Aku tidak tahu kalau akhirnya akan tetap bisa bersama Rain seperti ini. Mencium bibirnya. Memainkan lidahku di antara rongga mulutnya. Bahkan membiarkan tangannya meraba bagian sensitif dariku. Tak apa … aku akan coba menikmatinya.
Selena berusaha untuk tetap berpegang pada kewarasannya ketika permainan Rain semakin liar.
Tanpa sehelai benang pun yang melapisi tubuh mereka berdua. Kamar luas dengan tempat tidur yang tak pernah disentuh Selena, sekarang menjadi saksi.
"Ngh … hhahh … hhahh … Rain," racau Selena ketika jari tengah Rain tengah berpacu dengan suara basah di area sensitif Selena. Sesekali lelaki itu memainkan klitoris milik kekasihnya sehingga membuat Selena harus terpejam dan mengerang menjambak bagian belakang rambut Rain.
Bianca sudah tak dapat melanjutkan perjalanannya lagi. Ia sudah sangat lemah dengan kondisi yang dipaksakan seperti itu. Bahkan untuk melangkah saja ia sudah tak memiliki kekuatan.“Aku sangat haus,” rintih gadis itu lalu terduduk di atas rumput yang basah.Rintik-rintik kecil membasahi mantel yang mereka kenakan. Henry yang sedari tadi berada di sisi Bianca langsung berteriak memanggil Matt dan John agar mereka kembali.“Bia … kau harus istirahat sebentar,” kata Henry sedikit panik.Bianca terpejam dan mengangguk lemah. Sekali lagi mereka melihat tenda yang berjarak sekitar dua ratus meter darinya. “Kita bisa ke sana!” kata Henry menunjuk tenda itu.Bianca menahan tangan Henry dan m
"Akal sehat tak akan berguna ketika cinta sudah membekap diri."***Pilihan yang sulit menimpa Matt sekarang. Bianca yang kritis dan hatinya yang menolak untuk menyentuh gadis yang dianggapnya seperti adik sendiri itu.Matt, gunakan akal sehatmu. Ingat, dia Bianca adalah adikmu meski tak sedarah. Tetap saja ini akan menjadi hubungan yang sangat canggung.Matt ingin keluar tenda dan meninggalkan Bianca, akan tetapi hati nuraninya tak tega."Ah, damn!" rutuknya ketika sudah berada di luar tenda dan membiarkan Bianca di dalam sana.Logikanya terus berperang dengan batinnya. Sementara kehadiran John dan Henry tidak juga muncul. Ia semakin gelisah.Apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan memberikan zat feromonku padanya atau—Matt mengacak rambutnya dengan kuat. Mendadak kepalanya sangat sakit diberikan pilihan sulit seperti itu.Samar, terdengar suara Bianca memanggil lirih nama Matt. Lelaki itu harus kemb
Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, mentari menyeruak memaksa masuk di antara awan mendung di Hutan Kematian. Hawa hangat menyentuh kulit Rain yang tertidur di atas tempat tidur, sendirian. Selena tercenung melihat lelaki yang hanya ditutupi selimut berwarna ungu di bagian pinggang hingga ke bawah. Tubuhnya penuh luka-luka yang mengering.Kedua sudut bibir Selena terangkat ketika lelaki itu mulai bergerak kesilauan karena cahaya matahari langsung menuju matanya yang tertutup. Dengan sigap Selena yang sudah memakai gaun putih selututnya langsung berjalan menghampiri Rain. Berdiri di samping tempat tidur, tepat di mana cahaya matahari mengganggu tidur kekasihnya.Sekarang mata Rain tidak kesilauan lagi karena terhalang oleh tubuh vampir yang otomatis terlihat bercahaya itu. Bukannya melanjutkan tidur, Rain memilih untuk membuka mata secara perlahan. Siluet tubuh Selena terlihat. Ia langsung mengembangkan senyum dengan mata setengah mengantuk.“Hai &h
Hujan kembali deras, tidak lama setelah Rain dan Selena menikmati ciuman paginya di balkon kastil. Mereka berdua masuk ke dalam daripada harus kebasahan. Menatap guyuran air yang turun dari langit. Meski hanya sebentar saja mentari menghangatkan hutan kematian, itu sudah bisa termasuk sebagai keajaiban.“Sudah lama aku tidak melihat matahari,” ucap Selena menatap awan yang kembali gelap melalui jendela kamar yang tinggi dan besar.Rain segera mendekati Selena dan melingkarkan tangannya dari belakang. Kemudian mencium tengkuk gadis itu dan menghirup wanginya dalam-dalam. “Kita akan pulang ke Breavork ‘kan?” bisiknya.Selena tersenyum dan mengangguk membenarkan. Ia memegang tangan Rain yang berada di perutnya. “Iya. Kita akan pulang.”“Dan … apakah aku boleh menawarkan sesuatu padamu?” lanjut Rain.“Apa?”Rain memutar tubuh Selena agar menghadap padanya. Sekarang ia bisa
Meski hatinya sedikit ragu dengan pilihannya untuk menghadapi amukan warga, akan tetapi dia tak memiliki pilihan lain. Selena harus dilindungi. Dia belum pernah melihat gadis yang selalu bertameng tebing es itu begitu ketakutan. Bahkan kalau saja Selena bisa menangis, mungkin sekarang meraung karena terlalu takut. Tubuhnya juga gemetar saat Rain merengkuh ke dalam pelukannya.Tangan Rain memegang gagang pintu terbuat dari perak itu. Ia menarik napas panjang sebelumnya untuk meyakinkan hatinya. Ada terbersit rasa takut dalam dirinya, akan tetapi melindungi Selena adalah tujuannya sekarang.Gagang pintu ditariknya ke belakang. Terasa berat karena ukuran pintu yang begitu besar dan tebal. Wajar saja kalau manusia-manusia terkutuk itu tak dapat mendobrak pintu kastil tersebut.Pintu terbuka dengan lebar dan Rain bisa melihat bagaimana silaunya cahaya api di obor tangan manusia itu. Ia bahkan harus mengangkat tangan untuk melindungi matanya sesaat karena cahaya itu m
Selena seperti sedang terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berkehabisan. Dia tidak bisa membayangkan kalau pada akhirnya akan menjadi buruan para manusia seperti sekarang. Bukan salahnya kalau ternyata jatuh cinta pada manusia. Bukan salahnya juga kalau manusia itu tidak dapat menjauh dari dirinya. Sekeras apapun usahanya untuk menghindari perasaan itu, tetap dia akan kalah dengan rasa cinta yang tiba-tiba menetap di dalam hati hingga membekap dirinya.Langkah kaki dari gadis yang diketahui usianya bukan tujuh belas tahun melainkan sudah dua abad setengah lebih, melintasi ranting-ranting pohon tanpa alas kaki. Gaun putih selutut miliknya sudah bercampur warna kecokelatan karena percikan lumpur-lumpur yang dia lalui.Hujan belum berhenti sejak dia tiba di desa Dark Valley, yang mana desa tersebut memang tidak pernah disapa oleh mentari hangat. Luna tidak mempedulikan berapa orang yang mengejarnya. Dia hanya harus mengalihkan para manusia jahat itu dari Rain, kekasihn
Manusia pada hakikatnya memiliki dua jiwa di dalam tubuhnya. Jiwa yang murni penuh kebaikan atau jiwa yang gelap penuh kejahatan. Sesungguhnya hanya manusia yang kuat saja lah dan bisa memandang segala sesuatu sesuai dengan porsi antara logika dan perasaan, maka dia yang bisa menentukan jiwanya sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau seandainya jiwa yang gelap mulai muncul di saat kita merasa terancam bahaya? Akankah selamanya jiwa itu menguasai raga atau hanya muncul sesaat kemudian kembali ke tempatnya hingga kita bisa menguncinya lagi seperti sebelumnya.Sekarang Selena berdiri di tengah tanah lapang yang begitu luas. Di antara genangan mayat dan darah yang mengalir segar bercampur dengan air hujan yang turun dari langit. Tanah yang semula berwarna cokelat sekarang menjadi berwarna merah. Selena dengan gigi taringnya masih mencabik salah seorang laki-laki terakhir di tangannya. Edmund yang tak berdaya ketika Selena menghabiskan darah dalam tubuh lelaki yang tak memiliki hati
Tangan Henry sudah memegang salah satu tanaman bernama yarrow atau daun seribu. Dia segera meraih sebuah batu seukuran genggaman tangannya agar bisa menumbuk daun tersebut. Ia harus menghaluskan tanaman itu untuk dioleskan pada luka Rain. Sementara itu John hanya memerhatikan apa yang dilakukan Henry dengan sangat cekatan.“Maaf aku hanya menemukan ini,” kata Henry seraya melakukan tugasnya untuk membuat ramuan obat.“Tidak apa-apa. Bukankah daun seribu selalu dipakai para prajurit ketika terluka dalam berperang? Setidaknya itu akan mengurangi infeksi pada tubuh Rain.” John mengalihkan pandangannya pada Rain yang belum sadarkan diri. “Anak yang malang,” lirihnya.“Dia bukan anak yang malang. Sebaliknya dia beruntung karena bisa membuat kita menjadi khawatir,” celetuk Henry seraya mengekeh pelan. “Dia juga berhasil mengambil hati gadis yang selama ini dikenal sebagai tebing es. Bukankah dia hebat?&rdq