Home / Romansa / The Memories (BAHASA) / Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

Share

Chaps 6: I Know It Hurt So Bad, I Do Hurt Too

Author: Veedrya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Azra’s Current POV

Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid.

Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra.

“Kok gue yang lo sumpahin dodol!”

“Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid.

“Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.”

“Pasti gara - gara lo.”

“Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.”

Hafid terkekeh sebentar.

“Ini lo dimana, Dul? Icha sama siapa?”

“Ini masih di mobil. Anter dia pulang.”

“Abis itu? Dia ada temennya nggak?”

“Ya sendirian. Emang gue boleh nemenin? Males kalo gue kalian roasting macem - macem.” Padahal mah dia mau banget nemenin Icha. Seumur hidup juga ayo.

Hafid di seberang sana diam. Seperti menimbang - nimbang sesuatu yang berat. Beberapa kali Azra mendengar helaan nafas pasrahnya sebelum akhirnya suaranya kembali terdengar.

“Dul, lo temenin Icha sampe siuman ya. Psatiin dia makan sama minum obat abis ini.”

“Siap.”

***

8 Tahun yang lalu

Dua tahun berlalu sejak Jaja mengabaikannya. Mereka sekarang sudah kelas dua SMA. Sejak tahun terakhirnya di SMP terasa seperti neraka, dia menjadi orang yang lebih tertutup. Kepercayaan dirinya hilang nyaris tanpa bekas. Bu Dewi adalah contoh dari beberapa orang yang ‘merayakan’ keadaan Icha. Beliau semakin gencar membully nya karena anak - anak cheers suka sekali mengadu jika Icha melawan.

Sekarang dia sudah kelas dua SMA. SMA nya berbeda dengan Jaja dan teman - teman SMP nya yang lain. Nggak ada lagi Bu Dewi yang menerornya.

Selain Jaja, keempatnya masih sering bertemu dan berkumpul. Jaja seperti ditelan bumi baginya. Icha hanya melihat sekilas dari luar gerbang sekolah saat kebetulan dia menunggu Ida dan Nisya pulang. Jaja masih dengan Hafid, berangkat dan pulang bareng, menjadi BFF goals bagi yang melihat. Asalkan, Hafid tidak mengungkit nama Icha di depan Jaja. Pernah beberapa kali Hafid nekad bertanya, mengajak Jaja kembali. Dan bogem mentah pun nggak tanggung-tanggung bersarang di pipinya meninggalkan bekas biru keesokan harinya. Bekas biru yang membuat Ida geram bukan main. Salah satu alasan kenapa Ida dan Azra jadi susah akur hingga sekarang.

Ida dan Nisya, karena terlalu sering dititipi surat permohonan maaf Icha kepada Jaja, malah didiamkan dan ikutan dicuekin. Membuat Icha merasa bersalah. Icha terpaksa menulis surat karena Jaja dengan tiba - tiba mengganti nomor hape dan memblokir Icha dari kontaknya.

Memang itu Jaja tega luar biasa. Raja tega pokoknya.

"Cha, yuk!" Hesti memanggilnya. Mereka berencana menonton festival olahraga antar SMA di kotanya hari ini. Dia juga sudah janjian untuk bertemu dengan Ida dan Nisya di sana.

Hesti adalah teman sebangkunya dari kelas satu SMA. Kebtulan kelas dua ini mereka juga sekelas, dan sebangku lagi. Bisa dibilang Hesti adalah satu - satunya teman yang akrab dengannya di SMA ini. Dan hari ini, dia ingin mengenalkan pacar barunya kepada Icha. Pacarnya kebetulan ikut turnamen basket disana.

"Nanti aku jangan dikacangin ya, Hes." Icha mewanti - wanti. Keki lah, temennya pacaran, terus dia ngapain? Hesti tertawa renyah mendengarnya.

"Apaan, sih. Kan dia main basket, kita mau cuci mata di sana."

"Loh, katanya udah punya pacar, kok cuci mata?"

"Kan cuma cuci mata, Cha hahahaha."

Mereka kesana naik angkutan umum, lalu berjalan kaki sekitar tiga ratus meter untuk mencapai gedung olahraga yang dimaksudkan. Hesti asyik bertukar pesan dari ponsel sambil senyum - senyum sendiri di sampingnya. Sepertinya dengan pacarnya.

Haaah, di saat teman sebayanya sibuk pamer kemesraan dengan pacarnya, dia malah takut dengan lawan jenisnya. Berteman oke, sekali dua kali ngobrol masih bisa, tapi icha hanya membatasinya sampai disitu saja. Dia sangat trauma dengan Jaja yang sudah terlanjur dekat, bahkan dianggap keluarga, tapi ternyata mampu menyakiti luar biasa dalam sampai meninggalkan trauma.

Ida dan Nisya belum sampai. Tadi dia sempat menelpon salah satunya dan mereka bilang akan telat karena ada piket.

"Yang!" Hesti melambai pada seseorang di samping pintu masuk. Jika saja Hesti tidak menggandeng erat lengannya, Icha pasti sudah kabur sekarang. "Cha, kenalin, ini pacarku, Azra."

Iya! Pacar Hesti itu Azra yang itu. Jajanya. Kenapa dia harus bertemu Jaja sih? Out of all male students in Jogja, why him? Jogja sempit banget apa?!

"Oh, hai. Icha." Dia menyapa kikuk. Jaja hanya mengangguk lalu perhatiannya teralihkan pada Hesti. "Hes, aku di sana ya. Kalian ngobrol aja." Pemitnya pada mereka berdua.

Langkahnya lunglai. Dia tidak ingin berada di sini lagi. Tidak dengan mata Jaja yang selalu memancarkan laser dingin padanya. Dan lagi, dia tidak suka melihat Jaja baik pada cewek lain tapi ketus padanya. Nggak suka!

Sore itu berlangsung garing bagi Icha. Walaupun ada Nisya dan Ida di sana, tetap saja pemandangan Hesti yang menempel pada Jaja membuatnya jengah.

Dan agak... marah?

***

Azra’s Current POV

Azra memandangi deretan nomor yang tampak di layar ponselnya. Nomor Icha. Dia punya sudah lumayan lama. Bukan dari Hafid, tapi dari Asti, Head HR Indonesia. Tentu saja dengan alasan lihat profil karyawan. Dan semudah itu dia dapatkan kembali nomor Icha.

Tapi sayangnya, belum pernah digunakan. Dia belum pernah menghubungi Icha sekalipun sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan dia memutus semua hubungan dengan gadis itu dan memblokir nomornya. Bukan apa - apa, Azra tahu apa yang dia lakukan dulu, berganti - ganti pacar nyaris tiap bulan dan mencuekinya pasti amat menyakitkan bagi Icha. Jadi dia memutuskan lebih baik kalau Icha nggak tau apapun tentangnya atau kabarnya lagi.

Berhasil? Tentu aja nggak. Seakan - akan dunia memang sesempit itu, sehingga kemana pun mereka selalu saja bersinggungan. Dia ingin memutus hubungan dengan Ida, Nisya dan Hafid juga, tapi itu berarti memutus satu - satunya hal yang menghubungkannya dengan Icha.

Hari ini Icha nggak ikut meeting maupun pelatihan. Dia masuh harus pemulihan. Dan dia kangen. Dia ingin bertemu, tapi dia nggak berani menghubungi…

“Ah, bodo lah. Tinggak ngomong aja apa susahn ya, sih?!”

***

Azra akhirnya mendialnya. Dia sedang menunggu dengan jantung berdentam kencang. Diangkat nggak ya?

"H-halo?" Icha menyapa ragu - ragu. Sepertinya dia tahu kalau ini dia.

"Hai." Jawab Azra pelan, hanya berupa bisikan kecil. Gila, jantungnya lama - lama bisa jalan balik sendiri ke Indonesia kalau terus - terusan berdetak sekencang ini.

"Y-ya?" entah kenapa Icha jadi ikut - ikutan berbisik.

"How are you?" suaranya masih sepelan helaan nafas.

"Much better now."

"You scared me to death when you passed out, you know?"

Diam. Yah, mana mungkin Icha tau. Bahkan awalnya mereka berlagak seperti dua orang yang nggak saling kenal di sini.

"Mind if I came to visit this evening?"

"Ya." Jawabnya agak sedikit terlalu cepat. Suara Icha pecah, sepertinya menahan tangis. Azra menyentak nafas tajam mendengarnya. Kaget. Dia tau dia brengsek. Dia jahat pada Icha. Tapi mendengar sendiri gadisnya menangis membuatnya sejuta kali lebih buruk dari perkiraannya. Dia nggak tau harus bilang apa tentang ini, jadi dia memilih mengabaikannya dulu.

"Okay. Rest well. See you." Azra akhirnya mengakhiri panggilan teleponnya.

“See you.” Balasnya dengan susah payah.

Dia langsung membungkuk di atas wastafel untuk mengatasi debaran jantungnya dan perasaan muak yang menyeruak di dalam dirinya hingga membuatnya ingin muntah. Ya, dia sedang berada di toilet. Dia harus segera keluar dari sini sebelum dia digedor oleh pengguna yang lain. Tapi pertama - tama, dia harus menormalkan debaran jantung dan nafasnya dulu.

Related chapters

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 7: I Didn't Mean To Hurt You

    Azra’s 8 Tahun Yang Lalu Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik. Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya. Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 8: Past Is to Learn, Not To Haunt

    Azra Current POV Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya. Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 9: Can We Make Up Again?

    Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 10: The Chances Is Now Mine

    Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 11: Your Heart's Matters

    Icha Current POV "Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima saat Icha menceritakan kejadian hari ini pada mereka. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here." Itu nasehat teman - temannya saat dia menelepon mereka untuk meminta saran. Sambil sekalian curhat. Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman - temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu di sana untuk menemaninya. Seberuntung itu dia memiliki mereka. "Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian, Calon Manten?" Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam enam minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada di sana untuk membantu persiapannya. Padahal mereka sengaja memilih tanggal itu dengan asumsi Icha sudah kembali dari yearly meeting yang hampir selalu diadakan di luar neger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 12: I Miss You, That's The Truth

    Azra Current POV "Kamu kenapa? Dari tadi diajakin ngobrol aku dicuekin terus." Dia mengulang lagi pertanyaannya, masih sambil berjongkok. Dia suka posisi ini, membuatnya bisa melihat wajah Icha dari dekat. Tapi sepertinya Icha agak keberatan. Sejak tadi dia terus - terusan membuang muka dan melirik apa saja kecuali netra cowok yang sedang berlutut di depannya ini. Kenapa, sih? Dia tadi udah cuci muka sama gosok gigi loh! Jadi nggak mungkin belekan atau malah sampai bau jigong. "Nggak denger." jawabnya kaku. Kesal, sih sebenernya dengan jawaban asalnya, tapi apa daya, dia tidak bisa marah pada gadis ini. Selalu. Sejak awal mereka bertemu 12 tahun yang lalu. "Mau langsung berenang atau mau makan dulu? Kamu nggak fokus jangan - jangan laper." Icha mengerucutkan bibirnya sebal. Menurutnya, dia paling jelek saat membuat ekspresi seperti itu, tapi dia nggak tau aja, bagi Azra, malah itu salah satu ekspresi gemas favoritnya.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 13: I Knew Since The First Time I Saw You

    Azra POV 12 Tahun Lalu Hari itu, adalah saat pertama kali dia bertemu Icha. Saat itu hari senin, satu minggu setelah UTS, Azra menjadi siswa pindahan pertama di kelas tujuh. Sepanjang jalan dari kantor kepala sekolah ke ruang kelasnya, semua mata memandangnya melalui jendela yang terbuka. Pasti bertanya - tanya, kenapa pindah sekolah padahal baru saja selesai ujian tengah semester? Kenapa nggak pas kenaikan kelas kemarin? Itu karena Papanya. Papa yang sudah bertahun - tahun mengidap kanker paru-paru akhirnya bersedia melakukan operasi setelah mendapat rujukan ke Singapura. Dokter dan Mama menyakinkannya selama berbulan - bulan bahwa tumornya bukanlah tumor ganas dan kemungkinan sembuhnya mencapai enam puluh persen. Karena Mama akan menemani Papa di Singapura selama beberapa waktu selama pengobatan Papa, maka Azra dan sang adik perempuannya Azizah, pindah ke Jogja. Di sana ada sepasang Eyang dan Adik bungsu Mama Bulik Indah yang rumahnya sebe

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 14: Chance To Reach You

    Azra Current POV Sudah tiga hari sejak Icha tidak satu hotel dengannya. Jujur, dia merasa kelabakan. Banget. Karena itu artinya satu - satunya tempat di mana dia bisa bertemu dengan Icha adalah kantor. Dan nggak mungkin sekali baginya jika terlihat terus – menerus mendatangi Icha saat dirinya ingin melihat gadis itu. Dia harus professional. Dan lagi, Icha juga bisa jadi nggak nyaman karenanya. Untuk main ke mess juga bukan pilihan bijak, karena satu kamar mess bisa diisi dua hingga empat orang. Icha juga pasti merasa nggak nyaman. Dan kalau Icha nggak nyaman, dia bakal menarik diri, dan kalau dia menarik diri, artinya dia nggak lagi punya kesempatan. Jadi, no, it’s not a good choice. Sama seperti karyawan lain yang ikut dalam yearly meeting, yang berarti nggak buka email kerjaan selama beberapa waktu, emailnya juga mendadak membludag. Nggak sampe yang bikin orang mendadak nyebut dan diikuti dengan sumpah serapah seperti yang terdengar dari kolega - koleganya

Latest chapter

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 83: If This is A Dream, Don't Wake Me Up

    Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 82: With You, Forefer & After

    Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 81: Your Body Is my Wonderland

    Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 80: Sweet Weekend

    Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 79: The Burden

    Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 78: Time For Truth

    Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 77: Accompanied by a Friend

    Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 76: Rebound!

    Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang

  • The Memories (BAHASA)    Chaps 75: This Loneliness Killing Me

    Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek

DMCA.com Protection Status