Awalnya Leon masih mempertimbangkan akan memasukkan Abelard dalam panggung atau tidak. Namun, setelah melihat kalau adik tiri Felen itu memiliki kemampuan unik yang jarang dimiliki manusia lain, ia memutuskan kalau Abelard akan menjadi pemain pendukung yang memiliki nama, dan mendapat peran penting dalam mendorong pemain utama untuk terjatuh dalam kehancuran.
"Abelard!"
Teriakkan Barend menyentak Abelard dari keterpakuan. Namun, posisinya yang tengah berhadapan dengan dua iblis kuat penghuni neraka terdalam membuat ia serba salah. Aura Leon dan Satan sangat mengintimidasi meski tidak bermaksud menggertak. Melewati keduanya begitu saja bukan pilihan bijak.
"Pergilah," perintah Leon singkat, memberikan Abelard jalan untuk lewat.
Abelard melangkah ragu melewati dua pria dengan tubuh tinggi dan besar itu setelah mendengar teriakkan tidak sabar dari Barend untuk ke sekian kalinya. Hawa dingin menyergap ketika ia berhasil lepas dari keadaan mencekam tersebut.
Ujung bibir Leon berkedut ketika suara Felen yang memanggil namanya berkali-kali terus masuk melalui telepati. Fokusnya seketika kacau, dan membuat ia membayangkan bahwa tubuh yang saat ini berada dalam kuasanya adalah Felen, calon pengantinnya. Leon menggeram kesal seraya mengentak kuat dengan lebih kasar."Kau tampak terburu-buru, My Lord. Padahal malam masih panjang." Lilith berucap seiring dengan desahan dan erangan yang menggema setelah Leon menyelesaikan kegiatannya.Tanpa menjawab pernyataan tidak penting dari Lilith, pria itu segera membenahi pakaian sekaligus menyugar kasar rambut hitam legamnya agar sedikit terlihat rapi. Suara lirih Felen yang memanggil namanya masih terdengar, membuat ia malas untuk melanjutkan acara tahunan yang menjadi kegiatan wajib dalam agenda itu. Pikiran Leon lebih terpusat pada Felen yang tengah ketakutan karena energi para iblis di sekitar, dan hal itu sangat mengganggunya."Apa kau akan menemui calon pengantin kecilmu yang
"Pestanya akan dimulai saat malam telah menjemput."Meski Leon mengatakan malam, perbedaan kentara yang Felen lihat dari langit adalah sedikit meredupnya cahaya bulan. Siang atau malam, bulan itu sendiri masih bertengger kukuh di cakrawala dengan bentuk sepuluh kali lebih besar dari bentuk bulan yang berada di dunia manusia."Kau tampak gugup, Milady." Leon kembali mengganggu Felen yang tengah duduk sembari meremas jemari di pangkuan.Saat ini Leon dan Felen berada di ruangan khusus yang disediakan khusus sebagai tamu kehormatan. Hanya mereka berdua yang berada di sana, diselimuti kecanggungan dan kegelisahan Felen yang semakin parah ketika ucapan Leon kemarin terputar ulang dalam pikirannya seperti piringan hitam di gramofon rusak."Kau pikir salah siapa aku jadi gugup seperti ini?" Felen mendesis tidak terima, dan dibalas kekehan ringan oleh Leon.Kedua ujung bibir Leon tertarik ke atas, membentuk seringai licik yang tampak menawan. Ia sangat men
"Kau tidak akan menolong calon pengantinmu itu?" Pertanyaan itu keluar dari salah satu sosok yang berdiri di depan jendela besar. Sosok itu adalah Leviathan.Leon menanggapinya dengan tawa kecil."Dia pasti bisa mengatasinya tanpa perlu bantuanku," balas Leon sembari menggoyang gelas tinggi berwarna emas yang diperuntukkan khusus untuknya.Saat ini Leon tengah berkumpul dengan pangeran neraka lain, yang juga merupakan para Lords di Devil Reign, di ruangan khusus di mana terdapat sebuah meja besar berbentuk bundar di bagian tengah. Terdapat enam iblis yang berada di dalam sana, yaitu Asmodeus, Leviathan, Mammon, Belphegor, Beelzebub, dan Leon sendiri-- Lucifer. Mereka semua menunggu kedatangan satu sosok lain, Satan.Pertemuan tersebut adalah pertemuan tahunan yang menjadi agenda rutin para pangeran kegelapan. Meski tidak banyak hal yang dibahas atau dilakukan, pertemuan tersebut tetap dilangsungkan tanpa pernah terlewat sekali pun. Perjanjian membuat mere
Litiana menggeram pelan. Ia merasa direndahkan oleh sikap arogan Felen yang menantangnya secara terang-terangan. Wajah iblis wanita itu menampakkan kemurkaan. Membuat wujud cantiknya perlahan memudar digantikan oleh seraut wajah mengerikan dengan banyak garis hitam memanjang di sekujur tubuh. Kulit putih porcelain Litiana berubah menjadi berwarna abu-abu dengan beberapa simbol merah terukir di ujung garis hitam panjang yang telah muncul sebelumnya. Dua tanduk merah kecil mencuat di kepala serta sepasang sayap hitam kemerahan terbentang di punggungnya. Aura merah gelap menguar melingkupi tubuh iblis itu.Visual Litiana yang berubah drastis membuat Felen berjengit. Bohong kalau ia mengatakan penampilan Litiana tidak menakutkan. Iblis itu membuat keberanian dan kepercayaan dirinya menciut. Felen berdecak pelan. Ia mulai membenci penampilan para iblis itu yang menipu mata."Aku tidak akan kalah darimu!" Litiana berteriak lantang, dan Felen hanya menghela napas, kemudian me
"Sepertinya pesta malam ini selesai sampai di sini saja." Asmodeus maju ke depan seraya membuka topeng yang menutupi sebagian wajahnya. Senyum manis yang memberi kesan dingin terukir di bibir pria itu."Ya, kau benar," balas Leon menyetujui. Ia membuka jas yang membalut tubuhnya dan menyampirkan jas tersebut di bahu Felen untuk menutupi punggung gadis itu yang terekspos. Setelahnya, Leon menarik diri dan berdiri di depan Felen, menghalau setiap pandangan penasaran yang tertuju pada gadis itu dari para iblis, malaikat, dan manusia di sana.Tindakan sederhana namun manis tersebut membuat bola mata Felen membesar. Tidak menyangka Leon akan memperlakukannya dengan sangat hati-hati seperti itu. Kekagetan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Felen, tetapi juga oleh para tamu yang memerhatikan interaksi Leon dan Felen dengan sangat intens.Salah satu iblis yang berdiri paling depan maju ke hadapan Asmodeus dan berkata, "terima kasih atas pestanya, Tuan Asmodeus. Kami se
Felen berdiri tegang di belakang Atheris yang tengah mengetuk pintu besar dengan label kepala sekolah tersemat di sana. Telapak tangannya berkeringat, dan ia berkali-kali mengambil napas panjang demi meredakan kegugupan yang menyelimuti hati."Silakan, Nona. Tuan Asmodeus sudah menunggu di dalam." Atheris mempersilakan Felen masuk setelah membukakan pintu untuknya.Ketika Felen telah memasuki ruangan beraroma segar bunga mawar itu, seraut wajah tampan dengan kecantikan yang berpadu menyambutnya. Ia terpaku di tempat sembari mengedipkan kelopak mata. Ini pertama kalinya Felen berhadapan langsung dengan Asmodeus dalam posisi sangat dekat. Terlebih kini mereka bertemu dalam ketenangan.Ia langsung terpukau pada penampilan luar iblis itu.Rambut blonde Asmodeus terlihat berkilau ketika tertimpa cahaya lilin. Wajah pria itu tampak kecil dan proporsional, dinaungi oleh bulu mata letik serta alis yang melengkung sempurna. Bagian paling menonjol adalah iris matan
Felen terus berlari menjauh dari ruang kepala sekolah. Sesekali ia melirik ke belakang dari ujung mata, berharap Asmodeus tidak mengejar, dan helaan napas lega keluar dari bibir ketika tidak terlihat ada yang mengikuti. Ia memutuskan untuk berhenti berlari karena lelah mulai menghampiri. Jaraknya pun sudah cukup jauh."Aku tidak akan diberi hukuman tambahan karena berlaku tidak sopan pada kepala sekolah ‘kan?" gumam Felen cemas."Tidak akan, Kok. Kau tenang saja." Seraut wajah cantik dengan putih mendominasi muncul begitu saja di depan Felen yang tengah menunduk.Kedatangan si gadis Albino yang tiba-tiba membuat Felen terperanjat hingga ia memekik cukup keras."Aku mengagetkanmu, ya?" tanya gadis Albino itu dengan senyum kelewat manis yang semakin mempercantik wajahnya." ... Ya, kau sangat mengagetkanku." Felen membalas setelah menenangkan jantungnya.Gadis Albino yang belum Felen ketahui namanya itu terus memandang dengan lekat, memb
"Tidak becus! Mengerjakan hal sepele seperti ini saja kau tidak bisa." Barend melemparkan buku tebal yang ada di meja tepat pada wajah Abelard. Ia berdiri sembari berkacak pinggang. Wajah pria itu memerah dengan urat leher menegang. Rahangnya pun mengetat, menahan amarah yang menggelegak karena rencana yang telah ia susun tidak berjalan dengan baik."Maaf, Barend." Hanya itu yang bisa Abelard katakan."Aku akan memberimu satu kesempatan lagi."Abelard mengepalkan tangannya erat. Namun, ia tidak mengatakan apa pun, menunggu Barend menyelesaikan perintahnya lebih dahulu."Cari lagi tumbal lain. Lebih banyak, lebih baik. Itu pun kalau kau tidak ingin ibumu menjadi salah satu bagian dari tumbal tersebut." Barend berkata dengan nada tajam dan dingin. Ia memutari meja kerjanya yang terbuat dari kayu Oak terbaik."Kali ini lakukan dengan benar dan rapi, tanpa kesalahan sedikit pun. Kau adalah orang yang akan meneruskan gelarku. Aku harap kau tidak mengece