"Terkadang, Semesta lebih pandai dalam mengatur segalanya. Termasuk hal-hal yang tidak pernah ada dalam daftar rencana." —The Endlesss Love
••••
Seorang wanita paruh baya dengan paras cantik menyambut kedatangan Deana dan Delta. Yap, Larashaty—Mamanya Delta. Pertama ia memeluk Deana kemudian beralih pada anak lelakinya, Delta.
"Anak Mama yang nakal ini akhirnya pulang juga, hm?" katanya ditengah-tengah pelukan mereka.
"Kan Mama yang merintahin aku buat pulang. Lagipula, aku juga nggak mau di cap anak durhaka gara-gara lupa pulang," timpal Delta sambil melepaskan pelukannya.
Larashaty hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Deana sudah lebih dulu duduk di sofa sambil menikmati biscuit coklat favoritnya.
"Delta, ada yang ingin Mama tanyanyakan. Apa benar kamu mabuk semalam? Hm?"
Seketika pandangan Delta langsung tertuju pada Deana seraya berkata 'Lo yang bilang sama nyokap soal semalem?'
Deana berhenti mengunyah dan menatap Delta dengan malas. "Cuman jujur yang ada di benak gue tengah malem kemaren. Lagian emang bener, kan? Terus gue harus bilang apa ke nyokap kalau tengah malem lo belum juga pulang padahal nggak biasanya lo kayak gitu?" Kini giliran gadis itu yang bertanya membuat Delta tidak berkutik saking tidak memiliki jawaban.
Deana bangkit dari duduknya. "Ma, Anna ke samping rumah dulu ya," pamitnya sopan pada Larashaty. Ia tidak ingin berada di tengah-tengah pembicaraan ibu dan anak yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Lebih baik, ia menengok taman bunga tulip yang kuncupnya sudah mulai bermekaran.
Larashaty menatap lekat anak lelaki di hadapannya itu dan mulai bertanya. "Jadi, kenapa semalam kamu sampai mabuk berat, hm?"
"Nggak papa, Ma. Lagi suntuk aja. Lagian Delta udah gede, Ma. Wajar kalau—"
"Delta ... tapi ini buat pertamakalinya. Sebelumnya kamu nggak pernah sampai mabuk sekacau apapun kamu. Sekalipun kamu bertengkar dengan Ayahmu. Ada apa, Ta? Apa ini ada hubungannya dengan Kena?"
"Apa Anna yang ngasih tahu Mama?"
"No. Anna enggak mengatakan apapun selain kamu mabuk semalam."
Harusnya Delta sudah menebaknya. Anna tidak akan mungkin memberitahu Larashaty karena itu bukan urusannya. Dan ya, ia melupakan bahwa Mamanya memang tidak menyukai Kenna sejak awal bertemu. Sepertinya insting seorang wanita sangat kuat.
"Ma, aku sudah selesai dengan Kena," ungkap Delta kemudian.
Mamanya sama sekali tidak bereaksi kaget ataupun tertegun. "Kenapa?" tanyanya hangat khas seorang Ibu. Padahal, dalam hati Larashaty merasa senang karena rencananya akan berjalan sedikit mulus. Setidaknya tanpa pengganggu.
"Dia ... dia ninggalin Delta."
"Apa yang membuatnya meninggalkanmu, hm? Apa dia tidak tahu jika kamu adalah anak seorang Altheraldo?"
"Dia tahu, Ma. Tapi bukan itu masalahnya."
"Oh apa kali ini anakku menolak untuk membelikannya barang yang dia inginkan?" tebaknya lagi setengah menyindir.
Ya, Larashaty tahu bagaimana anaknya selama ini. Ia akan dengan senang hati memberikan apapun yang gadis itu inginkan.
"No. Ada yang lain," imbuhnya.
"Apa itu, Ta?"
"Ini terdengar konyol, tapi aku harap Mama enggak akan tertawa saat mendengarnya," ucap Delta sambil mengusap-ngusap tengkuknya.
"Aku ... aku menolak ajakan Kena untuk yaa, you know ... Making Love. Dia kesal dan memutuskan hubungan kami lalu pergi begitu saja," ungkapnya memandang Larashaty ragu.
Larashaty tersenyum. "Dengar, Mama sangat tertegun mendengar jawabanmu. Kamu sudah melakukan hal yang benar, sayang. Bayangkan jika kamu mengiyakan ajakannya kemudian ia hamil, apa kamu sudah siap menanggung semua resikonya? Putra dari keluarga Altheraldo menghamili putri keluarga Majendra, begitu? Kamu bukan hanya akan merusak nama baikmu, nama baik keluarga kita, tapi juga nama baik leluarga Kenna. Walaupun dia yang mengajakmu, siapa yang akan percaya? Dan lagi, kamu juga belum lulus kuliah, mau bagaimana kamu hidup nanti? Kamu tahu kan sifat keras ayahmu?" paparnya.
Delta paham, sangat paham mengenai kemungkinan-kemungkinan dan konsekuensi tersebut. Dan dirinya juga tidak ingin mengambil resiko itu.
"Ma ... tapi aku mencintai Kenna dengan segenap hati aku ...."
"Apakah dia mencintaimu dengan segenap hatinya juga?"
"Ma?"
"Delta, dengarkan Mama. Kalau dia mencintaimu, dia tidak akan meminta hal serendah itu padamu. Mengerti? Love is not only about sex, you know?"
"I know ...."
"Mama tidak ingin kamu melakukan hal-hal yang diluar batas, Delta. Sekalipun kamu sudah dewasa. Mama akan memaklumi jika kamu mabuk. But sex? Never!"
"Aku tahu, Ma. And I never do it before marriage."
Mamanya tersenyum. "Bagus. Ini baru anak Mama."
"Bicara soal pertunangan, Mama tidak akan membatalkannya mengingat acara itu akan diadakan seminggu lagi," katanya kemudian. Membuat Delta tertegun tidak mengerti.
"Tapi, Ma? Aku dan Kena sudah selesai. Itu artinya pertunangan kami pun otomatis batal."
"Memangnya siapa yang mengatakan kamu akan tunangan dengan Kena?"
"Maksud Mama?"
•••
Delta menghampiri Deana yang sedang sibuk menata beberapa pohon bunga ke dalam folybag.
"Udah selesai?" tanyanya tanpa menoleh sedikitpun pada pria itu.
"Udah." Delta menjawab pendek.
Andaikan Deana menoleh sedikit saja, ia pasti akan mengetahui wajah kacau Delta.
"Tumben ke sini? Ngapain? Biasanya lo paling anti sama serbuk bunga," cibir Deana sambil meletakkan folybag itu di tempatnya.
"Itukan sebelum lo ganti jenis bunganya. Kenapa di ganti? Bukannya lo suka banget sama bunga anggrek?"
Deana terdiam. "Awalnya, tapi lama kelamaan gue bosen. Jadi ya, pengen suasana baru aja. Waktu anter nyokap lo ke toko bunga, gue tertarik sama bunga tulip dan ya, beginilah hasil dari ketertarikan gue," papar Deana menoleh ke arah pria itu sambil tersenyum.
Tapi, senyumnya hanya sesaat ketika mendapati wajah kusut Delta.
"Lo kenapa?"
"Kenapa emangnya?"
"Wajah lo kusut. Abis di marahin sama nyokap?"
"Lebih dari itu," jawab Delta.
Deana mengerutkan keningnya bingung. "Maksudnya?"
"Nggak papa. Lagian buat apa juga gue cerita sama lo? Bukannya dari dulu lo nggak pernah pedulian ya orangnya?" sindir Delta.
Deana melepaskan sarung tangannya dan meraih tangan Delta dan membawanya ke bangku taman. "Kita duduk dulu, Okay?"
"Of course ... yang lo bilang itu bener. Gue emang nggak pedulian orangnya. Dari dulu dan lo udah tahu itu. Gue nggak peduli sama hal-hal yang emang bukan urusan gue atau yang nggak ada sangkut pautnya sama gue. Tapi, bukan berarti gue juga nggak peduli sama lo, Ta. Lo temen gue sejak kecil, mana mungkin gue nggak peduli sama lo," paparnya panjang lebar menatap Delta lekat.
Ya, itu memang benar.
Delta mengembuskan napasnya berat. Ia tahu bahwa Anna peduli padanya. Kalau tidak, mana mungkin gadis itu mau membangunkannya setiap pagi hanya untuk menyuruhnya agar kuliah. Menunggunya hingga tengah malam seperti kemarin, memasak sarapan pagi, dan lain sebagainya. Delta tahu bahwa ada sisi lain dibalik sikap Anna yang seperti itu. Tapi, sumpah demi apapun ia tidak ingin merubahnya.
"Mama masih tetep mau lanjutin acara pertunangan gue," ungkapnya.
"Oh, jadi pada akhirnya nyokap lo nerima Kena ya? Bagus dong!" Deana menganggukan kepalanya berkali-kali mencoba mengerti.
"Bukan. Gue nggak tunangan sama dia."
"Terus?"
"Sama lo," jawab Delta datar.
"Apa? Lelucon macem apa ini, Ta? Sumpah gak lucu banget."
"Na, gue nggak lagi bercanda. Mama minta supaya gue tunangan sama lo," jelasnya.
"Ta, udah dong jangan acting melas gitu lah. Sumpah nggak lucu tahu gak?!"
"Demi Tuhan, Anna. Gue serius!"
"Wait, jadi ... beneran?" Deana menatap Delta lekat, meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya.
"Ta, ini konyol. Gue nggak mungkin tunangan sama lo. Dan lo juga sebaliknya. Please cubit gue, Ta!"
Dengan senang hati, Delta mencubit pipi Deana membuat gadis itu meringis. "Aw, sakit bego!"
"Tadi kan lo yang bilang sendri supaya gue nyubit lo ...."
"Gue nggak lagi mimpi dong, Ta?”
"Emang nggak!"
"Dan lo setuju?"
"Menurut lo gue punya pilihan lain?"
Deana terdiam. Delta sangat menyayangi kedua orangtuanya, jadi kemungkinan buat menolakpun pasti kecil.
"Tapi gue nggak mau, Ta. Gue nggak bisa ...."
"Lo pikir gue juga mau berakhir jadi suami lo?"
Jleb! Kata-kata Delta barusan berhasil menusuk hati Deana. Meskipun itu kenyataan tapi tetap saja rasanya sakit.
Jadi begini ya, rasanya ketika kita di tolak dan tidak diinginkan oleh seseorang ... sakit, batinnya.
Bukan, bukan karena Delta yang mengatakannya tapi Deana hanya membayangkan jika dirinya tidak diinginkan oleh seseorang. Yang tidak memiliki perasaan apa-apa saja rasanya nyelekit apalagi jika orang tersebut adalah yang paling Deana sayang?
"Nggak."
"Kenapa harus gue sih, Ta? Kenapa nggak cewek lain aja? Anak temen nyokap lo kan banyak," tanya Deana lesu.
"Gue tahu lo juga nggak mau berakhir jadi istri gue, tapi Na ... Lo sendiri yakin bisa nolak?"
Deana menatap lekat pria di hadapannya. Delta benar. Ia tidak akan mungkin bisa menolak mengingat kebaikan keluarga Altheraldo kepadanya.
"Jadi, ini kayak sebuah balas budi, ya?"
Dengan pelan Delta mengangguk. "Anggap aja begitu."
"Terus, rencana lo kedepannya apa? Kita nggak mungkin kan terjebak sama pertunangan konyol ini?"
"Bantu gue dapetin Kenara lagi, ya," katanya serius.
"Hah?"
"Please, Na. Lo tahu kan gue sayang banget sama dia?"
Deana nggak tahu dan nggak mau tahu karena ia tidak ikut merasakannya.
"Caranya?"
"Pertunangan ini. Cuman ini satu-satunya cara buat dapetin Kenara balik," ujarnya.
"Gue harus jadi tunangan lo sampai Kenara balik sama lo, gitu?"
"That's right!"
"Kalau Kena nggak balik sama lo?"
"Gue yakin dia masih cinta sama gue," katanya menatap nanar rumput di bawahnya.
Sebenarnya Deana tidak ingin Delta kembali pada Kennara, tapi menjadi tunangan Delta juga bukan keinginannya, sama sekali! Dan disaat seperti ini, Deana sama sekali tidak punya pilihan.
"Fine. Gue bersedia jadi tunangan lo, hanya sampai lo dapetin Kena balik. Inget, lo harus dapetin Kena lagi karena gue nggak mau berakhir sama lo," putus Deana akhirnya. Ia berdiri dari posisinya dan melangkah pergi.
"Na, mau kemana?"
"Kamar. Ngerjain research paper."
"Gue ikutan ngerjain ya, Na?"
"Terserah," timpalnya. Delta tersenyum. Baginya, Terserahnya Deana itu adalah 'iya'. Ia bangkit dari duduknya dan berlari menyusul Deana.
—
“Berperanlah, sampai semua nyata dengan sendirinya.” —The Endless Love—Satu minggu kemudian ...Malam ini, Deana dan Delta kini sudah resmi bertunangan. Senyum dari semua orang yang mengikuti acara tersebut pun terpancar, menandakan mereka ikut bahagia atas pertunangan tersebut termasuk kedua orangtua Delta. Senyum mereka seolah tidak ada habisnya melihat Delta dan Deana kini sudah berada dalam sebuah ikatan pertunangan."Aku akan sangat bahagia jika pada akhirnya nanti mereka akan bersama," bisik Altheraldo pada istrinya."Aku akan lebih bahagia, sayang. Mungkin setelah ini kita harus membicaran soal rencana pernikahan mereka," usulnya dan langsung diangguki oleh Altheraldo.Tapi kebahagiaan yang di maksud itu ternyata tidak sampai ke hati tiga orang yang kini sedang sama-sama berpikir keras. Pertama ada Delta. Di ot
“Posesif dan rasa ingin melindungi adalah dua hal yang sama-sama datangnya dari hati. Paham sampai sini?” —The Endless Love—Deana merasa sangat terganggu dengan Delta yang berada di sampingnya. Saat ini mereka sedang berada di apartemen Delta. Mengerjakan tugas research paper yang sama sekali belum selesai karena terlalu banyak Revisi."Kalau lo ngomong terus, gue nggak bakal bisa nyelesein tugas lo, Ta!" kesal Deana karena ocehan yang terus keluar dari mulut Delta."Anna, Please .... gue lagi kesel. Okay?""Yes! I know.""Ann?" panggil Delta pelan sambil meletakkan ponselnya di meja."Hm ....""Apa yang kita lakuin ini bener gak, sih?"Deana yang sedang fokus dengan lap
“Yang satu mendekat, yang satu menjauh pergi. Yang satu berusaha melindungi, yang satu memilih tidak peduli.” —The Endless Love—“Jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal untuk orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia.” — Delta.—Langit terlihat gelap, malam mulai menyapa dan beberapa bintang terlihat bermunculan menghiasi malam. Sambil memeluk lututnya, Deana duduk termenung di ayunan samping kolam renang. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh pada Delta dan pembicaraan mereka kemarin malam.Deana tahu konsekuensi seperti apa yang akan di dapatnya. Tapi semua itu ia lakukan demi Delta—sahabatnya yang paling berharga.Larasathy yang melihat Deana termenung pun berjalan menghampirinya. Ia menyentuh pundak Deana lembut yang membuat gadis i
“Semakin pelik, berarti semakin besar kekuatan cinta itu diuji. Sampai dimana keduanya saling bertahan tidak mau mengakui.” — The Endless Love—Deana langsung meninggalkan kelas tepat ketika seorang dosen masuk bahkan tidak memperdulikan panggilan dosen tersebut. Menurutnya itu sama sekali tidak penting karena yang lebih penting sekarang adalah mama Larashaty. Tadi asisten rumahnya menelepon dan mengatakan jika keadaan mama Larashaty tiba-tiba saja memburuk kemudian tidak sadarkan diri.Sepanjang jalan menuju gerbang utama, Deana terus berusaha menghubungi Delta yang sudah menghilang sejak mata kuliah kedua tadi. Tapi nihil, cowok itu tidak juga mengangkat teleponnya. Di panggilan ke 12 Deana menyerah, Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan buru-buru menyetop taksi yang kebetulan lewat di hadapannya.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya ia merapalkan Doa un
“Kalau yang lo mau bukan gue? Gue bisa apa?” — Deana•••Sejak pembicaraan Delta dan Deana 2 minggu yang lalu, Delta selalu mengajak Kenna ke apartemennya, hampir setiap perkuliahan selesai. Deana kadang muak saat tengah malam gadis itu belum juga beranjak pulang. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu kekperlihatkan kemesraannya dengan Kenna di hadapannya hanya agar membuat Deana cemburu kemudian menyerah. Deana tahu itubtapi ia tidak bisa terus-terusan memberontak seperti yang sudah-sudah karena itu hanya akan membuat usahanya selama ini akan sia-sia. Biarlah, untuk beberapa waktu ia membiarkan semua mengalir sesuai alur yang sudah Delta tentukan.Deana mengarahkan pandangannya ke sekitar kemudian menghela napasnya dalam. Ia sudah selesai mengemas semua barang-barangnya dan siap pergi. Hari
Sabtu pagi. Delta terbangun dari tidur lelapnya karena merasa terganggu oleh bunyi jam beker yang terus saja berdering. Masih dengan setengah mengantuk, ia bangun dan mencari sumber suara tersebut lalu mematikannya. Delta tidak ingat kapan ia mulai menggunakan jam beker karena sehafalnya, dirinya tidak pernah menggunakan benda yang menurutnya mengganggu indera pendengaran dan tidur gantengnya.Tak mau ambil pusing memikirkannya, Delta memilih untuk beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.Jam 08.45, Delta turun ke bawah dengan wajah yang sedikit lebih segar. Ia berjalan ke arah pantri, membuka kulkas dan mengambil air minum.Sambil bersandar pada meja dapur, Delta menatap ke sekeliling. Apartemennya terasa sunyi dan sepi seperti lama tidak ditempati. Padahal biasanya tidak. Setiap pagi telinganya selalu mendapat nutrisi omelan-omelan Deana mengingat dirinya yang susah dibangunin lah, ngaret lah, susah di suruh sarapan lah,
Setiap orang pasti pernah mengalami hal buruk dalam hidup. Entah kecelakaan, kehilangan, ketidakadilan, dan lain sebagainya termasuk Kennara. Orang tuanya meninggal saat umurnya 12 tahun dalam kecelakaan beruntun di jalan tol dan Itu menjadi pukulan sekaligus trauma yang berat di usianya yang masih sangat belia. Setelah kejadian itu, Kennara hidup bersama kakek dan neneknya hingga usia 15 tahun kemudian ikut bersama om dan tantenya hingga saat ini. Om dan tantenya adalah orang yang sibuk sehingga jarang sekali ada di rumah. Tiga anak mereka pun berkuliah di kota yang berbeda sehingga rumah besar yang ditempatinya terasa begitu sepi dan hampa. Kesepian yang dirasakan oleh Kennara terasa begitu nyata dan membuatnya haus akan kasih sayang. Wajar, karena saat hidup bersama kakek neneknya, Kennara selalu dilimpahi dengan kasih sayang selayaknya orangtua kandung. Suatu hari ia bertemu dengan Arash. Sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan per
“Kehilangan akan terasa begitu nyata ketika kebodohan menjadi penyebabnya.” —The Endless Love•••Jika manusia diciptakan dengan pilihan bisa merubah takdir, Deana ingin merubah segalanya. Merubah dunianya agar tidak bertemu dengan Delta atau tidak terlibat terlalu jauh dengan urusan pria itu dan memilih untuk merancang masa depan yang cerah secerah matahari pagi. Tapi dia bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan takdir hamba-Nya. Dan Deana juga tidak bisa menyesali semua yang terjadi mengingat itu juga keputusannya sendiri.Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang tapi Deana seolah enggan untuk beranjak dari balkon kamarnya. Banyak yang ia pikirkan. Tentang hidupnya, takdir dan juga Delta.Delta? Ah, pria itu ... Ini sudah berlalu lebih dari satu bulan, tapi tidak ada tanda-tanda jika Delta mencarinya. Deana tersenyum miris menatap kosong pada pemandangan di depan
Tiga hari pasca jebakan, Kenna mendatangi apartemen Delta dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang santai. Ya, wanita itu tidak terima dan sangat marah pada Delta atas apa yang lelaki itu lakukan pada Arash. Kenna menggedor-gedor pintu apartemen tersebut beberapa kali sampai akhirnya orang yang ia inginkan muncul dibalik pintu. “Jahat lo, Ta! Jahat! Keterlaluan! Gak punya hati!” protes Kennara yang langsung menyerang dada bidang Delta berkali-kali. Membuat Delta yang berdiri di pintu refleks melangkah mundur kembali ke dalam. Delta tidak menggubris sama sekali dan memilih membiarkan Kennara melampiaskan segala amarahnya. “Apa yang lo lakuin ke Arash? Hah? Kenapa lo buat dia masuk penjara? Kenapa Delta? Kenapaaaaa?!” “Lo jahat! Lo jahat Deltaaaaa!” Pukulan Kennara mulai melemah, sepertinya energi gadis itu sudah mulai habis, menyisakan isak tangis dan punggung yang
Delta langsung mendatangi rumah Kennara diikuti oleh Alden. Emosinya benar-benar ada dipuncak kemarahan sekarang. Delta tahu, menghadapi seorang wanita bukan sesuatu yang gentle, tapi ini bukan soal tantang menantang, ini soal kemunafikan yang selama ini gadis itu perlihatkan.Setelah mengetahui di mana Kenna berada dari asisten rumah tangganya, Delta dan Alden langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya memang bukan Kennara namun gadis itu pasti tahu di mana orang tersebut."Kenna buka Ken! Gua tahu lu di dalam!""Lo buka atau gue dobrak nih pintu?!" Delta memberi penawaran.Tak berselang lama, gadis itu pun keluar dari kamarnya. "Apa sih, Ta? Gue abis dari-""Gak penting lo abis dari mana! Gua cuman pengen lo jawab pertanyaan gue dengan sejujur jujurnya!"Delta menatap gadis dihadapannya lekat. Kennara tampak ketakutan namun Delta ti
Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan sampai batas yang tidak ditentukan, Delta memutuskan agar Deana tinggal di rumah. Itu jauh lebih aman mengingat penjaan rumah yang ketat daripada di apartemen.Delta tidak ingin diam saja dan menunggu. Ia sudah lelah dan harus menyelesaikan semua masalahnya. Apapun tujuan peneror yang mengaku-ngaku sebagai Sherine itu, Delta tidak akan pernah membiarkannya menang dan mendapatkan apa yang diinginkannya.Setelah mengantar Deana pulang ke rumah yang disambut hangat oleh sang Papa, Delta pamit untuk menelusuri tentang Sherine. Hal Yang akan Delta lakukan pertama kali adalah mengunjungi sekolah SMAnya dan meminta data serta alamat atas nama Sherine.Sekitar satu jam mengemudi, akhirnya ia sampai di SMAnya. Delta memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tamu kemudian keluar dari mobilnya menuju lobi.Saat di lobi, ia di sambut oleh guru semasa SMA nya du
Semenjak Delta dan Deana memutuskan untuk kembali memulai segalanya dengan cara yang benar, keduanya seperti menemukan kehidupan baru yang lebih berwarna. Saling mengisi, berbagi hati, dan terutama belajar menjadi calon orang tua yang baik. Delta—lelaki itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya pada Deana dan berubah menjadi sangat posesif.Contohnya saja ketika Deana membereskan apartemen mereka, Delta pasti akan ngomel-ngomel dan menyuruh Deana untuk berhenti dari aktivitasnya seperti menyapu, mengepel lantai, dan lainya. Delta bahkan memilih untuk mempekerjakan pembantu agar Deana tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon anaknya. Padahal yang dilakukan Deana bukan aktivitas berat tapi Delta mendadak berubah menjadi lelaki yang keras kepala dan tidak mau di debat.Deana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Delta yang menurutnya berlebihan itu. Tapi disamping itu, Ia sangat-sangat bersyukur karena semua kini kemba
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so