10 tahun yang lalu
Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar.
Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat - sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen! Telpon sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai ponsel yang cuma bisa telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat.
Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua dari empat sahabatnya sudah dating! Icha melambaikan tangan dengan heboh, yang dibalas Hafid santai. Jaja tidak membalasnya, melihat ke arahnya pun tidak! Mungkin Jaja belum melihatnya, matanya kan memang agak - agak rabun, begitu pikir Icha.
Tapi betapa kagetnya Icha saat Jaja hanya lewat begitu saja di depannya, tanpa senyum, tanpa menoleh, apalagi membalas sapaannya. Icha mencoba mencari jawaban dari Hafid, hanya untuk mendapatkan tatapan serupa dirinya di sana. Bingung. Kaget. Bertanya - tanya.
Icha mengekor Jaja ke dalam, menghampiri bangkunya dan duduk di depannya.
"Jaja, Pagi!"
Senyum Icha menghilang, binar matanya meredup kala Jaja lagi - lagi mengacuhkannya dan keluar meninggalkan kelas, seolah Icha tidak berada di sana.
Dan sepanjang hari itu, Icha terus invisible untuk Jaja. Bahkan Jaja menghilang begitu belistirahat berbunyi tanpa menunggu mereka, padahal mereka biasa ke kantin bareng saat istirahat pertama.
Anehnya, hanya pada Icha Jaja seperti itu5t Dia masih tertawa lepas bersama Hafid, masih bercanda dengan Ida dan Nisya. Hanya pada Icha.
Jaja, kenapa? Icha salah apa? Kenapa Jaja cuekin Icha?
***
Icha’s Current POV
Icha terbangun, tersedak nafasnya sendiri karena mimpi buruk yang sering berulang sepuluh tahun terakhir ini. Hari pertama semester ganjil saat dia kelas tiga SMP adalah disaster bagi masa putih birunya. Mimpi buruk! Hari - harinya tak pernah sama lagi sejak saat itu. Dia seperti kehilangan dirinya dan menjadi orang baru sejak saat itu. Orang baru yang sama sekali tidak disukainya.
Icha bahkan sempat di bully terang - terangan oleh anak cheerleader yang mengidolakan Jaja. Sebenarnya kejadian ini sudah lumayan sering, tapi tidak pernah terjadi secara terang - terangan sebelumnya karena Jaja dan teman - temannya yang lain selalu melindunginya. Anehnya dari Ida, Nisya dan Icha yang dengan Jaja, hanya Icha yang mendapat perlakuan tidak enak di sekolah. Berbagai rumor jelek mulai menguar tentang dirinya, membuat dia dikucilkan. Rumor tentang dia dan Jaja, ada yang bilang mereka berantem, ada yang bilang Icha ditolak Jaja, macem - macem. Bahkan ada juga rumor kurang enak tentang Bapak. Walaupun nggak terlalu santer terdengar. Kebetulan Bapak adalah ketua komite wali murid SMP Nusantara. Hanya Ida, Nisya dan Hafid yang masih tetap berada di sampingnya hingga mereka lulus.
Icha trauma. Amat sangat. Trauma pada orang - orang yang terlihat superior. Karena alasan itulah, dia yang sudah mendapat beasiswa di SMA yang sama dengan Nisya, Ida, Hafid dan Jaja, memutuskan untuk mendaftar di SMA yang berbeda agar bisa memulai lembarannya yang baru. SMA yang nyaris nggak ada teman - teman yang berasal dari SMP yang sama dengannya. Dia tidak mengenal siapapun di SMA barunya. Lebih baik begitu, jadi dia bisa memulai lembaran barunya. Susah payah dia meyakinkan Bapak. Untung saja dia juga akhirnya mendapatkan beasiswa di SMAnya, membuat dia tidak begitu merasa bersalah pada Bapak karena sudah menyia - nyiakan tawaran beasiswa sebelumnya. Dia hanya tidak ingin masa SMA nya juga sama mengerikannya dengan tahun terakhir SMP nya.
Dengan nafas masih tersengal, Icha meraih botol minum yang dia taruh di meja nakas di sebelah kirinya sebelum tidur tadi.
Jam 4 pagi. Sebaiknya dia bangun dan sholat subuh saja. Mungkin setelahnya mengerjakan beberapa laporan perjalanan yang harus dia kerjakan selama dia di sini. Dan mungkin, jika badannya sudah lebih enakan, hari ini dia ingin ikut kelas pelatihan lagi. Nggak enak absen lama - lama. Sudah sampai sini.
Icha selesai melakukan rutinitas paginya saat jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Dia memaksakan diri mandi air dingin tadi, niatnya biar seger, tapi malah badannya menjadi agak lemas sekarang, dan kepalanya bertambah pusing setelah dia mengerjakan laporannya. Duh, asam lambung benar - benar tidak bisa diajak kompromi ya. Harus beneran sembuh dulu baru bisa melanjutkan aktivitasnya. Rencananya untuk ikut kelas pelatihan hari ini sepertinya harus ditunda dulu.
Memutuskan untuk berbaring lagi di tempat tidurnya, dia membaca ulang chat Hafid dan sahabat - sahabatnya di group kemaren malam yang belum sempat di balasnya:
Al-Hafid: Cha, pingsan? Jaja barusan telpon katanya lagi nganter lo balik ke hotel
NisyaAhmad: Icha pingsan? Kenapa Cha? Kata Jaja kenapa Fid?
Al-Hafid: Kata Jaja tadi kecapekan sama over stressed. Asam lambung naik
FaridaZein: Jaja masih sama Icha? Udah sampe hotel?
FaridaZein: Yang?! Ih dikacangin gue
NisyaAhmad: Kok bisa, sih?! Aku kepikiran gilak! Kondisi Icha gimana?
FaridaZein: Gue kepikiran yang lain
NisyaAhmad: :v focus Nyak, focus!
FaridaZein: Kenapa Jaja yang nganter? Fokusku masih disitu aja dari tadi
Al-Hafid: Barusan Jaja telpon lagi, Girls. Icha udah sampe hotel dengan selamat. Uda diperiksa dokter juga. Tadi gue minta Jaja nungguin sampe Icha siuman, tapi dia harus balik katanya
FaridaZein: Alibi teros!!
Al-Hafid: Udah, yang penting Icha nya gak kenapa-napa
Setelah panggilan dengan Nisya terputus, baru dia tau ada puluhan missed call dari sahabat - sahabatnya dan bahkan dari Ibu, tiga di antaranya. Dia sempat berpesan pada Nisya yang masih sekota dengannya untuk tidak melapor apapun, apapun tentang keadaannya, kepada Bapak dan Ibu. Nggak lucu aja panic, tapi jauh. Percuma. Nggak bisa ngapa - ngapain. Cuma jadi beban pikiran aja nanti.
Jadi... Azra tau kalau dia tinggal di hotel ini selama di Bangkok. Dia juga yang mengirim room service tempo hari. Dia mengantarkan Icha yang pingsan kembali ke hotel setelah pemeriksaan dokter. Susunan Puzzle mulai tertata rapi di kepala Icha. Pertanyaaan Icha tetap sama. Kenapa, Ja? Kenapa ke Icha?
Ketukan di pintu menariknya kembali dari lamunannya.
"Room service!"
Lagi?
***
Azra’s 10 Tahun Yang Lalu
Sepanjang liburan semester genap dia sibuk. Ya sibuk belajar, sibuk packing karena Mamanya akan pindahan, kembali ke Jakarta, dan sibuk menyusun strategi baru untuk membuat Icha peka pada perasaannya. Kata Hafid, yang penting peka dulu.
Tapi sebenernya Azra khawatir. Setelah Icha jadi peka terus gimana? Iya kalo perasaannya berbalas kayak Hafid ke Ida. Kalo mentok di friendzone gimana?
Icha beberapa kali datang ke rumah untuk bantu Mama packing. Seperti hari ini, dia bantuin Mama dan Azizah, adiknya, mengosongkan kamar Mama. Sebagian besar barang - barangnya memang akan di pindahkan ke Jakarta. Karena rumah lamanya juga sudah selesai di renovasi. Dulu mereka memboyong isi rumah ke Jogja karena di rumah lama kosong dan Mama ingin merenovasinya. Niatnya biar nanti pas Papa pulang ke rumah, keadaan rumah lebih kondusif untuk Papa. Tapi takdir berkata lain. Papa belum sempat pulang ke rumah itu lagi, Papa langsung pulang ke rumahnya yang abadi.
“Tadi Icha dianter siapa? Mas Eka?” Didengarnya Mama bertanya.
“Sama Mas Eka, Ma. Sekalian mau main sama temennya katanya.”
Di antara teman - temannya, Mama memang lebih dekat dengan Icha. Mungkin karena Azra juga lebih dekat sama Icha? Kalau ada Icha di rumah, Mama pasti nggak waro dia. Auto invisible Azranya. Kesel? Dikit sih, malah lebih ke seneng gitu. Dia jadi bayangin masa depan.
Ini Azra, umur 16 tahun, belum pernah pacaran, naksir berat sama temen deketnya dan bayanginnya udah masa depan bersama.
“Nanti di jemput lagi?”
“Kalo nggak dijemput Jaja aja yang anter, Ma.” Sahutnya lantang.
Waktunya berdua dengan Icha ya hanya seperti itu. Tapi itu yang membuatnya jadi special. Jarang - jarang dan singkat. Bikin nagih.
Saat Icha nggak ke rumahnya, mereka hanya bertukar SMS atau conference call bersama yang lain. Tapi jangan dibayangkan isi SMS nya akan romantic. Karena Jaja tetap Jaja dan Icha tetap Icha. Yang satu konyol dan yang satu ngambekan. Azra pernah mencoba menelpon Icha, hanya Icha saja, sekali selama liburan, tapi malah berakhir dimarahi karena dikira iseng.
Kebayang kan, bagaimana putus asanya Azra pada Icha sampai harus membuat strategi baru?
Tapi semuanya runtuh di malam terakhir liburannya. Karena satu SMS yang datang dari nomor tak dikenal.
Azra’s Current POV Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid. Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra. “Kok gue yang lo sumpahin dodol!” “Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid. “Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.” “Pasti gara - gara lo.” “Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.” Hafid terkekeh sebentar.
Azra’s 8 Tahun Yang Lalu Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik. Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya. Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin
Azra Current POV Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya. Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa
Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra
Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it
Icha Current POV "Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima saat Icha menceritakan kejadian hari ini pada mereka. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here." Itu nasehat teman - temannya saat dia menelepon mereka untuk meminta saran. Sambil sekalian curhat. Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman - temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu di sana untuk menemaninya. Seberuntung itu dia memiliki mereka. "Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian, Calon Manten?" Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam enam minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada di sana untuk membantu persiapannya. Padahal mereka sengaja memilih tanggal itu dengan asumsi Icha sudah kembali dari yearly meeting yang hampir selalu diadakan di luar neger
Azra Current POV "Kamu kenapa? Dari tadi diajakin ngobrol aku dicuekin terus." Dia mengulang lagi pertanyaannya, masih sambil berjongkok. Dia suka posisi ini, membuatnya bisa melihat wajah Icha dari dekat. Tapi sepertinya Icha agak keberatan. Sejak tadi dia terus - terusan membuang muka dan melirik apa saja kecuali netra cowok yang sedang berlutut di depannya ini. Kenapa, sih? Dia tadi udah cuci muka sama gosok gigi loh! Jadi nggak mungkin belekan atau malah sampai bau jigong. "Nggak denger." jawabnya kaku. Kesal, sih sebenernya dengan jawaban asalnya, tapi apa daya, dia tidak bisa marah pada gadis ini. Selalu. Sejak awal mereka bertemu 12 tahun yang lalu. "Mau langsung berenang atau mau makan dulu? Kamu nggak fokus jangan - jangan laper." Icha mengerucutkan bibirnya sebal. Menurutnya, dia paling jelek saat membuat ekspresi seperti itu, tapi dia nggak tau aja, bagi Azra, malah itu salah satu ekspresi gemas favoritnya.
Azra POV 12 Tahun Lalu Hari itu, adalah saat pertama kali dia bertemu Icha. Saat itu hari senin, satu minggu setelah UTS, Azra menjadi siswa pindahan pertama di kelas tujuh. Sepanjang jalan dari kantor kepala sekolah ke ruang kelasnya, semua mata memandangnya melalui jendela yang terbuka. Pasti bertanya - tanya, kenapa pindah sekolah padahal baru saja selesai ujian tengah semester? Kenapa nggak pas kenaikan kelas kemarin? Itu karena Papanya. Papa yang sudah bertahun - tahun mengidap kanker paru-paru akhirnya bersedia melakukan operasi setelah mendapat rujukan ke Singapura. Dokter dan Mama menyakinkannya selama berbulan - bulan bahwa tumornya bukanlah tumor ganas dan kemungkinan sembuhnya mencapai enam puluh persen. Karena Mama akan menemani Papa di Singapura selama beberapa waktu selama pengobatan Papa, maka Azra dan sang adik perempuannya Azizah, pindah ke Jogja. Di sana ada sepasang Eyang dan Adik bungsu Mama Bulik Indah yang rumahnya sebe
Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem
Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag
Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it
Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger
Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber
Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri
Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang
Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek