Beranda / Romansa / The Memories (BAHASA) / Chaps 2: Heart Serenade ; I Wish I Wasn't A fool

Share

Chaps 2: Heart Serenade ; I Wish I Wasn't A fool

Penulis: Veedrya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

10 tahun lalu

Mereka berlima berdesakan di ruang BK yang agak sempit karena letaknya berada di pojok koridor. Bu Dewi mencatat sesuatu di kertas yang nantinya harus mereka berikan kepada orang tua mereka masing - masing.

"Selamat siang." Pak Widodo, kepala sekolah SMP Nusantara yang sedari tadi ditunggu Bu Dewi akhirnya tiba.

Dengan wajah sumringah, bersemangat, tapi masih terlihat nyebelin di mata anak-anai itu, Bu Dewi berdiri, memberi laporan pada Pak Widodo. "Pak Kepsek, saya menangkap basah mereka bolos dari kegiatan sekolah dan malah bermain kartu di belakang aula."

"Kan jam bebas, Bu..."

"Diam! Masih kecil hobinya membantah! Kalo ada orang tua ngomong itu didengerin!" Bu Dewi dengan ketus memotong pembelaan Icha. Yang ditegur langsung ciut. Icha yang berbadan kecil seolah berusaha agar badannya makin kecil tak terlihat. Takut. "Jadi saya sudah menyiapkan surat panggilan kepada orang tua. Silahkan bapak tanda tangan di sini."

"Maaf, Bu, sebelumnya." Kali ini Hafid yang bersuara. Suaranya dibikin halus dengan tujuan mengambil hati. Biar ada bedanya lah, anak OSIS yang ikut pelatihan leadership sama murid biasa. "Tadi sepanjang jalan ke kantor, saya lihat banyak anak yang juga tidak mengikuti kegiatan dan malah berdiam di kelas, kenapa cuma kita yang dipanggil, Bu?"

"Mereka belajar di kelas." Bu Dewi melambaikan tongkatnya jengah.

"Tadi ada yang main Gitar, Bu." Nisya merajuk.

"Bu Dewi." Pak Widodo akhirnya menengahi. "Benar yang dikatakan anak - anak ini, sekarang jam bebas, dan mereka tidak mendapat jatah untuk bertanding mewakili kelas mereka, begitu?" kelimanya mengangguk cepat, serempak. "Jadi, menurut saya, tidak salah kalau mereka ngaso sebentar di belakang. Teguran saja cukup bagi mereka."

"Tapi, Pak, mereka murid kelas favorite, nanti kalau anak - anak yang lain tau, mereka bisa protes karena iri. Kita bisa dibilang pilih kasih, loh."

Pak Widodo menggeleng pelan. "Saya rasa tidak. Justru karena mereka murid - murid kelas favorite, akan lebih mudah menangani mereka karena mereka mudah diatur. Setelah ini, kalian ke lapangan, ya. Support teman - teman kalian yang bertanding."

"Baik, Pak!"

Pak Widodo tersenyum pada Bu Dewi yang masih tidak terima. "Kalian sudah boleh pergi."

Berbondong - bondong dan buru - buru mereka meninggalkan pojok BK keramat dan mulai berlari - lari kecil ke lapangan futsal. Ngadem. Yang penting kan udah jadi supporter.

"Bu Dewi ngebet banget, sih pengen kita dapet masalah." Nisya mengeluh setibanya mereka di lapangan futsal indoor.

"Kayak gak tau aja dia gimana, apalagi ada Icha." Jaja menyenggol anak kelas satu, menyuruhnya pindah ke bangku depan yang masih kosong.

"Maaf ya temen - temen." Icha terduduk lesu.

Sudah jadi rahasia umum di antara mereka kalau Bu Dewi suka cari gara - gara dengan Icha. Alasannya adalah... balas dendam karena sakit hati. Bapaknya Icha, Pak Joko, dan Bu Dewi sempat menjalin hubungan dulu di masa muda, tapi kandas karena Pak Joko lebih memilih untuk menuruti orang tuanya dan dijodohkan dengan Bu Umi, Ibu Icha.

Walaupun sudah hampir 17 tahun berlalu, rupanya dendam Bu Dewi masih membara. Santer terdengar kabar kalau sampai sekarang Bu Dewi nggak menikah gara - gara gagal move on. Apalagi Icha benar-benar mirip Ibunya, membuat Bu Dewi semakin semena - mena membully nya. Icha pernah melaporkan hal ini pada Pak Widodo, Kepala Sekolah, tapi setelah ditegur bukannya membaik, Bu Dewi malah seperti api disiram minyak. Untung di tahun terakhirnya ini dia tidak diajar Bu Dewi untuk bimbingan konseling. Bisa - bisa bukannya memilih SMA sesuai nilai dan minatnya, dia malah dikuliti hidup - hidup. Hiiy!!

"Udah, gapapa. Kan gak diapa - apain juga." Jaja mengelus puncak kepala Icha yang sejajar dengan dagunya.

"Ehm! Gatel gini, tenggorokanku. Da, permen, dong!"

Hafid berdehem keras dibuat - buat. Jelas sekali karena melihat perlakuan Jaja ke Icha. Jaja mendecih kesal, sementara Icha menatap Hafid kasihan dan khawatir.

Dia juga clueless kalau dalam hitungan hari, Jaja tak akan lagi sedekat ini dengannya.

***

Current Icha's POV

Yearly meeting baru saja kelar. Sekarang jam enam sore waktu Bangkok. Dari hotel tempat meeting berlangsung ke hotel tempatnya menginap, butuh waktu sekitar sepuluh menit jalan kaki.

Karena banyaknya peserta Yearly Management Meeting, tempat menginap juga disebar di beberapa hotel di Bangkok. Maklum, Kantor tempatnya bekerja adalah sebuah DMC multi nasional yang memiliki beberapa kantor tersebar di seluruh Asia. Dimana pelanggannya adalah orang - orang dari seluruh dunia yang ingin berwisata ke destinasi tersebut. Yang beruntung Tentu saja mendapat hotel yang sama dengan tempat berlangsungnya meeting, Nggak perlu jalan kaki, atau kalau apes dan tempatnya lumayan jauh, harus sewa motor atau naik tuk - tuk rame - rame. Biasanya jajaran menejemen atas. Sekelas menejer dan managing director. Dan yang apes, harus berjalan jauh bahkan sampai menggunakan transportasi umum untuk sampai ke tempat meeting.

Icha masih belum paham mengenai pembagian hotel ini. Mungkin disesuaikan dengan Sales Target, mungkin juga disesuaikan dengan Most Requested Destination. Apapun itu, Yang jelas, dia bersyukur hotelnya tidak jauh - jauh amat dari tempat meeting dan lokasinya juga cukup strategis di lingkungan turis. Dan yang penting, hotelnya bagus dan dia dapat kamarnya sendiri. Dia juga kebetulan mengenal semua teman - teman sales yang menginap di hotel yang sama dengannya.

Tya tidak ikut pulang bersamanya, dia tadi langsung menghilang bersama rombongan dari Myanmar yang ingin mencoba street food di Bangkok. Dia juga diajak tadi sebenarnya, tapi dia menolak. Dia capek. Lahir dan batin. Hari ini too much baginya. Sepuluh tahun lamanya dia berusaha menata hati, menerima kenyataan bahwa dia tidak akan bisa bertemu dengan Azra secara 'normal' lagi.

Dia sudah khatam bab yang membahas tentang berbaikan dengan Azra hanyalah isapan jempol belaka. Sudah sepuluh tahun usahanya untuk mencari cara agar hubungannya dengan Azra membaik, tapi selalu gagal di setiap kesempatan yang tak pernah dia duga. Ya, Azra tak pernah benar - benar pergi dari hidupnya. Selalu saja ada orang di sekitarnya yang menghubungkannya kembali dengan cowok itu.

Dan dia kalah. Selalu, di setiap kesempatan. Hari ini tak terkecuali. Dia butuh seseorang untuk bersandar disaat - sa at seperti ini. Tapi tak ada seorangpun disini yang mengetahui kisahnya dengan Azra. Atau cukup dekat dengannya sehingga dia bisa nyaman bercerita.

Tangannya meraih hapenya dan mulai mengetikkan sesuatu di group chat. Dia butuh sahabat - sahabatnya.

IchaAryani: Guys?

IchaAryani: Aku kok baru tau Azra sekantor sama aku, ya..

NisyaAhmad: Serius, Cha? Dia ngenalin kamu nggak?

FaridaZein: Sekarang dimana?! Mau Conference Call? Hafid lagi ngapain?!

IchaAryani: Ini lagi jalan pulang ke hotel.

IchaAryani: Gak perlu lah, gini aja. Hafid kan lembur, ini akhir bulan

FaridaZein: Aih, pantesan chat gue g ada yang di bales lagi sama dia!

NisyaAhmad: Kamu gapapa kan, Cha? Hafid, kalo kamu tau sesuatu tentang ini tapi g ada bilang ke kita, awas aja!

IchaAryani: Aku gapapa. Dia keknya g ngenalin aku. Tadi sempet semeja juga pas makan. Tapi aku masih gak berani ngobrol sama dia ehehehe

FaridaZein: Diemin aja kalo dia gak ngobrol sama lo! Jatah lo buat baik-baikin dia udah abis!

FaridaZein: Nis, jangan galak ama laki gue! Cuma gw yang boleh galakin!

Al-Hafiid: Makasih sayang

NisyaAhmad: Ew, get a room! Dasar pasangan edun!

Al-Hafid: Eh gue gak tau apa-apa sumpah! Dia kalo main tempat gue jarang cerita tentang kerjaan. Tapi sebelum berangkat ke Bangkok dia ada bilang gue sih, mau kesono urusan kerjaan

Al-Hafid: Lo bener gpp kan Cha?

Icha sampai di lobby hotelnya. Setelah meminta kunci dari reception, dia naik ke lantai tiga tempat kamarnya berada. Dibiarkannya chat Hafid menggantung tanpa jawaban. Dia ingin baik - baik saja, tapi nyatanya, perasaannya amburadul tak karuan. Serpihan hati yang selama sepuluh tahun berusaha dipungutinya kini tercecer kembali.

Why did you do this to me, Ja?

Bab terkait

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 3: A Glimpse Of Memory

    10 Tahun Lalu Hari ini hari pembagian raport dan pengumuman juara umum class meeting SMP Nusantara. Hafid sudah sibuk sejak pagi karena OSIS membutuhkan seluruh anggotanya agar dua acara besar penutup semester ganjil ini berjalan dengan baik. Para orang tua, wali murid dan murid - murid sudah berkumpul di Aula belakang. Bersemangat menanti sambutan kepala sekolah dan sekaligus juga pengumuman ranking 3 besar tiap kelas. Icha duduk berjejer di samping Jaja, Ida dan Nisya. Mereka menyisakan satu bangku kosong untuk Hafid jika nanti cowok itu mau bergabung. Wajah mereka datar, bosan dan ngantuk luar biasa mendengarkan sambutan kepsek yang diulang - ulang tiap tahunnya. Hari ini Bapak yang datang mengambilkan raportnya. Bapak sudah datang dan duduk di barisan belakang berjejer dengan orang tua Ida, Nisya, Hafid dan juga Jaja. "Hafid lagi deh yang ranking satu." Jaja menggumam, meramalkan nasib temannya saat pengumuman ranking dimulai.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 4: You Live Vividly In My Heart

    Azra’s Current POV Bebeda dengan Icha yang wajahnya terlihat agak merengut beberapa hari terakhir ini, dia malah sebaliknya. Cerah ceria seperti mentari pagi di musim panas. Dia hepi luar biasa. Alasannya? Karena seminggu ini dia berada di tim yang sama dengan Icha. Untuk saat ini, berada dekat dengan gadisnya itu cukup. Halah, gadisnya. Meskipun nggak sesering yang dia mau, dia juga kerap bergabung dengan Icha dan Tya saat makan siang maupun coffee break. Yang tentu saja disambut dengan ramah oleh Tya. Ya, dia sekarang tau nama teman yang selalu bersama Icha saat berangkat dan pulang ke hotel. Namanya Tya, dia Outbond Supervisor Jogja Based. Icha? Seperti biasa. Hanya menunduk dan menggumam tanpa memberikan pendapat yang jelas. Nggak papa, yang penting Azra terlihat eksis di depan Icha. Untuk langkah awal itu cukup. Mereka sedang berdiskusi heboh bersama membahas topik yang disediakan panitia tadi. Kelompok kecilny

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 5: Stealing Your Heart

    10 tahun yang lalu Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar. Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat - sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen! Telpon sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai ponsel yang cuma bisa telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat. Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua d

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

    Azra’s Current POV Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid. Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra. “Kok gue yang lo sumpahin dodol!” “Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid. “Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.” “Pasti gara - gara lo.” “Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.” Hafid terkekeh sebentar.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 7: I Didn't Mean To Hurt You

    Azra’s 8 Tahun Yang Lalu Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik. Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya. Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 8: Past Is to Learn, Not To Haunt

    Azra Current POV Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya. Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 9: Can We Make Up Again?

    Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 10: The Chances Is Now Mine

    Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it

Bab terbaru

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 83: If This is A Dream, Don't Wake Me Up

    Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 82: With You, Forefer & After

    Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 81: Your Body Is my Wonderland

    Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 80: Sweet Weekend

    Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 79: The Burden

    Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 78: Time For Truth

    Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 77: Accompanied by a Friend

    Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 76: Rebound!

    Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 75: This Loneliness Killing Me

    Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek

DMCA.com Protection Status