Dinding itu terbuat dari kayu atau biasanya disebut papan triplek yang dilapisi cat tebal. Dari suaranya jelas sekali. Dinding beton tidak mengeluarkan suara bila dipukul. Ternyata instingnya benar. Rosene harus memastikannya. Ia mengetuk sekali lagi. Kali ini ia yakin. Rosene memeriksa keseluruhan dinding. Ternyata tidak semua berbahan kayu. Hanya beberapa sisi saja. Ini akan memakan waktu mengingat Rosene harus memeriksanya lagi. "Jika aku merobohkan dinding ini, apa yang akan terjadi. Apa aku langsung menemukan pintu keluar, atau bom itu." Rosene bergumam sendiri. Tidak ada yang diajak berdiskusi. Di saat yang seperti ini ia malah merindukan Melanie. "Aku akan menyelamatkanmu, Melanie." Rosene sudah pikirkan. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menarik senjata di balik punggung dan mengacungkan ke depan. Satu tembakan melesat dan membuat lubang yang tembus pandang. Cahaya seketika mencuat melalui lubang itu. Ini aneh, kenapa ada cahaya? Cahaya apa itu? Ruangan apa sebenarnya
Tebakan Rosene tidak pernah salah. Mereka adalah tiga anggota terkuat dari klan Dare Devil. Kemampuannya jelas tidak diragukan lagi. Mereka terlatih secara fisik maupun pikiran. Aaron menginginkan anggota yang kuat dan pintar. Kemudian lahirlah mereka. Sedikit banyak Rosene tahu. Diego merupakan mantan anggota militer yang membelot kemudian bergabung dengan Dare Devil. Dia unggul dalam bermain senjata tajam maupun senjata api lainnnya. Keahlian lain, dia ahli dalam merakit peledak. Lalu si rambut perak itu. Dia seorang sniper. Tidak menutup kemungkinan. Dia pandai menggunakan senjata lain. Kemudian yang ditengah, dia yang paling menakutkan. Ben memiliki insting yang tajam. Di antara kedua rekannya, dia yang paling kuat dan menakutkan. Dia ahli dalam segala hal, keahliannya meracik obat-obatan dan menciptakan racun yang mematikan. Soal beladiri, Rosene sebentar lagi akan memastikan sendiri. "Waktumu habis, Nona." Diego bersuara. Soal itu, Rosene juga sudah tahu. Yang belum tahu ad
Rosene tidak dapat menahan keterkejutan atas apa yang dilihat dan ia dengar. Aaron memanggil nama aslinya sembari mengacungkan senjata. Kaki Rosene serasa lemas. Untungnya ia masih kuat berdiri di tengah todongan senjata dari seluruh anggota Dare Devil. Ya, bukan hanya Aaron saja yang mengacungkan senjata ke arahnya, tapi juga seluruh anggotanya. Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan seorang mata-mata kecuali menyerah. "Rosene Marino. Jadi itu nama aslimu." Aaron masih tidak menurunkan senjata apinya. Rosene terpaku beberapa saat. Ia masih tidak percaya dirinya ketahuan. "Tuan." "Jangan panggil aku Tuan. Aku bukan tuanmu."Rosene didorong dari belakang oleh salah satu dari tiga bawahan terkuat Aaron. Ben mengacungkan senjatanya begitu pula dengan Jekco. Pundak ditekan oleh Diego memaksa wanita itu berlutut. Tidak ada yang bisa Rosene lakukan kecuali menurut. Ia terlihat pasrah dan prustasi. Mungkin ini akhir dari segalanya. Lalu apakah Rosene menyesal? Ya, Rosene menyesal
Melanie memang malas bertemu Markus. Tetapi, setelah teringat ucapan Rosene, Melanie jadi berubah pikiran. Ia tidak boleh membantah Markus. Kalau tidak ingin nyawanya terancam. Mungkin ucapan Rosene ada benarnya. Selagi dirinya belum mahir bersenjata. Ia harus tunduk pada Markus dan membuat pria itu puas untuk sementara waktu. Bukankah ia sudah bertekad untuk membalas dendam, jadi tidak ada salahnya kalau ia memenuhi perintah pria itu. "Tuan, Nona Melanie datang." Markus yang tengah duduk di single sofa seketika bangun. Sosok yang ia tunggu muncul. Wanita dengan bola mata kuning, kulitnya putih sedikit berbintik, namun hal itu justru membuatnya terlihat eksotis. Hidung bangir dan bibir sedikit tebal berisi. Pipi tirus dan tubuh langsing. Itu karena ia menjaga pola makan. Melanie memang selalu menjaga penampilan. Demi apa lagi kalau bukan untuk mengencani para pria tampan. Melanie memang sangat cantik. Permainannya juga menarik. Markus cukup dibuat puas oleh wanita itu. Namun, pri
Rosene tidak menyangka, kalau ia yang akan menyerahkan dirinya sendiri kepada Aaron. Ia pikir semuanya akan terasa mudah, tapi nyatanya tidak. Aaron menyiksanya. Setiap sentuhan yang diberikan Aaron adalah siksaan baginya. Ini baru pertama kali, jadi terasa sempit. Atau memang milik Aaron yang terlalu besar? Entahlah. Rosene tidak memperhatikan ukurannya. Aaron juga sudah menduga ini. Rosene betul-betul masih perawan. Ia tidak pernah salah menilai wanita hanya dari segi fisiknya. "Pelan-pelan, Tuan." Rosene memelas. Suaranya terdengar berat. Ini menyebalkan! Rosene tidak dapat mengontrol dirinya sampai-sampai suaranya terdengar begitu menjijikkan. Apakah seperti ini rasanya kenikmatan yang diagungkan para manusia di luar sana. Surga dunia yang banyak dipuja. Ini sungguh gila. Bisa-bisanya dirinya ini menerima begitu saja. Dalam hati ingin sekali menolak. Namun, reaksi tubuhnya malah sebaliknya. Rosene mulai menikmatinya. Rosene dibuat melayang-layang. Aaron pandai melakukan itu.
Bukan. Bukan ini yang ia inginkan. Ini sama seperti Aaron menjadikan dirinya tawanan. Atau sejenis anjing piaraan. Semua terlihat sama. Tidak, ini terlalu sederhana. Dengan kata lain, ada banyak hal yang bisa dilakukan Aaron ketika dirinya menerima kesepakatan ini. Mematuhi semua perintah Aaron. Itu artinya, Aaron akan menjadi pengendali atas dirinya. Lalu apa bedanya dengan Markus. Sial! Rosene semakin terjebak. Mungkin orang lain akan berpikir bahwa isi surat perjanjian ini adalah hal yang sepele. Ia hanya tinggal mematuhi apa saja yang diperintahkan.Tetapi ini Aaron, pria dengan aura iblis dan kelicikan di atas rata-rata. Sudah banyak nyawa yang tumbang di tangannya. Kabarnya, wanita yang menemaninya juga lenyap hanya karena tidak bisa memuaskannya. Dari situ saja, bisa ditarik kesimpulan kalau Aaron ini adalah malaikat maut versi manusia. Lalu sekarang Rosene dituntut untuk patuh padanya. Yang benar saja?"Kau bisa membaca 'kan?" Aaron bertanya begitu karena Rosene membaca la
Kedua pelayan tadi, langsung diam saat melihat keberadaan Lucia. Mereka merasa tidak ada siapa-siapa di sana. Tau-tau sudah muncul. Salah satu atau bahkan keduanya merutuki diri karena sudah berani membicarakan wanita kesayangan Aaron itu. "Coba ulangi sekali lagi. Aku ingin dengar." "Maaf, Nona." Kedua pelayan itu menunduk takut. Mereka bukan tidak tahu perangai Lucia. Dia merasa berkuasa hanya karena disayang oleh Aaron. "Sebaiknya kalian ceritakan padaku apa yang terjadi di dalam Mansion. Atau aku akan adukan kalian pada Tuan." Lucia mengancam. "Jangan, Nona. Kami tidak mau mati." "Iya, Nona saya mohon." Yang satunya menimpali. "Kalau begitu katakan." Lucia berkata dengan tegas. "Baik, Nona. Tadi siang, Tuan memberi tugas untuk mengganti bahan makanan dengan yang baru dan lebih segar. Ikan, daging semua harus lebih fresh. Sayur dan buah pun juga demikian." Pelayan memberi penjelasan. "Alasannya?" "Semua karena Nona Rosene." "Apa?" Lucia tidak percaya ini. Aaron memperlaku
Rosene mencoba mengingat lagi seberapa penting Melanie sampai ia harus melakukan ini. Ia tahu apa yang ada dalam botol itu. Dalam sekali tenggak, dirinya akan langsung berpindah alam. Mungkin lebih baik begitu. Hidup ini terlalu rumit untuk dijalani seorang diri. Ia butuh pendamping. Tetapi, terlalu tabu untuk memikirkan soal itu sekarang. Rosene berpikir kalau dirinya mati, sudah pasti beban pikirannya juga ikut pergi. Kalau begitu, kenapa ia harus ragu. Ia raih botol itu, kemudian dibuka penutupnya. Ia akan membuktikan pada Aaron kalau dirinya tidak main-main. Aaron memandangnya. Botol dituang. Sudah dipastikan kalau sampai obat itu tertelan, Rosene akan mati seketika. Tetapi, sebelum itu terjadi. Niat Rosene langsung dihalangi oleh Aaron. Tangan Rosene dipukul, seketika botol terlepas dan jatuh ke lantai. Isinya pun tumpah. Kandungan di dalam obat itu langsung bereaksi dan membuat lantai berbahan marmer itu berubah menghitam. Itu menunjukkan betapa berbahayanya obat tersebut.