Makaila membuka kedua matanya dan mengerang saat merasakan tubuhnya yang pegal di sana sini. Saat tersadar jika dirinya sudah tertidur, Makaila membuka matanya lebar-lebar dan memeriksa sekelilingnya. Makaila menghela napas lega saat melihat kamarnya sudah kembali rapi. Sebuah gaun tidur lembut juga sudah menutupi tubuh polosnya. Seprai dan selimut yang ia gunakan juga sudah diganti. Dengan ragu-ragu, Makaila mengendus tubuhnya dan menghela napas lega saat mencium aroma tubuhnya yang harum sabun mandinya, bukan lagi aroma khas seseorang yang sudah bercinta.
Makaila berdeham dan merasakan pipinya yang memerah saat mengingat apa yang sudah ia serta B
Bara mengecup bahu mulus Makaila yang terpampang jelas di hadapannya. Lagi-lagi, Bara bisa dengan leluasa menyentuh Makaila dan membuat wanitanya itu tenggelam dalam gairah yang menyenangkan. Bahkan Bara membuat Makaila kelelahan dan jatuh tertidur karena Bara memang tidak membiarkan Makaila untuk turun dari ranjang, begitu keduanya memulai kegiatan intim yang seharusnya dilakukan oleh pasangan suami istri tersebut. Bara mengusap kening Makaila dan membuatnya tersenyum dalam tidurnya. Bara sendiri tidak bisa menahan diri untuk tersenyum tipis.Karena kini Edelia kembali mendapatkan tugas untuk mengunjungi sebuah proyek di luar kota, maka Bara sangat
Yafas menatap layar komputernya dengan seksama. Ia tengah membaca sebuah rekam medis pasien yang barusan selesai berkosultasi dengannya. Yafas menutup rekam medis tersebut dan membuka jadwalnya. Ia melihat, jika saat ini adalah waktunya Makaila untuk berkonsultasi. Rasanya, Yafas sudah lama tidak mendengar kabar Makaila. Hal tersebut membuat Yafas penasaran dan ingin bertemu dengan Makaila lagi. Pertemuan terakhirnya dengan Makaila berakhir kurang baik, karena Makaila seperti tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, kesempatan konsultasi kali ini bisa ia gunakan untuk mengorek informasi dari Makaila.Namun, setelah menunggu hampir lima menit, tidak ada satu pun ora
Makaila tampak mengunyah buah apel yang sudah dipotong oleh ibunya dengan lahap. Apel memang salah satu buah yang disukai oleh Makaila. Karena itulah, Makaila sama sekali tidak akan mengabaikan potongan buah apel yang sudah dipotong dengan baik oleh ibunya. Apalagi, kini Edelia memotong buah apel merah dan hijau dengan bentuk yang lucu. Sebab itulah, nafsu makan Makaila meningkat dengan baik. Edelia yang melihat hal itu tidak bisa menahan diri untuk tersenyum dan mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut.“Sayang, ayo minum obatnya dulu,” ucap Edelia sembari memberikan obat pada Makaila.
Edelia tidak memiliki pilihan lain, selain menerima tawaran yang diberikan oleh Bara. Pada akhirnya, kini Edelia dan Makaila sudah berada di vila milik Bara yang ternyata memang luas, bahkan lebih megah daripada vila milik sahabat Edelia tadi. Keduanya semakin dikejutkan dengan para pelayan yang bertugas di sana. Tentu saja, Edelia dan Makaila dengan kompak menilai jika Bara adalah orang kaya yang jelas memiliki uang dan kuasa. Karena itulah, kini keduanya semakin berhati-hati dalam bertindak.“Tolong antarkan tamu kita ke kamar mereka masing-masing,” ucap Bara pada salah satu pelayan di antara puluhan pelayan yang berbaris dan menyambut
Kini, Edelia dan Makaila sudah kembali ke rumah mereka. Acara berlibur yang semula mereka anggap akan berakhir tanpa ada kenangan indah, ternyata bisa tetap berlanjut karena Bara yang memberikan tempat menginap bagi keduanya. Edelia menatap Makaila yang kini menguap dan tampak begitu kelelahan. Tadi, Edelia sempat bertanya apakah Makaila lelah, dan Makaila menjawab jika lelahnya ini karena perjalanan jauh yang mereka lalui. Namun, Edelia tahu jika putrinya ini berbohong. Ia merasa lelah karena Bara terus menyentuhnya selama mereka berada di vila.“Sayang, tidurlah dulu. Nanti, jika sudah waktunya makan malam Mama akan membangungkanmu lagi,” ucap Edelia sembari menanamkan sebuah kecupan pada kening putrinya. Makaila me
Edelia mengikat rendah rambut tebal Makaila, lalu menyelipkan sebuah jepitan cantik yang kemarin Edelia beli secara khusus untuk putrinya ini. Edelia memastikan kembali tatanan rambut Makaila sesuai dengan apa yang ia harapkan. Setelah itu, Edelia menyentuh bahu Makaila dan mengecup puncak kepala putrinya itu. “Wah, putrinya Mama cantik sekali,” puji Edelia sembari melihat pantulan putrinya pada cermin.Sosok Makaila memang terlihat memukau dengan gaun hitam pemberian Bara yang membalut tubuh mungilnya. Bara menyiapkan gaun yang sangat cocok untuk Makaila. Selain ukurannya yang sangat pas, seakan-akan dibuat secara khusus untuk Makaila,
“Kita mungkin rekan bisnis, tetapi aku sama sekali tidak senang saat pria mana pun menatap wanitaku sepertimu.”Ucapan Bara tersebut tentu saja lebih dari cukup menyentak Dominik dari dunianya sendiri. Saat ini, Dominik mengarahkan kedua netranya pada Bara. Ia tidak memberikan ekspresi yang berarti, tetapi saat sadar jika Makaila juga tengah menatapnya, Dominik mengulas sebuah senyum tipis. Entah mengapa, Dominik sendiri ingin sampai Makaila merasa tidak nyaman dengan apa yang yang ia lakukan. Karena itulah, Dominik mencoba menekan dirinya agar tidak bersikap
Edelia tampak duduk di kursi kerjanya. Saat ini adalah waktu istirahat makan siang, dan semua rekan kerja Edelia sudah tidak ada di kantor karena sibuk dengan urusan mengisi perut mereka. Benar, Edelia berbeda dengan rekan-rekannya yang memang tengah makan siang, Edelia kini memilih untuk memandangi ponselnya. Lebih tepatnya memandangi sebuah nomor yang terpampang jelas di sana. Nomor yang beberapa hari ini, membuat Edelia merasa begitu bimbang. Apakah dirinya perlu menelepon nomor tersebut atau tidak, pertanyaan tersebut terus saja berputar di kepala Edelia.Edelia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia meraih ponselnya dan memilih untuk mengirim pesan pada putrinya. Edelia mengingatkan Makaila untuk meminum obatnya tanpa terkecuali.