Trixie merasakan bulu kuduknya meremang saat mendengar nama itu disebutkan. The Black SkullNama yang asing tetapi terasa akrab di telinganya. Ada sesuatu dalam benaknya yang berbisik bahwa ia pernah mendengarnya, entah di mana dan kapan."The Black Skull?" ulang Trixie pelan, keningnya berkerut dalam. "Rasanya aku pernah mendengarnya..."Gale menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Itu adalah organisasi mafia yang memproduksi dan mengembangkan teknologi senjata biomassa ilegal," terangnya dengan nada yang dalam dan serius.Trixie menelan ludah. Ia bukan tipe wanita yang gemar mengikuti berita kriminal atau politik internasional, tetapi mendengar kata "mafia" dan "senjata biomassa ilegal" cukup untuk membuat dadanya bergemuruh tidak nyaman."The Black Skull juga dituding sebagai otak dari senjata kimia yang digunakan untuk membunuh salah satu pemimpin Korea Utara beberapa tahun yang lalu," lanjut Gale dengan nada berat. "Meskipun penyelidikannya tidak tuntas sampai sekarang."Trixie
"Kamu menjadi apa?!"Trixie menghela napas pelan melihat Lena yang melotot ke arahnya dengan wajah kaku, seolah tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.Seperti yang telah ia duga sebelumnya, sahabatnya ini tidak akan bisa menerima begitu saja kabar yang ia bawa. Itu adalah reaksi yang wajar.Bahkan bisa dikatakan, ini adalah reaksi yang cukup ringan mengingat betapa gilanya keputusan yang baru saja ia buat.Ekspresi Lena tampak jelas menunjukkan bahwa ia menganggap Trixie sudah kehilangan akal sehatnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka, dan wajahnya tegang, seakan berusaha mencerna informasi yang begitu absurd baginya.Tapi Trixie juga tidak bisa menyalahkan Lena sepenuhnya. Keputusan ini memang gila. Sangat. Bahkan mungkin keputusan paling gila yang pernah ia buat dalam hidupnya."Aku akan menjadi umpan, Lena," sahut Trixie akhirnya, mengulangi kata-kata yang sebenarnya sudah Lena dengar sebelumnya, tetapi terlalu di luar nalar untuk langsung diproses oleh o
"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan teknologi pemusnah massal ini?" Henry Miller menatap tajam putranya, seolah berusaha menembus pikiran Aiden dan mencari tahu isi kepalanya. Pria paruh baya itu mengenal betul bagaimana otak cerdas putranya bekerja. Penuh strategi, licik, dan tak mudah ditebak. Aiden hanya menyeringai samar mendengar pertanyaan ayahnya. Ia tahu, jika saja ia berniat menjual teknologi itu, maka bayaran yang akan ia dapatkan pasti sangatlah besar. Para pembeli potensial dari berbagai belahan dunia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya, bahkan rela menggelontorkan dana yang jumlahnya tak terhingga. Namun, bukan itu yang ada di pikirannya saat ini.Tidak. Kali ini, ia akan menyimpan informasi ini untuk dirinya sendiri. "Belum tahu," sahutnya dengan nada santai, seolah yang mereka bicarakan hanyalah sesuatu yang sepele. "Kurasa akan kusimpan dulu untuk saat ini." Henry mengamati wajah putranya dengan ekspresi serius, mencari tanda-tanda ketidakyakinan. Namu
"Giliranmu tampil sebentar lagi," ucap Agent Gale Webster sambil menatap lekat Trixie dari atas hingga ke bawah. Gadis itu terlihat luar biasa. Mulai dari gaun seksi merah menyala couture yang ia kenakan, tatanan rambut yang simple elegan, serta make up yang sempurna. Trixie sedang bercermin memeriksa penampilannya ketika Gale mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Hari ini adalah hari terselenggaranya acara Fashion for Donation, yaitu acara pagelaran busana eksklusif dengan tujuan untuk penggalangan dana kemanusiaan. Yayasan Choose Love milik Trixie kembali mengadakan donasi tersebut. Namun alih-alih melelang barang berharga, Trixie lebih menggandeng teman-temannya sesama model dan desainer-desainer dunia yang ingin ikut menyumbangkan jasa dan karyanya untuk tujuan mulia. Hasil dari penjualan busana itulah yang akan disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bahkan untuk kali ini, Trixie yang sudah pensiun dari dunia catwalk pun memutuskan untuk ikut sebagai
Sejujurnya Trixie tidak terlalu yakin. Entahlah, lelaki itu benar-benar tak terdengar lagi kabarnya setelah terakhir kalinya mereka bersama sebelum Mansion Epping Forrest diserang. Suara riuh tepukan tangan terdengar bergemuruh di udara, saat satu persatu para model keluar dan berjalan di panggung catwalk. Hari ini ada lima orang desainer ternama yang dengan suka rela menyumbangkan karya-karyanya demi kemanusiaan berkat tangan dingin Trixie yang berhasil meyakinkan mereka. Trixie adalah penampil yang akan muncul hanya sekali setiap akhir pertunjukan di tiap karya sebagai penutup. Jadi total ia akan tampil sebanyak lima kali. "Trix!" Suara yang memanggilnya itu membuat Trixie menoleh. Senyum pun seketika terukir di bibirnya ketika melihat sosok wanita berambut ikal gelap yang berjalan tergesa mendekatinya. Lena. Namun tiba-tiba saja dua orang lelaki menghalangi Lena saat hanya tinggal beberapa langkah lagi ia mencapai Trixie. "Dia sahabatku! Kenapa kalian semua menghalang
FLASHBACK TIGA HARI SEBELUM DIMULAINYA ACARA FASHION FOR DONATIONS "Mr. Miller." Lelaki bersurai coklat gelap serupa dengan warna matanya itu pun serta merta membuka Metaverse Virtual Reality Console yang menutupi kedua matanya, lalu mendongakkan wajahnya menatap lelaki paruh baya yang barusan menyapa dirinya. Aiden Miller sedang mencoba produk game terbaru yang materinya baru saja diuji coba, game yang rencananya akan diluncurkan oleh Miller Corporation dalam waktu dekat. "Ya, Wilson? Ada apa?" "Saya hanya ingin memberikan berita terbaru mengenai Miss Trixie Bradwell," sahut Wilson, yang membuat Aiden pun sontak menegakkan tubuhnya dan menajamkan tatapannya, sebuah gestur yang menunjukkan ketertarikan terhadap hal yang akan disampaikan ajudan setianya itu. Sudah dua minggu yang berlalu dan Aiden masih tinggal di Mansion milik ayahnya, Henry Miller. Tempat yang ia rasa paling aman di seluruh dunia. Ia memang sengaja menghindar dari publik, sejenak menghilang, menunggu setelah h
"Apa Anda bermaksud untuk memunculkan diri di acara itu?" Tanya Wilson curiga. Jelas sekali bahwa itu adalah jebakan untuk menangkap bosnya, namun terkadang Wilson saja tidak bisa memprediksi pemikiran bos mudanya ini. "Menurutmu?" Aiden malah melontarkan pertanyaan balik yang membuat Wilson hanya menghela napas lelah tanpa berniat untuk menjawab, karena makna sarkasme dan retorika yang terkandung di dalamnya. Aiden menghempas foto polaroid itu ke atas meja kerja. "Trixie lahir dan besar di Indonesia, kan?" Cetusnya setelah menemukan sebuah ide cemerlang. "Carikan aku Black Orchid. Aku membutuhkan bunga yang berasal dari negara yang sama dengan negara kelahiran Trixie. Bawa bunga itu ke London." "Apa Anda membutuhkan satu buket besar bunga itu?" Tanya Wilson memastikan. Black Orchid atau Anggrek Hitam juga dijual di London, jadi jika hanya satu buket rasanya tidak perlu dibawa dari Indonesia. "Tidak satu buket, Wilson. Aku membutuhkan banyak Black Orchid. Sebanyak mungkin, jika
"Aiden pergi kemana, Dad?" Seorang gadis bersurai legam lurus bertanya kepada ayahnya yang sedang berolah raga ringan di taman. Ayahnya yang bernama Henry pun seketika menghentikan gerakannya dan menoleh. "Aiden?" Ulang Henry sambil menaikkan kedua alisnya saat menatap putrinya, Monica. Gadis itu terlihat cantik dengan dandanan dan gaun yang indah. "Dia sudah kembali ke London, Sayang. By the way, kamu sendiri mau kemana dengan penampilan seperti itu?" Tanya Henry penasaran. Mereka tinggal di sebuah pulau terpencil yang bernama Necker Island, yang terletak di gugusan Kepulauan British Virgin. Saking terpencilnya, Mansion megah milik Henry Miller adalah satu-satunya bangunan di pulau ini. Sisanya adalah kandang kuda dan gudang peralatan. Jadi wajar saja jika Henry bertanya, karena gaun yang dikenakan Monica lebih pantas untuk menghadiri sebuah pesta. Gadis bersurai legam itu pun seketika menunduk, menatap gaunnya dengan wajah muram. Sia-sia saja ia berdandan habis-habisan untu
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel