Makaila tampak mengunyah buah apel yang sudah dipotong oleh ibunya dengan lahap. Apel memang salah satu buah yang disukai oleh Makaila. Karena itulah, Makaila sama sekali tidak akan mengabaikan potongan buah apel yang sudah dipotong dengan baik oleh ibunya. Apalagi, kini Edelia memotong buah apel merah dan hijau dengan bentuk yang lucu. Sebab itulah, nafsu makan Makaila meningkat dengan baik. Edelia yang melihat hal itu tidak bisa menahan diri untuk tersenyum dan mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut.
“Sayang, ayo minum obatnya dulu,” ucap Edelia sembari memberikan obat pada Makaila.
Edelia tidak memiliki pilihan lain, selain menerima tawaran yang diberikan oleh Bara. Pada akhirnya, kini Edelia dan Makaila sudah berada di vila milik Bara yang ternyata memang luas, bahkan lebih megah daripada vila milik sahabat Edelia tadi. Keduanya semakin dikejutkan dengan para pelayan yang bertugas di sana. Tentu saja, Edelia dan Makaila dengan kompak menilai jika Bara adalah orang kaya yang jelas memiliki uang dan kuasa. Karena itulah, kini keduanya semakin berhati-hati dalam bertindak.“Tolong antarkan tamu kita ke kamar mereka masing-masing,” ucap Bara pada salah satu pelayan di antara puluhan pelayan yang berbaris dan menyambut
Kini, Edelia dan Makaila sudah kembali ke rumah mereka. Acara berlibur yang semula mereka anggap akan berakhir tanpa ada kenangan indah, ternyata bisa tetap berlanjut karena Bara yang memberikan tempat menginap bagi keduanya. Edelia menatap Makaila yang kini menguap dan tampak begitu kelelahan. Tadi, Edelia sempat bertanya apakah Makaila lelah, dan Makaila menjawab jika lelahnya ini karena perjalanan jauh yang mereka lalui. Namun, Edelia tahu jika putrinya ini berbohong. Ia merasa lelah karena Bara terus menyentuhnya selama mereka berada di vila.“Sayang, tidurlah dulu. Nanti, jika sudah waktunya makan malam Mama akan membangungkanmu lagi,” ucap Edelia sembari menanamkan sebuah kecupan pada kening putrinya. Makaila me
Edelia mengikat rendah rambut tebal Makaila, lalu menyelipkan sebuah jepitan cantik yang kemarin Edelia beli secara khusus untuk putrinya ini. Edelia memastikan kembali tatanan rambut Makaila sesuai dengan apa yang ia harapkan. Setelah itu, Edelia menyentuh bahu Makaila dan mengecup puncak kepala putrinya itu. “Wah, putrinya Mama cantik sekali,” puji Edelia sembari melihat pantulan putrinya pada cermin.Sosok Makaila memang terlihat memukau dengan gaun hitam pemberian Bara yang membalut tubuh mungilnya. Bara menyiapkan gaun yang sangat cocok untuk Makaila. Selain ukurannya yang sangat pas, seakan-akan dibuat secara khusus untuk Makaila,
“Kita mungkin rekan bisnis, tetapi aku sama sekali tidak senang saat pria mana pun menatap wanitaku sepertimu.”Ucapan Bara tersebut tentu saja lebih dari cukup menyentak Dominik dari dunianya sendiri. Saat ini, Dominik mengarahkan kedua netranya pada Bara. Ia tidak memberikan ekspresi yang berarti, tetapi saat sadar jika Makaila juga tengah menatapnya, Dominik mengulas sebuah senyum tipis. Entah mengapa, Dominik sendiri ingin sampai Makaila merasa tidak nyaman dengan apa yang yang ia lakukan. Karena itulah, Dominik mencoba menekan dirinya agar tidak bersikap
Edelia tampak duduk di kursi kerjanya. Saat ini adalah waktu istirahat makan siang, dan semua rekan kerja Edelia sudah tidak ada di kantor karena sibuk dengan urusan mengisi perut mereka. Benar, Edelia berbeda dengan rekan-rekannya yang memang tengah makan siang, Edelia kini memilih untuk memandangi ponselnya. Lebih tepatnya memandangi sebuah nomor yang terpampang jelas di sana. Nomor yang beberapa hari ini, membuat Edelia merasa begitu bimbang. Apakah dirinya perlu menelepon nomor tersebut atau tidak, pertanyaan tersebut terus saja berputar di kepala Edelia.Edelia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia meraih ponselnya dan memilih untuk mengirim pesan pada putrinya. Edelia mengingatkan Makaila untuk meminum obatnya tanpa terkecuali.
Yafas berdiri di dekat pintu masuk gedung kantor di mana Edelia bekerja. Ia memang sengaja datang untuk bertemu dengan Edelia. Beberapa hari ini, Yafas memang berusaha untuk menghubungi Edelia dan meminta waktu untuk berbincang dengannya. Namun, akhir-akhir ini ternyata Edelia sulit untuk dihubungi. Hal tersebut membuat Yafas mau tidak mau merasa jika Edelia menghindarinya. Yafas yakin, hal ini masih berkaitan dengan masalah Edelia yang tidak lagi meminta bantuannya untuk menjadi psikiater Makaila. Semakin curigalah Yafas bahwa memang ada hal lain yang mendasari keputusan Edelia tersebut. Alasan yang jelas bukanlah alasan yang bisa diterima oleh Yafas, hingga Edelia berusaha menyembunyikannya.Yafas tersenyum tipis saat melihat E
Suara letusan senjata api yang memuntahkan peluru terdengar memekakan telinga bagi mereka yang tidak menggunakan pelindung telinga. Sosok yang menarik pelatuk senjata api tersebut tak lain adalah Makaila. Perempuan satu itu tampak terkejut dengan apa yang berhasil ia lakukan. Makaila berhasil membidik sasaran dengan sempurna. Makaila berseru senang dan mengangkat senjata apinya dengan riang. Saat itulah, Bara menyadari hal berbahaya yang tengah Makaila lakukan dan merebut senjata api Makaila dengan gerakan yang terlatih. “Jangan melakukan hal itu. Apa kau tidak sadar jika hal itu sangat berbahaya?” tanya Bara sembari menyarungkan senjata api tersebut.
Makaila menatap Edelia yang terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat sulit. Makaila pun menggenggam kedua tangan mamanya yang kini duduk di tepi ranjangnya, setelah selesai membantunya bersiap. Pada akhirnya, Edelia tetap tidak bisa menang dari Bara. Jadi, Edelia tidak bisa menahan Bara untuk tak membawa Makaila ke pelelangan seperti apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Tentu saja, karena Edelia sudah tahu seperti apa orang-orang yang hadir di sana. Mungkin, Edelia memang tidak terlihat sebagai seseorang yang memiliki pengalaman berkaitan dengan kehiduan gelap para mafia, tetapi Edelia sudah hidup cukup lama dan memiliki pengalaman yang cukup.