Rosene merasa Dejavu. Ia pernah mendengar kalimat yang seperti ini. Tepatnya dari mulut Markus dan ia menolaknya mentah-mentah. Jelas kali ini pun sama halnya. Entah untuk yang satu ini, Rosene sangat berat untuk menyerahkannya. Terlebih pada pria seperti Aaron yang tidak cukup puas hanya dengan satu wanita. Ia ingin pria biasa yang bisa menerima dirinya tanpa syarat. Menemani hidupnya sampai tua. Rosene ingin memulai semua dari nol. Mengubur masalalu yang kelam ini serta melupakan semua yang pernah terjadi. Lalu ia akan menebus semua dosa yang pernah ia lakukan di kemudian hari. "Tuan," panggil Rosene memberanikan diri memandang pria yang duduk berseberangan dengan dirinya. "Apakah Anda selalu begini? Apa setiap wanita yang masuk di kediaman Anda harus Anda tiduri terlebih dahulu." "Jaga ucapanmu!" Ben tidak terima karena sang atasan direndahkan. "Tenang, Ben." Aaron menurunkan satu kaki yang bertumpu pada kaki lainnya dan membuat tubuhnya maju ke depan. "Harta, tahta dan wanita
Tantangan cermin sudah terlewati, tetapi Rosene masih saja melihat bayangan dirinya di sana. Permainan macam apa ini? Kenapa wajah wanita itu begitu mirip dengan dirinya? Bukan hanya wajah tapi perawakan serta kostum yang dia pakai. Begitu persis secara menyeluruh. Rambutnya juga begitu persis. Tatapan matanya apalagi. Rosene seperti melihat gambaran dirinya yang bengis."Siapa kamu?" Pertanyaan reflek itu dibalas senyum sinis oleh wanita itu. "Aku adalah dirimu." Bahkan suaranya begitu sama. Rosene mendengkus. Senjata api disimpan kembali. Ini akan menjadi pertarungan adu fisik melihat tidak adanya senjata di tangan. Tetapi tidak menampik bila wanita itu menyembunyikannya dibalik jaket seperti miliknya. Ia lebih suka begini dari pada melesatkan tembakan. Setidaknya lawannya kali ini seimbang. Wanita dengan wanita. "Lawan aku jika kau ingin keluar dari gedung ini." Wanita itu menantang. Tidak ada pilihan. Pertarungan tidak dapat dihindari. Rosene memasang kuda-kuda. Wanita itu pun
Dinding itu terbuat dari kayu atau biasanya disebut papan triplek yang dilapisi cat tebal. Dari suaranya jelas sekali. Dinding beton tidak mengeluarkan suara bila dipukul. Ternyata instingnya benar. Rosene harus memastikannya. Ia mengetuk sekali lagi. Kali ini ia yakin. Rosene memeriksa keseluruhan dinding. Ternyata tidak semua berbahan kayu. Hanya beberapa sisi saja. Ini akan memakan waktu mengingat Rosene harus memeriksanya lagi. "Jika aku merobohkan dinding ini, apa yang akan terjadi. Apa aku langsung menemukan pintu keluar, atau bom itu." Rosene bergumam sendiri. Tidak ada yang diajak berdiskusi. Di saat yang seperti ini ia malah merindukan Melanie. "Aku akan menyelamatkanmu, Melanie." Rosene sudah pikirkan. Ia mundur beberapa langkah, kemudian menarik senjata di balik punggung dan mengacungkan ke depan. Satu tembakan melesat dan membuat lubang yang tembus pandang. Cahaya seketika mencuat melalui lubang itu. Ini aneh, kenapa ada cahaya? Cahaya apa itu? Ruangan apa sebenarnya
Tebakan Rosene tidak pernah salah. Mereka adalah tiga anggota terkuat dari klan Dare Devil. Kemampuannya jelas tidak diragukan lagi. Mereka terlatih secara fisik maupun pikiran. Aaron menginginkan anggota yang kuat dan pintar. Kemudian lahirlah mereka. Sedikit banyak Rosene tahu. Diego merupakan mantan anggota militer yang membelot kemudian bergabung dengan Dare Devil. Dia unggul dalam bermain senjata tajam maupun senjata api lainnnya. Keahlian lain, dia ahli dalam merakit peledak. Lalu si rambut perak itu. Dia seorang sniper. Tidak menutup kemungkinan. Dia pandai menggunakan senjata lain. Kemudian yang ditengah, dia yang paling menakutkan. Ben memiliki insting yang tajam. Di antara kedua rekannya, dia yang paling kuat dan menakutkan. Dia ahli dalam segala hal, keahliannya meracik obat-obatan dan menciptakan racun yang mematikan. Soal beladiri, Rosene sebentar lagi akan memastikan sendiri. "Waktumu habis, Nona." Diego bersuara. Soal itu, Rosene juga sudah tahu. Yang belum tahu ad
Rosene tidak dapat menahan keterkejutan atas apa yang dilihat dan ia dengar. Aaron memanggil nama aslinya sembari mengacungkan senjata. Kaki Rosene serasa lemas. Untungnya ia masih kuat berdiri di tengah todongan senjata dari seluruh anggota Dare Devil. Ya, bukan hanya Aaron saja yang mengacungkan senjata ke arahnya, tapi juga seluruh anggotanya. Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan seorang mata-mata kecuali menyerah. "Rosene Marino. Jadi itu nama aslimu." Aaron masih tidak menurunkan senjata apinya. Rosene terpaku beberapa saat. Ia masih tidak percaya dirinya ketahuan. "Tuan." "Jangan panggil aku Tuan. Aku bukan tuanmu."Rosene didorong dari belakang oleh salah satu dari tiga bawahan terkuat Aaron. Ben mengacungkan senjatanya begitu pula dengan Jekco. Pundak ditekan oleh Diego memaksa wanita itu berlutut. Tidak ada yang bisa Rosene lakukan kecuali menurut. Ia terlihat pasrah dan prustasi. Mungkin ini akhir dari segalanya. Lalu apakah Rosene menyesal? Ya, Rosene menyesal
Melanie memang malas bertemu Markus. Tetapi, setelah teringat ucapan Rosene, Melanie jadi berubah pikiran. Ia tidak boleh membantah Markus. Kalau tidak ingin nyawanya terancam. Mungkin ucapan Rosene ada benarnya. Selagi dirinya belum mahir bersenjata. Ia harus tunduk pada Markus dan membuat pria itu puas untuk sementara waktu. Bukankah ia sudah bertekad untuk membalas dendam, jadi tidak ada salahnya kalau ia memenuhi perintah pria itu. "Tuan, Nona Melanie datang." Markus yang tengah duduk di single sofa seketika bangun. Sosok yang ia tunggu muncul. Wanita dengan bola mata kuning, kulitnya putih sedikit berbintik, namun hal itu justru membuatnya terlihat eksotis. Hidung bangir dan bibir sedikit tebal berisi. Pipi tirus dan tubuh langsing. Itu karena ia menjaga pola makan. Melanie memang selalu menjaga penampilan. Demi apa lagi kalau bukan untuk mengencani para pria tampan. Melanie memang sangat cantik. Permainannya juga menarik. Markus cukup dibuat puas oleh wanita itu. Namun, pri
Rosene tidak menyangka, kalau ia yang akan menyerahkan dirinya sendiri kepada Aaron. Ia pikir semuanya akan terasa mudah, tapi nyatanya tidak. Aaron menyiksanya. Setiap sentuhan yang diberikan Aaron adalah siksaan baginya. Ini baru pertama kali, jadi terasa sempit. Atau memang milik Aaron yang terlalu besar? Entahlah. Rosene tidak memperhatikan ukurannya. Aaron juga sudah menduga ini. Rosene betul-betul masih perawan. Ia tidak pernah salah menilai wanita hanya dari segi fisiknya. "Pelan-pelan, Tuan." Rosene memelas. Suaranya terdengar berat. Ini menyebalkan! Rosene tidak dapat mengontrol dirinya sampai-sampai suaranya terdengar begitu menjijikkan. Apakah seperti ini rasanya kenikmatan yang diagungkan para manusia di luar sana. Surga dunia yang banyak dipuja. Ini sungguh gila. Bisa-bisanya dirinya ini menerima begitu saja. Dalam hati ingin sekali menolak. Namun, reaksi tubuhnya malah sebaliknya. Rosene mulai menikmatinya. Rosene dibuat melayang-layang. Aaron pandai melakukan itu.
Bukan. Bukan ini yang ia inginkan. Ini sama seperti Aaron menjadikan dirinya tawanan. Atau sejenis anjing piaraan. Semua terlihat sama. Tidak, ini terlalu sederhana. Dengan kata lain, ada banyak hal yang bisa dilakukan Aaron ketika dirinya menerima kesepakatan ini. Mematuhi semua perintah Aaron. Itu artinya, Aaron akan menjadi pengendali atas dirinya. Lalu apa bedanya dengan Markus. Sial! Rosene semakin terjebak. Mungkin orang lain akan berpikir bahwa isi surat perjanjian ini adalah hal yang sepele. Ia hanya tinggal mematuhi apa saja yang diperintahkan.Tetapi ini Aaron, pria dengan aura iblis dan kelicikan di atas rata-rata. Sudah banyak nyawa yang tumbang di tangannya. Kabarnya, wanita yang menemaninya juga lenyap hanya karena tidak bisa memuaskannya. Dari situ saja, bisa ditarik kesimpulan kalau Aaron ini adalah malaikat maut versi manusia. Lalu sekarang Rosene dituntut untuk patuh padanya. Yang benar saja?"Kau bisa membaca 'kan?" Aaron bertanya begitu karena Rosene membaca la