Sebuah seringai hadir di wajah cantik Giselle saat melihat wajah Selena yang memerah. Wanita yang dia panggil 'ibu' itu hanya tersenyum simpul dan menatap Giselle marah.
"Seperti itukah caramu berbicara dengan ibumu, Giselle?" tukas Natalie membela. Entah apa yang terjadi antara adiknya dan juga sang ibu sehingga hubungan meraka kian memburuk.
"Aku tidak memaksa kalian untuk percaya ... Aku pergi." Giselle pergi dari ruang tamu. Dia terlalu malas berdebat dengan orang-orang di rumah.
"Giselle!" teriak Selena memanggil.
"Aku tidak tahu, apa yang salah dengan diriku, sehingga Giselle bersikap seperti itu sekarang." Raut frustasi itu berhasil membuat orang yang berada di ruang tamu simpati kepada Selena.
Jika setiap mata merasa iba pada Selena, berbeda dengan Jose yang merasa ditantang dengan sikap Giselle yang sangat luar biasa itu. Gadis cantik dengan kehidupan yang sempurna itu lebih suka menghabiskan waktunya diluar dibandingkan duduk manis di rumah. Sesuatu pasti sudah terjadi padanya.
Harry membuang nafasnya kasar, tangannya beralih mengusap punggung Selena untuk menenangkan istrinya. Dia berucap, "Kau tidak salah Selena, aku yang terlalu keras padanya, sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang keras."
Selena mengangguk pelan.
"Ikuti dia!" seru Harry pada asisten pribadinya.
Mendengar perintah dari Harry, pria dengan setelan rapi itu segera keluar untuk menyusul Giselle.
~o0o~
Suara riuh terdengar saat mobil Giselle sudah sampai di cafe yang terletak di sudut kota. Cafe ramai dengan pengunjung yang siap untuk menonton balapan malam ini.
'Gigi' begitulah mereka memanggil Giselle. Tidak ada yang tahu pasti siapa itu perempuan yang mereka panggil 'Gigi'. Mereka hanya tahu Gigi yang berasal dari keluarga kaya raya.
"Bukankah malam ini kau ada urusan penting?" Seorang perempuan menghampiri Giselle.
Giselle diam menatap Diana sesaat, setelah itu membuang napasnya kasar. Dia berucap dengan lirih, "Kehadiranku bukanlah sesuatu yang penting."
"Mau rokok?" Diana menyodorkan sekotak rokok yang dia punya pada Giselle. Berharap perempuan di sampingnya ini menerima tawarannya.
"Aku tidak suka merokok," tolak Giselle melangkahkan kakinya menuju Cafe. Alkohol lebih baik dibandingkan rokok menurut Giselle.
Giselle melewati benyak mobil sport yang tidak kalah mewah daripada miliknya yang berjejer di depan cafe. Banyak perempuan dan pria yang juga seusia dengannya. Jika mereka datang karena suka dengan hal yang berbau otomotif, Giselle datang karena merasa tidak nyaman jika terus berada di rumah.
"Gigi! Mau balapan denganku malam ini?" teriak salah seorang yang duduk berkerumun dengan teman-temannya.
Tidak ada niatan untuk membalas ucapan si lelaki, Giselle hanya membuang muka berlalu. Dia hanya ingin masuk ke dalam cafe dan meminum alkohol sebanyak yang dia mau.
"Dasar perempuan jalang! Apa kau sedang mengabaikanku?" Pria berambut gondrong itu tersulut emosi saat Giselle mengabaikannya.
Diana masih setia mengikuti langkah Giselle. Selain dirinya, tidak ada yang tahu siapa Giselle sebenarnya. Dia juga cukup tahu masalah di keluarga Giselle.
Mereka berteman dekat sejak Giselle bergabung dalam group ini. Tidak banyak yang bisa mendekati Giselle, walaupun banyak diantara mereka yang berniat baik untuk menjadi temannya, tetapi Giselle benar-benar tertutup dan pemilih.
Giselle duduk tepat di depan bartender yang sudah siap melayaninya. Namun, belum ada niatannya untuk memesan minuman apapun.
"Kau bertengkar lagi dengan ibumu?" tanya Diana sedikit berbisik.
"Dia tidak bisa bersikap adil padaku, seolah aku bukan anaknya," jawab Giselle cepat.
"Dia tetaplah ibumu. Dia menjagamu dari kecil hingga tumbuh menjadi Giselle yang sekarang. Sudah sepantasnya kau bersikap baik padanya, kan. Walaupun, dia bersikap tidak baik padamu," ucap Diana mencoba menenangkan Giselle.
"Dia hanya memikirkan perasaan Natalie, seolah aku akan merampas kebahagiaan saudariku."
Diana menghela napasnya, permasalahan orang kaya memang berbeda dengan masalah orang miskin sepertinya. Jika diberi kesempatan bertukar tempat dengan Giselle, mungkin dia akan tetap menikmati hidupnya tanpa memikirkan bagaimana sikap orang tuanya.
"Jadi, apa yang kau inginkan? Kau punya banyak uang, harta berlimpah, dan karir yang bagus di perusahaan ayahmu. Kenapa tidak pindah saja dari rumah itu?" tanya Diana lagi. Pertanyaan yang sensitif, dia harap Giselle tidak tersinggung pada kalimatnya.
"Ayah tidak mengizinkanku," jawab Giselle menghela napasnya.
Diana mengangguk. Dia juga tidak tahu harus memberi solusi seperti apa pada Giselle. Giselle benar-benar keras kepala, jadi sarannya juga tidak akan berguna.
"Tenangkan dirimu, aku keluar sebentar." Diana beranjak dari kursinya, dia bergegas keluar untuk ikut berkumpul bersama teman-temannya yang lain.
"Lama tidak bertemu, Giselle." Bartender yang sedari tadi hanya diam di depan Giselle kini bersuara dan mmengangkat wajahnya menatap GIselle. Senyum terukir di wajahnya saat mendapati wajah terkejut dari Giselle.
"Kau?"
Felix Anthony, pria yang sedang bekerja sebagai bartender itu tersenyum pada Giselle. Sudah lama dirinya tidak berjumpa dengan sosok cantik dan sombong, Giselle Barclay. Walaupun, sering berkomunikasi lewat telepon, mereka sangat jarang bisa bertemu secara langsung, karena tugas Felix selalu mengawasi Giselle dibalik komputernya. "Surprise, senang bertemu denganmu lagi," ucap Felix penuh semangat. Wajah yang tadinya datar tanpa ekspresi berganti dengan wajah keterkejutan. Lebih tepatnya, terkejut karena Giselle tidak menyangka akan bertemu sahabatnya ini di tempat seperti ini. "Akhirnya, kau keluar, Felix. Senang bertemu denganmu." Giselle menyunggingkan senyumannya. Mencoba menetralkan mimik wajahnya, supaya tidak menarik perhatian orang lain. "Segelas vodka kesukaanmu." Felix menyodorkan segelas kecil minuman kesukaan Giselle. Giselle mengambilnya dan meneguk cepat minuman itu. Ia memejamkan matanya saat minuman keras itu membasahi kerongkon
"Sial! Aku menyesal mengikutinya sampai disini." Jose mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bukan ini yang dia inginkan, dia ingin Giselle ke tempat seseorang yang selalu berada dibelakangnya dan membantu setiap langkah perempuan itu. Walaupun, sejauh ini Giselle belum melakukan apapun yang bisa membahayakannya. Namun, gadis itu selalu hadir dimana Jose akan melangsungkan rencananya. Seolah Giselle tahu semua tentang dirinya. "Bagaimana?" Jose melayangkan pertanyaannya saat asisten yang bersamanya malam ini kembali ke dalam mobil setelah mengecek mobil Giselle di depan sana. "Dia mabuk," jawab Drake. "kita balik sekarang, aku tidak ingin terkena masalah dengan keluarga Barclay," titah Jose pada Drake. Drake segera melajukan mobilnya menuju pusat kota. Dia melewati mobil GIselle yang masih terparkir di tepi jalan dengan si empunya yang sudah mabuk. Sepanjang perjalanan, hati Jose tidak pernah tenang. Otaknya terus memaksanya untuk memi
Setelah drama pagi ini--bermalam di apartment Jose, akhirnya sekarang Giselle telah berpakaian rapi. Dia bersiap menuju cafe untuk bertemu dengan teman-temannya. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan siang ini. "Tidak ada jadwal penting siang ini, kan?" tanya Giselle sembari video call dengan asistennya di perusahaan ayahnya. Dia terlalu sibuk untuk berdandan dan memastikan tidak ada kekurangan di wajahnya. "Tidak ada, nona. Untuk hari ini, kau tidak perlu datang ke perusahaan. Dokumen penting yang harus kau baca untuk meeting besok, akan saya kirimkan ke surel nona." "Okay." Giselle mengangguk dan tersenyum tipis sebelum mematikan sambungan teleponnya dengan Cassandra. Giselle kembali menekan layar ponselnya, menekan nama F
Giselle sampai di pesta perayaan satu tahun pernikahan sahabatnya. Tidak sendiri, Giselle selalu ditemani oleh Felix. Entah dimana pria itu berada, yang terpenting Felix akan selalu menjadi bayangannya. "Hai," sapa Giselle duduk di salah satu meja tamu. Mereka yang duduk di meja itu adalah teman akrab Giselle, walaupun hanya beberapa orang saja, tetapi pertemanan mereka sudah terjalin cukup malam. "Lihatlah dirimu, kau bahkan seperti seorang bintang malam ini," puji salah satu diantara mereka. "I'm sorry. Aku tidak bisa hadir makan siang tadi. Jadi, bagaimana? Kalian memutuskan untuk membeli kado apa untuk Natasha?" tanya Giselle mengabsen setiap wajah teman-temannya. "Kami memutuskan untuk memberikan kalung berliontin berlian dar
Aksi balapan pun terjadi. Felix mengendarai mobil Giselle dengan kecepatan tinggi, tetapi mobil dibelakang sana masih saja mampu mengejarnya. Persimpangan demi persimpangan terlewati dan mereka masih saling mengejar. "Ambil jalan berlawanan arah," seru Giselle. Felix menoleh pada Giselle. Dia mengernyitkan dahinya tidak percaya dengan ucapan Giselle. Dia berkata, " Kau gila?" "Tidak ada cara lain!" Giselle sedikit meninggikan suaranya supaya Felix cepat mengambil keputusan. Felix mengambil jalur yang berlawanan dari arah mobilnya. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga membuat jalanan menjadi kacau. Sedangkan Jo
Mobil sport berwarna hitam itu terparkir sembarangan di halaman luas kediaman Keluarga Barclay. Giselle Barclay---si pemilik mobil itu keluar dengan pakaian serba hitam kesukaannya. Kaki jenjangnya melangkah dengan anggun menuju istana yang terbuka lebar di depan sana. Giselle mengukir smirk di wajah cantiknya saat melihat banyak mobil yang terparkir rapi di halaman rumahnya, menandakan banyak tamu undangan yang datang malam ini. Pesta pertunangan sang kakak---Natalie Barclay digelar dengan sangat mewah di taman belakang rumah. Semua dekorasi bernilai ratusan ribu dollar sudah disiapkan jauh-jauh hari supaya hari ini berjalan dengan sempurna. Beberapa pelayan yang bertugas menyambut tamu menunduk hormat pada Giselle. Tidak hanya satu, mereka berjumlah belasan yang berbaris di depan pintu utama.
Giselle menatap pria bertubuh kekar itu keluar dari ruangannya. Membiarkan Jose pergi begitu saja. Merasa direndahkan dengan kalimat terakhirnya, Giselle membuang muka merasa kesal. Dia berucap,"Cih! Jangan bertingkah seperti kau tahu semuanya, berengsek!" ~o0o~ Tidak membutuhkan waktu yang lama, Giselle keluar dari kamarnya dengan gaun berwarna silver dengan atasan yang terbuka dan potongan yang tinggi di bagian bawah. Rambut panjang yang sengaja dia kuncir membuat pundak mulus dan leher jenjangnya terlihat begitu menggoda. Riasan wajah yang tipis dan pewarna bibir berwarna merah mempercantik wajah kecilnya. Giselle sudah siap untuk menghipnotis siapapun yang menoleh padanya. Giselle menuruni tangga dan melangkahkan kakinya menuju taman belakang. Setiap mata yang menoleh padanya ak