Rosene kaget mendengarnya. Dari sekian banyak perintah yang diberikan oleh Markus, baru kali ini yang paling mengejutkan.
Apa yang ada dipikiran wanita ketika seorang pria mengajak tidur bersama? Jelas bukan hanya sekedar tidur bersama. Tetapi, berhubungan intim yang sama sekali tidak diinginkan oleh Rosene. Mungkin bagi wanita lainnya itu adalah hal biasa, namun bagi Rosene itu suatu hal yang besar, dan ia tidak akan memberikannya pada sembarang pria. Apalagi Markus. "Bagaimana, Rosene?" Markus menatap Rosene penuh cinta. Sedangkan yang ditatap malah biasa saja. Perlahan tangan Markus menelusup memasuki tengkuk lalu menariknya. Belum sampai bibir itu menyatu. Rosene segera memalingkan wajah. "Maaf, Tuan. Saya tetap memilih opsi yang kedua."Semua terlihat kaget. Sudah menjadi rahasia umum jika Markus begitu mendambakan sosok Rosene untuk berada di ranjangnya. Tetapi dengan berani dan keras kepala, wanita itu menolak. Bahkan sampai detik ini. Anehnya, Markus membiarkan saja. Melenyapkan adalah cara Markus membalas sakit hati. Tetapi, Markus tidak melakukan itu pada Rosene. "Aku salut dengan kegigihanmu, Rosene." "Terimakasih, Tuan." Mungkin bukan waktu yang tepat bagi Rosene mengucapkan kata terima kasih di tengah-tengah suasana yang genting begini. Tapi itulah Rosene. Wajah yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi membuat orang di sekitar merasa kesal. Bisa-bisanya dia setenang itu, padahal ada seseorang yang nyaris mati karena keputusannya untuk berhenti dan keluar dari klan. Dan sialnya Melanie yang terkena imbas itu. "Kau tidak lupa 'kan, kalau dia hanya saudari tirimu?" Markus berusaha membuat Rosene goyah. "Dia anak hasil perselingkuhan ibumu."Satu kenyataan lain yang membuat Rosene heran dengan keputusannya. Bahwa dirinya dan Melanie bukanlah sedarah. Soal itu, Rosene tidak akan lupa. "Terimakasih, Tuan. Anda sudah mengingatkan." Markus mendengkus. Bolehkah ia menembak kepala gadis ini. Keras kepala dan begitu congkak. "Kau masih bisa merubah keputusanmu, Rosene." Markus betul-betul berharap. "Tidak, Tuan." Tangan Markus mengepal. Ia berdiri dari duduknya lalu membalik diri. "Baiklah, kau yang menginginkan ini, Rosene." Markus mulai prustasi. "Anggap saja ini misi terakhir. Waktumu tidak banyak, 21 hari. Nanti malam, Jack akan mengantarmu di perbatasan wilayah. Semoga beruntung, Rosene." "Terimakasih, Tuan." Hampir tanpa ekspresi Rosene mengatakannya. "Bawa dia ke markas." Markus memberi titah pada bawahannya. Terpincang-pincang langkah Melanie ketika didorong oleh bawahan Markus. Sesekali ia menoleh ke belakang. Nampak Rosene terdiam di posisi yang sama seperti terakhir kali. Wanita itu bahkan tidak menoleh ke arah saudari perempuannya yang nyaris lenyap dari pandangan. Padahal Melanie sangat ingin Rosene melihatnya.***Derap langkah sepatu pantofel bergesekan dengan lantai terdengar memenuhi ruangan. Satu orang pria tinggi diiringi enam orang bawahannya masuk. Ben menyambut pria itu. "Selamat datang, Tuan." "Ya." Tatapan Aaron langsung tertuju pada seorang pria yang tengah diikat di atas kursi. Aaron menyunggingkan senyumnya. "Jelaskan secara detail." "Namanya Ramon, dia adalah agen ganda dari Klas Holves, Tuan." Ben menyampaikan laporan yang diberikan bawahannya. "Holves? Klan sekecil itu berani mengintai kita?" "Ya, Tuan." Aaron mengulurkan tangan. "Berikan senjataku." Ben segera meletakkan senjata api di tangan Aaron. Langkah bergerak maju. Aaron memandang pria yang sudah babak belur itu. Moncong senjata bergerak mengurut wajah. Kemudian berhenti di kepala."Sebegitu inginnya kalian menginvasi klan ku, sepertinya kalian terobsesi menjadi klan besar, tapi sebelum itu terjadi. Aku yang akan lebih dulu mengambil klan kalian." Aaron menurunkan senjatanya, kemudian mundur. "Diego, lakukan tugasmu." Pria yang dipanggil namanya maju, ia tarik senjata api kemudian melesatkan pelurunya ke arah pria itu. Tiga tembakan didapat Ramon yang langsung membuat pria itu seketika tak bergerak. Yang lain tengah khawatir, tapi yang dikhawatirkan malah bersantai di ruang perawatan sembari melumat buah anggur. Setelah dibawa dari aula. Markus memberi perintah untuk merawat luka Melanie. Dia adalah titik kelemahan Rosene. Selama Melanie ada di tangannya. Markus masih bisa mengendalikan wanita itu."Kau ini, Rose sedang khawatir padamu, tapi kau malah asyik makan," seloroh Martin, salah satu kepala anggota medis Rossmoss. "Hei aku ini pasien, jadi harus banyak makan agar cepat sembuh. Lagipula aku juga butuh energi untuk bisa lari dari sini," sanggah Melanie bersungut-sungut. "Tidak usah banyak gaya, Rosene yang tangguh saja susah lepas dari Tuan Markus." "Kau benar juga." Martin menggeleng melihat tingkah Melanie. Pintu diketuk, derap langkah kaki terdengar. Melani dan Martin menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita berpakaian serba hitam muncul dan berjalan mendekati ranjang. "Rosene." Melanie berbinar melihatnya. Namun, Rosene malah berekspresi datar-datar saja. Itulah Rosene. Dalam situasi apapun ia akan tetap berekspresi sama. Dingin dan tak berperasaan."Bagaimana lukamu?" "Aku masih bisa menahan rasa sakitnya." Melanie menyentuh pahanya. Ada perban yang melilit di sana. "Syukurlah kau masih hidup." "Hei, kau ingin aku mati." Melanie protes."Kau merepotkan." Melanie terperangah mendengarnya. Ia pikir Rosene betul-betul khawatir padanya. Seperti yang dikatakan Martin tadi. "Ya, aku harusnya mati saja!" Melanie berteriak. "Itu lebih baik." "Kau.... betul-betul jahat!" Rosene menoleh. Ia menatap buah anggur yang dilempar Melanie ke sudut ruangan. Isakan terdengar dari wajahnya yang disembunyikan di antara dua lutut. Tega sekali Rosene berkata begitu. Padahal Melanie sangat sayang pada Rosene. Ia tidak ingin Rosene mati, ia tidak mau Rosene pergi ke Dare Devil. "Terserah kau mau mengataiku apa. Pesanku, jangan pernah merusak suasana hati Tuan Markus, patuh pada aturan yang dia berikan. Maka kau akan selamat. Selama aku tidak ada, kau harus mengirit. Jangan boros, kau sudah putih. Tidak perlu memakai skincare. Dan satu lagi, jangan merepotkan." Sesungguhnya, percuma saja Rosene mengatakan semua itu. Toh Melanie tidak akan ke mana-mana. Dalam dua puluh satu hari ke depan. Melanie akan menjadi tawanan Markus. Sampai misi yang dilakukan Rosene selesai. Mendengar penuturan Rosene, Melanie mendongak. Gadis itu bertambah murka. "Keluar!" Melanie menunjuk pintu yang terbuka lebar. Martin tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak ingin menjadi sasaran amukan Melanie. Meski tak semenakutan Rosene. "Tentu, memang itu yang akan aku lakukan." Rosene menatap pintu lalu berjalan ke arah sana Tepat di ambang pintu. Rosene Menoleh. "Ingat kata-kataku, Melanie." "Aku tidak peduli!" Melanie memalingkan wajahnya. Air mata meleleh ke pipi. Sejauh mata memandang, Rosene tampak biasa saja. Tapi siapa sangka, Rosene juga menyimpan luka. Sejujurnya wanita berambut hitam legam itu nyaris menangis. Tetapi bukan Rosene bila ia menumpahkan air matanya di depan orang banyak. Itu merupakan hal bodoh, dan ia tidak akan pernah melakukan itu. Rosene kembali ke kamar. Ia butuh berkemas. Misi ini bukan misi biasa. Tengah memasukkan beberapa barang, derap langkah kaki terdengar. "Kau yakin akan pergi?" Rosene menoleh, nampak seorang wanita berpakaian serba hitam, dengan mata biru dan rambut sebahu berjalan menghampiri. Rosene memutar bola mata. "Seperti yang kau lihat." Rosene kembali sibuk. "Kau yakin misimu akan berhasil, begitu kau masuk wilayah Dare Devil, kau akan habis." Janeth menekan dua kata terakhir. Rosene menarik satu sudut bibir. "Bukankah itu yang kau inginkan?" Sahut Rosene. Sejak awal ia tahu, bahwa Janeth sudah tidak menyukainya dari pertama kali dirinya bergabung dengan Rossmoss. Terlebih saat Markus menaruh hati pada dirinya. Janeth mendecak, dia benci ini. Ia memang senang jika Rosene mati, tapi tidak dengan cara itu. Janeth ingin menghabisi Rosene dengan tangannya sendiri."Kau benar, tapi aku ingin menghabisi mu dengan tanganku sendiri." Rosene berhenti, lalu menghadap Janeth. "Lakukan jika kau mampu." Rosene berkata remeh. Sampai menyulut amarah Janeth. Wanita yang tengah dikuasai kebencian itu menarik pistol hendak mengacungkan ke kepala Rosene. "Berhenti jika kau tidak ingin isi kepalamu berhamburan." Itu bukan suara Janeth, melainkan seorang pria yang lebih dulu mengarahkan moncong senjata ke kepala belakang Janeth.Janeth kalah cepat dari Jack. Pria itu sudah mengongkang senjatanya sejak awal sampai di kamar Rosene. Dan setelah melihat Janeth berada di sana tentunya. Dia curiga saat melihat Janeth sedang menuju ke kamar Rosene, hingga ia pun mengikutinya. Jack juga sempat mendengar mereka berdua berdebat.. Bertahun-tahun perang dingin terjadi antara dua anggota wanita klan Rossmoss. Tentu menyita perhatian semua anggota klan itu sendiri. Terlebih Janeth terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Rosene di depan klan. Dingin, angkuh, keras kepala, dan congkak. Beberapa faktor penyebab wanita bermata merah itu tidak disukai anggota klan Rossmoss lainnya terutama Janeth. Alasan lainnya, yaitu Rosene merupakan anggota kesayangan Markus, Pemimpin klan. Tidak menyimpan kemungkinan bila Jack menyukai wanita itu juga. Rosene menatap Jack penuh emosi. Wajar, karena pria itu yang telah menembak adiknya. Lantas apa maksud kedatangan pria itu sampai repot-repot datang kemari. "Akhiri
Sayang sekali, wanita penghibur itu harus dihabisi. Dia terkapar dengan luka tembak di kepala. Arron bilang, pelayanannya kurang memuaskan. Jadi sudah sepantasnya wanita itu lenyap. Suara tembakan tadi, berhasil menarik pusat perhatian para anggota klan Dare Devil. Dua penjaga di depan pintu saling pandang. Ben keluar. "Kalian, urus mayatnya!" Ben memberi perintah pada bawahannya lalu lekas menyusul Aaron. Menanyakan apa yang diinginkan tuannya itu. Mengingat pria itu belum puas. Pasti Aaron menginginkan pelampiasan lain. Tetapi, Ben salah kira. Aaron malah menuju ke ruang kerja. Ben mengira pria itu akan pergi ke Paviliun, tempat para wanita piaraannya berada. "Ben," panggil Aaron. "Ya, Tuan." Ben maju satu langkah. "Bagaimana dengan Nick?" "Nick sudah di sini sejak tadi, Tuan," jawab Ben. Aaron terperanjat. "Apa, lalu kenapa kau...." Ucapan Aaron terhenti, Ben menatap tuannya. Aaron mendecak. Hampir saja Aaron memarahi Ben. Ini karena dirinya terlalu sibuk bermain dengan wan
Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma. Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai. Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie. Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan. Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan
Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter
Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar
Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke
Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman