.
[Kau harus pergi…. Aku tidak punya waktu lagi. Lock, kemarilah....]
Lock percaya keanehan di sekelilingnya akan semakin besar dan besar.
Tanpa mempedulikan bisikan samar tersebut, Lock pergi ke dapur untuk mengambil air dari lemari es. Ia sudah terbiasa mendengar bisikan itu selama setahun lamanya. Bisikan itu terus berulang dengan kalimat yang sama beberapa kali dalam sehari sehingga Lock mulai membayangkan bisikan itu adalah dendang lagu. Bahkan Lock bisa bernyanyi menggunakan kata-kata itu saat ia sedang mandi.
Sambil minum, Lock berjalan menuju cermin dalam keremangan senja. Sejak setahun yang lalu, ia mulai lebih sering bercermin – terutama di dalam kegelapan. Ia mengamati bayangan wajahnya dalam cermin dengan tenang dan meninggalkan cermin itu beberapa saat kemudian saat ia memastikan bahwa tidak ada lagi yang berubah pada dirinya.
Pada pantulan cermin, mata kanan Lock bersinar kemerahan.
*
“Hei, Haru! Apa kau tidak bisa bergerak lebih cepat lagi?”
Di sebuah gedung yang berbau pesing dan apak, seorang pria kecil berdecak dengan raut wajah garang. Pria itu memiliki tubuh sedikit bungkuk dengan leher pendek seperti kura-kura, rambut ikal berminyak, janggut kotor yang tidak dicukur berhari-hari, dan luka memanjang yang menggores bagian wajah kanannya. Orang-orang tidak akan mengira dia adalah Joe, yang selalu tersenyum dan sukses mengundang tawa penonton saat berada di atas panggung. Kenyataan bahwa ia sekarang jauh dari kata ramah apalagi lucu, memelototi seorang anak kecil kotor dan kurus yang merangkak di dekat kakinya, tidak akan pernah terbersit di pikiran siapapun.
Para pemain sirkus lain yang sedang berlatih di dalam gedung yang sama, menghiraukan pemandangan tersebut. Mereka diam-diam mendesah lega karena tidak menjadi sasaran kebengisan Joe. Tidak ada gunanya menghentikan Joe, pria mengerikan yang sekaligus menjadi ketua rombongan sirkus Red Carnaval. Joe gampang naik pitam dan tidak segan-segan memukul atau melakukan hal yang mengerikan kepada mereka semua bila ia sedang marah.
Tidak ada yang berani melawannya karena Joe memiliki banyak anak buah dan berteman dengan para preman. Selain itu, pada dasarnya para rombongan sirkus yang mengikuti Joe adalah ‘peliharaan’. Mereka tidak ada bedanya dibandingkan gajah, simpanse, atau macan, yang dipelihara oleh rombongan.
Bocah laki-laki yang saat ini menjadi bulan-bulanan Joe adalah Haru, yang sedang meringkuk di tanah seperti seonggok lap kumal. Pemandangan sesosok tubuh kurus kekurangan gizi yang penuh luka dan lebam tidak membuat Joe jatuh kasihan. Alih-alih demikian, Joe berjongkok di depan bocah tersebut dan menjambak rambutnya untuk mengamati wajah kecil Haru.
Haru menatap manik mata Joe tanpa berkedip. Walau mata kirinya bengkak parah hingga tidak bisa terbuka, Haru memandangi tatapan licik Joe dengan menantang tanpa rasa takut. Hal tersebut membuat Joe tertawa terbahak-bahak. Ia menampar-nampar wajah Haru.
“Bocah pemberani kau, ya?” cemoohnya tiap kali ia menampar Haru dengan pelan. “Bukan hanya membuat binatang peliharaanku kabur, kau ingin pergi dariku sebelum kau membayarku? Hah? Aku membelimu. Kau seharusnya menurut padaku.”
Tamparan itu kemudian menjadi semakin keras.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan di luar sana? Kau itu bocah yang dijual oleh sanak saudaramu sendiri. Kau pikir diluar sana ada orang lain yang menginginkanmu, hah!?”
Darah mengalir keluar dari mulut Haru ketika tamparan itu berubah menjadi pukulan yang sangat menyakitkan.
“Kau tahu apa yang dikatakan orang-orang diluar tentangmu? Anak seorang pembunuh. Kau pikir dengan lari dariku bisa membuatmu terbebas!?”
“Joe, cukup.” Seorang asisten terdekat Joe akhirnya bertindak. Ia menangkap tangan Joe saat hendak melayangkan pukulan lagi. “Cukup. Dia bisa mati jika kau terus melakukannya.”
Haru sudah setengah sadar. Tubuhnya lunglai seperti sayuran layu dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa giginya yang tanggal terjatuh di lantai yang penuh bercak-bercak darahnya. Kondisi bocah itu sangat menyedihkan hingga mungkin sanggup membuat seorang preman kampung meneteskan air mata. Namun tentu saja tidak berlaku bagi Joe. Setelah mengamati Haru sesaat, Joe melepas tangannya yang memegang rambut Haru begitu saja, membuat tubuh bocah itu merosot di lantai kotor.
Joe bangkit berdiri setelah meludahi Haru. Setelah itu, ia mengambil rokok dari kantongnya dan memanggil seseorang. “Hei, kau! Obati anak ini dan masukan dia ke dalam kandang.”
Tidak ada yang melawan Joe. Joe berkata lagi pada Haru sebelum memanggil semua rombongan untuk makan malam.
“Kau sebaiknya berusaha lebih keras lagi untuk menggantikan kerja simpanse-ku yang kabur karena ulahmu. Paham!?”
Tanpa menunggu jawaban, Joe berlalu dari ruang latihan bersama dengan iringan pemain sirkus di belakangnya. Seseorang mengobati luka Haru asal-asalan dan menyeret bocah itu ke dalam kandang simpanse yang sekarang kosong. Setelah itu, lampu ruang latihan dipadamkan, meninggalkan Haru yang meringkuk sendirian di dalam kegelapan.
Haru berpikir di tengah kesadarannya yang mulai menghilang.
‘Aku harus membunuhnya. Aku akan membunuhnya. Aku akan membunuhnya berkali-kali.’
Tanpa ia sadari, air mata mengalir dari matanya yang bengkak.
‘Kenapa aku tidak bisa apa-apa? Aku.. aku.. kenapa aku tidak mati saja?’
Ia teringat semua yang dialaminya hingga harus berakhir di dalam neraka ini. Dadanya sesak, setiap inci tubuhnya sakit, dan Haru masih hidup. Air matanya terus mengalir. Ia kelelahan dan ingin berhenti.
Namun kemudian wajah Joe terbayang di benaknya. Tubuh Haru seketika membeku dan tangan kecilnya perlahan mengepal dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih dan ia merasakan kuku tajamnya menghujam kulit telapak tangannya.
‘Tidak, aku tidak boleh mati. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu sebelum aku mati. Bedebah itu. Aku akan membunuhnya. Aku akan..’
Malam itu, bocah sirkus Haru hidup dengan penuh harapan dan kebencian. Tiap hari ia menjalani hari-harinya dengan penuh tekad. Tiap malam ia memikirkan cara membunuh Joe dan anteknya. Ia selalu membayangkan bagaimana wajah sekarat Joe, dan itu membuatnya senang.
Ironisnya, hal itulah yang membuat Haru bertahan hidup hari demi hari. Ia terus menunggu kesempatan bagus dimana ia bisa membunuh Joe dan mengakhiri hidupnya dengan damai.
‘Tidak, aku harus menjadi sedikit lebih kuat agar dia semakin tersiksa...’
Pada akhirnya, dua tahun berlalu begitu saja.
Di malam hari yang cerah, beberapa orang warga berkerumun di salah satu lapangan yang dikenal sebagai markas Red Carnaval. Polisi menjaga agar tidak ada orang yang bisa mendekat, sementara gosip berhembus diantara para kerumunan warga. “Mereka menjual obat-obatan, para pemain sirkus itu.” “Aku dengar mereka juga memperjualbelikan manusia.” “Ck, sudah kuduga orang-orang sirkus itu tidak baik. Binatang yang mereka gunakan sebagai bagian dari atraksi itu terlihat tersiksa.” “Kau menyukai atraksi mereka.” “Ah, tidak. Aku selalu tahu kalau mereka orang-orang jahat. Hei, lihat! Itu rombongannya! Mana ketua mereka – si Joe?” “Dia ditembak mati oleh Detektif gila itu.” Mereka menatap para petugas yang sibuk menggiring beberapa orang ke dalam mobil polisi atau menyusup masuk ke dalam mobil-mobil karavan untuk mencari bukti. Para warga semakin asyik berdiskusi apalagi setelah melihat beberapa tim medis keluar membawa kantong-kan
Lock memandangi langit biru cerah tidak berawan dengan mata menerawang. Burung-burung terbang bebas di angkasa, berkicau lembut seperti nyanyian indah di siang hari. Suasana terasa indah, tetapi tidak tampak nyata bagi Lock, sama seperti saat ia memikirkan tetangganya yang lenyap tanpa jejak. Semua yang ia alami terasa tidak nyata. Hari itu bergulir dengan sangat cepat. Lock hampir tidak bisa mengingat apapun selama perjalanan ke sekolah, atau saat ia menjemput Avery, dan tidak ingat apa-apa sejak ia masuk kelas hingga saat ini. Ia bahkan tidak menyadari hari sudah siang dan ia sudah berada di atap untuk menghabiskan waktu istirahat sendirian seperti biasanya. Lock tidak heran karena pikirannya penuh dengan semua keanehan yang terjadi di sekelilingnya. Luka lama di tubuhnya hampir lenyap tidak bersisa, ‘pesona’ aneh yang dimilikinya, bisikan mengerikan yang hanya dapat didengar olehnya, mata kanannya yang terkadang mengeluarkan sinar redup bewarna kemerahan; semua te
Hanya suara gemuruh yang terdengar saat Lock selesai. Ia tidak bisa melihat Jihun karena pandangannya ditutup oleh tubuh besar antek Jihun yang berdiri mengelilinginya. Lock menunggu perasaan lega itu datang; dia yakin saat anak-anak di sekelilingnya mengetahui kenyataan bahwa Jihun membohongi mereka, mereka akan pergi meninggalkan pemuda menyedihkan itu. Tapi, tidak ada kelegaan saat Lock membuka kartunya. Ia tersentak mundur saat mengetahui ada sesuatu yang salah. Tepat saat itu, suara tawa Jihun terdengar di tengah-tengah rintikan hujan yang mulai turun. “Puahahahhahahahahaha!” Jihun menyeruak diantara badan kedua temannya. Ia terlihat santai sekali dengan senyum menghiasi wajahnya yang tampan. Air hujan membasahi rambut Jihun dan matanya menatap Lock dengan tatapan mencemooh. “Pegangi dia.” Diluar dugaan Lock, teman-teman Jihun bergerak mengikuti perintah pemuda itu tanpa keraguan sedikitpun. Tangan kanan dan kirinya dipegangi kuat-kuat h
Sherly merenggangkan tubuh mungilnya yang kaku dan keluar dari ‘kapsul’ – yang merupakan tempat kerjanya, dengan perasaan lega. Ia sudah berada di dalam ‘kapsul’ selama 48 jam tanpa beristirahat dan perasaannya tidak baik karena harus menonton banyak hal buruk selama itu. “Sudah selesai, Sherly? Selamat!” Itu adalah salah satu rekannya yang lain, Brahm. Sama seperti Sherly, dia baru saja terbebas dari ‘kapsul’ miliknya setelah hampir 72 jam terkurung. Mata Brahm berkantung, dan tangannya memegang secangkir kopi elixir. Sherly hanya bisa mengangguk, tidak punya tenaga untuk berkata apapun. Ia menyeduh kopi elixir yang tersedia di meja pantri di belakang Brahm dan baru bisa rileks saat kehangatan kopi masuk ke perutnya yang kosong. Bibirnya mengeluarkan desahan lega saat ia menikmati kopi dan memandang kosong ‘kapsul-kapsul’ lain yang berterbangan diatasnya. Empat ‘kapsul’ masih tertutup dan bersinar, menandakan beberapa rekannya bahkan masih belum sele
“Tunggu sebentar,” kata Collin, mengangkat tangan dan mengernyit pada hal tak kasat mata di depannya. “Butuh waktu untuk menghapus elemen-elemen di [Panggung]. Aku tidak suka hujan, ngomong-ngomong. Jadi, mari kita hilangkan efek hujan juga.”Dan selagi ia berkata demikian, satu per satu objek di sekeliling Lock mulai menghilang, mulai dari titik hujan, awan gelap, pipa besi penuh darah, sapu, kayu, bahkan mayat pun lenyap. Sebagai gantinya, langit menjadi biru cerah, burung-burung berkicau di bawahnya dengan riang, mayat berubah menjadi petak bunga, dan lantai atap menjadi rumput hijau.Lock menampar pipinya. “Tidak sakit.”Collin mengalihkan pandangan ke arahnya. “Tentu saja tidak karena [Panggung] telah usai sekarang. Saat ini tubuhmu pasti sedang terkapar pingsan di suatu tempat. Tunggu, biar kuperiksa. Oh, benar. Kau ada di dalam klinik,” Collin tersenyum seolah-olah semua persoalan beres. “Nah, bukankah
“Sepertinya kau membutuhkan waktu untuk berpikir? Apakah ini semua masih terasa tidak nyata untukmu?” “Hanya…” Lock kemudian terdiam, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Lock punya kecenderungan untuk terus bergerak maju tanpa menoleh ke belakang untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi saat ini, setelah dia mendapatkan sedikit jawaban akan takdirnya, tiba-tiba dia menoleh lagi ke belakang untuk menyadari bahwa perjalanan yang ia tempuh sudah sangat jauh. “Wajar jika kau kebingungan dan tidak percaya pada perkataanku,” kata Collin, menanggapi dengan santai. Tangannya berusaha menyentuh seorang bayi yang terbang di dekatnya, namun bayi itu menatapnya dengan ekspresi jengkel saat ia menyentuh tangan yang montok dan menggemaskan itu. Bayi itu menjulurkan lidah dan menghadiahi Collin dengan pantat berbalut popok besar. “… Bagaimanapun, aku harus memberimu apresiasi yang pantas. Kau tampak tenang menghadapi ini semua. Gadis yang kudatangi sebelumnya mengajukan hamp
Setelah beberapa saat membaca beberapa kali penjelasan yang tertulis pada Memo, Lock akhirnya memandang kosong langit-langit ruangan dengan lengan diatas kepalanya. Penjelasan itu tidak terlalu panjang, namun Lock mulai dapat menyusun apa yang terjadi padanya saat di atap tadi. Singkat cerita, itu adalah sebuah proses transformasi [Yang Terpilih]. Proses tersebut didasarkan pada dua hal: Ledakan ‘Caera’ dan munculnya [Panggung]. Setelah kedua hal itu terpicu, [Yang Terpilih] dari Divisi Pengamat, seperti Jo Collin, akan muncul. ‘Caera’ sendiri adalah alias – sebutan untuk energi [Yang Terpilih]. Energi tersebut sedikit demi sedikit terkumpul dalam ‘wadah’ masing-masing individu yang terpilih sebagai ‘Bibit’ – seperti Lock, hingga pada satu titik dimana ‘wadah’ tidak dapat lagi menampung, dan terjadilah Ledakan ‘Caera’. Ledakan ini, pada akhirnya, menciptakan sebuah gelombang energi lain yang disebut sebagai [Panggung]. Tidak banyak penjelasan mengenai [Panggu
Wajah Avery merah padam hingga ke leher. Untungnya, langit menyelamatkannya sebelum ia tergoda menggali tanah untuk mengubur diri beserta harga dirinya; lampu rambu lalu lintas berubah merah sehingga mereka sekarang boleh menyebrang. Avery langsung bergegas menyebrang, menabrak Lock dan berjalan dengan langkah panjang-panjang, bahkan hampir setengah berlari. Seperti biasa, Lock tidak repot-repot mengejarnya ataupun bertanya. Avery tahu itu, dan ia tidak bisa menahan diri untuk setengah bersyukur dan setengah kecewa. Dalam waktu singkat, ia melewati toko yang menjual es krim, dan juga taman di dekat rumahnya. Avery teringat kejadian kemarin dan perlahan langkahnya memelan. Ia terus berdebat dalam hati, dan pada akhirnya membulatkan tekad untuk berhenti dan menoleh ke belakang. Lock, yang selama ini berjalan diam di belakangnya, ikut berhenti dengan raut wajah bertanya. Ekspresinya yang selalu tenang seperti orang bodoh itu membuat Avery geram. “Aku dengar kau
Ian menghentak-hentakan kaki dengan tidak sabar.“Kenapa kau tidak melakukan apapun!?” serunya marah.Lock berusaha mengabaikan bocah itu selama beberapa hari terakhir, tapi tampaknya tak begitu berhasil. Bukannya berhenti berbuat ulah, Ian malah menjadi-jadi. Benar-benar tipikal bocah menyebalkan. Akhirnya, Lock membuka mata dan menoleh.“Aku sedang melakukan sesuatu.”“Apa? Mengupil? Tidur? Kau tidak melakukan apapun selama beberapa hari ini!”Lock mendesah. Ia tidak menyangka akan tiba hari dimana ia lebih memilih mendengar celotehan Iophel dan Rael dibandingkan orang lain. Bagi Lock sekarang, rengekan Iophel bagaikan nasihat bijak Ibu-ibu, dan kesarkastisan Rael terdengar seperti senandung puji-pujian. Suara Ian? Seperti hewan yang disembelih.“Kau melihat sendiri aku babak belur, ‘kan? Aku sedang menyembuhkan diri.”Ian mengerutkan kening. “Kau terlihat amat san
“Tuan Putri dan kakakku akan melangsungkan upacara pernikahan sebentar lagi – setelah mereka pulang dari Easteria. Hari ini mereka berdua tiba di Istana Easteria dan aku.. aku mulai tidak tenang..” Rigan meragu sejenak. Ia mencondongkan tubuh dan meminta Lock untuk mendekat. “Akhir-akhir ini, Ares melakukan hal yang sangat mencurigakan. Dia sering pergi malam-malam, melewati jalur belakang dan membawa beberapa orang berpakaian serba hitam. Pada saat kembali ke Istana, biasanya ia akan membawa peti-peti besar yang dibawa ke ruang bawah tanah. A, aku mulai berpikir bahwa apapun yang ia lakukan dengan peti itu, berhubungan dengan.. sesuatu yang tidak baik.”Lock mendengarkan Rigan dengan tenang. Ia sama sekali tidak terkejut mendengarkan berita tersebut. Namun, keraguan Rigan saat mengatakan ‘sesuatu yang tidak baik’ itu membangkitkan keingintahuan Lock.‘Apa yang bakal ia katakan? Sepertinya dia hendak menyebutkan sesuatu t
Beberapa jam kemudian, di sebuah ruangan bawah tanah yang berbau pengap dan lembab, Lock Easton membuka matanya. Dia melihat langit-langit rendah dan kotor yang sekarang mulai terlihat familiar baginya yang telah menginap disana selama 2 hari belakangan. Ia melirik sekilas ke sudut ruangan, tempat Ian sedang tertidur. Yakin bahwa bocah tersebut benar-benar tertidur, Lock bangkit berdiri dan menghampiri pintu.“Kau berhasil bertemu dengan kakek itu?” Lock bertanya sambil berjalan naik ke arah pintu.“Kakek itu terlalu mencurigakan.” Suara Rue terdengar dari balik pintu. Lock tertawa kecil. “Memang.”“Aku mendengar pembicaraan anak buah Ares bernama Gin. Mereka berencana untuk menjual bocah itu setelah upacara pernikahan.”Lock melirik Ian yang bergumam sendiri seperti sedang bermimpi buruk. Bocah itu terlihat menyedihkan.“Mereka tidak akan mendapatkan banyak uang dengan menjualnya.
Di bawah lampu remang-remang, sesosok bocah kurus dan kotor yang memiliki ekspresi keras kepala, licik, dan juga menjengkelkan, muncul dari balik bayang-bayang.“Ta-raaa!” Hiro berseru sembari menunjuk Ian. “Kejutan! Ini bocah yang begitu kau sayangi! Pelipur lara saat kau mendengar wanita yang mirip dengan mantan kekasihmu, menikah!”Tetapi, Lock tidak mendengarkan apapun yang dikatakan Hiro. Ia hanya menatap Ian tanpa berkedip.“Bagus sekali,” kata Lock datar. “Apa mereka menyembelih babimu atau apa disini?”Ian memberengut. “Maxi berhasil pergi!” serunya dengan suara melengking menjengkelkan. Bocah itu terlihat marah, yang mana membuat Lock begitu heran. “Kenapa kau lemah sekali? Katamu kau kuat! Kenapa kau membiarkan mereka menculikmu!?”“Maaf?” Hiro memandangi Ian dan Lock bolak balik sambil bersedekap. “Apa aku salah dengar? Siapa yang kuat?”
“Aku sebenarnya tidak yakin apakah air ini dapat membuatmu tersadar, tetapi aku selalu ingin melakukannya.”Dan suara itu. Lock melirik untuk melihat seraut wajah yang ‘sangat’ ia rindukan. Saat melihat wajah berminyak itu, Lock mendadak sadar dia tadi bermimpi.“Ini benar-benar menyegarkan,” ujar Lock. “Terima kasih.”Travis menyipitkan matanya. “Sepertinya kau suka disiram.”Lock berusaha menarik tubuh bagian atasnya. “Tidak, tapi aku suka disadarkan,” katanya. “Aku senang mengetahui bahwa aku tidak melihatmu di dalam mimpi.”“Aku pun tidak suka melihatmu, bahkan di dalam kehidupan nyata.”“Cukup adil.” sahut Lock, nyengir. Ia kemudian mengedarkan pandang ke sekelilingnya.Dia berada di sebuah ruangan lapang berpenerangan remang-remang. Ditilik dari tak adanya jendela dan kelembaban ruangan tersebut, Lock yakin ia ten
Itu sakit sekali hingga nyaris membuat Lock berpikir untuk pura-pura pingsan. Tetapi, ia tak melakukan itu. Belum, karena ia sedang mempersiapkan rasa sakit lain yang mungkin akan muncul sebentar lagi.‘Oh, dan ngomong-ngomong..’Lock tak punya waktu banyak untuk berpikir lebih lama. Jadi, dia mengerahkan kesempatannya yang terakhir untuk menoleh ke arah Maxi yang masih mengamuk.Manipulatif Aura.Bukan hanya Maxi yang terpengaruh, tetapi juga Gin. Mereka terbelalak dengan wajah penuh ketakutan, satu dengan wujud binatang, satunya lagi dalam bentuk manusia. Tentu saja Lock mengabaikan Gin.“Pergi.” katanya, memberi perintah pada Maxi. Suaranya mengandung aura yang begitu intens.Mata Maxi seketika tampak begitu kebingungan dan takut. Ia menguik dan terhuyung mundur selama beberapa detik sebelum ia kemudian berbalik dan pergi melarikan diri.“Jadi, kau melakukan ini semua untuk menyelamatkan babi? Betapa m
Gin berdecak saat melirik para prajurit yang sedang bersusah payah menghadapi hewan raksasa itu. Beberapa prajurit berhasil melukai si babi, tetapi hewan tersebut bertambah marah dan berusaha melukai siapapun yang berada di dekatnya, termasuk kedua orang yang tengah berkelahi di sampingnya.Sampai saat ini, Lock dan Ares sama-sama mampu menghindar dari serangan si babi dan serangan satu sama lain, tetapi Gin kenal Ares. Pria itu mulai tidak sabar, apalagi dikarenakan Lock melompat kesana kemari seperti monyet lepas.“Aku jadi paham mengapa kau mampu menghadapi si Suku Macan itu.” Samar-samar, Gin mendengar suara Lock Easton. “Kau lumayan.”Lock mengayunkan pedangnya. Gerakannya begitu ringan, seolah ia sedang bermain-main. Orang biasa bakal mengira lengan kurus itu hanya mampu merobek kertas dan tak akan mampu membuat luka kecil atau hanya sekedar luka memar. Akan tetapi, Ares menghindarinya; dan tindakannya tepat. Pedang Lock membelah ta
Gin melirik Ares, yang masih tersenyum kecil, tetapi dengan wajah yang semakin kaku – jelas bukan merupakan pertanda baik. “Aku tidak melihat apa manfaatnya kau mengambil hewan liar itu?” kata Ares dingin. “Kami memerlukannya.” Sebuah teriakan memecahkan suasana mencengkram tersebut, membuat para prajurit rendahan cemas. “…Kann!! Lepas..!” Gin kesal. Seperti dugaannya, membawa bocah kotor itu hanya akan menambah masalah. Ia mengedikkan kepala ke arah salah seorang prajurit yang tengah memandanginya dengan ragu-ragu. Prajurit itu mengangguk paham dan memukul karung tersebut dengan keras, menyuruh bocah itu diam. “Tidak perlu repot-repot melakukan itu. Aku akan mengurusnya.” Lock berkata dengan nada yang masih sama ramahnya. Ia mengerling ke arah Ares sembari tersenyum lebar. “Tidak perlu menjelaskan juga, aku bisa memahami. Berikan bocah itu, dan kau bisa melanjutkan apapun yang ingin kau lakukan.” Gin memandang Lock tersebut tanpa berk
Ledakan terjadi dimana bola-bola itu berhenti menggelinding. Ledakan itu tidak besar, tetapi cukup destruktif dan mengeluarkan api hingga desa mulai terbakar. Seakan mengejek, pasukan Ares memodifikasi bom tersebut hingga lebih menyerupai kembang api; seolah mereka ingin menyaksikan desa tersebut terbakar dengan indah. Suara ratapan dan tangis terdengar dari arah para penduduk, sementara beberapa prajurit tertawa dan bertepuk tangan saat menyaksikan kembang api yang mulai membakar desa. Walaupun melihat apa yang terjadi di bawah, baik Soren maupun Lock tidak beranjak sedikitpun. “Ini berkembang ke arah yang kuinginkan.” kata Soren puas. “Oh, ya? Termasuk kembang api itu?” Soren mengacuhkan komentar sarkas Lock, dan berkata, “Kita temui kakek itu setelah ini.” “Untuk apa?” “Kau bodoh? Tentu saja bernegosiasi. Kakek itu pasti akan memberitahu informasi jika kita berjanji akan membebaskan cucunya.” Lock nyaris tak mampu menahan di