Azra’s Current POV
Bebeda dengan Icha yang wajahnya terlihat agak merengut beberapa hari terakhir ini, dia malah sebaliknya. Cerah ceria seperti mentari pagi di musim panas. Dia hepi luar biasa. Alasannya? Karena seminggu ini dia berada di tim yang sama dengan Icha. Untuk saat ini, berada dekat dengan gadisnya itu cukup. Halah, gadisnya.
Meskipun nggak sesering yang dia mau, dia juga kerap bergabung dengan Icha dan Tya saat makan siang maupun coffee break. Yang tentu saja disambut dengan ramah oleh Tya. Ya, dia sekarang tau nama teman yang selalu bersama Icha saat berangkat dan pulang ke hotel. Namanya Tya, dia Outbond Supervisor Jogja Based. Icha? Seperti biasa. Hanya menunduk dan menggumam tanpa memberikan pendapat yang jelas. Nggak papa, yang penting Azra terlihat eksis di depan Icha. Untuk langkah awal itu cukup.
Mereka sedang berdiskusi heboh bersama membahas topik yang disediakan panitia tadi. Kelompok kecilnya yang berisi delapan orang itu sibuk membahas materi yang tadi menjadi bahan diskusi, sementara Azra lihat dia sibuk mencatat poin pentingnya. Icha bukan orang yang suka menjadi centre of attention. Dari dulu dia begitu. Dia memang pemalu. Karenanya Azra membiarkan saja. Toh memang harus ada notulen untuk diskusi kecil mereka ini.
"Here, we need something to Wow - ing our customers," Marika dari Philippines menutup diskusi mereka dengan pencarian ide.
"Hmm, I like it! But How?" Azra bertanya, memancing.
"Paying attention to details like their favorite music, wine, books, or special occasion like birthday? Or simply leave a welcome or goodbye message and petit souvenir."
Semua terdiam memandang Icha yang mengatakannya setengah melamun. Dia tergagap, lalu tertunduk malu saat semua mata sudah tertuju padanya dan suasana di meja bundar itu mendadak hening.
"Ah.. Em.. S.."
"That's it, right?" Azra berseru, diikuti oleh teman - teman setimnya. "We'll do like that, ya. Next, who's gonna volunteer to explain to the crowds in front?"
Ryujin dari Jepang menawarkan diri dengan berani, disambut tepuk tangan meriah mereka berdelapan yang berkerumun di meja pojok ruangan. Ruang meeting dadakan untuk kelompok kecil mereka sebelum dikumpulkan kembali untuk presentasi antar kelompok setelah ini.
Azra tersenyum senang sepanjang Ryujin presentasi. Bukan karena cowok itu menyampaikannya dengan baik, malah kalau mau jujur dia nggak terlalu memperhatikan apa yang Ryujin sampaikan. Dia tersenyum karena memikirkan hal lain. Dia merasakan hawa - hawa segar usahanya akan berbuah manis. Dia benar - benar serius tentang menebus kesalahannya selama sepuluh tahun terakhir. Dan dia juga serius mencuri kesempatan. Apa saja yang ditawarkan, padanya.
Di sisi lain, yang jadi objek kebahagiaan Azra malah tengah melamun tentang hal - hal antara dia dan Azra di masa lalu. Lagi - lagi bertanya - tanya sebenarnya di mana semua kerumitan ini berawal?
***
10 Tahun yang lalu
Semuanya sudah berkumpul di depan rumah Jaja, siap untuk berangkat ke hutan pinus seperti kata Jaja pada Icha kemarin. Tapi yang terlihat sumringah dan bersemangat hanya Icha.
Ida dan Hafid terlihat kebingungan dan tidak yakin harus bagaimana saat Icha dengan menggebu - gebu membeberkan rencananya nanti di hutan pinus. Nisya juga malah terang - terangan meminta penjelasan Jaja 'kenapa kita ikut juga? '. Dan Jaja yang paling tidak bersemangat seperti ban kemps hanya mengangkat kedua bahunya lesu. Maunya dia juga nggak kayak gini awalnya.
Mereka berlima ke hutan pinusnya diantar oleh Pak Abu, supir Kakek Jaja. Rencana awalnya sih mau naik motor, tapi karena jumlahnya ganjil, kasihan kalau harus ada yang naik motor sendirian, akhirnya diputuskan untuk naik mobil saja. Untung Kakek baik, minjemin Pak Abu buat anter mereka jalan - jalan.
Icha belum sempat menangkap adanya keganjilan apapun, karena mood teman - temannya sudah kembali seperti semula saat tiba di hutan pinus.
"Pak Abu, minta tolong fotoin kita berlima yaaa." Kata Jaja memberikan kamera digital yang dibawanya, dan kemudian mengambil tempat di sebelah Icha. Pak Abu memotret beberapa kali dengan pose yang berbeda - beda sesuai permintaan mereka. Memang dasar anak - anak kurang ajar, ngerjain orang tua. Di foto terakhir, Jaja mendadak bergeser ke belakang Icha dan mencubit kedua pipinya, membuat si empunya pipi memekik marah nggak terima.
Mereka akhirnya terlibat kejar - kejaran di antara pepohonan pinus ala film india.
"Sakit tauk!" Icha berteriak marah saat akhirnya Jaja berhenti masih sambil ngakak. Tak tega rasanya melihat muka Icha yang merah karena marah dan berlari. Bocah satu ini memang paling benci jenis olahraga yang satu itu. Alasannya simple, larinya lambat, dia sering banget ketinggalan.
"Tahanin lah, bentar lagi aku nggak bisa nyubitin pipimu." Jaja menjawab cool.
"Tapi kenapa harus dicubit sih??!" Korbannya masih tidak terima.
"Emang mau dicium aja?"
Hah?! Icha melotot kaget. Tapi Jaja nya santai tuh, masih sambil ketawa - ketawa. Bercanda kali ya maksudnya?
"Boleh.” Sahutnya enteng mengimbangi Jaja yang dikiranya sedang guyon itu. “Tapi ciumnya gak boleh sekarang, dong! Kan belom nikah! Week!" Icha membalas meleletkan lidahnya
"Berarti nanti kalo udah nikah boleh ya?"
Wah, Jaja bercandanya nggak berhenti - berhenti. "Apaan, sih Jaja. Kayak iya aja bakal nikahnya sama Icha."
"Ck! Iyain aja dulu, daripada kucubit lagi?" Jaja mengancam, membuat Icha menangkup pipi bakpaonya agar terhindar dari jari - jari jahat Jaja. Membuat wajahnya jadi semakin lucu menggemaskan.
"Iya, deh, iya! Semaunya Jaja aja!"
Jaja tertawa gemas, mengusap puncak kepala Icha. Membuat rona merah di wajah Icha yang belum sempat menghilang sepenuhnya karena berlari tadi muncul lagi.
Mereka lanjut bermain lagi hingga sore menjelang. Tak ada yang aneh bagi Icha. Semuanya menyenangkan dan mereka bersenang-senang.
Selama liburan sekolah, mereka masih baik - baik saja. Beberapa kali Icha sempat membantu Jaja beberes untuk pindahan. Nisya dan Ida juga datang, bukan untuk membantu, tapi buat jadi tim hore. Daripada sepi kan, rumahnya.
Tapi semua berubah seketika, di hari pertama semester genap. Tanpa tanda - tanda tanpa peringatan.
***
Azra’s Current POV
Mereka masih lanjut berdiskusi, presentasi, brainsortming, seperti itu terus sepanjang hari. Ringan sih, cuma ngobrol aja, tapi lumayan menguras tenaga, apalagi bagi yang harus presentasi di depan.
Ini baru selesai coffe break pertama sebelum lunch break. Kelompok mereka barusaja selesai presentasi. Azra melihat Icha sudah pucat sejak pagi. Pandangannya tidak focus, dia juga nggak langsung menyahut saat ada yang mengajaknya bicara. Tadi dia hanya minum tehnya sedikit dan nggak menyentuk canapé yang disediakan pihak panitia sama sekali.
Saat Icha lebih sering menunduk dan mengusak rambut panjangnya ke belakang, dengan nafas yang jelas terlihat pendek - pendek itu, Azra tau dia kenapa - napa. Sakit? Dia terus memberhatikannya selama beberapa saat. Posisi duduknya yang tidak tepat di sampingnya membuatnya menoleh dengan alami pada gadis itu, seperti sedang memperhatikan apapun yang sedang diterangkan di depan padahal tidak.
Dia hampir menowel teman di antara dia dan Icha untuk bertukar duduk untuk mengawasinya saat mendadak tubuh gadis tersebut oleng. Beberapa yang melihat langsung memekik. Beberapa berdiri ingin membantu, tapi terlambat. Azra sudah melesak lebih dulu menangkap tubuhnya yang jatuh.
“Can we excuse you guys first?” Katanya meminta ijin, lalu mulau menggendong Icha ke ruangan secretariat untuk mendapat perawatan.
Ada beberapa orang di sana, dan jelas mereka kaget saat Azra masuk dengan Icha dalam gendongannya.
“Dia kenapa? My Gosh! She looks so pale!” Seru salah satu dari mereka.
“Baringkan dia di sini. Dia demam?”
Azra menurut dengan sigap. Diperiksanya suhu tubuh Icha setelah dibaringkan di ranjang darurat. “Ya, suhu tubuhnya agak tinggi. Can you call the doctor? And ambulance? We need to take her back to her hotel.”
“Do you know where’s she staying?"
“Ya, satu hotel kok sama aku.”
***
Icha’s Current POV
Icha tidak tahu berapa lama dia pingsan, saat dia terbangun, hari sudah sore dan dia berada di kamarnya sendiri. Kekagetannya tidak berhenti sampai di situ, di samping ranjangnya sudah ada baki makanan yang masih tertutup, dengan memo di atasnya.
Get well soon!
Don't stress too much, and eat your meal properly.
You're allowed to skip the class until you're fully recovered.
Tulisan yang sama seperti yang dia temukan di memo room service tempo hari.
Siapa? Tya? Masa sih, dia seromantis ini?
Icha mengingatkan dirinya sendiri untuk berterimakasih pada Tya nanti, dan meminta maaf pada teman -teman setimnya yang pasti terganggu oleh insiden pingsannya tadi.
Duh, malu-maluin.
Dipaksanya untuk bangun dan menyantap makan sorenya, obatnya sudah terjejer rapi di sebelah bakinya. Mulutnya masih terasa pahit dan tidak bisa merasakan apa - apa, tapi Icha tidak bodoh untuk menuruti selera makannya yang sedang dalam mood terburuknya. Dia tidak ingin menambah parah keadaannya dan membuat kejadian memalukan ini terulang lagi. Dia masih harus bertahan di sini lima minggu, dan ini baru minggu kedua. Seharusnya dia juga mengingat hal ini sebelum bandel mengacaukan jadwal makannya seminggu belakangan. Dia jauh dari kampung halaman. Dia harus bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan sampai sakit - sakit.
Apalagi, setelah sesi Training dan Meeting tahunan ini selesai, dia akan punya kesempatan untuk bekerja di Head Office Bangkok selama sekitar 1 minggu, tergantung lama tidaknya yearly meeting yang mengharuskannya ikut. Dan kompensasi seminggu full untuk menjajal paket wisata yang ada di Bangkok. Jalan - jalan gratis ini tidak boleh dibiarkan mubazir hanya karena dia tidak bisa menjaga kondisi tubuhnya.
Di tengah perjuangannya mengunyah baguette dingin yang rasanya sudah mirip kardus di lidahnya itu, hape di meja sampingnya berbunyi.
Nisya Calling...
"Iya Nis, " sapanya pelan.
"Aduh, kamu beneran sakit di sana, Cha? Sekarang kondisinya gimana? Kok bisa ambruk gitu gimana ceritanya deh? Terus itu dari tadi si Ida coba telpon kenapa gak diangkat?"
Icha menjauhkan hapenya dari telinga sambil meringis. Anak ini, pertanyaannya kaya petasan cina. Berentet.
"Cha? Kok diem aja sih, Cha! Jawab, dong! Kamu nggak pingsan lagi, kan?! Aku kuatir kamu ken... "
"Nis," suara di seberang langsung berhenti. "aku gakpapa, ini lagi makan, mau minum obat."
Hembusan nafas Nisya yang seakan baru bebas dari sembelit seminggu terdengar. Eh bentar. Ada yang aneh nggak sih? Apa ya tapi? Mmm... Ah! Iya.
"Kok kamu bisa tau aku sakit?" Seingatnya, Tya tidak memiliki kontak sahabat-sahabatnya. Tya adalah teman kerjanya dan mereka adalah sahabat - sahabatnya, mereka berada di circle yang berbeda. Bahkan bisa dipastikan mereka nggak saling mengenal. Lalu bagaimana Nisya tau?
"Hafid tadi kasi tau di group."
"Hafid?" Loh makin aneh. Kok bisa Hafid? Apa hubungannya? Kok jadi nggak nyambung sih?
"Iya, tadi Jaja telpon dia katanya kamu pingsan pas sesi brainstorming."
"Jaja?"
Duh, Icha! Bahkan kakak tua aja kosakatanya lebih bervariasi dan tidak melulu mengulang satu kata doang tanpa makna.
"Iya, tadi dia menelpon Hafid pas lagi di mobil nganter kamu pulang ke hotel."
Eh? Apa? Jaja? Nganter pulang ke hotel? Bukan Tya??
10 tahun yang lalu Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar. Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat - sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen! Telpon sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai ponsel yang cuma bisa telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat. Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua d
Azra’s Current POV Dia dipanggil ke kantor pusat untuk menyelesaikan sesuatu kemarin, jadi dia nggak bisa menunggui Icha yang pingsan hingga siuman. Di tengah kepanikannya, dia menghubungi sahabatnya Hafid. Selama mereka diem - dieman, Azra memang hanya masih berkontak dengan Hafid. Apalagi sejak cowok itu kerja di Jakarta. Di antara teman - temannya memang hanya Hafid yang paling rajin membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar. Karena dia tau perasaan Azra pada Icha. Hafid yang di telpon pun kemarin panic luar biasa dan malah nyumpahin Azra. “Kok gue yang lo sumpahin dodol!” “Dia pingsan kenapa?" Azra nggak digubris oleh Hafid. “Tadi diperiksa dokter katanya asam lambung naik. Kecapean sama overstressed.” “Pasti gara - gara lo.” “Lo emang temen gue paling baik, Dul!” Sindirnya. “ Dulu lo maksa gue minta maaf, sekarang gue lagi usaha lo sumpahin. Baik bener dah emang lo.” Hafid terkekeh sebentar.
Azra’s 8 Tahun Yang Lalu Ternyata Hesti temen Icha. Parahnya lagi, mereka teman sebangku. Hesti bilang Icha adalah teman pertamanya SMA tersebut, begitu juga sebaliknya, karena keduanya sama - sama berasal dari SMP yang kurang terkenal dan bukan SMP negeri. Ini tentu aja bikin Azra panik. Dia nggak tau. Dia ceroboh kali ini. Biasanya, dia selalu berkencan dengan orang - orang yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan Icha agar cewek itu nggak tau siapa yang dikencaninya kali ini. Buat apa? Toh paling seminggu dua minggu lagi akan dia putuskan kalau bosan. Dan alasan lainnya, dia nggak ingin Icha merasa sakit karena ulahnya. Dia tahu dia nyakitin Icha, but he just can’t stop. Dia sedang menghukum dirinya sendiri karena kecerobohannya. Rekor terlamanya pacaran adalah sembilan minggu. Itu pun karena saat itu dia malas ber drama ria. Jadi dia diamkan saja cewek yang saat itu dikencaninya. Nggak ngabarin, sering nyuekin
Azra Current POV Dia menangis. Tiba belas tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Alah, kaya nggak selalu dia aja yang jadi sebab kesedihan Icha, hatinya menambahkan sinis. Gadis itu kini menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya. "Cha, aku...." "Kok kamu jahat!" pekiknya masih sambil tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara - gara tadi dia nyosor sembarangan. Iya kan? "Cha...." "Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Azra Pe'a!" Katanya kurang jelas karena mulutnya ada isinya. Oh iya! Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!" Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa
Azra’s Current POV Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sempat tadi dia tertarik untuk membiarkannya tak termakan, karena dia toh juga belum terlalu lapar sebenarnya, dia ingin melihat Icha mengomelinya lagi seperti dulu kalau menyia - nyiakan makanan, tapi tidak dilakukannya. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan saling membuang muka canggung. Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram. "Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan - pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk - nepuk punggung Azra
Azra’s Current POV Nggak ada acara penting dari ferry cruise hari ini selain untuk lebih saling mengenal antar devisi sales baik inbound maupun outbond dari berbagai Negara tempat kantornya tersebar. Kantor pusat mereka yang di Bangkok menyewa satu kapal ferry yang biasa beroprasi di Chao Praya River, salah satu sungai yang menjadi destinasi wisata air terkenal di Bangkok, untuk mengakomodasi mereka seharian ini. Karena semua berkumpul jadi satu, Azra nyaris nggak punya kesempatan untuk menemani Icha. Dia sibuk menyapa balik orang - orang yang menyapanya dan yang ingin ngobrol dengannya. Duh, nasib jadi orang terkenal. Ke sana - sini ada aja yang menyapanya. Di acara seperti ini nggak jarang juga teman - teman seprofesinya memanfaatkan momen untuk ajang mencari jodoh. Lumayan lah, siapa tau klop. Yang cuma cari one night stand juga ada. Memang jarang dibahas, tapi bukan berarti it
Icha Current POV "Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima saat Icha menceritakan kejadian hari ini pada mereka. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here." Itu nasehat teman - temannya saat dia menelepon mereka untuk meminta saran. Sambil sekalian curhat. Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman - temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu di sana untuk menemaninya. Seberuntung itu dia memiliki mereka. "Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian, Calon Manten?" Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam enam minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada di sana untuk membantu persiapannya. Padahal mereka sengaja memilih tanggal itu dengan asumsi Icha sudah kembali dari yearly meeting yang hampir selalu diadakan di luar neger
Azra Current POV "Kamu kenapa? Dari tadi diajakin ngobrol aku dicuekin terus." Dia mengulang lagi pertanyaannya, masih sambil berjongkok. Dia suka posisi ini, membuatnya bisa melihat wajah Icha dari dekat. Tapi sepertinya Icha agak keberatan. Sejak tadi dia terus - terusan membuang muka dan melirik apa saja kecuali netra cowok yang sedang berlutut di depannya ini. Kenapa, sih? Dia tadi udah cuci muka sama gosok gigi loh! Jadi nggak mungkin belekan atau malah sampai bau jigong. "Nggak denger." jawabnya kaku. Kesal, sih sebenernya dengan jawaban asalnya, tapi apa daya, dia tidak bisa marah pada gadis ini. Selalu. Sejak awal mereka bertemu 12 tahun yang lalu. "Mau langsung berenang atau mau makan dulu? Kamu nggak fokus jangan - jangan laper." Icha mengerucutkan bibirnya sebal. Menurutnya, dia paling jelek saat membuat ekspresi seperti itu, tapi dia nggak tau aja, bagi Azra, malah itu salah satu ekspresi gemas favoritnya.
Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem
Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag
Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it
Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger
Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber
Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri
Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang
Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek