Beranda / Romansa / The Memories (BAHASA) / Chaps 3: A Glimpse Of Memory

Share

Chaps 3: A Glimpse Of Memory

Penulis: Veedrya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

10 Tahun Lalu

Hari ini hari pembagian raport dan pengumuman juara umum class meeting SMP Nusantara. Hafid sudah sibuk sejak pagi karena OSIS membutuhkan seluruh anggotanya agar dua acara besar penutup semester ganjil ini berjalan dengan baik. Para orang tua, wali murid dan murid - murid sudah berkumpul di Aula belakang. Bersemangat menanti sambutan kepala sekolah dan sekaligus juga pengumuman ranking 3 besar tiap kelas.

Icha duduk berjejer di samping Jaja, Ida dan Nisya. Mereka menyisakan satu bangku kosong untuk Hafid jika nanti cowok itu mau bergabung. Wajah mereka datar, bosan dan ngantuk luar biasa mendengarkan sambutan kepsek yang diulang - ulang tiap tahunnya. Hari ini Bapak yang datang mengambilkan raportnya. Bapak sudah datang dan duduk di barisan belakang berjejer dengan orang tua Ida, Nisya, Hafid dan juga Jaja.

"Hafid lagi deh yang ranking satu." Jaja menggumam, meramalkan nasib temannya saat pengumuman ranking dimulai.

"Terus kamu ranking berapa, Ja?" Nisya berisik di sebelahnya.

"Gak tau. Masih sepuluh besar juga udah syukur. Gak konsen tau kemaren ujiannya." Jaja mendadak curhat.

"Kenapa?"

Jaja mendadak agak salting dengan pertanyaan Icha. "Yah... yang dipelajari gak ada yang keluar."

"Masa? Kan yang kita belajar kelompok itu pada keluar." Icha menambahkan heran, tidak peka sama sekali dengan Jaja yang semakin salah tingkah di sebelahnya.

"Hahaha tauk nih, paling Jaja lupa belajar." Nisya membantu Jaja dari cecaran Icha yang kalau tidak dihentikan bisa meleber kemana - mana.

"Sst! Kelas kita, tuh!" Iya, itu Ida yang menengahi.

"Ranking satu, Putra Bapak Fadli, Al-Hafid Muzaki." Mereka bertepuk tangan heboh, sampai - sampai Ida bahkan berdiri saking lebay nya. Tebakan Jaja benar. Hafid yang duduk di barisan paling belakang aula bersama teman - teman OSOS nya mengampiri ayahnya dan berjalan maju ke panggung untuk menerima raport dan hadiah. Dia berjalan dengan sok sambil melambaikan tangan. Jiwa Narsisnya dapat kesempatan untuk eksis, tentu saja dia tidak akan menyia - nyiakannya. "Rangking Dua, Putri Bapak Joko, Icha Dwi Aryani." Dengan muka merah, walaupun sebenarnya ini bukan pertama kali baginya dipanggil saat pembagian raport, Icha berdiri, berjalan menuju ujung lorong dan menunggu Bapak untuk naik ke panggung bersama - sama. "Rangking tiga, Putra Ibu Ayu Shinta Muhammad Azra Rifai." Jaja terlihat kaget sebentar, tidak menyangka dia masih bisa mempertahankan rangking 3 nya. Kemudian ikut berseru heboh dan langsung menggandeng Mamanya naik ke panggung.

Serah terima raport dan hadiah kecil selesai, wali murid pun sudah banyak yang undur diri, termasuk orang tua mereka. Hafid juga sudah kembali dengan mereka. Rupanya rangking empat dan lima adalah Ida dan Nisya. Kelimanya sedang asyik makan di kantin, menunggu jam diperbolehkan pulang. Tiba - tiba Ida dan Hafid membuat pengumuman heboh bahwa mereka sudah jadian. Jaja tidak terlihat kaget, hanya Nisya dan Icha yang heboh sendiri Mendengarnya.

"Aduh, serius! Sejak kapan, sih?" Nisya langsung beralih ke mode kepo.

"Awas kalo uda lama terus kalian diem - diem bae. Gak ikhlas aku!! " Eits, yang ini Icha yang bilang, saking gemesnya, tanda serunya sampai dua.

Pasangan baru itu cengar cengir. "Baru kemarin, kook. Beneran. Itu saksinya lagi ngabisin mangkuk kedua mie ayam."

"Adow! Kok mukul sih, Cha! Aduh, ampun, kamu juga ikutan, Nis!"

"Salah sendiri gak bilang - bilang!"

Jaja mengusap pelan kedua lengan atasnya yang di lcubit bergantian kanan dan kiri oleh Icha dan Nisya. Dia menoleh sebal pada Hafid yang malah memberinya kode sambil monyong - monyongin mulutnya. Apaan dah dia. Tapi Hafid nggak menyerah. Dia terus memonyong - monyongkan bibirnya pada Icha. Ah! Akhirnya dia paham maksud Hafid.

"Eh.. Cha, ikut bentar yok, beli keripik di sebelah," Jaja menarik tangan Icha yang sedang sibuk makan siomay begitu saja. Samar - samar, namun tak yakin, Icha mendengar Nisya mengeluh,' bakal jadi obat nyamuk buat dua pasangan, aku. Sial.'

"Kenapa, Ja?"

"Eh, ng... anu. Minggu besok kosong gak?" Tumben Jaja tergagap.

"Selo, kok, gak kemana - mana. Kenapa?" Icha menjawab masih tanpa curiga. Dia focus memilih keripik yang mau dibawa balik ke mejanya.

"Ke Hutan Pinus, yuk. Soalnya abis itu kan aku bantuin Mama pindahan, jadi gak sempet main."

"Oh, pindahannya hari apa? Aku bantuin deh packing. Kamu jadinya tinggal berdua sama adek ya?" Fokus Icha malah ke perihal kepindahan Mama Jaja ke ibukota.

"Jumat depan. Jadi, hutan pinusnya?" Jaja mencoba mengembalikan Icha ke jalur yang benar.

"Oh, okay. Jam berapa?"

Jaja menghembuskan nafas yang tidak sadar ditahannya sejak tadi. "Pagi aja ya, jam delapan gitu? Biar nggak panas."

"Okay, nanti aku bilangin anak - anak biar siap di rumahmu jam 8 ya."

He? Lho, kok anak - anak segala sih? Kan harusnya... Jaja tertunduk lemas sementara Icha sudah berlari dengan semangat kembali ke sahabat - sahabatnya.

Haduh, Cha. Peka sedikit lah... .

***

Azra’s Current POV

Setelah Meeting dia langsung menemui Rashida. Selaku Chief Committee yearly meeting kali ini. Dia ingin bertukar hotel. Lebih tepatnya bertukar hotel dengan hotel yang sama dengan yang ditempati Icha.

“Tapi ini jauh, Azra.” Rashida mengernyit bingung. Rashida adalah sedikit dari beberapa orang yang sudah mengenalnya sejak dia bergabung dengan kantor Singapore. Kerenanya mereka bisa dibilang lumayan akrab dan tidak terlalu canggung untuk meminta tolong.

Pertanyaan Rashida tadi, karena Azra sebenarnya menempati hotel yang sama dengan tempat berlangsungnya acara, yang mana tentu saja gradenya lebih tinggi dibandingkan dengan hotel yang ditempati Icha. Mana jaraknya lumayan lagi, sepuluh menit jalan kaki.

Jadi nggak heran kalau sekarang Rashida menatapnya penuh kebingungan seperti dia habis meragain tari ondel - ondel di depannya.

It’s Okay, aku pengen sekalian bisa jalan - jalan.” Alasan yang klasik sekali Saudara Azra.

Are you sure?

Yap. Gantikan saja dengan salah satu dari yang ada di sana. Cowok juga. Aku nggak nyaman gantiin kamar cewek.”

Alasan. Padahal maksudnya biar Icha nggak dipindah - pindah. Icha kan cewek.

Okay, I’ll inform you later.”

Soon, please. Thanks Rashida.”

Sambil menunggu Rashida, dia mengemasi barangnya. Bersiap pindah hotel. Tadi sebelum menelpon Rashida untuk bertemu dan membicarakan ini, dia sempat berjalan mengikuti Icha. Berasa lagi syuting drama dia, buntutin cewek idaman diem - diem gini. Ichanya juga nggak ngeh sama sekali. Dia sedang sibuk dengan ponselnya. Di jalan dia nggak membeli apapun untuk makan malam. Makan malam bukan termasuk akomodasi yang ditanggung selama meeting berlangsung. Dia jadi bertanya - tanya, apa dia makan malam di restoran hotel?

Dia ikut masuk ke lobby hotel, dan mengikuti Icha dengan lift terpisah. Bagaimana dia bisa tau di lantai berapa Icha turun? Itu murni keberuntungan. Dia melihat Icha mengacungkan tiga jarinya saat meminta kunci pada receptionist, dan dia lebih dulu naik ke lantai tiga. Menunggu Icha keluar dari lift.

309.

Sungguh. Di saat biasa, dia pasti akan mengutuk siapapun orang yang berlaku seperti ini. Tapi untuk kaasusnya kali ini, dia punya alasan kuat. Jadi, dimaafkan.

Setelah tau nomor kamar Icha, Azra bergegas turun ke restoran.

“Hai.” Sapanya pada waiters yang berjaga di sana.

Good Evening, Sir. May I Help you?"

I Want to order a room service for room number 309, please.”

Waiters tersebut mengangguk lalu memberikannya buku menu. Azra memilih, lalu memesan dan langsung membayarnya. Menolak tawaran waiters bahwa dia bisa membayar tagihannya di reception saat check out. Kamar akan ditanggung oleh perusahaan, tapi expenses pribadi seperti laundry, dinner dan minibar adalah tanggungan pribadi.

Can I have a papper and a pen, please?

Mereka memberikan yang Azra minta dan dia menuliskan sesuatu di sana. Icha tau nggak kalau dia yang kasih ini buat dia? Hatinya bertanya - tanya saat menulis pesan singkat itu. Ah, tau atau nggak bisa urusan nanti. Yang penting usaha dulu.

A warm meal can fix the mood.

Bon appetit

Bab terkait

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 4: You Live Vividly In My Heart

    Azra’s Current POV Bebeda dengan Icha yang wajahnya terlihat agak merengut beberapa hari terakhir ini, dia malah sebaliknya. Cerah ceria seperti mentari pagi di musim panas. Dia hepi luar biasa. Alasannya? Karena seminggu ini dia berada di tim yang sama dengan Icha. Untuk saat ini, berada dekat dengan gadisnya itu cukup. Halah, gadisnya. Meskipun nggak sesering yang dia mau, dia juga kerap bergabung dengan Icha dan Tya saat makan siang maupun coffee break. Yang tentu saja disambut dengan ramah oleh Tya. Ya, dia sekarang tau nama teman yang selalu bersama Icha saat berangkat dan pulang ke hotel. Namanya Tya, dia Outbond Supervisor Jogja Based. Icha? Seperti biasa. Hanya menunduk dan menggumam tanpa memberikan pendapat yang jelas. Nggak papa, yang penting Azra terlihat eksis di depan Icha. Untuk langkah awal itu cukup. Mereka sedang berdiskusi heboh bersama membahas topik yang disediakan panitia tadi. Kelompok kecilny

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 5: Stealing Your Heart

    10 tahun yang lalu Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar. Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat - sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen! Telpon sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai ponsel yang cuma bisa telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat. Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua d

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

    Azra’s Current POV Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid. Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra. “Kok gue yang lo sumpahin dodol!” “Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid. “Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.” “Pasti gara - gara lo.” “Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.” Hafid terkekeh sebentar.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 7: I Didn't Mean To Hurt You

    Azra’s 8 Tahun Yang Lalu Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik. Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya. Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 8: Past Is to Learn, Not To Haunt

    Azra Current POV Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya. Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 9: Can We Make Up Again?

    Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 10: The Chances Is Now Mine

    Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 11: Your Heart's Matters

    Icha Current POV "Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima saat Icha menceritakan kejadian hari ini pada mereka. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here." Itu nasehat teman - temannya saat dia menelepon mereka untuk meminta saran. Sambil sekalian curhat. Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman - temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu di sana untuk menemaninya. Seberuntung itu dia memiliki mereka. "Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian, Calon Manten?" Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam enam minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada di sana untuk membantu persiapannya. Padahal mereka sengaja memilih tanggal itu dengan asumsi Icha sudah kembali dari yearly meeting yang hampir selalu diadakan di luar neger

Bab terbaru

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 83: If This is A Dream, Don't Wake Me Up

    Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 82: With You, Forefer & After

    Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 81: Your Body Is my Wonderland

    Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 80: Sweet Weekend

    Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 79: The Burden

    Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 78: Time For Truth

    Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 77: Accompanied by a Friend

    Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 76: Rebound!

    Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 75: This Loneliness Killing Me

    Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek

DMCA.com Protection Status