"Hm. Sepertinya kini aku telah berubah pikiran. Ayo kita lembur malam ini, Trixie," ucap Aiden Miller dengan suara rendah yang serak, sarat dengan nada menggoda. Tatapan tajamnya menusuk, menelusuri wajah Trixie seakan menikmati setiap detil ekspresi yang terpancar dari gadis itu. Bola mata biru safir Trixie langsung membesar, melotot penuh keterkejutan. Horor terpancar jelas dari wajahnya yang biasanya begitu tenang. Apa? Lembur? Lembur katanya?? "Jangan gila, Mr. Miller!" desis Trixie dengan nada galak, berusaha menutupi kegugupan yang mulai menjalar di fi dalam dirinya. Gadis bersurai emas itu menatap pria di depannya dengan campuran antara ketegasan dan ketidakpercayaan. "Aku sudah memberimu izin untuk memeluk. Jadi jangan serakah!" Namun kata-kata tajamnya justru terasa seperti tameng rapuh, tak mampu menutupi detak jantungnya yang kini berdentam seperti genderang perang. Trixie merasakan panas dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama saat suara serak Aiden
Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. "Morning," gumam pelan Aiden dengan nada berat, disertai senyum nakal yang menggodanya. Trixie terdiam, tak mampu segera menjawab. Manik birunya menatap lekat wajah tampan di depannya, yang kini hanya berjarak kurang dari sejengkal. Bayangan semalam masih membayang di benaknya, mengingatkan dirinya bahwa lelaki ini benar-benar menepati janji untuk tidak menyentuhnya. Trixie menghela napas kecil. Ia bersyukur karena tidak terjadi apa-apa di malam pertama mereka tidur di ranjang yang sama. Tidak ada keintiman yang melampaui batas, hanya kebersamaan yang anehnya terasa… hangat. Namun meskipun hanya itu, ada sesuatu yang membuat hatinya resah saat ini. Ia mengingat bagaimana Aiden memeluknya dari belakang sepanjang malam, membiarkan tubuhnya bersandar pada kehangatan pria itu. Keintiman sederhana itu saja sudah cukup untuk membuat dirinya merasa jengah. Trixie pun melem
"Karena aku berjanji, tidak akan ada yang bisa menyakiti wanita yang telah aku klaim hanya akan menjadi milikku. Kecuali mereka ingin mati dengan sangat perlahan dan penuh siksaan." Trixie menggelengkan kepalanya berkali-kali mendengar kalimat aneh Aiden yang dipenuhi makna egois dan obsesif itu. "Kamu pasti sudah gila, Mr. Miller. Sejak kapan aku adalah benda milikmu?! Jangan mengada-ada!" Semburnya dengan tatapan marah dan wajah yang berkerut kesal. "Hm? Apa kamu lupa jika kamulah yang lebih dulu memeluk dan menciumku, Angel?" Cetus Aiden dengan suara tenang, membuat Trixie teringat kembali saat pertama kali ia bertemu Aiden dan mengira bahwa lelaki itu adalah Leon. "Kamulah yang memulai semua ini kan? Jadi jangan salahkan jika pada akhirnya aku menyukai cumbuan itu, dan sangat menginginkannya untuk terulang lagi dan lagi," tambahnya lagi sambil menyeringai. "Tapi... saat itu aku mengira kamu adalah orang lain!" Seru Trixie kesal. "Aku kira kamu adalah Leon!" Ya, ia akui
"Trixie, dengar. Aku baru saja mau menelepon ibumu untuk memberitahu bahwa Aiden Miller telah menyekapmu di mansionnya. Keluargamu pasti tidak akan tinggal diam, dan mereka akan segera bertindak untuk membebaskanmu, Honey. Jangan khawatirkan apa pun, okay? Maaf, tapi aku akan tutup teleponnya sekarang agar secepat mungkin menghubungi mereka."** "Jangan!!" Trixie sontak berseru dengan nada panik, membuat Lena terkejut dan segera mengurungkan niatnya untuk mengakhiri sambungan telepon itu. "Jangan hubungi keluargaku, Lena! Jika Mom, Dad, atau bahkan Tristan dan Trevor menelepon, katakan saja aku sedang berlibur dan tidak ingin diganggu," pinta Trixie dengan suara yang terdengar mendesak. Trixie tahu situasinya akan menjadi semakin rumit jika keluarganya mengetahui posisinya saat ini dan langsung berkonfrontasi dengan Aiden. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ayahnya, Regan Bradwell, sampai turun tangan. Itu akan menjadi bencana. Regan Bradwell adalah s
Aiden menyunggingkan senyum tipis ketika melihat Trixie yang kini telah kembali ke meja makan. "Sudah selesai meneleponnya?" Gadis bersurai pirang itu pun mengangguk, lalu menyerahkan ponsel kepada Aiden. "Terima kasih untuk ponselnya, dan terima kasih juga karena sudah menjaga Lena," ucapnya Trixie sambil tersenyum. "Sama-sama, Angel. Sekarang duduklah agar kita bisa sarapan." Aiden menarik tangan Trixie untuk menuntun gadis itu agar duduk di sampingnya. Dan Trixie pun seketika melotot horor, ketika melihat apa yang telah diisi oleh Aiden di dalam piringnya yang dipenuhi oleh makanan. Apa lelaki itu mengira dirinya akan serakus itu memakan semuanya?? "Aiden, aku cuma mau sarapan yang ringan hanya sebagai penunjang aktivitas, bukan mau bekerja merekonstruksi jembatan!" Pekik Trixie ketika melihat tiga potongan tebal daging beef wellington, dua telur mata sapi, dua lembar roti panggang, tiga potong sosis daging domba, serta semangkuk sup jamur asparagus. "Percayalah, kamu akan s
Trixie menelan ludahnya dengan berat ketika suara dingin itu kembali terdengar, mengalun dalam perintah yang tegas namun mematikan. Ekspresi wajah lelaki itu benar-benar tak terbaca, sama persis seperti kesan pertama yang ia berikan ketika mereka bertemu dulu. Sosok di hadapannya seolah memiliki dua kepribadian yang sangat kontras. Di satu sisi, ia pria yang suka menggoda, penuh pesona, bahkan tak jarang mesum dengan komentar tajam yang membuat wajah Trixie merona. Namun sisi lain, ia adalah pria yang angkuh, dingin, dan terasa mustahil untuk disentuh, seperti tembok es yang tak tertembus. Tanpa berkata banyak, Aiden menggenggam pergelangan tangan Trixie, membawanya masuk kembali ke dalam mansion megah itu. Langkah kakinya begitu tergesa, nyaris menyeret Trixie yang harus berlari kecil untuk menyamakan irama. Wajahnya tampak serius, seperti tengah berlomba dengan waktu. Trixie mengernyit, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia semakin bingung saat Aiden membi
Suara dentuman keras serta rentetan senjata yang berulangkali dan terdengar menggema di atasnya, membuat detak jantung Trixie tak hentinya berpacu dengan cepat. Ia seolah berada di dalam sebuah situasi perang terbuka, dan hanya tinggal menunggu waktu saja ajalnya akan tiba. Hanya ada cahaya remang-remang di dalam bunker ini, dan itu rasanya sangat menakutkan, membuat Trixie semakin ingin berlari keluar saja dari sini. Tapi pada akhirnya ia pun tetap memilih untuk tinggal, karena ingat kepada pesan Aiden yang akan menjemputnya. Sejak tadi Trixie terus mendongakkan kepalanya ke atas ke arah langit-langit hingga lehernya terasa pegal. Sampai kapan suara-suara pertikaian itu akan usai? Trixie merasakan kelelahan yang luar biasa akibat kecemasan yang terus saja meliputi benaknya. Ia memikirkan bagaimana nasib Aiden serta semua orang yang berada di Mansion, terutama juga memikirkan dirinya sendiri yang entah akan selamat atau tidak dari semua ini. Lelah sekali. Rasanya sekarang ingi
Dengan masih menutup mata, tubuh Trixie terguncang-guncang pelan di punggung Aiden. Gadis itu hanya mengernyitkan keningnya saat aneka aroma mendadak menyerbu indra penciumannya. Aroma mesiu, asap, dan... bau besi yang tajam. Trixie pun menelan ludahnya ketika menyadari arti dari yang ia hirup. Seketika gadis bersurai pirang emas itu pun mengeratkan pegangannya di leher Aiden. Ia mendengar suara beberapa orang yang sedang berbicara di kejauhan, namun tak jelas suara siapa gerangan. "Apa... apa semua orang baik-baik saja?" Tanyanya gugup dengan suara pelan nyaris berbisik. Ia terlalu cemas mendengar jawaban dari Aiden. Namun sayangnya hanya keheningan yang Trixie terima, karena Aiden tampak enggan untuk menjawabnya. Godaan untuk membuka mata terasa begitu besar, namun Trixie tidak yakin apakah jiwanya sanggup melihat hal yang mengerikan yang kini sedang dibayangkan oleh otaknya. "Tetaplah menutup matamu, Angel. Dan percayalah padaku."Aiden hanya mengulangi dua kalimat itu, hin
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel