"Ini ....." Aaron memandang Ben. "Air bercampur darah." Sejak awal, baik Aaron maupun Ben sudah curiga. Terjadi sesuatu terhadap wanita itu. Dan benar saja, saat keduanya masuk. Pemandangan yang mengejutkan menyambut penglihatan keduanya. Yang lebih mengejutkan lagi, ketika keduanya melihat ke dalam kamar mandi. Aaron bahkan tidak dapat menahan lengkingan suaranya. "Rosene!" Untuk pertama kalinya, Aaron merasakan ketakutan dala dirinya. Wanita yang dipanggil itu. Tergeletak di lantai dengan kondisi tubuh yang basah kuyup. Aaron segera menghampiri, sementara Ben mematikan kar air yang mengucur deras bahkan sampai meluber ke luar. Aaron mengangkat kepala wanita itu, meletakkannya pada paha. Di saat yang bersamaan, Aaron melihat sesuatu merembes dari perut sebelah kanan. Tangan itu, Reflek menekannya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Shit! Panggil El kemari. Cepat!" "Baik, Tuan." Belum juga Ben beranjak, terlihat tanda-tanda kehidupan, berikut dengan suara wanita itu t
"Kau .... kenapa di sini?" Melanie yang sejak tadi mematung di tempat, kini tersadar seketika mendengar suara Aaron yang terdengar begitu dingin. Ia hanya sedikit kaget melihat Aaron tadi keluar dari mana, tunggu. Bukankah itu kamar Rosene. "Kau tidak dengar?" "Emmm .... Sarapan sudah siap, saya diperintahkan Nyonya untuk memanggil Anda, Tuan." Aaron melirik sekilas ke arah pintu kamar Rosene lalu menjawab. "Aku akan turun setelah ini." Setelah mengatakan itu, Aaron berlalu begitu saja dari hadapan Melanie. Namun, baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan menoleh ke belakang. "Kenapa masih di situ." Melanie terkesiap. "Ah, iya. Aku ingin memanggil Rosene. Semalam dia tidak turun dan makan." Aaron mendengkus. "Biarkan dia beristirahat." Langkah berlanjut, tapi kali ini Melanie malah menahannya. "Tunggu, Tuan." Pria itu terpaksa berhenti. Dengan malas memutar tubuh. "Ada apa lagi?" "Apakah Rosene baik-baik saja?" Teringat ucapan Rosene kalau tidak ada satupun orang yan
Ben tersentak, dan seketika mengurungkan niatnya saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Tatapan bak sebilah pisau diberikan Aaron pada asistennya itu. Dan tatapan itu mengarah pada tangan Ben yang tengah memegang pakaian Rosene. "Singkirkan tanganmu, Ben." Menyadari kesalahannya, Ben segera melepaskan tangan dan segera mundur beberapa langkah ke belakang. Rasa bersalah menggelayuti diri Ben saat ini, meski sebenarnya itu bukan sepenuhnya salahnya."Tuan, saya hanya ingin memeriksa luka Nona Rosene karena banyak bergerak tadi." Aaron melangkah mendekat, dan entah kenapa itu menjadi sumber ancaman bagi Ben. Tetapi, sepertinya itu hanya ada dalam pikiran Ben saja. Alih-alih menghampiri asistennya, Aaron justru memilih mendekati sang kekasih. "Bagaimana keadaanmu." "Seperti yang kau lihat." Rosene berkata ketus. Kemudian memalingkan wajahnya. "Tadi Ben bilang kau banyak bergerak, biar aku periksa." Aaron hendak melakukan apa yang dilakukan Ben tadi, tetapi tangannya malah
"Menikah dan punya anak. Adalah impian setiap manusia. Tetapi yang paling utama adalah, hidup dengan tenang." Kali ini Aaron yang dibuat terkejut dengan ucapan Rosene. Benarkah yang dia ucapkan itu? Mundur dari dunia bawah, ia rasa itu adalah hal yang mustahil. Setiap klan memiliki aturannya masing-masing. Dan untuk pensiun, Aaron rasa tidak semudah yang dibayangkan. Mundur dari klan, adalah nyawa taruhannya. Meski begitu, Aaron sempat memimpikan cita-cita itu. Hidup aman tanpa desingan peluru dan ancaman musuh. Beberapa kali lolos dari maut bukan berarti seterusnya begitu. Takdir orang siapa yang tahu. Nasib buruk bisa menghampiri kapan saja dan ketika itu datang, Aaron bisa mati sebelum keinginannya tercapai. "Itu juga alasan yang membawaku sampai kemari." Kening Aaron mengkerut. "Alasan?" "Kau ingin mendengarnya?" "Jika kau bersedia untuk bercerita." Aaron memposisikan diri di dekat Rosene. Dan tanpa malu wanita berkulit putih itu menyandarkan kepala pada bahu Aaron. "Setia
Melanie nyaris memekik keras sakit kagetnya. Namun untung saja, mulutnya segera dibekap oleh sebuah tangan kekar yang juga telah menariknya sampai ia terseret dan nyaris terjatuh kalau sang pemilik tangan tidak menangkapnya. Dan saat Melanie menoleh, manik indahnya bertabrakan dengan mata elang milik seorang pria. Sosok dingin dan tegas itu berada dalam keadaan yang sangat dekat dan bahkan nyaris tidak berjarak. "Kau ...." "Sssttt!" Ben meletakkan jari telunjuk di bibir sebagai isyarat agar Melanie diam. Ben menelengkan kepala. Bersembunyi di balik tanaman hias. Dapat ia lihat Lucia tengah celingukan mencari sesuatu. "Aku yakin ada orang tadi di sini?" gumam Lucia. Setelah memastikan Lucia pergi, Ben segera melepaskan tangannya dari mulut Melanie yang nyaris kehabisan oksigen dan saat ia terbebas, langsung saja Melanie menghirup udara sepuasnya. "Kau ini apa-apaan?" Melanie protes. "Bukankah kau ingin kabur dan tidak ketahuan?" "Siapa yang bilang begitu." "Tidak bilang, tapi d
"Tuan!" "Awas!" Melanie langsung berpindah di depan Aaron ketika melihat salah satu dari pengrajin berlian itu mengayunkan senjata tajam dan ...."Aaarrrgghh!" Pisau belati itu berhasil melukai Melanie dan menancap tepat di bagian punggung sebelah kanan. Gadis itu meringis. Namun, bibirnya malah menggumamkan sesuatu. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" "Melanie!" Aaron segera menangkap tubuh Melanie yang mulai limbung. "Kalian, cepat tangkap dia!" Pria itu sempat berniat kabur, tetapi tidak semudah itu. Pengamanan di rumah Aaron sangat ketat sehingga dengan mudah, kedua pria itu berhasil ditangkap. Samantha menutup mulut dengan kedua tangan melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia duga, lalu berlutut di dekat Melanie yang berada dalam pelukan sang putera. "Melanie!" Wanita itu bercucuran air mata. "Cepat bawa dia ke rumah sakit, Aaron." Suasana menjadi keruh ketika kedua pria itu mencoba untuk memberontak. Namun, karena sudah diambil alih oleh Ben, keduanya pun jadi tidak berkut
Ketika terbangun, Rosene sudah kembali berada di dalam kamar. Plafon putih dengan lampu gantung di atasnya. Tidak salah lagi. Ini adalah kamarnya. Mencoba untuk duduk, namun urung akibat rasa nyeri kembali menghampiri membuatnya urung untuk berdiri. "Sial!" Rosene mengumpat. Tangan memegang perut. Rasa nyeri masih terasa tetapi ia mencoba untuk menahannya. Susah payah ia mendekati pintu, tapi sungguh sial malah dikunci. Berteriak, akan terasa percuma. Ia merasa kembali pada masa di mana ia pertama kali datang. Tubuh Rosene merosot ke bawah, meringkuk memeluk lutut. Ia benci dirinya sendiri. Ia benci dirinya yang mulai lemah seperti ini. Rosene terdiam, ia memang tidak menangis. Tidak, ia tidak terbiasa menangis. Tapi sungguh, kali ini ia benar-benar ingin menangis. Dan untuk pertama kalinya ia merindukan sosok yang sangat ia kasihi. "Ayah!" Sayup-sayup terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman. Saat kembali terbangun, Rosene sudah berada di atas ranjang. Mencoba men
Satu tamparan diberikan Aaron sehingga membuat kepala wanita itu tertoleh ke samping. Darah seketika mengucur dari sudut bibirnya yang robek akibat tenaga yang dikeluarkan Aaron memang sangat besar. Namun, hal itu tak cukup menghentikan wanita itu untuk terus menggumam. "Ampuni saya, Tuan. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi?" "Kesempatan? Untuk apa, Lucia?" "Untuk menebus kesalahan saya, Tuan." Untuk pertama kalinya, Lucia merasakan ketakutan dalam dirinya. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan takut sedikitpun. Sekalipun ia dibuang oleh Aaron. Masih banyak tempat yang bisa ia singgahi, yang dapat menyenangkan hati dan juga tubuhnya. Tetapi, kalau seperti ini. Jangankan berpikir untuk bersenang-senang. Dilepaskan saja, Lucia akan merasa bersyukur. Meski itu hal yang mustahil. "Kesalahanmu terlalu besar, Lucia. Kau sudah menghancurkan kepercayaanku." "Maafkan saya, Tuan." Lucia memelas. Wajahnya bersimbah air mata. Wanita itu tak lagi mempedulikan penampilannya yang sangat