“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Gina sambil berbisik pelan. Dia adalah teman sebangku ku yang super menyebalkan. Sekeras apapun aku jujur padanya dia juga takkan tahu apa yang sebenarnya kukatakan. Namun malah menciptakan rumor permanen yang kuanggap seperti sebuah kesialan.
Jika ditanya siapa yang menyebarkan rumor palsu bahwa aku menyukai Aron selama sepuluh tahun. Maka orang itu adalah Gina. Gadis cantik berambut panjang namun sangat polos.
“Aku baik-baik saja,” balasku santai. Jika karena ditolak aku tak merasa buruk akan hal itu. Tapi jika soal dipermalukan di hadapan banyak orang aku sangat marah. Tunggu saja pembalasanku.
“Huhu, aku gak tahan lagi. Aku tahu kamu nggak baik-baik saja. Tapi kamu berusaha untuk tidak membuatku khawatir. Kamu memang sangat baik,” katanya dengan nada seperti sedang menangis. Entah dia benar-benar nangis atau hanya dibuat-buat. Dia memang seperti itu, ratu drama yang buruk.
“Aku nggak bohong kok!” aku berusaha meyakinkan dia agar dia segera diam. Karena ketika aku menoleh ke arah Bu Fatma, matanya itu akan melotot tajam ke Arahku lalu memukulkan penggaris kayu panjang itu ditangannya.
“Dasar Aron sialan. Dia sangat bodoh menolak gadis secantik Irene,” teriaknya.
”Betul banget! Aku setuju akan hal itu. Tapi lebih baik kita diam. Bu Fatma sedang mengawasi kita. Aku tak ingin disuruh berdiri. Aku lelah,” kataku memohon ke Gina. Namun sepertinya dia tak mendengarku. Aku hanya pasrah dengan keadaan.
"Meskipun di kelas ini ada yang lebih cantik," timpalnya lagi. Senyumku memudar menatapnya.
"Siapa?" bisikku
"Aku," aku geram mendengar jawabannya. Rasanya ingin kumakan hidup-hidup dirinya. Meremukkan seluruh tulang-tulangnya.
PLAK
Oh tuhan! Cobaan apa lagi ini.
Mataku melotot ke penggaris kayu panjang yang dipukulnya mendarat tepat di atas mejaku. Tentu saja aku terkejut. Apalagi kini semua siswa di ruangan kelas ini menatap kami berdua.
“Apa salah meja saya bu? Sampai meja saya dipukul. Kan kasihan,” protesku membuat semua siswa tertawa. Bahkan Gina pun yang sedang panik berusaha menahan tawanya.
“Semua diam!” perintah Bu Fatma tegas dan memelototi ku dengan tajam, “Masih bagus meja kamu yang saya pukul. Daripada kamu yang saya pukul.”
Aku pun tak bergeming sedikit pun. Namun aku sama sekali tak panik. Aku sudah tahu ini hari kesialanku.
“Kalian ini yah! Bukannya belajar malah cerita saja kerjanya. Bikin darah tinggi ibu jadi naik,” omel Bu Fatma.
“Ibu gak mau ke rumah sakit?” bantahku lagi. Sejujurnya aku sudah kesal dengan kejadian hari ini. Dan bukankah dosa membantah Ibu guru?. Tapi terlihat menyenangkan sehingga aku sama sekali tak takut membangkang. Setidaknya bu Fatmah geram kepadaku seperti aku geram melihat Aron dan Gina.
“IRENE!” teriaknya keras. Aku terkejut sekian kalinya. Bahkan aku mengelus dada.
“BERDIRI!” perintahnya tegas dengan menatapku emosi. “Gina juga!”
“Kalian berdua berdiri di depan kelas. Sekarang!” teriak kerasnya lagi.
Aku dan Gina pun berdiri dan melangkah keluar kelas. Jika tidak, Bu Fatma akan lebih marah lagi.
“Kenapa bukan mejanya saja yang disuruh berdiri. Kan mejanya yang dipukul,” gerutuku pelan dengan nada kecil. Namun masih terdengar saja di telinga para siswa.
“Hmmm. Irene! Kamu pikir ibu tuli? Ibu dengar semua yang kamu katakan. Mau hukumannya Ibu tambah?” ancam Bu Fatma.
“Nggak Bu,” balasku sambil menghela napas. Lalu aku segera keluar dan berdiri di depan kelas. Gina mengikutiku. Kami berdiri dengan satu kaki terangkat dan kedua tangan menyilang sambil menjewer telinga. Sehingga kami harus menjaga keseimbangan agar tak terjatuh.
Aku menolehkan kepalaku menatap masuk ke kelas melalui jendela kaca. Aku iri melihat Aron yang duduk layaknya seorang raja duduk di singgasananya.
“Hmm, Dia duduk dengan nyamannya. Setelah mempermalukanku di depan banyak orang. Dia bukan manusia. Tapi Iblis,” keluhku. sambil jari telunjuk ku arahkan padanya.
“Aku minta maaf,” katanya lagi. Aku gak tahu harus berkata apa lagi pada orang ini.
“Kamu kenapa lagi?” aku sudah sering mengeluh tentang Gina. Kini seperti aku yang ingin menangis.
“Huhu, karena aku, kita jadi dihukum. Kamu sudah menderita karena ditolak Aron. Dan aku malah membuatmu dihukum,” tangisnya lagi. Aku berusaha menenangkannya.
Seandainya bisa kukatakan saja. Aku sama sekali tak menderita karena Aron menolakku. Namun aku menderita karena kalung ini. Rasanya aku sudah gila. Seperti telah membuat hidupku hancur berantakan.
Hukuman kami berakhir ketika jam mata pelajaran matematika juga berakhir. Betisku sepertinya akan meledak.
“Aku sungguh lapar,” batinku sambil memegangi perut ini. Namun aku segera meletakkan kepalaku di atas meja. Karena percuma juga aku menuju kanting sekarang karena jam mata pelajaran selanjutnya akan segera masuk.
“Ini hari yang melelahkan,” gerutuku lagi sambil menghela napas.
Ketua kelas menghampiri Aron. Aku sering melihat mereka mengerjakan tugas bersama. Banyak yang beranggapan bahwa mereka pacaran. Karena mereka terlihat serasi. Viona ialah gadis tercantik di sekolah ini menurut para siswa. Namun menurutku akulah yang tercantik. Namun sayangnya mata mereka buta. Hehe, bercanda.
Ia adalah ratu sekolah pujaan para pria. Siswa terpintar setelah Aron. Dia juga siswa teladan. Itu terbukti dari setiap guru yang menegurku dan menasehatiku selalu saja memujinya serta menyuruhku meniru kepribadiannya.
Namun karena dia selalu melekat pada Aron jadi banyak siswa yang menyebutnya saingan terkuatku.
Percuma dia jadi saingan ku. Aku bahkan takkan pernah cemburu.
“IRENE!” teriak seseorang yang memanggil dan membangunkanku.
Ah tidak! Jangan lagi.
Dari suaranya aku sudah tahu orang itu adalah Dion. Si pembuat ulah nomor satu di sekolah ini. Kami dulu sering dipertemukan di ruangan Bimbingan Konseling.
Dia mengejarku hingga sekarang. Meski rumor palsu itu menyebar sampai di telinganya. Ia masih saja mencoba mengambil hatiku. Aku bahkan menunggu hari dimana dia akan menyerah
Dua orang teman idiotnya selalu bersamanya. Ari dan Jodi yang selalu memanggilnya bos. Dan menuruti setiap perkataan. Meski Dion sama menyebalkan seperti Gina tapi setidaknya ada seorang yang mengatakan aku lebih cantik daripada Viona. Haha.
“Oh Ratuku! Aku yakin kamu lelah,” katanya dengan nadanya dibuat seperti seorang raja.
“Sejak kapan aku jadi ratumu?” keluhku dengan nada berbisik. Aku memalingkan wajah tanpa sengaja mataku pertatapan dengan mata Aron. Tampak ia menatapku dengan aneh namun segera memalingkan wajahnya kembali seperti semula.
“Kenapa dia? Apa dia cemburu? Ah masa bodoh! Mana mungkin. Jangan lupakan kejadian tadi Irene,” batinku sambil cemberut. Lalu melihat Dion membawa sesuatu.
Dion membawakanku makanan di dalam rantang tersusun. Aku segera bangun karena baunya yang lezat. Ari dan Jodi melayaniku dan membuka tutup rantang satu persatu. Perutku mulai berbunyi karena aku memang belum makan tapi malah membuatkan orang lain makanan.
Sepertinya saya kesalku berkurang setelah makan. Dion kau malaikat penolongku.
Ayam goreng, beberapa potong Pizza, dan nasi. Itu adalah makanan kesukaan ku. Aku menyantapnya dengan lahap.
“Irene, aku sangat merindukanmu. Seandainya tadi aku tak bolos mungkin saja aku sudah menghajar orang itu. Mengapa kamu harus menyukainya. Kamu akan terus terlukai. Sukai aku saja, aku takkan pernah menyakitimu,” ucapnya dengan serius menatapku. Sampai kapan drama ini akan berlanjut.
Dion sebenarnya juga sangat tampan. Ia bahkan tak kalah populer dari Aron. Ia pandai bernyanyi bahkan sering membuatkanku sebuah lagu yang indah. Aku juga dengar dia sudah pernah menjadi bintang iklan terkenal.
Namun bukan berarti aku dengan mudah bisa menyukainya. Meski selama ini dia sangat baik padaku. Dia bahkan siap kapan pun dan dimanapun akan menjadi pengawalku. Namun bagiku Dion sudah seperti sahabatku.
“Aku juga ingin menyukaimu. Tapi sulit,” kataku jujur. Anehnya Aron tak hanya menatapku dengan tatapan aneh tapi juga menghampiriku.
“Irene, suruh temanmu pergi!”
“Kenapa aku harus mendengarkanmu?” itu yang ingin kukatakan. Namun aku malah bilang “Oke,” itu menyakiti Dion yang sudah baik memberiku makan disaat kelaparan.
“Ah Aron Brengsek. Berani-beraninya kamu berdiri di hadapanku?” teriak Dion yang berdiri di hadapan Aron, tinggi mereka hampir sama. Ia menarik kerah baju Aron dengan sekuat tenaga. Membuat semua orang takut dan bergerak menjauh. Dion dikenal sebagai petarung yang kuat. Ditambah dia memiliki otot di lengannya. Padahal dia masih anak SMA.
“Kamu sudah sering menyakiti dan mempermalukan Irene sesuka hatimu. Kamu pantas mendapat pukulan,” Dion mengayunkan tangannya ke arah wajah Aron.
Oh aku terharu.
“Tunggu!” teriakku menghentikannya. Tak heran ini tontonan yang menegangkan karena para siswa menyaksikan kejadian ini di depan jendela kelas
“Dion, ku mohon kembalilah ke kelasmu. Guru akan segera datang. Jika kamu bertengkar sekarang. Keadaannya semakin rumit lagi. Dan kamu jangan bolos lagi. Aku nggak mau kamu diskor dari sekolah,” kan sayang kalau dia diskor dari kelas. Nggak ada yang bikinin makanan lezat.
“Tapi, Irene” elaknya.
“Aku nggak akan makan kalau kamu nggak mau nurutin aku,” ancamku. Agar drama ini selesai. Aku bahkan memasang wajah cemberut dan menggemaskan.
“Ah, jangan gitu dong! Kamu terlihat kurus sekarang. Nanti kalau nggak makan kamu bisa mati gimana dong?. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu,” bujuknya membuatku mengumpat. Aku berdigik ngeri mendengarnya.
Sialan Dion! Malah doain aku mati.
“Baiklah! Hari ini kamu selamat karena ratuku yang memintanya,” katanya dengan berat hati.
Akhirnya Dion meninggalkanku setelah mengucapkan selamat tinggal. Sungguh hari yang menyebalkan namun setidaknya aku mendapat makanan. Aku tersenyum menatap makananku itu.
BRAKK
“Oh tuhan bunuh aku sekalian,” keluhku lagi. Saus ayam menempel di baju putih dan rok putih milikku.
Viona terjatuh menyenggolku yang sedang makan dengan memegang ayam di tanganku. Aku memonyongkan bibir ku. Namun tak tega juga melihatnya yang sedang tersungkur di lantai. Aku pun membantunya berdiri.
“Mengapa kamu bisa jatuh?” tanyaku seperti sedang mengomel.
“Ah, aku minta maaf, bajumu jadi kotor,” teriaknya kaget menatapku. Namun apa gunanya minta maaf. Bajunya gak akan bersih seperti semula.
“Nggak apa-apa. Kamu jangan khawatir. Aku ngak marah kok,” kataku agar tak dicap sebagai orang jahat yang menyakiti ratu sekolah ini.
“Aku harus makan sebelum Ibu guru datang. Aku belum banyak makan. Aku lapar,” kataku sambil kembali duduk dan hendak memasukkan sepotong ayam kemulutku.
“SELAMAT SIANG ANAK ANAK!” sapa Pak Umar tiba-tiba dengar suara yang menggelegar. Dan melangkah menuju meja khusus untuk guru.
“Oh my god, Aku lapar,” keluhku dalam hati.
Aku berusaha keras menahan rasa kantukku selama Pak Umar menjelaskan materi pelajaran sejarah. Namun mataku terpejam sekian kalinya, kepalaku terjatuh tanpa sadar. Lalu terduduk sambil menopang dagu.Pak umar hendak membagikan kelompok setelah menjelaskan materi. Aku bersikap tak peduli. Satu harapanku agar tak sekelompok dengan Arojn ataupun Viona. Karena itu akan sangat membosankan bagiku.“Kelompok satu adalah Viona, Aron, dan...” pak Umar menggoyangkan jarinya lalu menatap telitih setiap siswa yang memperhatikannya kecuali aku. Matanya terhenti menatapku.“IRENE!”“Hah?” aku terbangun dari rasa kantukku dan terlihat bingung. Terbayangkan betapa melelahkan hariku ini. Apakah hidupku tak lepas dari asupan drama setiap hari?“Irene! Kamu terlihat tak fokus. Aku pasangkan kamu dengan orang yang rajin dan pintar agar kamu bisa fokus seperti mereka. Jika kamu tak terbukti bekerja maka bapak takkan beri kamu n
Cuaca dingin pagi ini membuatku menyembunyikan jemariku dibalik lengan panjang jaketku. Para siswa memasuki sekolah sebelum bel jam mata pelajaran pertama berbunyi.Aku mengecek jam dan sekitar lima menit lagi gerbang akan ditutup.Tiba-tiba saja ingatanku beralih pada peraturan sekolah ini. Bahwa siswa yang tak mengenakan dasi saat berada di sekolah akan dikenakan hukuman.Tampak dari gerbang yang jaraknya hanya 10 meter dari tempatku berdiri. Seorang pengawas berdiri dengan kayu rotan tipis di tangannya. Dan jantungku berdegup kencang tak karuan melihatnya. Karena kini aku benar-benar lupa untuk memakai dasi.Seorang gadis pendek dan juga berambut pendek sepertinya bernasib sama sepertiku berdiri di dekat gerbang. Kuputuskan untuk menghampirinya.“Apa kamu juga tak pakai dasi?” tanyaku memulai percakapan.“Iya,” jawabnya dengan suara lembut.Sebuah mobil berhenti di depan gerbang yang mudah ditebak siapa yang akan turun dari mobil itu.
“Gina mana?” tanya Anna seorang siswa yang duduk di depanku sedang memasukkan buku ke dalam tasnya. Aku sedang sibuk memainkan ponsel milikku. Hanya bermain game dengan serius.“Di kantin,” jawabku singkat.“Kok kamu tumben gak sama Gina?” tanya Anna lagi. Aku pun menyimpan ponselku di saku bajuku.“Biasalah! Gina kalau sudah punya pacar, jadi aku ditinggalin,” pekikku dengan nada mengeluh. Anna hanya menertawaiku.“Ya sudah, mau ikut nggak?” ajaknya.“Ke kantin?” tanyaku dengan polos.“Ke toilet,” jawabnya ketus.“Ah nggak mau! Ngapain aku ke toilet. Memangnya aku mau ngapain ke toilet,” bantahku. Tampaknya Anna menatapku geram.“Ke kantin Irene! Nih anak bego banget,” katanya kesal sambil menarik lenganku. Lucu melihatnya seperti itu. Aku hanya tertawa sepanjang perjalanan.****Setiba di kantin, aku menunggu lama Anna yang sedang mengantri. Sedangkan aku memegangi mangkuk bakso berusaha menyei
Terjadi lagi!Sihir kalung ini membuatku berjalan tanpa sadar mengambil payung yang terselip di dekat meja belajarku. Seperti biasa aku hanya pasrah.“Apa ini?” batinku heran. Memang sedang hujan deras di luar. Air hujan yang telah membasahi pepohonan dan tanaman serta bunga yang ada di halaman luas rumah mewah ini.Aku memoyongkan bibirku dan agak kesel membayangkan Aron datang di saat hujan deras seperti ini.“Aku ingin di kamar saja,” keluhku. Namun, aku malah menuruni puluhan anak tangga lalu melangkah keluar pintu besar rumah ini dengan payung di tanganku.Sebuah mobil putih berhenti di hadapanku. Aku membuka payung itu lalu menghampiri mobil itu.Siapa lagi kalau bukan Aron yang aku payungi. Aku bukan bodyguardnya tapi selalu setia saja kalung ini mengendalikanku.Bodohnya lagi. A
Mata Irene tertuju pada foto terletak yang di atas meja disamping tempat tidur Aron. Melihat foto itu, tiba-tiba terlintas dipikirannya tentang masa kecilnya.Itu adalah foto Irene kecil yang sedang berdiri di depan Aron. Mereka dulunya sangat dekat. Entah mengapa Irene bisa lupa alasan Aron bertindak kasar dan sering kali mengabaikannya padahal kala itu mereka layaknya seorang sahabat dan sulit dipisahkan. Aron bahkan selalu menjaga Irene setiap waktu.Pertanyaan yang hingga saat ini belum juga ia temukan jawabannya.Mengapa Aron tiba-tiba membenciku?.Namun, hal yang membuat Irene terkejut lagi karena ia masih menyimpan foto itu.Irene mengambil foto itu yang terletak diatas meja. Dan mengamati fotonya.“Aku cantik juga yah,”Selembar foto kecil yang melekat di belakang bingkai foto terjatuh di depan kakinya. Lalu berjongkok dan awalnya melihat foto itu tak membuatnya merasa ada hal aneh. Hanya foto Aron yang masih kecil
“Baiklah anak-anak, sampai disini dulu materi yang bapak berikan. Jangan lupa tugas yang bapak kasih dikerjakan dan dikumpul tepat waktu minggu depan,” kan Pak Herman setelah mendengar suara bel istirahat berbunyi.Irene yang fokusnya teralihkan pada seorang gadis yang duduk di bawah pohon rindang.Pandangannya tak lepas dari arah jendela hingga Pak Herman meninggalkan kelas.Ia berlari menghampiri gadis itu tak lain adalah Naura yang sedang memegang sesuatu namun ketika Irene menghampirinya. Naura segera menyembunyikannya.“Apa yang kau lakukan?”“Irene? Aku hanya menonton teman kelasku bermain bola,” tak heran Naura sedang mengenakan seragam olahraga. Irene Pun mengamati Dion yang mahir bermain basket.
Pletak!Kotak makan siang yang kusodorkan ke Aron seketika jatuh dibantingnya. Kari ayam dan beberapa sayuran yang kubuat untuknya itu kini berserakan di lantai. Para siswa yang berlalu lalang di depan kelas tentunya memandangi kami dengan tatapan heran.
“Baiklah anak-anak, sampai disini dulu materi yang bapak berikan. Jangan lupa tugas yang bapak kasih dikerjakan dan dikumpul tepat waktu minggu depan,” kan Pak Herman setelah mendengar suara bel istirahat berbunyi.Irene yang fokusnya teralihkan pada seorang gadis yang duduk di bawah pohon rindang.Pandangannya tak lepas dari arah jendela hingga Pak Herman meninggalkan kelas.Ia berlari menghampiri gadis itu tak lain adalah Naura yang sedang memegang sesuatu namun ketika Irene menghampirinya. Naura segera menyembunyikannya.“Apa yang kau lakukan?”“Irene? Aku hanya menonton teman kelasku bermain bola,” tak heran Naura sedang mengenakan seragam olahraga. Irene Pun mengamati Dion yang mahir bermain basket.
Mata Irene tertuju pada foto terletak yang di atas meja disamping tempat tidur Aron. Melihat foto itu, tiba-tiba terlintas dipikirannya tentang masa kecilnya.Itu adalah foto Irene kecil yang sedang berdiri di depan Aron. Mereka dulunya sangat dekat. Entah mengapa Irene bisa lupa alasan Aron bertindak kasar dan sering kali mengabaikannya padahal kala itu mereka layaknya seorang sahabat dan sulit dipisahkan. Aron bahkan selalu menjaga Irene setiap waktu.Pertanyaan yang hingga saat ini belum juga ia temukan jawabannya.Mengapa Aron tiba-tiba membenciku?.Namun, hal yang membuat Irene terkejut lagi karena ia masih menyimpan foto itu.Irene mengambil foto itu yang terletak diatas meja. Dan mengamati fotonya.“Aku cantik juga yah,”Selembar foto kecil yang melekat di belakang bingkai foto terjatuh di depan kakinya. Lalu berjongkok dan awalnya melihat foto itu tak membuatnya merasa ada hal aneh. Hanya foto Aron yang masih kecil
Terjadi lagi!Sihir kalung ini membuatku berjalan tanpa sadar mengambil payung yang terselip di dekat meja belajarku. Seperti biasa aku hanya pasrah.“Apa ini?” batinku heran. Memang sedang hujan deras di luar. Air hujan yang telah membasahi pepohonan dan tanaman serta bunga yang ada di halaman luas rumah mewah ini.Aku memoyongkan bibirku dan agak kesel membayangkan Aron datang di saat hujan deras seperti ini.“Aku ingin di kamar saja,” keluhku. Namun, aku malah menuruni puluhan anak tangga lalu melangkah keluar pintu besar rumah ini dengan payung di tanganku.Sebuah mobil putih berhenti di hadapanku. Aku membuka payung itu lalu menghampiri mobil itu.Siapa lagi kalau bukan Aron yang aku payungi. Aku bukan bodyguardnya tapi selalu setia saja kalung ini mengendalikanku.Bodohnya lagi. A
“Gina mana?” tanya Anna seorang siswa yang duduk di depanku sedang memasukkan buku ke dalam tasnya. Aku sedang sibuk memainkan ponsel milikku. Hanya bermain game dengan serius.“Di kantin,” jawabku singkat.“Kok kamu tumben gak sama Gina?” tanya Anna lagi. Aku pun menyimpan ponselku di saku bajuku.“Biasalah! Gina kalau sudah punya pacar, jadi aku ditinggalin,” pekikku dengan nada mengeluh. Anna hanya menertawaiku.“Ya sudah, mau ikut nggak?” ajaknya.“Ke kantin?” tanyaku dengan polos.“Ke toilet,” jawabnya ketus.“Ah nggak mau! Ngapain aku ke toilet. Memangnya aku mau ngapain ke toilet,” bantahku. Tampaknya Anna menatapku geram.“Ke kantin Irene! Nih anak bego banget,” katanya kesal sambil menarik lenganku. Lucu melihatnya seperti itu. Aku hanya tertawa sepanjang perjalanan.****Setiba di kantin, aku menunggu lama Anna yang sedang mengantri. Sedangkan aku memegangi mangkuk bakso berusaha menyei
Cuaca dingin pagi ini membuatku menyembunyikan jemariku dibalik lengan panjang jaketku. Para siswa memasuki sekolah sebelum bel jam mata pelajaran pertama berbunyi.Aku mengecek jam dan sekitar lima menit lagi gerbang akan ditutup.Tiba-tiba saja ingatanku beralih pada peraturan sekolah ini. Bahwa siswa yang tak mengenakan dasi saat berada di sekolah akan dikenakan hukuman.Tampak dari gerbang yang jaraknya hanya 10 meter dari tempatku berdiri. Seorang pengawas berdiri dengan kayu rotan tipis di tangannya. Dan jantungku berdegup kencang tak karuan melihatnya. Karena kini aku benar-benar lupa untuk memakai dasi.Seorang gadis pendek dan juga berambut pendek sepertinya bernasib sama sepertiku berdiri di dekat gerbang. Kuputuskan untuk menghampirinya.“Apa kamu juga tak pakai dasi?” tanyaku memulai percakapan.“Iya,” jawabnya dengan suara lembut.Sebuah mobil berhenti di depan gerbang yang mudah ditebak siapa yang akan turun dari mobil itu.
Aku berusaha keras menahan rasa kantukku selama Pak Umar menjelaskan materi pelajaran sejarah. Namun mataku terpejam sekian kalinya, kepalaku terjatuh tanpa sadar. Lalu terduduk sambil menopang dagu.Pak umar hendak membagikan kelompok setelah menjelaskan materi. Aku bersikap tak peduli. Satu harapanku agar tak sekelompok dengan Arojn ataupun Viona. Karena itu akan sangat membosankan bagiku.“Kelompok satu adalah Viona, Aron, dan...” pak Umar menggoyangkan jarinya lalu menatap telitih setiap siswa yang memperhatikannya kecuali aku. Matanya terhenti menatapku.“IRENE!”“Hah?” aku terbangun dari rasa kantukku dan terlihat bingung. Terbayangkan betapa melelahkan hariku ini. Apakah hidupku tak lepas dari asupan drama setiap hari?“Irene! Kamu terlihat tak fokus. Aku pasangkan kamu dengan orang yang rajin dan pintar agar kamu bisa fokus seperti mereka. Jika kamu tak terbukti bekerja maka bapak takkan beri kamu n
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Gina sambil berbisik pelan. Dia adalah teman sebangku ku yang super menyebalkan. Sekeras apapun aku jujur padanya dia juga takkan tahu apa yang sebenarnya kukatakan. Namun malah menciptakan rumor permanen yang kuanggap seperti sebuah kesialan.Jika ditanya siapa yang menyebarkan rumor palsu bahwa aku menyukai Aron selama sepuluh tahun. Maka orang itu adalah Gina. Gadis cantik berambut panjang namun sangat polos.“Aku baik-baik saja,” balasku santai. Jika karena ditolak aku tak merasa buruk akan hal itu. Tapi jika soal dipermalukan di hadapan banyak orang aku sangat marah. Tunggu saja pembalasanku.“Huhu, aku gak tahan lagi. Aku tahu kamu nggak baik-baik saja. Tapi kamu berusaha untuk tidak membuatku khawatir. Kamu memang sangat baik,” katanya dengan nada seperti sedang menangis. Entah dia benar-benar nangis atau hanya dibuat-buat. Dia memang seperti itu, ratu drama yang buruk.“Aku nggak bohong kok!” aku berusaha meyakin
Pletak!Kotak makan siang yang kusodorkan ke Aron seketika jatuh dibantingnya. Kari ayam dan beberapa sayuran yang kubuat untuknya itu kini berserakan di lantai. Para siswa yang berlalu lalang di depan kelas tentunya memandangi kami dengan tatapan heran.