Edelia mengikat rendah rambut tebal Makaila, lalu menyelipkan sebuah jepitan cantik yang kemarin Edelia beli secara khusus untuk putrinya ini. Edelia memastikan kembali tatanan rambut Makaila sesuai dengan apa yang ia harapkan. Setelah itu, Edelia menyentuh bahu Makaila dan mengecup puncak kepala putrinya itu. “Wah, putrinya Mama cantik sekali,” puji Edelia sembari melihat pantulan putrinya pada cermin.
Sosok Makaila memang terlihat memukau dengan gaun hitam pemberian Bara yang membalut tubuh mungilnya. Bara menyiapkan gaun yang sangat cocok untuk Makaila. Selain ukurannya yang sangat pas, seakan-akan dibuat secara khusus untuk Makaila,
“Kita mungkin rekan bisnis, tetapi aku sama sekali tidak senang saat pria mana pun menatap wanitaku sepertimu.”Ucapan Bara tersebut tentu saja lebih dari cukup menyentak Dominik dari dunianya sendiri. Saat ini, Dominik mengarahkan kedua netranya pada Bara. Ia tidak memberikan ekspresi yang berarti, tetapi saat sadar jika Makaila juga tengah menatapnya, Dominik mengulas sebuah senyum tipis. Entah mengapa, Dominik sendiri ingin sampai Makaila merasa tidak nyaman dengan apa yang yang ia lakukan. Karena itulah, Dominik mencoba menekan dirinya agar tidak bersikap
Edelia tampak duduk di kursi kerjanya. Saat ini adalah waktu istirahat makan siang, dan semua rekan kerja Edelia sudah tidak ada di kantor karena sibuk dengan urusan mengisi perut mereka. Benar, Edelia berbeda dengan rekan-rekannya yang memang tengah makan siang, Edelia kini memilih untuk memandangi ponselnya. Lebih tepatnya memandangi sebuah nomor yang terpampang jelas di sana. Nomor yang beberapa hari ini, membuat Edelia merasa begitu bimbang. Apakah dirinya perlu menelepon nomor tersebut atau tidak, pertanyaan tersebut terus saja berputar di kepala Edelia.Edelia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia meraih ponselnya dan memilih untuk mengirim pesan pada putrinya. Edelia mengingatkan Makaila untuk meminum obatnya tanpa terkecuali.
Yafas berdiri di dekat pintu masuk gedung kantor di mana Edelia bekerja. Ia memang sengaja datang untuk bertemu dengan Edelia. Beberapa hari ini, Yafas memang berusaha untuk menghubungi Edelia dan meminta waktu untuk berbincang dengannya. Namun, akhir-akhir ini ternyata Edelia sulit untuk dihubungi. Hal tersebut membuat Yafas mau tidak mau merasa jika Edelia menghindarinya. Yafas yakin, hal ini masih berkaitan dengan masalah Edelia yang tidak lagi meminta bantuannya untuk menjadi psikiater Makaila. Semakin curigalah Yafas bahwa memang ada hal lain yang mendasari keputusan Edelia tersebut. Alasan yang jelas bukanlah alasan yang bisa diterima oleh Yafas, hingga Edelia berusaha menyembunyikannya.Yafas tersenyum tipis saat melihat E
Suara letusan senjata api yang memuntahkan peluru terdengar memekakan telinga bagi mereka yang tidak menggunakan pelindung telinga. Sosok yang menarik pelatuk senjata api tersebut tak lain adalah Makaila. Perempuan satu itu tampak terkejut dengan apa yang berhasil ia lakukan. Makaila berhasil membidik sasaran dengan sempurna. Makaila berseru senang dan mengangkat senjata apinya dengan riang. Saat itulah, Bara menyadari hal berbahaya yang tengah Makaila lakukan dan merebut senjata api Makaila dengan gerakan yang terlatih. “Jangan melakukan hal itu. Apa kau tidak sadar jika hal itu sangat berbahaya?” tanya Bara sembari menyarungkan senjata api tersebut.
Makaila menatap Edelia yang terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat sulit. Makaila pun menggenggam kedua tangan mamanya yang kini duduk di tepi ranjangnya, setelah selesai membantunya bersiap. Pada akhirnya, Edelia tetap tidak bisa menang dari Bara. Jadi, Edelia tidak bisa menahan Bara untuk tak membawa Makaila ke pelelangan seperti apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Tentu saja, karena Edelia sudah tahu seperti apa orang-orang yang hadir di sana. Mungkin, Edelia memang tidak terlihat sebagai seseorang yang memiliki pengalaman berkaitan dengan kehiduan gelap para mafia, tetapi Edelia sudah hidup cukup lama dan memiliki pengalaman yang cukup.
Edelia turun dari begitu saja dari taksi, dan tak mempedulikan teriakan sopir taksi yang mengatakan jika Edelia meninggalkan kembaliannya. Ya, Edelia sama sekali tidak peduli dengan kembalian yang akan diberikan oleh sang sopir dan hanya fokus pada satu hal saja. Dengan lankah cepat dan wajah pucat pasi, Edelia melangkah tergesa menuju instalasi gawat darurat. Di sepanjang lorong menuju ruangan tersebut, Edelia bisa melihat puluhan pria berpakaian jas formal hitam, dan alat komunikasi yang tertempel di telinga mereka. Jelas sekali jika mereka adalah para pengawal terlatih yang hanya patuh perintah tuan mereka. Tanpa bertanya pun, Edelia sudah tahu atas dasar apa mereka bisa berada di rumah sakit seperti.
Bara menoleh secara spontan pada Fabian yang baru saja selesai melaporkan sesuatu yang jelas membuat Bara jengkel. “Apa? Bagaimana bisa itu terjadi?” tanya Bara dengan nada tidak senang yang sangat kental. Fabian menyadari hal itu, tetapi dirinya tidak terlihat takut dengan Bara yang tengah ia hadapi ini.Fabian tidak bisa memberikan pembelaan apa pun, karena pada kenyataannya memang ada masalah serius yang saat ini tengah terjadi. Fabian menghela napas panjang. “Sayangnya, saya sendiri tidak tau kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini, Bos,” jawab Fabian penuh penyesalan.
“Ada total dua puluh petisi yang saat ini tengah menunggu dukungan untuk menuntut perusahaan kita, terutama meminta pihak berwajib untuk menangkap Bos karena sudah melakukan banyak pelanggaran sebagai seorang warga negara dengan membuat banyak orang menderita karena ulah Bos,” ucap Fabian membacakan satu persatu masalah yang sudah datang dan membuat kekacauan di sana sini.Bara mengurut pelipisnya pelan. Selama ini, Bara memang sengaja tidak muncul dengan identitasnya sebagai seorang pemilik perusahaan kimia, sekaligus pemilik kasino serta club malam mewah yang tersebar di sepenjuru negeri. Bahkan, tidak ada data resmi Bara sebagai seora