((SETAHUN KEMUDIAN))
"Ck. Dimana sih obat sialan itu?!" Trixie mengaduk-aduk isi tasnya sambil menggerutu, namun apa yang ia cari ternyata tak kunjung ia temukan. Ia harus meminum obat agar anxiety disorder atau penyakit gangguan kecemasan yang ia derita, tidak akan membuat acara penggalangan dana hari ini menjadi kacau balau. Wanita cantik bersurai pirang itu adalah pemilik Yayasan Amal 'Choose Love' yang berpusat di Carnaby Street, London. Sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu para warga korban perang di negara-negara berkonflik. Dan hari ini adalah penggalangan dana pertama setelah selama setahun yayasan ini seolah kolaps, karena pemiliknya yang berada di situasi 'gangguan psikologis akut'. Tepat setahun yang lalu, kekasihnya telah tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Tepat hari ini, dan tepat di depan gedung yayasan ini. Selama setahun setelah Leon pergi meninggalkannya ke lain dunia, Trixie pun bergulat dengan batin dan emosinya yang tidak stabil, akibat kehilangan seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hati. Kehilangan Leon telah mengoyak batin dan memporak-porandakan jiwanya. Ia depresi, cemas, trauma mendalam, plus insomnia. Hingga akhirnya Trixie menemui psikiater untuk mencari pertolongan. Kondisinya cukup meningkat baik akhir-akhir ini, hanya saja gangguan kecemasan masih sering menghampirinya jika ada hal yang sedang ia pikirkan. Seperti saat ini, misalnya. Semoga saja acara hari ini tidak berakhir kacau seperti kondisi emosionalnya. "Trix, acara akan segera dimulai," Lena yang memasuki ruang Direktur Yayasan tersenyum kepada wanita bersurai pirang yang terlihat melamun di meja kerjanya. "Oh. Ok. Aku sudah siap." Trixie buru-buru berdiri dari kursinya sembari sedikit merapikan rambut dan busananya, mengabaikan tangannya yang sedikit gemetar. 'Gangguan kecemasan sialan!' ia pun mengutuk dalam hati. 'Persetan dengan obat! Hari ini aku akan membuat acaranya sukses tanpa perlu meminum obat apa pun, lihat saja!' *** Entah karena sudah muak dengan penyakit cemasnya, ternyata Trixie sungguh berhasil menjalankan perannya sebagai pimpinan yayasan dengan baik di acara penggalangan dana kali ini. Meskipun tanpa meminum obatnya. Gadis itu telah memberikan sambutan sebagai Direktur Yayasan Choose Love, dan kini acara lelang lukisan pun akan dilakukan. Dana hasil penjualan lukisan akan didonasikan untuk membantu para pengungsi negara yang sedang dilanda perang. Trixie tersenyum melihat lukisan-lukisan indah yang diberikan secara gratis oleh Aunty Renata, tantenya, yang juga seorang pelukis terkenal di Indonesia. Ia yakin sekali dengan nama besar Aunty Renata dan kredibilitas Yayasan yang ia miliki, acara hari ini akan sukses besar dan mendapatkan dana yang besar untuk disumbangkan. "1 juta dollar!" Trixie mendengar acara lelang sudah dimulai, dan para calon pembeli pun sudah mulai memberikan harga untuk sebuah lukisan Aunty Renata. Senyumnya pun semakin merekah ketika mendengar harga pembuka yang cukup tinggi. "10 juta dollar!" Suara desahan penuh keterkejutan pun menggema mewarnai udara, ketika sebuah suara tiba-tiba mengucapkan harga yang sangat tinggi. Tak pelak, semua orang pun memperhatikan sosok yang baru saja mengucapkan harga fantastis itu. "10 juta dollar untuk Tuan yang di sana," ucap sang Auctioneer (MC pada acara lelang) menunjuk seorang lelaki yang mengenakan sàetelan jas hitam, berkacamata dan topi flat cap yang menutupi sebagian wajahnya. Trixie berada cukup jauh dari si penawar harga fantastis itu, hingga ia tak bisa melihat sosoknya dengan jelas, tapi dalam hati sangat berterima kasih untuk pengajuan harga luar biasa itu. 10 juta dollar adalah harga yang sangat tinggi untuk sebuah lukisan, tapi sekali lagi ini adalah acara penggalangan dana untuk kemanusiaan. Terkadang sering terjadi hal yang tak terduga, karena orang-orang kaya yang sedang bosan bisa saja membuang-buang uang mereka melalui amal seperti ini. Dan seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, tak ada satu pun orang yang berani mengajukan diri untuk memberikan harga yang lebih tinggi dari 10 juta dollar. "Lukisan 'The Mistress' dari Renata Green terjual kepada Mr. Aiden Miller dengan harga 10 juta dollar! Selamat!!" Auctioneer yang berucap di atas podium pun mengumumkan. Suara riuh tepuk tangan mulai terdengar menggema, sebagai apresiasi untuk seorang milyarder kaya-raya yang rela menggelontorkan dana besar demi kemanusiaan. "Aku ingin berkenalan dan menyalami Si Mr. 10 Juta Dollar dulu," bisik Trixie kepada Lena yang duduk di sebelahnya. Sebagai Direktur Yayasan, ia akan sangat senang jika memiliki seorang donatur baru yang murah hati. "Mau kutemani?" Tawar asisten sekaligus teman dekatnya itu, yang dibalas dengan anggukan singkat Trixie. Kedua gadis itu pun berdiri dari kursi, berjalan menuju posisi dimana lelaki yang bernama Aiden Miller berada. Trixie mulai menampilkan senyuman bak bidadari yang penuh percaya diri di setiap langkahnya, yang seperti seorang model sedang berjalan di atas catwalk. Perpaduan tubuh sempurna dan wajah yang sangat cantik adalah kelebihan fisik yang dianugerahkan Tuhan kepada seorang Trixie Bradwell. Masa remajanya hingga berusia 22 tahun memang dihabiskan di atas panggung sebagai supermodel, tapi ia memutuskan untuk pensiun di usia muda karena lebih 'terpanggil' bekerja untuk kemanusiaan. Namun ada sesuatu yang aneh. Langkah penuh percaya diri Trixie pun mulai melambat, dengan senyuman di wajahnya yang perlahan mulai menghilang. Ketika ia menatap sosok Mr. 10 Juta Dollar dengan kening berkerut, lalu mendadak Trixie pun berhenti melangkah. "Lena," bisik Trixie lemah, sembari mencengkram kuat lengan asisten yang berdiri di sampingnya. "Ada apa, Trix?" Lena pun buru-buru memegangi tubuh gadis bersurai emas itu, karena Trixie yang mendadak terlihat goyah. "Lena... apa aku bermimpi?" Ucap Trixie lagi, dengan tatapan yang tak lepas ke arah depan. Tubuhnya mendadak gemetar tak terkendali, saat momen mengerikan satu tahun yang lalu itu kembali tergali. Kecelakaan itu... darah yang membasahi aspal... Mahkota bunga mawar merah bercampur darah yang berserakan di jalanan... Tubuh yang tergeletak diam... manik coklat gelap yang kini tertutup rapat... Sosok yang hanya membisu meskipun Trixie menjeritkan namanya, dan mengguncang keras tubuhnya agar terbangun. Trixie seolah tidak percaya, bahwa sosok yang selalu ia rindukan meski setahun telah berlalu... kini berada tepat di depannya! "Leon... itu Leon!" Ucap gadis itu dengan suara lirih, sebelum kegelapan yang pekat menelannya ke dalam lubang tak berdasar. ***((FLASHBACK SETENGAH JAM SEBELUMNYA)) "Kita sudah sampai, Tuan Miller." Lelaki bersurai gelap itu pun sontak mengangkat kepalanya dari layar ponsel yang sejak tadi ia tekuri, ketika mendengar supirnya memberitahunya. Manik coklatnya mengedarkan pandangan ke luar jendela untuk menatap gedung yang bertuliskan "Choose Love Charity Foundation (Yayasan Amal Choose Love)." Akhirnya ia tiba juga. Aiden Miller tersenyum samar, seraya menatap lekat bangunan sepuluh tingkat di depannya. Waktunya untuk menyelesaikan misi. Ia mengincar lukisan "The Mistress" dari seorang pelukis Indonesia bernama Renata Green, yang rencananya akan menjadi salah satu barang yang dilelang dalam acara penggalangan dana hari ini. Sesuatu yang ada pada lukisan itu membuatnya tertarik dan ingin membelinya, berapa pun harga yang harus ia bayar untuk mendapatkannya. Lelaki itu meraih dan mengenakan kaca mata serta topi flat cap dari tempat duduk di sampingnya, yang akan menutupi setengah wajahnya. Ketika
Baru kali ini ia melihat Trixie Bradwell secara langsung, dengan mata kepala sendiri. Wow. Beauty, sexy, but classy. Tiga kata itu sangat pantas dirujuk untuk sosok anggun yang kini sedang berbicara di atas podium, menyampaikan pidato pembuka sesuai dengan jabatannya yaitu sebagai Direktur Yayasan. Sikap Trixie Bradwell yang hangat dan penuh percaya diri itu membuatnya sangat mudah untuk disukai oleh siapa pun. Lagipula, wanita itu juga memiliki wajah yang cantik serta fisik yang proporsional dan nyaris sempurna, bahkan mungkin hampir tidak seperti nyata. Aiden juga sudah membaca biografi Trixie Bradwell sampai tuntas. Wanita itu dulunya adalah seorang model sejak ia berusia 16 tahun. Namun ketika karirnya sedang meroket di usia 20-an tahun, Trixie justru menyatakan pensiun dari dunia catwalk, karena ingin mendedikasikan diri di bidang kemanusiaan. Menjadi bagian dari Keluarga Bradwell yang kaya-raya dan sangat terkenal di Asia, tentu saja uang bukan menjadi masalah bag
'Damned!' Aiden mengutuk dirinya dalam hati yang entah kenapa malah refleks menangkap tubuh Trixie Bradwell yang mendadak pingsan. Seharusnya ia tak peduli. Seharusnya ia segera mengurus pembayaran lukisan The Mistress dan langsung membawanya pergi dari sini! Bukannya malah mulai berlari ke arah wanita bersurai emas yang tadi menatapnya dengan manik biru safir yang membelalak, wajah yang pucat pasi dan bibir yang gemetar. Namun semua telah terjadi. Ia tidak bisa menghindar ketika orang-orang menjadi ribut karena sang Direktur Yayasan yang mendadak pingsan dan kini berada dalam gendongannya. "Trixie! Ya Tuhan!" Lena yang berada tepat di samping pun seketika menjerit histeris melihat sahabatnya mendadak tak sadarkan diri. Namun saat ia hendak memeluk wanita itu agar tidak terhempas ke atas lantai yang keras, sesuatu pun terjadi. Entah dari mana datangnya sosok lelaki berjas hitam dengan topi flat cap dan kaca mata yang tiba-tiba saja menangkap tubuh sahabatnya itu, lalu s
Trixie tiba-tiba menjerit histeris, suaranya serak dan mengguncang dinding ruang yang sunyi. “Leon! Jangan pergi!” Tangisnya pecah seketika, air mata membanjiri wajahnya yang pucat, meluruhkan sisa-sisa riasan dengan jejak panjang yang basah. Tubuhnya gemetar, bahunya berguncang tanpa kendali, seolah rasa sakit dan kehilangan yang membenamkan jiwanya tak kunjung berhenti menyiksa. Aiden memandang wanita itu dengan ekspresi kaku, hatinya bergejolak meski wajahnya tetap tak terbaca. Ia menarik napas dalam, berusaha memendam rasa simpati yang mulai merayap di tepi kesadarannya. Namun ketika suara tangisan Trixie semakin keras dan memekakkan telinga, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menenangkannya adalah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya ia lakukan. “Ssh… aku ada di sini.” Suaranya rendah, menenangkan, tapi penuh ketegasan. Ia bergerak dengan perlahan, seperti seorang lelaki yang dipandu oleh naluri lebih dari pikiran. Kedua tangannya terulur, menggengg
Hati menerima dengan penuh suka cita, namun logika dengan tegas menolaknya. Itulah tepatnya kontradiksi yang dirasakan oleh Trixie, atas kemunculan Leon yang tiba-tiba dan begitu nyata di depannya. Jika orang yang kamu cintai dengan sepenuh hati direnggut begitu saja darimu, maka dia pun akan turut membawa serta bagian dari dirimu. Lalu hakikat dirimu pun tak lagi sama, karena ada sisimu yang turut menghilang. Terbang jauh, tiada bersama jiwa yang tercinta. Dan saat ini, Trixie seolah mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang telah lenyap bersamaan dengan tewasnya Leon setahun yang lalu. Karena kini, sosok yang sangat ia rindukan setengah mati itu telah kembali. Trixie tahu bahwa yang ia harus lakukan sekarang adalah memeluk Leon erat-erat, agar lelaki itu tidak akan menghilang lagi. Seolah semua derita yang ia rasakan setahun ini musnah sudah. Hatinya yang selalu menjeritkan nama Leon dan batinnya yang selalu menangis setiap malam hingga akhirnya tertidur, seolah ki
"Leon...," bisik Trixie takut-takut, dengan posisi yang masih berbaring di sofa. Ia bingung harus bagaimana. Leon menyuruhnya diam di sini, tapi... Dengan memberanikan diri, Trixie pun akhirnya perlahan bangkit dari sofa dan mengedarkan pandangannya. Lalu kembali memekik terkejut sembari menutup mulutnya dengan tangan. Pemandangan mengerikan terpampang di depan matanya, membuat seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Ada seseorang yang tergeletak di lantai dengan bagian kepala yang bersimbah darah, sementara Leon berdiri di sampingnya sambil menatap ke bawah, sebelum mendengar suara Trixie. "Sorry about this, Miss Trixie Bradwell," ucap lelaki itu sembari menatap Trixie lekat. "Seharusnya kamu tidak perlu melihat ini semua, tapi sudahlah. Lagipula sudah terjadi." Trixie masih terdiam tak tahu harus berkata apa, ketika melihat Leon yang dengan santai memasukkan kembali senjatanya ke balik mantel. Lelaki itu mengusap bibirnya sendiri dengan ibu jari, sembari melayangkan tatapan n
"Cari tahu alamat perusahaan milik Aiden Miller, Lena. Juga alamat tempat tinggalnya. Dan sampaikan... bahwa Trixie Bradwell ingin bertemu."*** Manik cokelat gelap itu menatap intens ke arah sebuah lukisan semi-abstrak dengan warna-warna cerah yang menghiasi kanvasnya. Latar putih yang mendominasi seolah-olah memberikan kesan kosong di tengah keramaian warna-warna kontras. Lukisan itu disangga dengan hati-hati di atas sofa berlapis kain mahal. Pigura tebal dari kayu berkualitas tinggi membingkai lukisan tersebut, dihiasi ukiran emas yang tampak anggun, tetapi bagi lelaki itu hanya menjadi pernak-pernik kosong tanpa arti. Sosok tegapnya berdiri diam, seperti sebuah patung yang dipahat sempurna, namun pandangan dinginnya menyimpan kekosongan yang berbahaya.Ia mendecakkan lidah, suara kecil itu terdengar begitu tajam di ruangan luas dengan langit-langit tinggi dan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota. "Ck. Seni," gumamnya dengan nada rendah, penuh penghinaan. Seul
Rasa-rasanya seingat Aiden, hari ini ia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. Kedua matanya yang gelap dan penuh perhitungan menatap lurus ke arah Wilson, ajudannya yang selalu setia dan cekatan dalam menjalankan tugasnya. Tidak sembarang orang diizinkan bertemu dengannya, terutama mengingat statusnya sebagai CEO Miller Corporation, salah satu perusahaan game terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Setiap pertemuan dijadwalkan dengan cermat, dan jika Wilson sampai menerima tamu tanpa pemberitahuan sebelumnya, itu hanya berarti satu hal : tamu tersebut bukanlah orang sembarangan. "Namanya Miss Trixie Bradwell," ucap Wilson dengan nada formal yang sudah menjadi kebiasaannya."Dari yayasan amal Choose Love. Tempat di mana Anda membeli lukisan seharga sepuluh juta dolar itu..." Kalimat Wilson menggantung sesaat. Matanya melirik pemandangan yang terhampar di depannya. Kain kanvas yang terkoyak, bingkai emas yang terbelah dan berserakan, serta serpihan kayu yang mengotori lant
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel