Tantangan cermin sudah terlewati, tetapi Rosene masih saja melihat bayangan dirinya di sana. Permainan macam apa ini? Kenapa wajah wanita itu begitu mirip dengan dirinya? Bukan hanya wajah tapi perawakan serta kostum yang dia pakai. Begitu persis secara menyeluruh. Rambutnya juga begitu persis. Tatapan matanya apalagi. Rosene seperti melihat gambaran dirinya yang bengis."Siapa kamu?" Pertanyaan reflek itu dibalas senyum sinis oleh wanita itu. "Aku adalah dirimu." Bahkan suaranya begitu sama. Rosene mendengkus. Senjata api disimpan kembali. Ini akan menjadi pertarungan adu fisik melihat tidak adanya senjata di tangan. Tetapi tidak menampik bila wanita itu menyembunyikannya dibalik jaket seperti miliknya. Ia lebih suka begini dari pada melesatkan tembakan. Setidaknya lawannya kali ini seimbang. Wanita dengan wanita. "Lawan aku jika kau ingin keluar dari gedung ini." Wanita itu menantang. Tidak ada pilihan. Pertarungan tidak dapat dihindari. Rosene memasang kuda-kuda. Wanita itu pun
Dinding itu terbuat dari kayu atau biasanya disebut papan triplek yang dilapisi cat tebal. Dari suaranya jelas sekali. Dinding beton tidak mengeluarkan suara bila dipukul. Ternyata instingnya benar. Rosene harus memastikannya. Ia mengetuk sekali lagi. Kali ini ia yakin. Rosene memeriksa keseluruhan dinding. Ternyata tidak semua berbahan kayu. Hanya beberapa sisi saja. Ini akan memakan waktu mengingat Rosene harus memeriksanya lagi. "Jika aku merobohkan dinding ini, apa yang akan terjadi. Apa aku langsung menemukan pintu keluar, atau bom itu." Rosene bergumam sendiri. Tidak ada yang diajak berdiskusi. Di saat yang seperti ini ia malah merindukan Melanie. "Aku akan menyelamatkanmu, Melanie." Rosene sudah pikirkan. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menarik senjata di balik punggung dan mengacungkan ke depan. Satu tembakan melesat dan membuat lubang yang tembus pandang. Cahaya seketika mencuat melalui lubang itu. Ini aneh, kenapa ada cahaya? Cahaya apa itu? Ruangan apa sebenarnya
Tebakan Rosene tidak pernah salah. Mereka adalah tiga anggota terkuat dari klan Dare Devil. Kemampuannya jelas tidak diragukan lagi. Mereka terlatih secara fisik maupun pikiran. Aaron menginginkan anggota yang kuat dan pintar. Kemudian lahirlah mereka. Sedikit banyak Rosene tahu. Diego merupakan mantan anggota militer yang membelot kemudian bergabung dengan Dare Devil. Dia unggul dalam bermain senjata tajam maupun senjata api lainnnya. Keahlian lain, dia ahli dalam merakit peledak. Lalu si rambut perak itu. Dia seorang sniper. Tidak menutup kemungkinan. Dia pandai menggunakan senjata lain. Kemudian yang ditengah, dia yang paling menakutkan. Ben memiliki insting yang tajam. Di antara kedua rekannya, dia yang paling kuat dan menakutkan. Dia ahli dalam segala hal, keahliannya meracik obat-obatan dan menciptakan racun yang mematikan. Soal beladiri, Rosene sebentar lagi akan memastikan sendiri. "Waktumu habis, Nona." Diego bersuara. Soal itu, Rosene juga sudah tahu. Yang belum tahu ad
Rosene tidak dapat menahan keterkejutan atas apa yang dilihat dan ia dengar. Aaron memanggil nama aslinya sembari mengacungkan senjata. Kaki Rosene serasa lemas. Untungnya ia masih kuat berdiri di tengah todongan senjata dari seluruh anggota Dare Devil. Ya, bukan hanya Aaron saja yang mengacungkan senjata ke arahnya, tapi juga seluruh anggotanya. Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan seorang mata-mata kecuali menyerah. "Rosene Marino. Jadi itu nama aslimu." Aaron masih tidak menurunkan senjata apinya. Rosene terpaku beberapa saat. Ia masih tidak percaya dirinya ketahuan. "Tuan." "Jangan panggil aku Tuan. Aku bukan tuanmu."Rosene didorong dari belakang oleh salah satu dari tiga bawahan terkuat Aaron. Ben mengacungkan senjatanya begitu pula dengan Jekco. Pundak ditekan oleh Diego memaksa wanita itu berlutut. Tidak ada yang bisa Rosene lakukan kecuali menurut. Ia terlihat pasrah dan prustasi. Mungkin ini akhir dari segalanya. Lalu apakah Rosene menyesal? Ya, Rosene menyesal
Melanie memang malas bertemu Markus. Tetapi, setelah teringat ucapan Rosene, Melanie jadi berubah pikiran. Ia tidak boleh membantah Markus. Kalau tidak ingin nyawanya terancam. Mungkin ucapan Rosene ada benarnya. Selagi dirinya belum mahir bersenjata. Ia harus tunduk pada Markus dan membuat pria itu puas untuk sementara waktu. Bukankah ia sudah bertekad untuk membalas dendam, jadi tidak ada salahnya kalau ia memenuhi perintah pria itu. "Tuan, Nona Melanie datang." Markus yang tengah duduk di single sofa seketika bangun. Sosok yang ia tunggu muncul. Wanita dengan bola mata kuning, kulitnya putih sedikit berbintik, namun hal itu justru membuatnya terlihat eksotis. Hidung bangir dan bibir sedikit tebal berisi. Pipi tirus dan tubuh langsing. Itu karena ia menjaga pola makan. Melanie memang selalu menjaga penampilan. Demi apa lagi kalau bukan untuk mengencani para pria tampan. Melanie memang sangat cantik. Permainannya juga menarik. Markus cukup dibuat puas oleh wanita itu. Namun, pri
Rosene tidak menyangka, kalau ia yang akan menyerahkan dirinya sendiri kepada Aaron. Ia pikir semuanya akan terasa mudah, tapi nyatanya tidak. Aaron menyiksanya. Setiap sentuhan yang diberikan Aaron adalah siksaan baginya. Ini baru pertama kali, jadi terasa sempit. Atau memang milik Aaron yang terlalu besar? Entahlah. Rosene tidak memperhatikan ukurannya. Aaron juga sudah menduga ini. Rosene betul-betul masih perawan. Ia tidak pernah salah menilai wanita hanya dari segi fisiknya. "Pelan-pelan, Tuan." Rosene memelas. Suaranya terdengar berat. Ini menyebalkan! Rosene tidak dapat mengontrol dirinya sampai-sampai suaranya terdengar begitu menjijikkan. Apakah seperti ini rasanya kenikmatan yang diagungkan para manusia di luar sana. Surga dunia yang banyak dipuja. Ini sungguh gila. Bisa-bisanya dirinya ini menerima begitu saja. Dalam hati ingin sekali menolak. Namun, reaksi tubuhnya malah sebaliknya. Rosene mulai menikmatinya. Rosene dibuat melayang-layang. Aaron pandai melakukan itu.
Bukan. Bukan ini yang ia inginkan. Ini sama seperti Aaron menjadikan dirinya tawanan. Atau sejenis anjing piaraan. Semua terlihat sama. Tidak, ini terlalu sederhana. Dengan kata lain, ada banyak hal yang bisa dilakukan Aaron ketika dirinya menerima kesepakatan ini. Mematuhi semua perintah Aaron. Itu artinya, Aaron akan menjadi pengendali atas dirinya. Lalu apa bedanya dengan Markus. Sial! Rosene semakin terjebak. Mungkin orang lain akan berpikir bahwa isi surat perjanjian ini adalah hal yang sepele. Ia hanya tinggal mematuhi apa saja yang diperintahkan.Tetapi ini Aaron, pria dengan aura iblis dan kelicikan di atas rata-rata. Sudah banyak nyawa yang tumbang di tangannya. Kabarnya, wanita yang menemaninya juga lenyap hanya karena tidak bisa memuaskannya. Dari situ saja, bisa ditarik kesimpulan kalau Aaron ini adalah malaikat maut versi manusia. Lalu sekarang Rosene dituntut untuk patuh padanya. Yang benar saja?"Kau bisa membaca 'kan?" Aaron bertanya begitu karena Rosene membaca la
Kedua pelayan tadi, langsung diam saat melihat keberadaan Lucia. Mereka merasa tidak ada siapa-siapa di sana. Tau-tau sudah muncul. Salah satu atau bahkan keduanya merutuki diri karena sudah berani membicarakan wanita kesayangan Aaron itu. "Coba ulangi sekali lagi. Aku ingin dengar." "Maaf, Nona." Kedua pelayan itu menunduk takut. Mereka bukan tidak tahu perangai Lucia. Dia merasa berkuasa hanya karena disayang oleh Aaron. "Sebaiknya kalian ceritakan padaku apa yang terjadi di dalam Mansion. Atau aku akan adukan kalian pada Tuan." Lucia mengancam. "Jangan, Nona. Kami tidak mau mati." "Iya, Nona saya mohon." Yang satunya menimpali. "Kalau begitu katakan." Lucia berkata dengan tegas. "Baik, Nona. Tadi siang, Tuan memberi tugas untuk mengganti bahan makanan dengan yang baru dan lebih segar. Ikan, daging semua harus lebih fresh. Sayur dan buah pun juga demikian." Pelayan memberi penjelasan. "Alasannya?" "Semua karena Nona Rosene." "Apa?" Lucia tidak percaya ini. Aaron memperlaku
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman