Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma.
Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai.
Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie.
Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan.
Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan orang-orang di sekitarnya. Melanie tidak termasuk.
"Tutup bola matamu pakai ini." Solusi yang diberikan Melanie, ia gunakan sampai sekarang. Ah mengingat gadis itu. Ia jadi bertekad lekas menyelesaikan misi.
Pukul delapan pagi, jadwal Aaron pergi ke kantor. Pria itu akan berperan sebagai pengusaha, namun malam harinya, kehidupan sesungguhnya baru dimulai.
Dua orang pelayan wanita sudah siap untuk membantu pria itu untuk berpakaian. Aaron hanya tinggal merentangkan tangan dan pakaian itu segera dipasangkan oleh bawahannya.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan."
"Sampaikan pada Lucia, suruh dia berdandan. Nanti malam aku akan menggunakannya."
"Maaf, Tuan. Bukankah Nona Lucia sudah memberitahu Anda, bahwa selama seminggu ke depan dia tidak bisa melayani Anda karena berhalangan."
Aaron menutup mata sebentar. "Ah ya, aku lupa."
"Oleh karena itu, Nona Lucia meminta izin untuk berbelanja barang pribadinya, Tuan."
"Ya aku izinkan dia berbelanja. Berikan dia kartu kredit hitamku. Dia boleh belanja sepuasnya, tapi...."
Aaron mengangkat tangan. Dua pelayan tadi menjauh darinya. Aaron memandang orang kepercayaannya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan 'kan? Awasi dia?"
"Siap, Tuan. Saya akan siapkan semuanya."
"Aku perlu sarapan." Aaron melenggang keluar dari kamar. Lalu diikuti oleh empat orang pria berpakaian serba hitam rapi dengan masing-masing di telinga mereka terdapat headset earphiece.
Kebanyakan untuk urusan rumah, Aaron memilih pekerja wanita. Sedangkan untuk penjaga kebanyakan pria, ada juga wanita yang bertugas sebagai penjaga, tetapi mereka termasuk dalam kelompok Dare Devil.
Kursi ditarik oleh salah satu pelayan lalu Aaron duduk dengan angkuh. Pelayan lainnya mulai menghidangkan makanan.
Aaron melirik Ben yang telah muncul di sampingnya lalu ia berkata. "Apa harus setiap kali aku menyuruhmu duduk, kau baru duduk?"
Ben menarik kursi, lalu ia duduk di samping Aaron. Ia juga dilayani karena perintahnya adalah nomor dua yang harus dipatuhi setelah Aaron.
"Oh ya, hari ini aku ingin mengunjungi pembangunan hotel di area jalan Archeolo, kenapa lama sekali pekerjaan pembangunannya?" Aaron bertanya di sela kunyahannya menyantap pasta.
"Ada sedikit kendala, Tuan. Mereka sudah selesai mengatasinya, kita bisa pergi ke sana hari ini."
Aaron berdehem, ia menenggak air putih sampai tandas lalu menyeka bibir menggunakan lap.
"Kumpulkan para gadisku di sini. Aku ingin memilih untuk nanti malam."
"Baik, Tuan." Ben merogoh saku jas dan mengeluarkan remot kecil dari sana. Hanya tinggal tekan. Mereka akan berkumpul dengan sendirinya.
Ada sebuah pintu khusus yang menghubungkan antara Mansion dan paviliun dan para wanita akan melewati pintu itu.
Ada lima belas wanita piaraan Aaron, tidak termasuk Lucia karena wanita itu sudah naik pangkat menjadi wanita kesayangan.
"Apa kalian jarang makan? Kenapa begitu kurus dan tidak sedap dipandang."
Para wanita itu saling lirik. Bila banyak makan, mereka takut gemuk. Aaron tidak suka wanita gemuk. Itu sebabnya mereka tidak makan makanan yang disuguhkan pelayan yang termasuk makanan golongan berat.
"Maaf, Tuan. Kami hanya ingin menjaga bentuk tubuh kami," sanggah wanita bernama Livia. Demian memandang wanita itu.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan." Yang dipanggil maju ke depan.
"Singkirkan dia."
Livia membulatkan mata. Ia segera berlutut dan mengakui kesalahannya yang telah salah bicara. Ia lupa bila Aaron tidak suka dibantah.
"Tuan, ampuni saya."
Terlambat, Ben sudah mengongkang senjata dan segera menarik pelatuknya.
Dorr!
Dorr!
Livia terkapar dengan luka tembak di perut dan jantung. Jelas hal itu membuat para wanita lainnya ketakutan. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti Livia. Itu sebabnya mereka memilih diam dan menutup bibir rapat-rapat.
"Peringatan untuk kalian agar menjaga sopan santun di hadapan Tuan," kata Ben.
"Siap, Tuan."
"Silakan, Tuan," ucap Ben.
"Aku sudah tidak berminat, melihat mereka membuat mataku sakit."
Aaroon mengibaskan tangan. Para wanita segera menyingkir tanpa berani memandang rekannya yang tengah menjadi mayat.
"Kalian, urus mayatnya."
"Baik, Tuan."
"Kita berangkat sekarang, Tuan."
"Ya." Aaron melenggang keluar diikuti oleh Ben. Pintu dibuka oleh sopir yang merangkap sebagai pengawal, Aaron masuk kemudian Ben bergabung di kursi penumpang di sebelah atasannya.
Kemudian kendaraan mewah metalik itu bergerak keluar dari kawasan Mansion menuju jalan besar. Selagi di perjalanan, Aaron akan menyampaikan keinginannya pada Ben.
"Sepertinya aku butuh kandidat wanita baru." Aaron membuka percakapan tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
"Anda ingin mengganti yang lama, Tuan?"
"Ya, mereka benar-benar sudah tidak layak pakai." Aaron menganggap mereka seperti barang.
"Saya akan meminta Fabio untuk mencarinya."
"Aku tidak ingin wanita malam, atau wanita hasil taruhan. Aku ingin wanita biasa, dan kalau bisa yang masih perawan, kalau perlu beli mereka."
"Baik, Tuan."
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, hanya butuh waktu beberapa menit saja. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Para pekerja bangunan itu segera berjajar rapi menyambut kedatangan atasan mereka.
Helm putih diterima Aaron, sementara Ben berpamitan untuk menjawab panggilan. Aaron ditemani bawahan lainnya melihat-lihat bangunan yang setengah jadi itu. "Aku ingin hotel ini segera jadi. Ini akan menjadi bangunan yang paling megah di kota Roma."
Sebelah sudut bibir Aaron tertarik ke samping. Ia sudah tidak sabar untuk membuka hotel baru itu, yang pasti akan disukai para pengunjung, yang hanya khusus untuk para kalangan atas saja.
Ben telah kembali muncul. "Apa aku ada jadwal lagi setelah ini."
"Ya, Tuan. Ada pertemuan dengan Vendor."
"Ya, kita ke sana sekarang."
Kemudian Ben mendekat sedikit berbisik. "Tuan, Fabio sudah mendapatkannya Apakah Anda ingin ke sana?"
"Batalkan pertemuan dengan Vendor, kita ke sana sekarang."
"Baik, Tuan."
Ben menyuruh sopir menjalankan mobil menuju tempat yang sudah diberitahu Fabio. Kendaraan yang ditumpangi Aaron berbelok, namun tiba-tiba berhenti mendadak dan mengejutkan para penumpang.
"Ada apa?"
"Maaf, Tuan. Sepertinya saya menabrak sesuatu. Saya akan memeriksanya."
"Ya, cepatlah."
Pengawal itu keluar. Seorang wanita berdiri dari duduknya.
"Kalau bawa mobil yang benar!" maki gadis itu. Ben yang melihat Aaron gelisah segera keluar.
"Ada apa ini?"
"Tuan, Nona ini terluka." Ben menatap wanita yang dimaksud pengawal. Lutut dan kakinya lecet.
"Beri dia uang, selesai."
"Hei, kau!" seru gadis itu. Tatapan Ben berubah tajam. "Di mana sopan santunmu, aku bukan pengemis."
Ben menutup pintu lalu menghampiri gadis itu. "Lalu apa maumu?"
"Aku ingin permintaan maaf."
"Apa? Kau tidak tahu siapa kami?" Ben tidak terima.
"Mana kutahu?" Wanita itu mencebik. "Dasar orang kaya sombong."
"Apa kau bilang?" Ben yang tersulut emosi mengangkat tangan hendak melayangkan pukulan, namun, dihentikan oleh Aaron.
"Berhenti, Ben." Aaron menyusul dua bawahannya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Siapa namamu, Nona?" Aaron meraih jemari gadis itu lalu mengecupnya. Melihat itu, ia segera menarik tangannya.
"Hei, kau siapa? Tidak sopan."
Ben dan pengawal itu kaget. Ben hendak maju tetapi Aaron mengangkat tangan. Tatapan Aaron seketika berubah tajam.
"Siapa namamu?"
"Rose."
"Apa maumu?" Pertanyaan yang sama dengan Ben.
"Kau tidak lihat, aku terluka karena perbuatan sopirmu. Aku ingin kalian minta maaf."
Aaron menaikkan sebelah alis. "Hanya itu?"
"Ya."
"Kalau begitu, maafkan kami."
"Aku terima, lain kali kalian harus hati-hati." Rose menepuk pundak Aaron kemudian berlalu dari hadapannya. Aaron memandang gadis yang mulai menjauh itu.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan."
"Dapatkan dia, aku ingin dia berada di ranjaku."
Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter
Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar
Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke
Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Aaron mengibaskan tangan. Berta jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memberi kode pada dua pelayan lainnya untuk berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu ditutup, dan dijaga oleh dua orang pengawal lainnya. Mereka harus selalu siap siaga jika terjadi sesuatu di dalam sana. Ben pun sama halnya, ia turut berjaga di depan kamar. Di dalam kamar tinggal berdua, Rosene bersama dengan Aaron. Ini jelas bukan hal yang Rosene inginkan. Berada di dekat Aaron membuat Rosene seketika gugup. Aura Aaron membuat Rosene jadi kerdil. Aaron berjalan mendekat. Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan jas itu berdiri di hadapan Rosene. Ia raih dagu wanita itu membuatnya sedikit mendongak. "Kau mencariku, Sayang." Rosene langsung menepis kuat tangan itu dan membuat pemiliknya seketika melotot. "Jangan sentuh aku!" Sungguh, Rosene menyesal karena sudah datang ke sini. Ia tidak sudi jika harus menyerahkan tubuhnya pada Aaron. Karena ia pun datang bukan itu. "Really? Kau bercanda, Sayang." T
Peluru melesat ke arah lampu tidur. Untungnya, Aaron segera bangkit dan menepis tangan Ben dan membuat tembakan itu meleset. Sementara Rosene terlihat syok. Ia memang terbiasa dengan luka tembak, dan ia pernah menerimanya. Tetapi, jika peluru tadi sampai mengenai kepala, maka bisa tamat riwayatnya. Mendengar suara gaduh, Berta dan pelayan yang biasa melayani Rosene muncul. Sama seperti Ben, mereka kaget dengan situasi yang terjadi. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Berta hendak menghampiri Sang Tuan, tetapi langsung dicegah. "Jangan pedulikan aku, tangkap wanita itu lalu kurung dia." Bukan hanya Berta, tetapi pengawal lainnya lekas menghampiri Rosene. Wanita itu tidak memberontak. Ia pasrah dengan apa yang dilakukan terhadap dirinya. Jika Aaron kata dikurung, maka Rosene benar-benar dikurung. Namun, ia bukan hanya sebatas dikurung biasa. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan besi dan rantai kemudian rantai itu terhubung pada dua sisi dinding tersebut.Tali rantai itu tidak cukup panj
Meski telah dipuaskan oleh Lucia. Entah kenapa Aaron masih saja memikirkan Rosene. Ia heran saja, ada wanita yang begitu berani menolak pesonanya. Padahal dirinya sudah menawarkan uang. Wanita yang gila harta akan begitu mudah menempel pada Aaron. Tetapi, Rosene berbeda. Atau mungkin Rosene bukan wanita yang seperti itu. Atau ada faktor lain. Apa mungkin dirinya ini kurang tampan?"Berta!" panggil Aaron. "Ya, Tuan." Yang dipanggil berjalan tergesa-gesa menemui Aaron. Setelah Berta berdiri di hadapannya, barulah Aaron bertanya. "Berta, apa aku ini kurang tampan?" Jelas saja pertanyaan seperti itu membuat Berta memandang majikannya itu dengan tatapan heran dan penuh tanya. "Apa maksud Anda, Tuan. Tentu saja Anda tampan." "Kau berdusta!" "Saya mengatakan yang sebenarnya, Tuan." Berta memang mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, apa yang membuat Aaron mempertanyakan hal demikian. Tidak biasanya pria itu mempedulikan hal semacam itu. "Tuan, apa yang membuat Anda merasa rendah diri s
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman