"Anda dipersilahkan untuk masuk, Miss Trixie Bradwell. Tapi mohon maaf, Mr. Aiden Miller hanya mengijinkan Anda seorang diri saja yang dapat menemui Beliau." Trixie menatap lelaki paruh baya dengan rambutnya yang mulai dikuasai oleh uban itu dengan kening yang mengernyit. Lalu ia pun mengalihkan tatapan ke arah Lena yang berdiri tepat di sampingnya, seolah meminta pertimbangan. "Kita bisa kembali ke yayasan jika kamu tidak menginginkannya," ucap asisten Trixie sekaligus juga sahabatnya itu, sembari menyentuh pelan lengan Trixie. Sejenak wanita bersurai pirang itu pun berpikir, lalu mendesah pelan sesudahnya. "Aku akan tetap menemui Aiden Miller," putus Trixie kemudian. Sudah kepalang basah, saat ini ia telah tiba di Miller Corporation. Dan mundur ke belakang seperti seorang pengecut bukanlah sikap yang ingin ia ambil saat ini. Lagipula, Trixie hanya ingin benar-benar memastikan bahwa lelaki yang wajah dan tubuhnya mirip seperti Leon itu memang benar bukanlah Leon. Ia akan me
Satu alis lebat Aiden pun sontak menukik naik, ketika merasakan bahwa wanita menawan yang berada di bawahnya ini mendadak terdiam tak berontak sama sekali seperti tadi. Ia hanya tak sadar jika Trixie sesungguhnya sedang menyusun sebuah taktik. Percuma saja jika ia melawan, karena lelaki yang jauh lebih besar darinya dengan tubuh yang dipenuhi otot itu memanglah bukan tandingannya. "Hm. Apa kamu sudah menyerah, Cantik? Itu lebih baik. Aku suka sekali dengan wanita yang penurut," guman Aiden senang. Ia pun kembali menelusupkan hidungnya di sela-sela helai panjang rambut pirang emas yang menguarkan aroma lembut, feminin, namun sangat seksi. "Aku akan membuatmu menjerit jauh lebih keras daripada tadi, Miss Trixie. Namun kali ini adalah jeritan penuh kenikmatan," bisik Aiden serak, bagaikan bisikan iblis yang datang dari kegelapan. Keterdiaman Trixie membuat Aiden semakin tenggelam dipenuhi hasrat. Suara keras dari kain yang robek membuat Trixie terkesiap, dan baru menyadari b
Jika saja pemandangan yang terpampang sekarang di depan mata tidak senyata ini, mungkin Trixie akan mengira semuanya hanyalah bagian dari imajinasinya belaka. Karena rasanya apa yang ia lihat saat ini terlalu mengerikan, dramatis sekaligus mencengangkan. Trixie merasa seperti tengah terjebak di dalam sebuah fim action yang penuh dengan ketegangan! Bagaimana tidak? Seberapa besar kemungkinan yang terjadi dalam hidupmu, ketika melihat sebuah bandul bola besi raksasa yang biasa digunakan sebagai penghancur gedung tiba-tiba saja datang dan menghantam sisi bangunan tempatmu sekarang berada! Gemetar antara percaya dan tak percaya, itulah yang dirasakan Trixie saat ini, ketika menatap lubang besar yang menganga di depannya. Entah kemana perginya meja kerja, kursi, rak buku serta beberapa perabot yang semula mengisi ruangan Aiden. Manik biru safirnya pun kemudian tertuju kepada lukisan The Mistress karya Aunty Renata yang menjadi barang lelang. Rupanya berantakan sekali. Lukisan itu t
Dihancurkan? Tapi kenapa?? Namun pertanyaan yang berkelebat di dalam benak kedua wanita itu pun akhirnya hanya bisa tertelan di dalam pikiran mereka masing-masing, karena baik Trixie dan juga Lena sama-sama didorong masuk ke dalam helikopter oleh pengawal. Lalu tak lama kemudian, alat transportasi itu pun mulai bergerak naik secara vertikal meninggalkan jejaknya di atas lantai rooftop gedung Miller Corporation. Trixie menatap ke bawah melalui jendela, dan terkesiap ketika mendengar letusan keras bergemuruh yang berasal dari gedung yang baru saja mereka tinggalkan. Trixie menggenggam erat tangan Lena dengan jemarinya yang gemetar. Ya Tuhan, hanya beberapa menit yang lalu ia masih berada di atas gedung itu! Gadis bersurai emas itu pun seketika merinding, membayangkan entah apa yang terjadi jika saja dirinya masih bersikeras tidak menaiki helilopter ini untuk menuntut jawaban. Benaknya seketika terbayang oleh ratusan karyawan Miller Corporation yang bekerja di dalam gedung itu. Apa
Helikopter yang membawa Trixie dan Lena kini sedang mendarat secara vertikal di atas helipad di dalam hutan. Sebuah area terbuka yang terletak jauh di dalam jutaan pepohonan di dalam Epping Forrest.Trixie tak bisa untuk tidak terpukau dengan keindahan di hadapannya.Seorang Trixie Bradwell yang berasal dari keluarga kaya memang sudah tidak aneh lagi melihat bangunan megah berupa Mansion, karena sejak kecil pun ia telah terbiasa tinggal di dalamnya.Tapi Mansion milik Aiden Miller ini jelas-jelas tidak sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya, bahkan mungkin... seumur hidupnya.Bukan cuma mewah dan megah, namun bagaimana mungkin ada bangunan sebesar ini yang terletak jauh di dalam hutan yang lebat?Lamunan Trixie pun terpecah ketika ada seorang wanita setengah tua yang menyambut mereka di landasan heli.Dengan senyum formal dan anggukan sopan, wanita itu pun menyapa kedua wanita yang terlihat masih linglung dengan keadaan di sekitarnya."Selamat malam, Miss Trixie dan Miss Lena. S
Keheningan yang mengisi udara di kamar mewah itu seolah turut bergerak memunculkan gelombang riak tak kasat mata, ketika sesosok gelap tengah berjalan perlahan menuju ke arah Trixie yang sedang terlelap.Sosok itu sejenak berhenti di pinggir ranjang, diam dan tajam menatap figur sensual gadis bersurai pirang emas yang larut dalam mimpinya.Satu sudut bibir si sosok gelap itu pun melekuk naik, menguraikan seringai tipis nan samar yang penuh arti.Satu tangannya terulur untuk menyentuh surai ikal emas yang terhampar dengan indah di atas seprai putih.Jemarinya menggesek-gesekkan helai rambut di antara ibu jari dan jari telunjuk, mengagumi tekstur halus dan aroma yang sewangi bunga.Situasi kamar yang gelap tak membuat helai-helai berpendar keemasan itu kehilangan cahayanya, karena kehadiran sinar bulan dan lampu yang masuk dari jendela dengan tirai yang terbuka."Angel," ucap pelan si sosok gelap sambil tersenyum samar.Ya, makhluk indah sempurna yang sedang berbaring di ranjangnya itu
"Hm. Sepertinya kini aku telah berubah pikiran. Ayo kita lembur malam ini, Trixie," ucap Aiden Miller dengan suara rendah yang serak, sarat dengan nada menggoda. Tatapan tajamnya menusuk, menelusuri wajah Trixie seakan menikmati setiap detil ekspresi yang terpancar dari gadis itu. Bola mata biru safir Trixie langsung membesar, melotot penuh keterkejutan. Horor terpancar jelas dari wajahnya yang biasanya begitu tenang. Apa? Lembur? Lembur katanya?? "Jangan gila, Mr. Miller!" desis Trixie dengan nada galak, berusaha menutupi kegugupan yang mulai menjalar di fi dalam dirinya. Gadis bersurai emas itu menatap pria di depannya dengan campuran antara ketegasan dan ketidakpercayaan. "Aku sudah memberimu izin untuk memeluk. Jadi jangan serakah!" Namun kata-kata tajamnya justru terasa seperti tameng rapuh, tak mampu menutupi detak jantungnya yang kini berdentam seperti genderang perang. Trixie merasakan panas dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama saat suara serak Aiden
Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. "Morning," gumam pelan Aiden dengan nada berat, disertai senyum nakal yang menggodanya. Trixie terdiam, tak mampu segera menjawab. Manik birunya menatap lekat wajah tampan di depannya, yang kini hanya berjarak kurang dari sejengkal. Bayangan semalam masih membayang di benaknya, mengingatkan dirinya bahwa lelaki ini benar-benar menepati janji untuk tidak menyentuhnya. Trixie menghela napas kecil. Ia bersyukur karena tidak terjadi apa-apa di malam pertama mereka tidur di ranjang yang sama. Tidak ada keintiman yang melampaui batas, hanya kebersamaan yang anehnya terasa… hangat. Namun meskipun hanya itu, ada sesuatu yang membuat hatinya resah saat ini. Ia mengingat bagaimana Aiden memeluknya dari belakang sepanjang malam, membiarkan tubuhnya bersandar pada kehangatan pria itu. Keintiman sederhana itu saja sudah cukup untuk membuat dirinya merasa jengah. Trixie pun melem
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel