Suara letusan senjata api yang memuntahkan peluru terdengar memekakan telinga bagi mereka yang tidak menggunakan pelindung telinga. Sosok yang menarik pelatuk senjata api tersebut tak lain adalah Makaila. Perempuan satu itu tampak terkejut dengan apa yang berhasil ia lakukan. Makaila berhasil membidik sasaran dengan sempurna. Makaila berseru senang dan mengangkat senjata apinya dengan riang. Saat itulah, Bara menyadari hal berbahaya yang tengah Makaila lakukan dan merebut senjata api Makaila dengan gerakan yang terlatih. “Jangan melakukan hal itu. Apa kau tidak sadar jika hal itu sangat berbahaya?” tanya Bara sembari menyarungkan senjata api tersebut.
Makaila menatap Edelia yang terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat sulit. Makaila pun menggenggam kedua tangan mamanya yang kini duduk di tepi ranjangnya, setelah selesai membantunya bersiap. Pada akhirnya, Edelia tetap tidak bisa menang dari Bara. Jadi, Edelia tidak bisa menahan Bara untuk tak membawa Makaila ke pelelangan seperti apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Tentu saja, karena Edelia sudah tahu seperti apa orang-orang yang hadir di sana. Mungkin, Edelia memang tidak terlihat sebagai seseorang yang memiliki pengalaman berkaitan dengan kehiduan gelap para mafia, tetapi Edelia sudah hidup cukup lama dan memiliki pengalaman yang cukup.
Edelia turun dari begitu saja dari taksi, dan tak mempedulikan teriakan sopir taksi yang mengatakan jika Edelia meninggalkan kembaliannya. Ya, Edelia sama sekali tidak peduli dengan kembalian yang akan diberikan oleh sang sopir dan hanya fokus pada satu hal saja. Dengan lankah cepat dan wajah pucat pasi, Edelia melangkah tergesa menuju instalasi gawat darurat. Di sepanjang lorong menuju ruangan tersebut, Edelia bisa melihat puluhan pria berpakaian jas formal hitam, dan alat komunikasi yang tertempel di telinga mereka. Jelas sekali jika mereka adalah para pengawal terlatih yang hanya patuh perintah tuan mereka. Tanpa bertanya pun, Edelia sudah tahu atas dasar apa mereka bisa berada di rumah sakit seperti.
Bara menoleh secara spontan pada Fabian yang baru saja selesai melaporkan sesuatu yang jelas membuat Bara jengkel. “Apa? Bagaimana bisa itu terjadi?” tanya Bara dengan nada tidak senang yang sangat kental. Fabian menyadari hal itu, tetapi dirinya tidak terlihat takut dengan Bara yang tengah ia hadapi ini.Fabian tidak bisa memberikan pembelaan apa pun, karena pada kenyataannya memang ada masalah serius yang saat ini tengah terjadi. Fabian menghela napas panjang. “Sayangnya, saya sendiri tidak tau kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini, Bos,” jawab Fabian penuh penyesalan.
“Ada total dua puluh petisi yang saat ini tengah menunggu dukungan untuk menuntut perusahaan kita, terutama meminta pihak berwajib untuk menangkap Bos karena sudah melakukan banyak pelanggaran sebagai seorang warga negara dengan membuat banyak orang menderita karena ulah Bos,” ucap Fabian membacakan satu persatu masalah yang sudah datang dan membuat kekacauan di sana sini.Bara mengurut pelipisnya pelan. Selama ini, Bara memang sengaja tidak muncul dengan identitasnya sebagai seorang pemilik perusahaan kimia, sekaligus pemilik kasino serta club malam mewah yang tersebar di sepenjuru negeri. Bahkan, tidak ada data resmi Bara sebagai seora
“Sekali lagi kutegaskan. Aku, bukan Luna. Luna-mu sudah mati sejak lama. Mati karena semua keegoisanmu, Dominik.”Dominik yang mendengar seruan tersebut terlihat terluka, tetapi secepat mata berkedip Dominik menyimpan perasaannya itu dengan baik. Dominik pun menarik tangannya yang semula akan berusaha untuk kembali membawa Edelia ke dalam pelukannya. Kini, Dominik menatap Edelia dengan penuh kerinduan. Tatapan hangatnya, sebenarnya terasa lebih dari cukup untuk membuat para perempuan yang
“Annastasia, ayo buka matamu. Bukankah kamu ingin bertemu dengan Papa?” tanya Dominik dengan lembut dan menyeka tangan Makaila.Kebetulan, saat ini Makaila tengah membersihkan dirinya dan membuat Dominik memiliki waktu untuk menemui putrinya yang masih tak sadarkan diri secara pribadi. Semenjak Dominik membawa Makaila dan Luna ke kediamannya di Rusia, tidak pernah sekali pun Dominik memiliki keleluasaan untuk menemui Makaila. Hal itu terjadi karena Luna selalu saja menghalanginya. Bahkan, Luna sama sekali tidak segan untuk mengunci pintu kamar, dan hanya membukanya saat waktu makan serta waktu dokter memeriksa kondisi Makaila.
“Jadi, Mama membohongiku?” tanya Makaila tidak percaya pada ibunya.Luna menggigit bibirnya dan menggenggam kedua tangan Makaila dengan eratnya. Seakan-akan dirinya takut jika dirinya melonggarkan genggaman tangannya, Makaila akan pergi meninggalkannya sendirian. “Maafkan Mama. Mama hanya melakukan apa yang bisa Mama lakukan untuk menjauhkan dirimu dari semua bahaya yang pasti akan datang jika Mama tetap bertahan dengan status Mama di masa lalu,” ucap Luna berusaha untuk kembali meyakinkan putrinya. Semua yang Luna lakukan sejauh ini, sama sekali tidak memiliki niatan selain menjaga putrinya dari semua luka yang akan ia dapat
Makaila menatap langit yang tampak cerah. Meskipun langit tersebut tampak sama dengan langit yang ia lihat di tanah kelahirannya, tetapi Makaila merasa jika langit yang ia lihat ini sangat asing. Makaila berpikir, jika mungkin saja ini karena Makaila sudah tahu jika dirinya memang tengah berada di tempat asing. Makaila menghela napas panjang dan menghirup udara di negeri asal Dominik ini. Rusia. Makaila sama sekali tidak pernah berpikir jika dirinya bisa menginjakkan kakinya di sini, semakin tidak habis pikir jika ternyata ia memiliki ikatan dengan tanah ini. Tempat di mana ibu dan ayahnya memadu kasih serta menghadirkan dirinya ke dunia ini.Makail