“Posesif dan rasa ingin melindungi adalah dua hal yang sama-sama datangnya dari hati. Paham sampai sini?” —The Endless Love
—
Deana merasa sangat terganggu dengan Delta yang berada di sampingnya. Saat ini mereka sedang berada di apartemen Delta. Mengerjakan tugas research paper yang sama sekali belum selesai karena terlalu banyak Revisi.
"Kalau lo ngomong terus, gue nggak bakal bisa nyelesein tugas lo, Ta!" kesal Deana karena ocehan yang terus keluar dari mulut Delta.
"Anna, Please .... gue lagi kesel. Okay?"
"Yes! I know."
"Ann?" panggil Delta pelan sambil meletakkan ponselnya di meja.
"Hm ...."
"Apa yang kita lakuin ini bener gak, sih?"
Deana yang sedang fokus dengan laptop di hadapannya pun langsung mengalihkan pandangannya pada Delta. "Maksud lo?"
"Pertunangan kita,” ujar Delta memperjelas.
"Oh. Salah. Tentu aja salah."
"Ck! Bukan dipandang dari segi itu. Maksud gue, apa lewat pertunangan ini bener bisa bikin Kenna balik sama gue?"
"Tergantung ... seberapa gigih lo bikin dia cemburu."
Delta menyandarkan punggungnya pada sofa. "Pertunangan kita udah berjalan hampir sebulan dan belum ada tanda-tanda kalau dia bakal balik sama gue," keluhnya.
"Kalau dalam waktu seminggu terakhir lo nggak bisa dapetin dia? Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ck! Terserah!" Deana kembali memfokuskan matanya pada laptop.
"Nasib pertunangan kita, ya?" tanya Delta. Namun, Deana memilih untuk tidak menjawab.
"Gue bakal bilang ke nyokap sama bokap yang sebenernya. Kita nggak bisa kayak gini terus. Lo juga nggak mau kan terjebak di status konyol ini?"
Deana hanya mengangguk.
"Setelah itu, mungkin gue bakal terang-terangan buat ngejar Kenna dan dapetin dia lagi. Lo tahu kan kalau dia segalanya buat gue."
Deana mengangguk lagi. "Tugas lo udah selesai. Gue harap gak ada revisi lagi biar lo bisa lanjut ke bab instrument." Ia bangkit dari duduknya dan mengambil tas. "Gue balik, ya. Ada janji mau ketemu sama orang."
"Siapa?"
"JaSuKe, deh."
"Hah? Apaan, tuh? Jagung Susu Keju?"
"Ja—ngan. Su—ka. Ke—po," terang Deana singkat.
"Alay!"
"Bodo!" Deana menjulurkan lidahnya ke arah Delta.
"Bukan sama Alden, kan?" selidik Delta.
"Ck! Bukan! Apaan sih lo masih aja bahas tuh orang. Udah ah gue balik. Bye!" Deana langsung berjalan ke luar dan tidak menghiraukan teriakan Delta. Masa bodo dengan semua itu, Deana sudah sangat muak.
Bagaimana enggak, sedikit-sedikit Alden, bahas temen ujung-ujungnya Alden, di telepon orang, nyangkanya Alden. Deana tahu, Delta tidak suka jika dirinya dekat-dekat dengan pria itu. Tapi, sumpah demi Tuhan!!! Alden tidak seperti yang dia pikir.
—
Pagi ini, seperti biasa Delta berangkat bersama Deana. Menebar kemesraan seolah mereka memang pasangan yang bahagia. Tentu saja hal itu di lakukan Delta demi melancarkan aksinya. Kenna harus kembali, apapun caranya! Begitulah kira-kira ambisinya.
"Ta, gue mau ke ruang dosen dulu. Ngumpulin tugas mata kuliah pilihan, lo langsung ke kelas aja. Ya?"
"Nggak mau gue tungguin?"
"Nggak usah. Gue lama kayaknya. Mau sekalian bimbingan mini riset soalnya."
"Ok." Delta mengecup puncak kepala Deana sesaat. "Ada Kenna," bisiknya.
Deana menghela napasnya pelan. Selalu aja kayak gini ... gumamnya dalam hati.
Jujur saja, setiap kali Delta melakukan hal-hal manis seperti yang dilakukannya barusan, jantung Deana pasti berdetak merdu. Dan di saat yang bersamaan, hatinya juga patah dengan fakta yang selalu diterimanya bahwa semua itu hanya karena Kenna. Hanya sebuah sandiwara semata.
Kenapa sih gue ini? desahnya dalam hati.
"Baik-baik, ya. Sampai ketemu di kelas," pesan Delta kemudian berlalu pergi. Deana hanya tersenyum tipis kemudian memasuki ruangan dosen.
Dari posisinya sekarang, Kennara merasakan kekalahan yang luar biasa. Ia sungguh tidak bisa melihat Delta berlama-lama gadis lain. Ia akui bahwa triknya kemarin untuk kenjerat Delta sangat bodoh! Dan Kennara pikir dengan memutuskan hubungan akan membuat lelaki itu mengejarnya. Ternyata ia salah besar! Ia sudah bertekad akan mendapatkan Delta kembali apapun dan bagaimanapun caranya!
"Kita lihat apa yang bisa gue lakuin buat dapetin Delta balik!" katanya angkuh.
—
"Ta lo di mana, sih? Katanya mau balik bareng. Gue udah nunggu lo 2 jam di parkiran!!!" kesal Deana saat sambungan ke-17 nya diangkat oleh Delta.
"Na Sorry gue nggak bisa balik bareng sama lo. Gue lagi ada urusan," ujar Delta di sebrang.
"Ok."
"Lo nggak nanya gue lagi ada urusan sama siapa?"
Deana menghela napasnya. "Sama siapa emang?"
"Kena," jawab Delta. Dari suaranya Deana bisa tahu jika cowok itu mengucapkannya sambil tersenyum penuh kebahagiaan.
"Ok."
"Udah, respond lo gitu doang?"
"Ya terus gue harus gimana?" tanyanya kembali bernada kesal.
"Seneng kek atau gim—" ucapan Delta terhenti ketika suara cewek memanggilnya dengan nada manja yang begitu menjijikan di telinga Deana.
"Na, entar gue telpon lagi, ya."
Dan, belum sempat Deana menjawab, cowok itu sudah lebih dulu mematikannya. Kesal, Deana menendang tong sampah yang ada di sampingnya.
"Tahu gitu gue pulang aja dari tadi. Buang-buang waktu aja!" gumam Deana. Ia mendongakkan kepalanya, awan hitam mulai berkumpul di langit pertanda jika sebentar lagi akan hujan. Buru-buru, Deana berjalan meninggalkan parkiran kampus menuju halte terkedat.
Sekitar 20 menit menunggu, angkot yang di maksud Deana tak kunjung lewat. Memang, jika hari mulai sore, jarang sekali ada angkot yang lewat. Deana sudah sangat kesal, ia melirik arloji yang melingar di tangan kirinya. Jam sudah menunjukan pukul lima sore dan dirinya masih terjebak di halte. Apalagi dengan hujan deras yang tiba-tiba saja turun.
Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di hadapan Deana. Seketika, kaca mobil itu terbuka dan menampilkan sosok Alden.
"De, pulang sama gue, yuk? Gue anterin!" teriak Alden dari dalam mobil.
"Hah apa? Nggak kedengeran. Hujannya deras banget," ujar Deana.
Alden kemudian turun, mengitari mobil dan berlari ke arah Deana. 'Pulang sama gue aja. Gue anterin," ucapnya lagi.
"Ng—nggak, deh. Gue nunggu angkot aja," tolaknya halus.
"Ck! Gak bakal ada angkot yang lewat di jam segini. Apalagi ujan. Udah mendingan lo pulang sama gue aja. Yuk?"
Deana terdiam beberapa saat. Matanya menyapu pada jalanan yang terlihat begitu lenggang dan sepi. Merasa tidak mempunyai pilihan lain akhirnya Deana mengangguk.
Alden membuka jaketnya untuk menutupi kepala Deana agar tidak kehujanan. Setelah gadis itu memasuki mobil, Alden langsung berjalan memutar dan masuk ke belakang kemudi.
"Lo ngapain sih masih di area kampus jam segini? Bukannya kuliah udah selesai dari beberapa jam yang lalu?" tanya Alden saat mobilnya sudah melaju.
"Gue nungguin Delta. Tadi dia kabur di mata kuliah terus bilang supaya gue nungguin dia karena mau balik ke rumah. Tapi malah nggak jadi. Ada urusan katanya," jawab Deana kalem.
"Sama Kena?"
"Iya. Mungkin mereka lagi proses balikan kali. Entahlah." Deana menaikkan kedua bahunya nggak peduli. That's right! Deana emang nggak peduli. Sama sekali.
"Wait-wait ... Apa sih ini? Lo sama Delta, status kalian bertunangan, Right?"
"Alright," jawab Deana jujur.
"Dan lo biarin Delta sama Kena, apa tadi? Proses balikan? Lo masih waras kan, De?"
"Masih." Lagi, Deana menjawabnya tanpa beban. Seolah itu bukan masalah besar.
"De, harusnya lo—"
"Al, kebahagiaan Delta itu ada di Kena. Jadi biarin aja dia merjuangin perasaannya. Udah deh, mendingan lo nyetir aja. Tau kan alamat rumah Delta? Gue mau tidur. Capek!"
"Lo ... beneran nggak cemburu sama sekali De?" tanya Alden.
Hening. Tidak ada jawaban. Alden mengalihkan pandangannya pada Deana yang sudah tidur di sampingnya. Ia tahu gadis itu belum sepenuhnya tidur hanya saja enggan menjawab pertanyaannya yang Alden tahu Deana sendiri pun pasti tidak tahu jawabannya.
Dan ya, Deana memang belum tidur sama sekali. Bagaimana mungkin ia bisa tidur hanya dalam hitungan detik? Deana mendengar pertanyaan itu dan kini pertanyaan Alden menjadi pertanyaan yang ia ajukan kepada dirinya sendiri?
Apa iya gue sama sekali nggak cemburu? Nggak! Gue nggak ada perasaan apapun sama Delta jadi, nggak perlu ada kata cemburu. Dan nggak akan pernah ada! Batinnya menegaskan.
—
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Deana sudah pergi ke apartemen Delta. Membangunkan cowok itu, membuatnya sarapan, dan pergi ke kampus. Rutinitas yang terdengar sangat membosankan tapi tidak untuk Deana. Itu adalah keinginan Mamanya dan keinginan berarti perintah. Apapun akan Deana lakukan demi bisa menebus semua kebaikan keluarga Altheraldo padanya.
Deana memasuki apartemen dan langsung pergi ke kamar Delta. Seperti biasa, cowok itu masih berhulung di balik selimut tebalnya. Deana menarik selimut itu dan mencoba membangunkan Delta.
"Ta, bangun! Udah pagi."
Delta perlahan membuka matanya dan menatap Deana datar. Tapi Deana seolah tidak memperdulikan tatapan datar Delta dan memilih untuk berlalu. Padahal terlihat jelas jika Delta memiliki maksud lain dari tatapannya barusan.
"Buruan mandi. Gue tunggu di bawah. Kita sarapan terus berangkat ke kampus. Gue nggak mau denger apalun alasan lo supaya nggak bisa ngampus pagi ini," celoteh Deana hendak berlalu. Tapi, Delta langsung meraih lengan Deana dan membuatnya refleks menoleh.
"Kata Mama semalem, lo pulang sama Alden. Bener?"
Deana menghela napasnya jengah. Ia benci tiap kali berdebat dengan Delta tentang Alden.
"Bukan urusan lo, Ta. Gue pulang sama siapa aja itu hak gue, kan?"
"Udah ah lepasin. Apa-apaan sih lo?!" Denana mencoba melepaskan genggaman tangan cowok itu. Namun, semakin dia berusaha, semakin Delta mengeratkannya.
"Ta, apa-apaan, sih?"
Tak di sangka, Delta menarik Deana hingga gadis itu jatuh ke kasur. Bukan, lebih tepatnya ke atas tubuh Delta. Mata mereka bertemu. Wajah keduanya begitu dekat hingga Deana bisa merasakan embusan napas cowok tersebut.
"Semalem waktu gue pulang ke rumah, Mama bilang lo di anterin sama Alden. Jadi bener lo pulang sama si brengsek itu?" tanyanya dengan nada berat.
"Ta—"
"Jawab gue, Anna."
"Fine! Iya. Puas?" Deana menghentakkan tangannya membuat genggaman Delta terlepas. Ia langsung bangkit dari posisinya dan kembali berdiri.
"Na ..." panggil Delta pelan. Matanya yang teduh menyorot tajam pada Deana.
"Ta, Alden mungkin cowok brengsek buat cewek kebanyakan. Tapi nggak di mata gue. Dia nggak kayak gitu. Dia bersikap baik sama gue. Dan kalau emang Alden cowok brengsek, dia pasti gak bakal nyia-nyiain kesempatan. Gue ada di depan matanya, Ta ... tapi dia lebih milih bawa gue pulang ke rumah."
"Lagipula ... dari pada lo ngurusin urusan gue, lebih baik fokus buat bikin Kenna balik. Kan?"
"Na, gue nggak lagi ngomongin Kena. Gue lagi ngomongin lo sama Alden," ujar Delta mulai jengah dengan pembicaraannya.
"Emang gue sama Alden kenapa? Kita berteman dan baik-baik aja. Jadi apa yang mesti lo khawatirin?"
Delta bangkit dari ranjangnya, berdiri menatap Deana. "Gue nggak khawatir. Gue cuman nggak suka lo deket sama dia apapun alasannya. Titik! Ini perintah, Anna!" katanya kemudian berlalu ke kamar mandi.
"Delta?" panggil Deana. Cowok itu menguringkan niatnya memegang handle pintu dan berbalik.
"Lo sama Kenna bakal balik, kan?"
Delta mengerutkan kening tapi kemudian mengangkat kedua bahunya. "Mungkin. Gue belum yakin. Tapi gue lagi berusaha bikin dia balik sama gue. Kenapa?"
"Itu artinya, cepat atau lambat kalian tetep bakal bersatu lagi, kan? Jadi mendingan lo fokus ke Kenna aja. Soal Alden, itu biar urusan gue," ujar Deana memandang Delta datar.
"Lo ... bukan siapa-siapa jadi nggak perlu takut gue bakal kenapa-napa. Karena khawatir juga bukan tugas lo." Setelah mengatakan itu, Deana berjalan ke luar kamar tanpa menunggu jawaban Delta terlebih dahulu.
—
Di meja makan, suasana terasa begitu canggung. Deana diam dan Delta pun memilih untuk memakan makanannya tanpa berkata sepatah kata pun. Bukannya apa-apa, tapi ucapan Deana memang ada benarnya. Deana sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula dirinya memang bukan siapa-siapa. Hanya teman biasa dan nggak lebih.
Delta lupa bahwa ada bagian dari diri Deana yang tidak bisa ditembus oleh siapapun bahkan dirinya. Delta lupa bahwa gadis itu membangun tembok setinggi-tingginya agar tidak ada yang mampu menggapainya. Dan Delta juga lupa, bahwa Deana tidak suka dikasihani. Cewek itu ingin selalu terlihat kuat dan baik-baik saja apapun alasannya.
Deana bangkit terlebih dahulu, membawa piring bekas sarapan dan meletakkannya ke tempat pencucian piring. Ia menoleh ke arah Delta.
"Ta, tugas RPP lo udah gue revisi. Nanti lo tinggal bimbingan aja. Gue nggak bisa berangkat bareng ke kampus sama lo. Ada urusan. Lo berangkat sendiri aja," ujar Deana.
Delta hanya mengangguk sambil melahap nasi gorengnya.
"Ya udah gue berangkat. Lo jangan coba-coba buat bolos atau—"
"Nggak bakal bantu ngerjain tugas kuliah gue lagi. Itukan yang mau lo bilang?"
Deana tersenyum. "Pinter." Ia kemudian meraih tasnya. "Udah ya gue pergi. Bye."
Delta memperhatikan Deana yang mulai hilang dari pandangan matanya.
Ini yang nggak gue ngerti dari lo, Na. Sikap lo yang bisa tiba-tiba berubah hanya dalam hitungan menit. Padahal gue sempet ngira kalau setelah ini sikap lo bakal berubah. Tapi kenyataannya nggak. Lo tetep Deana yang gue kenal ...
Seketika senyum Delta mengembang entah disadari atau tidak.
—
Deana sampai di kampus tepat saat mata kuliah kedua selesai. Jam sudah menunjukan pukul 11.55. Ia memilih untuk pergi ke kantin karena perutnya pun sudah demo minta di isi.
Saat sedang menunggu sop pesanannya datang, Mauren tiba-tiba menelponnya.
"Hallo Ren, kena—"
"Hallo Na, lo di mana sekarang? Ini gawat! Gawat banget."
"Aduh Ren lo kalau ngomong yang tenang, dong. Gawat? Apanya yang gawat? Hm?"
"Delta, Na. Delta sama Alden berantem. Lo mending buruan ke sini deh sebelum keduanya saling ngebunuh satu sama lain," ujar Mauren gusar.
"Apa? Ok ok. Lo—lo di mana sekarang?"
"...."
"Ok gue ke sana sekarang," Deana langsung mematikan teleponnya. Ia buru-buru berjalan ke arah penjual sop untuk membayar makanannya yang sudah terlanjur di pesan.
"Aarrght!! Kenapa sih tuh cowok dua harus, kudu, mesti berantem!" kesalnya sambil berjalan setengah berlari menuju gedung yang disebutkan oleh Mauren tadi.
Sampai di depan gedung yang di maksud, Deana langsung menerobos kerumunan untuk melihat sejauh mana pertengkaran dua cowok bego versi Deana.
Dan see, mereka saling adu jotos dengan sebegitu hebatnya. Saling pukul satu sama lain untuk melampiaskan kekesalan dan emosi yang bermuara di kedua hatinya.
"Stop!!!" teriak Deana pada akhirnya. Ia berjalan ke tengah dan merelai keduanya.
"Lo berdua tuh apa-apaan sih? Hah? Malu-mauin tahu gak?!" celanya.
"Lo tanya aja sama tunangan lo!" ujar Alden yang matanya terfokus pada Delta.
"Kalau lo gak nyari masalah duluan, gue juga nggak sudi berantem sama lo!"
Alden tersenyum sinis. "Gue? Nyari masalah duluan? Lo pikir dengan datang tiba-tiba ke kelas gue dan mukulin gue tanpa sebab, gue nyari masalah duluan. Iya?"
"Lo deketin Deana dan itu sama aja lo nyari masalah sama gue! Harus berapa kali gue bilang kalau gue gak terima lo deketin dia! Dia cewek baik-baik Al. Kalau lo mau nyari cewek buat lo jadiin korban. Jangan Dia. Jangan Deana!!!" teriaknya penuh amarah.
"Cih! Jadi lo nggak terima gue deketin dia hanya karena dia cewek baik-baik? Bukan karena dia tunangan lo?"
Skakmat!!! Delta membatu seketika.
"Gue emang cowok brengsek yang tidur sama cewek manapun yang gue pengen. Tapi, gue juga bukan cowok bodoh yang gak bisa bedain mana cewek yang harus di jaga dan mana yang buat sekedar main-main aja. Dan gue pikir, Deana layak nyandang opsi pertama!" tegasnya.
"Udah cukup!!! Gue nggak ngerti sama apa yang kalian bicarain. Tapi please ... berhenti! Kalian jadi tontonan banyak orang cuman karena masalah yang sama sekali nggak penting tahu!"
"Lo penting!" jawab keduanya berbarengan.
Deana memutar bola matanya jengah. "Fine! Terserah! Kalian mau beratem lagi silahkan! Gue nggak peduli," ujar Deana kemudian berbalik dan melenggang pergi dari ruangan tersebut.
"Urusan kita belum selesai!" tandas Delta kemudian berlari mengejar Deana.
—
Meski kesal, Deana tetap saja mengobati luka Delta yang terlihat begitu parah. Kedua sudut bibirnya robek, wajahnya dibalut memar di sana sini hasil karya Alden. Deana benar-benar tidak mengerti mengapa Delta sampai sebegitu membelanya. Fine! Teman atau eummm yaa, adik. Iya, itulah alasan paling tepat dan masuk akal. Sesekali Delta mengaduh kesakitan tapi Deana seolah tidak peduli.
Deana menghentikan aktifitasnya ketika dari kejauhan melihat Kenna berjalan ke arahnya.
"Udah selesai?" tanya Delta.
"Nggak. Ada Kenna. Tuh," jawab Deana menunjuk ke arah Kena dengan gerakan dagu. Delta menoleh dan benar saja, ia melihat Kena yang sedang berjalan ke arahnya.
"Kayaknya tugas gue udah selesai. Lo udah nggak butuh gue, kan? Gue balik ke kelas kalau gitu," ujar Deana kemudian bangkit dari posisinya.
Saat hendak melangkah, Kenna lebih dulu menahannya. "Tunggu!" ujarnya.
"Ada yang pengen gue bicarain sama lo," katanya kemudian. “Penting.”
"Ok."
Kena tersenyum. Ia melewati Delta dan kemudian berjalan lebih dulu. Deana menatap ke arah Delta tapi cowok itu hanya menaikkan kedua bahunya. Deana menghela napasnya lalu berjalan mengekor di belakang Kenna.
Langkah Deana terhenti ketika Kenna berhenti di lorong yang lumayan sepi. Cewek itu berbalik dan menatap Deana dengan tatapan yang sulit diartikan.
"To the point aja. Gue pengen Delta balik sama gue," katanya enteng.
"Lo udah pernah di kasih kesempatan dan gagal."
"Gue tahu kalau Delta masih sayang sama gue."
"Terus?"
"Gue pengen dia balik. Bisa kan lo balikin dia ke gue?"
"Nggak!" tolak Deana tak kalah enteng.
Nggak semudah itu, kenna.
"Gue kemaren sempet jalan sama Delta."
"Terus?"
"Dia bilang masih sayang sama gue."
"Ok."
"Ok?" Kenna mengerutkan alisnya. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ok? Wanita mana yang akan mengatakan jawaban tidak masuk akal seperti itu saat tahu tunangannya pergi bersama wanita lain yang notabenenya adalah mantannya sendiri?
"Iya. Karena harusnya, saat Delta ngajak lo jalan lo sebagai wanita baik-naik nolak, dong. Karena apa? Karena Delta bukan lagi milik lo. Apalagi statusnya udah bertunangan."
"Kenapa gue harus nolak? Gue tahu Delta masih sayang sama gue. Dia masih menginginkan gue sebesar gue menginginkan dia."
"Jadi?"
"Jadi, kalau lo nggak bisa balikin Delta sama gue, gue bakal bikin dia balik ke gue pake cara gue sendiri," tegasnya dengan angkuh.
"Dengan cara?"
"Cara yang sama dan bakal gue pastiin kalau kali ini rencana gue berhasil."
"Jangan paksa Delta buat ngelakuin hal menjijikan itu Kena!" geram Deana seolah tahu apa yang ada di dalam kepala Kenna saat ini.
"Lo nggak ngasih gue pilihan, Deana." Kenna tersenyum kemudian berlalu pergi.
Nggak! Nggak akan gue biarin Delta sampai ngelakuin hal itu dan terjerat akal busuk Kenna. Sorry, Ta ... tapi gue ngerasa kalau Kenna nggak sebaik yang lo kira. Dan gue ngerasa kalau gue harus ngelindungin lo.
—
"Lo tadi ngomong apa sama Kena?" tanya Delta sambil meletakkan satu gelas susu hangat untuk Deana.
Deana yang sedang fokus pada laptopnya pun menoleh. "Nggak ngomongin apa-apa."
"Na, gue serius ...."
Deana menutup laptopnya, naik ke atas sofa sambil mengambil gelas berisi coklat panas miliknya.
"Dia minta gue balikin lo ke dia," ujar Deana santai sambil menyeruput coklat pamasnya.
"Terus?"
"Nggak gue kabulin lah."
"Gue tahu lo pengen ngetes dia, kan? Seberapa jauh usahanya buat dapetin gue balik?" tebak Delta. Tapi kemudian Deana menggeleng.
Ia menoleh ke arah Delta yang duduk disampingnya. "Ta?"
"Apa?"
"Tadi sore, waktu gue pulang, Mama bilang sesuatu."
"Mama? Bilang apa?"
"Dia bilang soal rencana pernikahan kita. Katanya lebih cepat lebih baik dan Mama udah nentuin tanggalnya."
"Apa?"
"Mama udah nentuin tanggalnya dan itu bulan depan."
"Terus jawaban lo?"
"Gue setuju," jawab Deana santai kembali menyeruput coklat panasnya.
"Apa?"
"Gue rasa Kena bukan yang terbaik buat lo. Dan setelah gue pikir-pikir nggak ada salahnya juga kalau kita menikah. Gue cukup baik buat jadi istri lo. Iya, kan?"
"Na, lo udah gila apa, hah? Nggak! Gue nggak mau menikah sama lo. Anna, Gue nggak cinta sama lo. Dan lo juga. Gimana bisa kita menikah, hah?"
"Itu bukan sesuatu yang sulit."
"Anna lo kenapa sih, hah? Mama sama Papa ngancam lo? Atau Kena? Apa yang dia bilang sama lo?"
"Apaan sih, Ta?! Nggak ada yang ngancam gue. Kena juga nggak bilang apa-apa."
"Terus?"
"Nggak ada terusannya. Udah ah gue mau tidur. Bye!"
Delta ikut bangkit dari duduknya. Ia meraih lengan Deana. "Anna tunggu!"
"Apaan lagi sih, ta? Gue ngantuk!" Deana beralasan dan menepis lengan Delta hingga genggaman itu terlepas.
"Apa rencana lo dan apa tujuan lo setujuin rencana konyol ini, Na? Bilang sama gue!"
"Karena Kenna nggak pantes buat lo," jawab Deana datar.
"Dan lo pikir lo yang pantes jadi pendamping hidup gue?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena selama ini gue mencintai elo. Dan gue menginginkan elo!" jawabnya menatap Delta lekat.
"Bohong!"
"Liat mata gue, Ta! Apa mata gue keliatan lagi bohong, hm?"
Delta membuang pandangannya ke arah lain. Pasalnya Deana tidak pernah mampu menatapnya sedemikian lekat jika sedang berbohong.
"Jadi mulai sekarang, mendingan lo belajar mencintai gue karena gue nggak akan pernah ngebiarin lo balik sama Kena. Lo cuman bakal jadi suami gue karena gue menginginkannya!" tegasnya.
Delta kembali menatap Deana. Ia menyipitkan matanya. "Gue nggak percaya. Apa buktinya lo mencintai gue dan menginginkan gue? Hah?"
"Lo mau bukti? Ok bakal gue buktiin!" Deana mendekat, ia menatap wajah Delta yang hanya berjarak kurang lebih 10 cm saja. Dengan penuh keberanian, Deana berjinjit dan mencium bibir Delta. Membuat tubuh cowok itu menegang seketika.
Deana tersenyum. "See, gue nggak main-main," katanya kemudian berbalik dan berjalan menuju tangga.
"Gue nggak tahu lo dapet keberanian itu dari mana. Kalau udah kayak gini mungkin gue bisa percaya sama perasaan lo. Tapi, sebelum semuanya terlambat dan sebelum gue nyakitin lo lebih jauh nanti, gue bakal bilang dari awal. Gue nggak mencintai lo, menginginkan lo dan gue nggak bisa membalas perasaan lo sampe kapanpun," papar Delta.
"Sekalipun nanti gue nggak punya pilihan lagi dan menikah sama lo. Gue harap lo inget kata-kata gue malam ini. Dan saat lo merasa capek dengan gue, lo bisa minta cerai dan gue bakal dengan senang hati mengabulkannya," lanjutnya.
Deana tidak menjawab. Ia nggan menanggapi semua perkataan cowok itu dan lebih memilih untuk menaiki tangga menuju kamarnya.
—
“Yang satu mendekat, yang satu menjauh pergi. Yang satu berusaha melindungi, yang satu memilih tidak peduli.” —The Endless Love—“Jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal untuk orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia.” — Delta.—Langit terlihat gelap, malam mulai menyapa dan beberapa bintang terlihat bermunculan menghiasi malam. Sambil memeluk lututnya, Deana duduk termenung di ayunan samping kolam renang. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh pada Delta dan pembicaraan mereka kemarin malam.Deana tahu konsekuensi seperti apa yang akan di dapatnya. Tapi semua itu ia lakukan demi Delta—sahabatnya yang paling berharga.Larasathy yang melihat Deana termenung pun berjalan menghampirinya. Ia menyentuh pundak Deana lembut yang membuat gadis i
“Semakin pelik, berarti semakin besar kekuatan cinta itu diuji. Sampai dimana keduanya saling bertahan tidak mau mengakui.” — The Endless Love—Deana langsung meninggalkan kelas tepat ketika seorang dosen masuk bahkan tidak memperdulikan panggilan dosen tersebut. Menurutnya itu sama sekali tidak penting karena yang lebih penting sekarang adalah mama Larashaty. Tadi asisten rumahnya menelepon dan mengatakan jika keadaan mama Larashaty tiba-tiba saja memburuk kemudian tidak sadarkan diri.Sepanjang jalan menuju gerbang utama, Deana terus berusaha menghubungi Delta yang sudah menghilang sejak mata kuliah kedua tadi. Tapi nihil, cowok itu tidak juga mengangkat teleponnya. Di panggilan ke 12 Deana menyerah, Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan buru-buru menyetop taksi yang kebetulan lewat di hadapannya.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya ia merapalkan Doa un
“Kalau yang lo mau bukan gue? Gue bisa apa?” — Deana•••Sejak pembicaraan Delta dan Deana 2 minggu yang lalu, Delta selalu mengajak Kenna ke apartemennya, hampir setiap perkuliahan selesai. Deana kadang muak saat tengah malam gadis itu belum juga beranjak pulang. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu kekperlihatkan kemesraannya dengan Kenna di hadapannya hanya agar membuat Deana cemburu kemudian menyerah. Deana tahu itubtapi ia tidak bisa terus-terusan memberontak seperti yang sudah-sudah karena itu hanya akan membuat usahanya selama ini akan sia-sia. Biarlah, untuk beberapa waktu ia membiarkan semua mengalir sesuai alur yang sudah Delta tentukan.Deana mengarahkan pandangannya ke sekitar kemudian menghela napasnya dalam. Ia sudah selesai mengemas semua barang-barangnya dan siap pergi. Hari
Sabtu pagi. Delta terbangun dari tidur lelapnya karena merasa terganggu oleh bunyi jam beker yang terus saja berdering. Masih dengan setengah mengantuk, ia bangun dan mencari sumber suara tersebut lalu mematikannya. Delta tidak ingat kapan ia mulai menggunakan jam beker karena sehafalnya, dirinya tidak pernah menggunakan benda yang menurutnya mengganggu indera pendengaran dan tidur gantengnya.Tak mau ambil pusing memikirkannya, Delta memilih untuk beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.Jam 08.45, Delta turun ke bawah dengan wajah yang sedikit lebih segar. Ia berjalan ke arah pantri, membuka kulkas dan mengambil air minum.Sambil bersandar pada meja dapur, Delta menatap ke sekeliling. Apartemennya terasa sunyi dan sepi seperti lama tidak ditempati. Padahal biasanya tidak. Setiap pagi telinganya selalu mendapat nutrisi omelan-omelan Deana mengingat dirinya yang susah dibangunin lah, ngaret lah, susah di suruh sarapan lah,
Setiap orang pasti pernah mengalami hal buruk dalam hidup. Entah kecelakaan, kehilangan, ketidakadilan, dan lain sebagainya termasuk Kennara. Orang tuanya meninggal saat umurnya 12 tahun dalam kecelakaan beruntun di jalan tol dan Itu menjadi pukulan sekaligus trauma yang berat di usianya yang masih sangat belia. Setelah kejadian itu, Kennara hidup bersama kakek dan neneknya hingga usia 15 tahun kemudian ikut bersama om dan tantenya hingga saat ini. Om dan tantenya adalah orang yang sibuk sehingga jarang sekali ada di rumah. Tiga anak mereka pun berkuliah di kota yang berbeda sehingga rumah besar yang ditempatinya terasa begitu sepi dan hampa. Kesepian yang dirasakan oleh Kennara terasa begitu nyata dan membuatnya haus akan kasih sayang. Wajar, karena saat hidup bersama kakek neneknya, Kennara selalu dilimpahi dengan kasih sayang selayaknya orangtua kandung. Suatu hari ia bertemu dengan Arash. Sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan per
“Kehilangan akan terasa begitu nyata ketika kebodohan menjadi penyebabnya.” —The Endless Love•••Jika manusia diciptakan dengan pilihan bisa merubah takdir, Deana ingin merubah segalanya. Merubah dunianya agar tidak bertemu dengan Delta atau tidak terlibat terlalu jauh dengan urusan pria itu dan memilih untuk merancang masa depan yang cerah secerah matahari pagi. Tapi dia bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan takdir hamba-Nya. Dan Deana juga tidak bisa menyesali semua yang terjadi mengingat itu juga keputusannya sendiri.Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang tapi Deana seolah enggan untuk beranjak dari balkon kamarnya. Banyak yang ia pikirkan. Tentang hidupnya, takdir dan juga Delta.Delta? Ah, pria itu ... Ini sudah berlalu lebih dari satu bulan, tapi tidak ada tanda-tanda jika Delta mencarinya. Deana tersenyum miris menatap kosong pada pemandangan di depan
“A—Alden?” ucap Delta terbata-bata, sama sekali tak menyangka.“Iya, ini gua Alden. Terkejut, eh?” ejeknya di sebrang telepon.Delta langsung mengepal lengannya kuat-kuat, emosinya meluap. “Sialan lo Alden! Lo bawa kabur kemana Anna? Hah?”“Kemana pun bukan urusan lo,” timpal Alden dengan nada begitu santai tapi berhasil membuat emosi Delta semakin tersulut.“Bukan urusan gua lo bilang? Anna istri gua bangsat!”“Istri yang gak lo akui maksudnya?” Koreksi Alden sengaja.“Gak usah banyak bacot deh lo! Kasih tahu gua di mana Anna, atau—”“Atau apa? Lo bakal lapor polisi, hah? Laporin aja, gue sama sekali nggak takut.”“Lo nantang, hah?”Di sebrang, Alden terdengar tertawa, mem
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so
Tiga hari pasca jebakan, Kenna mendatangi apartemen Delta dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang santai. Ya, wanita itu tidak terima dan sangat marah pada Delta atas apa yang lelaki itu lakukan pada Arash. Kenna menggedor-gedor pintu apartemen tersebut beberapa kali sampai akhirnya orang yang ia inginkan muncul dibalik pintu. “Jahat lo, Ta! Jahat! Keterlaluan! Gak punya hati!” protes Kennara yang langsung menyerang dada bidang Delta berkali-kali. Membuat Delta yang berdiri di pintu refleks melangkah mundur kembali ke dalam. Delta tidak menggubris sama sekali dan memilih membiarkan Kennara melampiaskan segala amarahnya. “Apa yang lo lakuin ke Arash? Hah? Kenapa lo buat dia masuk penjara? Kenapa Delta? Kenapaaaaa?!” “Lo jahat! Lo jahat Deltaaaaa!” Pukulan Kennara mulai melemah, sepertinya energi gadis itu sudah mulai habis, menyisakan isak tangis dan punggung yang
Delta langsung mendatangi rumah Kennara diikuti oleh Alden. Emosinya benar-benar ada dipuncak kemarahan sekarang. Delta tahu, menghadapi seorang wanita bukan sesuatu yang gentle, tapi ini bukan soal tantang menantang, ini soal kemunafikan yang selama ini gadis itu perlihatkan.Setelah mengetahui di mana Kenna berada dari asisten rumah tangganya, Delta dan Alden langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya memang bukan Kennara namun gadis itu pasti tahu di mana orang tersebut."Kenna buka Ken! Gua tahu lu di dalam!""Lo buka atau gue dobrak nih pintu?!" Delta memberi penawaran.Tak berselang lama, gadis itu pun keluar dari kamarnya. "Apa sih, Ta? Gue abis dari-""Gak penting lo abis dari mana! Gua cuman pengen lo jawab pertanyaan gue dengan sejujur jujurnya!"Delta menatap gadis dihadapannya lekat. Kennara tampak ketakutan namun Delta ti
Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan sampai batas yang tidak ditentukan, Delta memutuskan agar Deana tinggal di rumah. Itu jauh lebih aman mengingat penjaan rumah yang ketat daripada di apartemen.Delta tidak ingin diam saja dan menunggu. Ia sudah lelah dan harus menyelesaikan semua masalahnya. Apapun tujuan peneror yang mengaku-ngaku sebagai Sherine itu, Delta tidak akan pernah membiarkannya menang dan mendapatkan apa yang diinginkannya.Setelah mengantar Deana pulang ke rumah yang disambut hangat oleh sang Papa, Delta pamit untuk menelusuri tentang Sherine. Hal Yang akan Delta lakukan pertama kali adalah mengunjungi sekolah SMAnya dan meminta data serta alamat atas nama Sherine.Sekitar satu jam mengemudi, akhirnya ia sampai di SMAnya. Delta memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tamu kemudian keluar dari mobilnya menuju lobi.Saat di lobi, ia di sambut oleh guru semasa SMA nya du
Semenjak Delta dan Deana memutuskan untuk kembali memulai segalanya dengan cara yang benar, keduanya seperti menemukan kehidupan baru yang lebih berwarna. Saling mengisi, berbagi hati, dan terutama belajar menjadi calon orang tua yang baik. Delta—lelaki itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya pada Deana dan berubah menjadi sangat posesif.Contohnya saja ketika Deana membereskan apartemen mereka, Delta pasti akan ngomel-ngomel dan menyuruh Deana untuk berhenti dari aktivitasnya seperti menyapu, mengepel lantai, dan lainya. Delta bahkan memilih untuk mempekerjakan pembantu agar Deana tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon anaknya. Padahal yang dilakukan Deana bukan aktivitas berat tapi Delta mendadak berubah menjadi lelaki yang keras kepala dan tidak mau di debat.Deana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Delta yang menurutnya berlebihan itu. Tapi disamping itu, Ia sangat-sangat bersyukur karena semua kini kemba
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so