Suara dentuman keras serta rentetan senjata yang berulangkali dan terdengar menggema di atasnya, membuat detak jantung Trixie tak hentinya berpacu dengan cepat. Ia seolah berada di dalam sebuah situasi perang terbuka, dan hanya tinggal menunggu waktu saja ajalnya akan tiba. Hanya ada cahaya remang-remang di dalam bunker ini, dan itu rasanya sangat menakutkan, membuat Trixie semakin ingin berlari keluar saja dari sini. Tapi pada akhirnya ia pun tetap memilih untuk tinggal, karena ingat kepada pesan Aiden yang akan menjemputnya. Sejak tadi Trixie terus mendongakkan kepalanya ke atas ke arah langit-langit hingga lehernya terasa pegal. Sampai kapan suara-suara pertikaian itu akan usai? Trixie merasakan kelelahan yang luar biasa akibat kecemasan yang terus saja meliputi benaknya. Ia memikirkan bagaimana nasib Aiden serta semua orang yang berada di Mansion, terutama juga memikirkan dirinya sendiri yang entah akan selamat atau tidak dari semua ini. Lelah sekali. Rasanya sekarang ingi
Dengan masih menutup mata, tubuh Trixie terguncang-guncang pelan di punggung Aiden. Gadis itu hanya mengernyitkan keningnya saat aneka aroma mendadak menyerbu indra penciumannya. Aroma mesiu, asap, dan... bau besi yang tajam. Trixie pun menelan ludahnya ketika menyadari arti dari yang ia hirup. Seketika gadis bersurai pirang emas itu pun mengeratkan pegangannya di leher Aiden. Ia mendengar suara beberapa orang yang sedang berbicara di kejauhan, namun tak jelas suara siapa gerangan. "Apa... apa semua orang baik-baik saja?" Tanyanya gugup dengan suara pelan nyaris berbisik. Ia terlalu cemas mendengar jawaban dari Aiden. Namun sayangnya hanya keheningan yang Trixie terima, karena Aiden tampak enggan untuk menjawabnya. Godaan untuk membuka mata terasa begitu besar, namun Trixie tidak yakin apakah jiwanya sanggup melihat hal yang mengerikan yang kini sedang dibayangkan oleh otaknya. "Tetaplah menutup matamu, Angel. Dan percayalah padaku."Aiden hanya mengulangi dua kalimat itu, hin
"Selamat siang, Miss Trixie Bradwell." Seorang lelaki berpostur tinggi dengan kulit agak kecoklatan berdiri dari kursinya dan tersenyum menyambut Trixie, yang baru saja masuk ke dalam sebuah ruangan dengan bantuan kursi roda. Lelaki itu mengenakan setelan jas resmi yang rapi berwarna abu-abu gelap, ia sedang menulis sesuatu di atas sebuah kertas sebelum kedatangan Trixie. "Selamat siang juga, Mr. Gale Webster," sahut Trixie membalas sapaannya dengan sopan. "Panggil saja saya Gale," ucap lelaki itu sembari masih tersenyum kepada gadis muda di kursi roda. "Kalau begitu Anda juga bisa memanggil saya Trixie, Gale." Gadis itu lalu menatap Lena yang mendorong kursi rodanya. "Terima kasih banyak, Lena. Tunggulah aku di luar." Lena mengernyit tak suka mendengar perkataan Trixie yang tak ingin ia temani saat bertemu dengan salah satu agen Security Service M15 bernama Gale itu. Ia cemas, tentu saja. Meskipun agen pemerintah itu tampaknya sangat ramah, tapi tetap saja... aaghh dasar kera
Angin malam berembus lembut di sepanjang dermaga, membawa aroma asin dari laut yang mengelilingi pulau kecil dimana sebuah Mansion berdiri dengan megah. Lampu-lampu gantung menerangi jalan setapak berbatu menuju bangunan klasik itu, menciptakan bayangan panjang di atas tanah yang masih basah oleh hujan sore tadi. Di antara keheningan malam, suara langkah kaki cepat terdengar di ujung dermaga. "Aiden!!" Suara teriakan gembira berbalut kelegaan itu memecah keheningan, membuat Aiden yang baru saja melangkah turun dari speedboat tersenyum tipis. Ia bahkan belum sempat menyesuaikan diri dengan suasana pulau ketika tubuhnya dihantam dalam sebuah pelukan erat. Seorang gadis berambut gelap dengan wajah cemas kini melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh lelaki itu, seakan memastikan bahwa ia benar-benar nyata dan bukan sekadar ilusi. "Hei. Aku tidak bisa bernapas, Monica! Sebenarnya kamu rindu atau ingin meremukkan tulangku, hm?" Gadis yang dipanggil Monica itu sontak
"Karena sesungguhnya Leon Morgan, tunanganmu itu, dia tidak seperti apa yang kamu kira selama ini, Trixie."Suara Gale terdengar tenang namun penuh ketegasan. Tatapan matanya tajam menusuk, seolah ingin menyelami kedalaman benak gadis di hadapannya.Trixie merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap Gale dengan ekspresi terkejut, dan keningnya yang berkerut dalam."Apa maksud dari perkataanmu itu, Gale?" tanyanya dengan suara lebih rendah dari biasanya.Gadis itu benar-benar tidak menyukai cara Gale berbicara seakan-akan ia mengetahui sesuatu yang Trixie tidak tahu."Aku sangat mengenal Leon!" serunya, kesal dengan ucapan pria itu.Tidak mengenal Leon? Omong kosong! Trixie bahkan bisa mengingat semua kebiasaan dan kesukaan pria itu, hingga ke detail-detail kecil yang bahkan orang lain tidak peduli. Leon selalu meminum kopinya tanpa gula, hanya sedikit susu. Ia benci bunga matahari tetapi menyukai lavender. Ia selalu mengetukkan jemarinya ke meja ketika sedang berpikir. Bag
Trixie merasakan bulu kuduknya meremang saat mendengar nama itu disebutkan. The Black SkullNama yang asing tetapi terasa akrab di telinganya. Ada sesuatu dalam benaknya yang berbisik bahwa ia pernah mendengarnya, entah di mana dan kapan."The Black Skull?" ulang Trixie pelan, keningnya berkerut dalam. "Rasanya aku pernah mendengarnya..."Gale menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Itu adalah organisasi mafia yang memproduksi dan mengembangkan teknologi senjata biomassa ilegal," terangnya dengan nada yang dalam dan serius.Trixie menelan ludah. Ia bukan tipe wanita yang gemar mengikuti berita kriminal atau politik internasional, tetapi mendengar kata "mafia" dan "senjata biomassa ilegal" cukup untuk membuat dadanya bergemuruh tidak nyaman."The Black Skull juga dituding sebagai otak dari senjata kimia yang digunakan untuk membunuh salah satu pemimpin Korea Utara beberapa tahun yang lalu," lanjut Gale dengan nada berat. "Meskipun penyelidikannya tidak tuntas sampai sekarang."Trixie
"Kamu menjadi apa?!"Trixie menghela napas pelan melihat Lena yang melotot ke arahnya dengan wajah kaku, seolah tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.Seperti yang telah ia duga sebelumnya, sahabatnya ini tidak akan bisa menerima begitu saja kabar yang ia bawa. Itu adalah reaksi yang wajar.Bahkan bisa dikatakan, ini adalah reaksi yang cukup ringan mengingat betapa gilanya keputusan yang baru saja ia buat.Ekspresi Lena tampak jelas menunjukkan bahwa ia menganggap Trixie sudah kehilangan akal sehatnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka, dan wajahnya tegang, seakan berusaha mencerna informasi yang begitu absurd baginya.Tapi Trixie juga tidak bisa menyalahkan Lena sepenuhnya. Keputusan ini memang gila. Sangat. Bahkan mungkin keputusan paling gila yang pernah ia buat dalam hidupnya."Aku akan menjadi umpan, Lena," sahut Trixie akhirnya, mengulangi kata-kata yang sebenarnya sudah Lena dengar sebelumnya, tetapi terlalu di luar nalar untuk langsung diproses oleh o
"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan teknologi pemusnah massal ini?" Henry Miller menatap tajam putranya, seolah berusaha menembus pikiran Aiden dan mencari tahu isi kepalanya. Pria paruh baya itu mengenal betul bagaimana otak cerdas putranya bekerja. Penuh strategi, licik, dan tak mudah ditebak. Aiden hanya menyeringai samar mendengar pertanyaan ayahnya. Ia tahu, jika saja ia berniat menjual teknologi itu, maka bayaran yang akan ia dapatkan pasti sangatlah besar. Para pembeli potensial dari berbagai belahan dunia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya, bahkan rela menggelontorkan dana yang jumlahnya tak terhingga. Namun, bukan itu yang ada di pikirannya saat ini.Tidak. Kali ini, ia akan menyimpan informasi ini untuk dirinya sendiri. "Belum tahu," sahutnya dengan nada santai, seolah yang mereka bicarakan hanyalah sesuatu yang sepele. "Kurasa akan kusimpan dulu untuk saat ini." Henry mengamati wajah putranya dengan ekspresi serius, mencari tanda-tanda ketidakyakinan. Namu
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel