Tubuh Beyonce menggeliat di atas ranjang yang terasa lapang pagi itu, dengan mata terpejam tangannya meraba-raba.Dahinya mengerut: kosong? Semalaman Beyonce memeluk Zico, walau sesekali bocah itu juga memeluk Aldrich. Tapi ke mana bocah itu sekarang? Beyonce yang menyipitkan mata terkena silau matahari, kini membuka matanya lebar-lebar karena terkejut. "Bunga tulip merah?" Pasti Aldrich yang memberikannya sebagai permohonan maaf. Mendadak wajah Beyonce memanas, ia terbangun sambil menciumi bunga berbentuk simetris indah itu dan senyum-senyum sendiri. Tulip merah artinya: Aldrich sangat mencintainya dengan segenap jiwa raga. Pipi Beyonce semakin merona, sampai ia tak menyadari kehadiran Aldrich yang masuk ke dalam kamar. "Morning, honey," sapa Aldrich dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan segelas lemon jus yang masih belum diperhatikan Beyonce yang malu ketahuan memegang bunga tulip pemberian Aldrich. "Morning,” balas Beyonce seraya melarikan matanya ke arah tepi
Aldrich membalas setiap lumatan Beyonce di bibirnya, menaikkan kaki mulus itu melingkar di kedua pinggangnya tanpa berhenti bertali lidah. “Oh, aku lama merindukan bibirmu honey.” Aldrich memperdalam ciuman, menginvasi deretan gigi Beyonce. “Sure?”“Yes, more.”Jempol Aldrich bergerak lembut mengusap jejak basah di bibir Beyonce bekas ciumannya. Selain beradu pandang dengan tersenyum syarat akan perasaan cinta keduanya yang menggebu. Napasnya pun bersahutan dengan Beyonce masih berada. “Apakah ini artinya kau sudah memaafkanku honey?” Cup! Beyonce mengangguk sambil menangkup rahang kokoh Aldrich. Tubuhnya acap kali bergelenyar jika disentuh pria itu. “Hmm, aku yang harusnya minta maaf telah salah paham padamu. I’m sorry honey,” ucapnya dengan manja. “No worry,” balas Aldrich, meraih kedua tangan Beyonce. Ia menunduk, mengecup punggung tangannya dengan lembut. Beyonce tersipu malu dengan perlakuan Aldrich yang selalu manis padanya. “Ah, thank you. Kau memang yang terbaik.”Jari
"Jangan pergi, Al. Tetaplah di sini bersamaku." Beyonce menahan tangan Aldrich dengan tatapan mengiba, membuat Aldrich yang berdiri kembali duduk. Aldrich mengusap pipi Beyonce dengan penuh perhatian. "Sayang, aku hanya sebentar. Kau sangat pucat. Aku mengkhawatirkanmu." "Tidak perlu, Al. Sekarang yang aku butuh cuma kau." Bukannya tangan Aldrich dilepas, Beyonce malah bermanja-manja menyandarkan kepala di atas pangkuan pria itu. Senyum Aldrich terbit, ia tersanjung mendengarnya. Tidak biasanya Beyonce lengket padanya seperti ini? Apa karena setelah pergumulan tadi? Istrinya menginginkan lagi tapi malu mengatakannya? "Baby, kita bisa bercinta lagi setelah ini. Karena aku tidak akan pergi ke kantor," bisik Aldrich mesra sambil mengusap rambut Beyonce . "Kau libur demi aku?" Beyonce tampak terkejut. Aldrich mengangguk dengan tersenyum penuh arti. Wajah Beyonce pun memanas, jantungnya berdebar kencang saat Aldrich hendak menciumnya. Namun, sebelum bibirnya menempel Beyonce kembali
"Mama duduk saja, pasti sebentar lagi papa datang,” kata Zico berlagak dewasa semenjak Beyonce hamil. Sore itu Zico dan Biyonce janji bertemu dengan Aldrich di sebuah pusat perbelanjaan di Salvador untuk berbelanja keperluan bayi. Namun tidak hanya berdua juga ditemani Timothy. “Mm, baiklah.” Beyonce mengernyitkan wajahnya sambil memegangi perutnya hati-hati dibantu Timothy saat duduk, ia agak kesulitan bergerak selama kehamilannya yang ke sembilan bulan ini. Beruntung, kehamilannya tak memiliki masalah seperti kehamilannya yang pertama. Ia tak ngidam atau menginginkan sesuatu yang merepotkan Aldrich dan semua orang. “Dari yang saya dengar dari Willy, Tuan hari ini sedang ada meeting dengan beberapa klien dari luar negeri. Mungkin hingga sekarang belum selesai, Nyonya Bey,” sambung Timothy kemudian menyodorkan sebotol air mineral dari tas travel yang ia bawa. “Minumlah dulu, Anda terlihat haus?”“Kau benar, Timo.” Beyonce menerima air lalu menenggaknya, sekarang tenggorokannya ben
Di dalam helikopter, mata Aldrich terbelalak melihat kobaran api yang melahap tempat pusat perbelanjaan itu. Jantungnya seakan ikut meledak seperti gedung yang kini hancur berkeping-keping. Pantas saja perasaannya dari tadi buruk, ternyata inilah jawabannya. Spontan ia berteriak histeris dan memaksa pilot mendarat secara darurat, karena ia sangat mengkhawatirkan istri dan anaknya. “Bey! Zico!” teriak Aldrich lagi dengan penuh air mata sambil melompat turun dari helikopter yang setengah meter lagi mendarat. “Tuan!” William sampai kaget lalu menyusul Aldrich dengan berlari, karena posisi helikopter yang mendarat agak jauh dari lokasi. Aldrich harus menerobos kerumunan orang-orang dan para korban yang tergeletak di sekitar halaman, puing-puing pusat perbelanjaan itu yang hancur dengan hati tak tenang sambil terus menerus memanggil nama Beyonce dan Zico. “Permisi, saya mau lewat!” ucap Aldrich terburu-buru, tak peduli harus menyingkirkan orang-orang yang juga dilanda musibah mencari k
“Nyonya sudah ditemukan Tuan, tapi… Maaf, Nyonya tidak selamat.”"Tidak! Kau pasti bohong, Willy!" tepis Aldrich tak mau percaya."Sabar, Tuan. Maafkan saya—""Diaaam!" sentak Aldrich membuat William bungkam dan Zico yang masih dalam dekapannya semakin terlihat ketakutan. Sebab baru kali ini ia mendengar Aldrich membentak seseorang. Zico menangis sesenggukan, membuat Aldrich sadar jika ketidak sengajaan itu justru menyakiti putranya. "Nak, tolong maafkan papa." Aldrich menciumi pipi Zico berulang kali lalu mengusap pipinya yang basah. "Mama di mana, Papa? Aku mau bertemu mama...." Zico malah menanyakan itu dalam tangisannya yang kian deras. "Ada, Mamamu sudah ditemukan sayang. Jangan menangis lagi, oke? Zico anak kuat, kan?" jawab Aldrich dengan tersenyum, walau tak selaras dengan hatinya. Tapi kemudian beberapa petugas medis dan perwakilan pusat perbelanjaan itu, menghampiri mereka untuk menemui Aldrich. "Saya mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada Tuan Jonas, karen
Gemericik air shower luruh menghujani tubuh polos pria perkasa di bawahnya. Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan air dingin itu tanpa terpengaruhi hujan di luar yang begitu deras. Ia selalu melakukannya jika dirinya sedang kacau. Tapi nyatanya, dinginnya air shower tak mampu meredakan panas di kepalanya saat teringat masa lalunya yang begitu menyakitkan. "Bawa anak itu pergi bibi Halves! Aku tidak mau melihatnya lagi!" titah Aldrich membuat Zico begitu terpukul. "Papa, jangan membenciku. Aku sayang papa... Aku hanya punya papa...."Gigi pria muda berusia 25 tahun itu bergertak, kepalanya berasap dan ia menggeleng dengan bahu turun naik saat napasnya berubah cepat. Pyaar! Kaca pecah di depannya menjadi saksi bisu punggung tangannya berdarah-darah, setelah dengan murka ia memukul kaca itu. Tancapan beling di kulitnya dibiarkan. Seolah tak berarti apa-apa, walau genangan air di bawah telah berubah merah pekat. Karena sakit yang ia rasakan berpuluh-puluh tahun di hatinya. Jauh le
Drrt... Drrt... Freya membuka matanya yang terasa berat, setelah mendengar dering sebuah ponsel siang itu. Tangannya meraba-raba sekitar yang kosong dan akhirnya menemukan benda pipih yang ia cari. "Mommy?" Kedua netra Freya terbelalak saat melihat nama itu muncul di layar, Freya segera menempelkan cepat ponsel itu ke telinga dan tak sengaja jarinya menekan loudspeaker. "Bagaimana acara pameran lukisanmu di San Sebastian, Freya? Apakah semuanya berjalan lancar, humm?" tanya ibunya Freya di seberang dengan antusias. Freya menggeliat, namun hal itu membuat matanya kembali membola. Saat dadanya yang terbuka ditumpuki segepok uang. "Uang si-siapa ini?" gumam Freya dengan jantung berdebar kencang. Samar-samar kejadian semalaman terulas, ketika seorang pria asing menggaulinya dengan brutal. Keringat dingin praktis bercucuran di wajah Freya, dengan tangan gemetar Freya mengintip ke bawah selimut. "Aaaaaaa!" Setelah mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang, Freya tak bisa membendun