Home / Romansa / The Mafia: Last Mission / Bab 1. Tidurlah Denganku

Share

The Mafia: Last Mission
The Mafia: Last Mission
Author: Ahza Rumaisha

Bab 1. Tidurlah Denganku

last update Last Updated: 2022-12-21 10:50:10

"Rose!" 

Rosene mendongak mendengar namanya disebut. Ia menatap wanita berambut pirang di seberang. Itu tidak asli. Tidak seperti dirinya yang lebih menyukai warna rambut aslinya yang berwarna hitam. 

"Tolong selamatkan aku!" ucap gadis itu lagi.

Rosene menatap pria yang berdiri di samping Melanie. Moncong senjata mengarah pada kepala adiknya membuat Rosene seketika mengepal. 

Posisinya sangat tidak menguntungkan. Ia bisa saja menghabisi semua orang yang ada di ruangan ini. Tapi kenyataannya tidak begitu. 

Rosene malah berlutut di bawah todongan senjata beberapa pria yang tentu saja ia tahu satu persatu nama mereka karena pernah menjadi bawahannya. 

"Rosene," panggil seorang pria. Rosene menatap pria yang duduk di single sofa dengan posisi satu kaki bertumpu pada satu lainnya. 

Dia adalah Markus Alessandro, ketua klan Mafia Rossmoss, junjungannya. Pria yang ia hormati, ia segani sesuai dengan posisi dan jabatannya sebagai pemimpin tertinggi. Setidaknya, itu sampai kemarin. 

Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti. Rosene Marino ingin pensiun dan hidup normal layaknya wanita biasa. Menikah dan memiliki anak. Tetapi tidak semudah itu. Sesuai kesepakatan, nyawa akan menjadi taruhannya jika ingin keluar dari klan. 

Rosene Marino salah satu anggota inti dari klan Rossmoss, otak dibalik kemenangan Rossmoss saat berhadapan dengan musuh. Berkat otak cemerlang Rosene Marino, Rossmoss dapat menguasai beberapa wilayah Klan lain.

Tentus saja Markus tidak akan melepaskan Rosene begitu saja. "Rosene, apa kau sudah memikirkannya matang-matang?" Markus bertanya pada mantan bawahannya. 

"Saya tidak akan pernah menarik ucapan yang telah keluar dari mulut saya." Rosene bersuara tegas. 

"Kalau begitu sayang sekali." 

Markus menatap gadis yang berlutut tak jauh darinya. Otak liarnya begitu menginginkan tubuh seksi dan menawan itu berada di ranjangnya. Tapi Rosene bukan gadis biasa. Wanita itu memiliki bola mata berwarna merah terang dan tatapan yang begitu mematikan. 

Wanita dengan seribu akal yang cerdik dan penuh perhitungan. Tentu tidak mudah membuat tubuh seksi itu berada di bawah kungkungannya. Atau nyawa bisa melayang. 

"Kau tahu, Rose. Aku paling tidak suka dikhianati." 

"Saya tidak pernah mengkhianati Anda, Tuan. Saya setia." Rosene masih saja berlutut. 

"Andai aku bisa memindahkan otakmu pada kepala orang lain, pasti aku sudah melakukannya," ucap Markus. Mendengar itu, Rosene terdiam. "Terlalu banyak yang kau ketahui tentang Rossmoss."

"Saya bersumpah tidak akan memberitahu siapapun," kata Rosene. 

"Siapa yang bisa menjamin?" 

"Anda bisa mengintai saya. Saya bersumpah saya hanya ingin kembali hidup normal." 

Markus mendengkus kasar. Negosiasi yang sangat membosankan. "Rosene," panggilnya lagi. 

"Ya, Tuan." 

"Kembalilah pada Rossmoss. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan. Kau bisa menjadi tangan kananku."

Ruangan jadi sepi tanpa suara. Rosene menatap Jack. Pria dengan senjata api di tangannya itu juga tengah menatapnya. Posisi orang kepercayaan diduduki oleh Jack, bagaimana bisa Markus memberikan pada dirinya. 

Dari semua posisi yang ada di klan, Jack adalah yang paling menjadi idaman bagi semua anggota Rossmoss. Beberapa keistimewaan didapat meski telah melakukan kesalahan. Tapi tidak dengan, Rosene. Itu semua tidak ada artinya bagi Rosene. 

"Maaf, Tuan. Saya tidak tertarik," ucap Rosene lantang. Markus mengepalkan tangan. 

"Kalau begitu kau harus terima akibatnya."

Markus melihat Jack. Pria itu segera mengongkang senjata dan mengacungkan ke arah Melanie.

Dorrr!

"Melanie!" 

Rosene hendak berlari, tapi tubuhnya ditahan oleh anak buah Markus. Rosene kembali bersimpuh. Markus tertawa. Rosene memandang Melanie. Rasa sakit yang tak terperikan. Melanie tertembak di paha. 

"Aku tidak apa-apa, Rose!" Melanie berkata lirih. Meski begitu, Rosene tahu, bahwa saudari perempuannya itu menahan kesakitan. 

Tersisa tiga amunisi. Sementara ada puluhan anggota Rossmoss di dalam ruangan. Tentu tidak cukup untuk menembaki mereka semua. 

"Menyerahlah! Kau tidak akan bisa melawan kami." Seolah tahu isi kepala Rosene saat ini, Markus berteriak kencang diiringi sisa-sisa tawa yang menyertainya. 

Rosene dapat membaca situasinya. Apa yang dilakukan Jack, hanya sebuah gertakan saja. Bisa jadi, Markus akan menyuruh melakukan hal yang lebih dari itu. Kalau sudah begitu. Apa yang harus ia lakukan. 

Rosene berusaha untuk membuat perhitungan. Tapi jalan satu-satunya adalah menyerah. Logikanya berkata bahwa ia haruslah hidup. Ia punya mimpi, dan masa depannya masih panjang. Ia tidak mau hidup sebagai anggota kelompok dunia hitam.

"Kau aku izinkan keluar dari klan, tapi...." Markus memandang Rose dengan senyum menyeringai. Rosene menengadah. Sudah ia duga. Sejak awal Rose sudah menduga ini akan terjadi. 

"Apa yang kalian inginkan?" Rosene lebih dulu menyela. 

"Pergi ke Dare Devil jadilah mata-mata. Laporkan semua pergerakan mereka padaku." 

Rosene terdiam, memandang Markus dengan tatapan membulat. Ia jelas kaget. Sedangkan yang dipandang malah menyeringai. Dare Devil? Itu artinya, ia harus berhadapan dengan Aaron, sang pemimpin tertinggi Klan. 

Rumor yang terdengar, bahwa Aaron adalah sosok yang kejam. Dan ia harus terlibat dengan pria semacam itu. Ah, bukankah dirinya juga termasuk dalam kelompok orang-orang seperti itu. 

Dare Devil adalah Klan terkuat, yang memiliki banyak anggota dan wilayah kekuasaan. Sekaligus musuh bebuyutan Klan Rossmoss. 

Hampir seluruh klan kecil hingga besar tunduk pada mereka. Tentu saja Rossmoss tidak termasuk. Bagi Markus, tidak ada kata tunduk pada lawan. 

"Setelah aku berhasil menaklukkan mereka, kau ku bebaskan." Markus mencuri lirik ke arah Melanie. "Ah adikmu juga akan bebas tentunya." 

Tangan Rosene mengepal. Ini jebakan. Pergi ke Dare Devil sama saja mengantar nyawa. Tidak ada kesempatan hidup bagi mata-mata yang masuk ke wilayah mereka. 

"Bagaimana, Rose?" 

Rosene terdiam.  Untuk saat ini, membelot atau jadi mata-mata. Sama saja hasil akhirnya, yaitu hilang nyawa. 

"Jangan mau Rose, kau bisa mati oleh mereka!" Melanie berteriak. Rosene mengumpat. Ia tahu itu. Markus melihat Jack. Pria itu segera mengongkang senjata dan mengacungkan ke arah Melanie.

Tetapi, Rosene juga tidak ingin mati sia-sia. Karena melawan Rossmoss, itu sama sekali tidak mungkin. Sedangkan pergi ke Daredevil, bukan juga pilihan yang baik. Tapi setidaknya dia harus mencoba, demi Melanie. 

"Kau terlalu lama membuang waktuku!" 

Markus menoleh. "Jack!" panggilnya. Pria itu mengangguk. Kepala Melanie menjadi sasaran moncong senjata Jack. 

"Aku bersedia!" Rosene segera berteriak. Seruan itu menarik perhatian semuanya termasuk Jack. Melanie membulatkan mata. Sementara Markus tertawa. 

"Turunkan senjatamu, Jack." Markus memberi perintah. Pria itu mengangguk. Sapu tangan di saku jas ditarik, lalu dibebatkan ke paha Melanie. 

"Bebaskan adikku. Dia tidak tahu apapun." 

"Hahahaha!" Tawa Markus memenuhi ruangan. "Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, Sayang." Markus berdiri lalu berjalan menuju Rosene. 

Rosene menatap Markus dengan berani, saat pria itu menarik dagunya. "Kau memang keras kepala!" Sepersekian detik, Markus menyentakkan dagu itu. 

"Sesungguhnya aku punya pilihan ketiga, tapi aku ragu untuk mengatakannya," bisik Markus tepat di telinga Rosene. 

Rosene terdiam mendengarnya. Ini seperti bukan Markus yang selalu mengutarakan keinginannya tak peduli di segala situasi. 

"Kau ingin mendengarnya, Rosene?" 

"Ya, Tuan." Markus menarik sebelah sudut bibirnya. Lalu berkata.

"Tidurlah denganku." 

Related chapters

  • The Mafia: Last Mission    Bab 2. Misi Terakhir

    Rosene kaget mendengarnya. Dari sekian banyak perintah yang diberikan oleh Markus, baru kali ini yang paling mengejutkan. Apa yang ada dipikiran wanita ketika seorang pria mengajak tidur bersama? Jelas bukan hanya sekedar tidur bersama. Tetapi, berhubungan intim yang sama sekali tidak diinginkan oleh Rosene. Mungkin bagi wanita lainnya itu adalah hal biasa, namun bagi Rosene itu suatu hal yang besar, dan ia tidak akan memberikannya pada sembarang pria. Apalagi Markus. "Bagaimana, Rosene?" Markus menatap Rosene penuh cinta. Sedangkan yang ditatap malah biasa saja. Perlahan tangan Markus menelusup memasuki tengkuk lalu menariknya. Belum sampai bibir itu menyatu. Rosene segera memalingkan wajah. "Maaf, Tuan. Saya tetap memilih opsi yang kedua."Semua terlihat kaget. Sudah menjadi rahasia umum jika Markus begitu mendambakan sosok Rosene untuk berada di ranjangnya. Tetapi dengan berani dan keras kepala, wanita itu menolak. Bahkan sampai detik ini. Anehnya, Markus membiarkan saja. Mele

    Last Updated : 2022-12-21
  • The Mafia: Last Mission    Bab 3. Permainan Yang Buruk

    Janeth kalah cepat dari Jack. Pria itu sudah mengongkang senjatanya sejak awal sampai di kamar Rosene. Dan setelah melihat Janeth berada di sana tentunya. Dia curiga saat melihat Janeth sedang menuju ke kamar Rosene, hingga ia pun mengikutinya. Jack juga sempat mendengar mereka berdua berdebat.. Bertahun-tahun perang dingin terjadi antara dua anggota wanita klan Rossmoss. Tentu menyita perhatian semua anggota klan itu sendiri. Terlebih Janeth terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Rosene di depan klan. Dingin, angkuh, keras kepala, dan congkak. Beberapa faktor penyebab wanita bermata merah itu tidak disukai anggota klan Rossmoss lainnya terutama Janeth. Alasan lainnya, yaitu Rosene merupakan anggota kesayangan Markus, Pemimpin klan. Tidak menyimpan kemungkinan bila Jack menyukai wanita itu juga. Rosene menatap Jack penuh emosi. Wajar, karena pria itu yang telah menembak adiknya. Lantas apa maksud kedatangan pria itu sampai repot-repot datang kemari. "Akhiri

    Last Updated : 2022-12-21
  • The Mafia: Last Mission    Bab 4. Red Eyes

    Sayang sekali, wanita penghibur itu harus dihabisi. Dia terkapar dengan luka tembak di kepala. Arron bilang, pelayanannya kurang memuaskan. Jadi sudah sepantasnya wanita itu lenyap. Suara tembakan tadi, berhasil menarik pusat perhatian para anggota klan Dare Devil. Dua penjaga di depan pintu saling pandang. Ben keluar. "Kalian, urus mayatnya!" Ben memberi perintah pada bawahannya lalu lekas menyusul Aaron. Menanyakan apa yang diinginkan tuannya itu. Mengingat pria itu belum puas. Pasti Aaron menginginkan pelampiasan lain. Tetapi, Ben salah kira. Aaron malah menuju ke ruang kerja. Ben mengira pria itu akan pergi ke Paviliun, tempat para wanita piaraannya berada. "Ben," panggil Aaron. "Ya, Tuan." Ben maju satu langkah. "Bagaimana dengan Nick?" "Nick sudah di sini sejak tadi, Tuan," jawab Ben. Aaron terperanjat. "Apa, lalu kenapa kau...." Ucapan Aaron terhenti, Ben menatap tuannya. Aaron mendecak. Hampir saja Aaron memarahi Ben. Ini karena dirinya terlalu sibuk bermain dengan wan

    Last Updated : 2022-12-21
  • The Mafia: Last Mission    Bab 5. Rose

    Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma. Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai. Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie. Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan. Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan

    Last Updated : 2022-12-21
  • The Mafia: Last Mission    Bab 6. Diculik

    Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter

    Last Updated : 2023-01-01
  • The Mafia: Last Mission    Bab 7. Rekan Tidur

    Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar

    Last Updated : 2023-01-03
  • The Mafia: Last Mission    Bab 8. Terciduk

    Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke

    Last Updated : 2023-01-04
  • The Mafia: Last Mission    Bab 9. Berhasil Direbut

    Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka

    Last Updated : 2023-01-05

Latest chapter

  • The Mafia: Last Mission    Bab 117. Sumpah Rosene

    Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara

  • The Mafia: Last Mission    Bab 116. Penguasa Pulau

    Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be

  • The Mafia: Last Mission    Bab 115. Sebuah Pulau

    Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa

  • The Mafia: Last Mission    Bab 114. Bermain Dengan Janeth

    Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s

  • The Mafia: Last Mission    Bab 113. Koma

    Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu

  • The Mafia: Last Mission    Bab 112. Kebiasaan Lama

    Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann

  • The Mafia: Last Mission    Bab 111. Prustasi

    Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere

  • The Mafia: Last Mission    Bab 110. Sandera

    Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita

  • The Mafia: Last Mission    Bab 109. Aku Harus Pergi

    Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status