“Yang satu mendekat, yang satu menjauh pergi. Yang satu berusaha melindungi, yang satu memilih tidak peduli.” —The Endless Love
—
“Jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal untuk orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia.” — Delta.
—
Langit terlihat gelap, malam mulai menyapa dan beberapa bintang terlihat bermunculan menghiasi malam. Sambil memeluk lututnya, Deana duduk termenung di ayunan samping kolam renang. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh pada Delta dan pembicaraan mereka kemarin malam.
Deana tahu konsekuensi seperti apa yang akan di dapatnya. Tapi semua itu ia lakukan demi Delta—sahabatnya yang paling berharga.
Larasathy yang melihat Deana termenung pun berjalan menghampirinya. Ia menyentuh pundak Deana lembut yang membuat gadis itu menoleh.
"Ma—ma ...."
Wanita itu tersenyum kemudian ikut duduk di samping Deana. "Anak Mama mikirin apa, hm? Delta?" tebaknya.
Deana memandang Larasathy sesaat kemudian mengangguk. "Apa yang Anna lakukan ini sudah benar, Ma?"
"Atau malah salah?" lanjutnya.
"Nggak ada yang salah, Anna. Apa yang kamu lakukan ini sudah benar," ujarnya lembut penuh keibuan.
Deana mendaratkan kepalanya dipundak Larasathy. "Anna hanya ingin menjaga Delta seperti Delta yang selalu menjaga Anna selama ini, Ma. Setidaknya sampai Delta menemukan seseorang yang pantas bersanding dengannya," ungkap Deana.
"Mama mengerti dan mendukung sepenuhnya apapun keputusan kamu. Mama percaya kamu bisa menjaganya." Larasathy mengelus lembut kepala Deana.
Deana menjauhkan kepalanya kemudian menatap Larasathy lekat. Ia tersenyum. "Terimakasih Mama selalu mendukung Anna."
"Sama-sama sayang."
"Anna, apa Mama boleh bertanya sesuatu?"
"Tentu, Ma. Mama boleh bertanya apapun."
Larasathy tersenyum. "Apa ... kamu melakukan semua ini benar hanya karena ingin melindungi Delta? Maksud Mama bukan karena kamu tidak memiliki perasaan lebih?"
Mendengar itu Deana terdiam seketika. Perasaan lebih? Tidak. Deana tidak boleh memiliki perasaan lebih pada Delta. Meski beberapa kali perasaan aneh itu menjalar di hatinya, Delta tetaplah sahabatnya yang berharga. Sampai kapanpun.
Deana menggeleng. "Nggak, Ma. Anna nggak memiliki perasaan apapun pada Delta. Mama ... Mama jangan khawatir. Anna tidak mencintai Delta sama sekali. Mama bisa pegang ucapan Anna."
"Anna sayang ... dengarkan Mama," ujarnya. Ia menyelipkan tangan dikedua pipi Deana. "Mama tidak keberatan sama sekali jika hal itu terjadi. Bahkan, Mama berharap jika kalian bisa saling mencintai suatu saat Nanti. Mama menginginkan kamu sebagai pendamping Delta satu-satunya dan untuk selamanya," paparnya.
"Mama ...."
"Mama tahu ini sulit tapi ... Kamu tahu kan umur mama tidak akan lama lagi? Mama hanya ingin di sisa waktu Mama, kalian berdua bisa bersatu. Mama percaya kamu adalah pendamping yang terbaik untuk Delta."
"Mama ... jangan bilang seperti itu. Anna sedih setiap kali Mama mengatakan hal itu," ujarnya lirih.
Larasathy beralih menggenggam kedua tangan Deana. "Sayang ... berjanji satu hal sama Mama. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan Delta. Ya?"
"Ma ...."
"Mama mohon. Anggap saja ini sebagai permintaan terakhir Mama," ujarnya sambil mengulas senyum.
"Nggak, Ma. Tolong jangan bilang seperti itu ..."
"Janji?" Deana menatapa Larasathy dalam. Wanita di hadapannya saat ini lebih dari sekedar wanita biasa. Lebih dari sekedar ibu angkat dan Deana paling tidak bisa menolak permintaannya. Mau tak mau Deana mengangguk, membuat senyum Larasathy kembali mengembang.
"Deana janji, Ma."
"Terimakasih, sayang."
"Jangan bilang makasih, Ma. Anna akan melakukan apapun demi membuat Mama bahagia. Itu janji Anna."
—
Minggu pagi, Deana sudah berada di apartemen Delta membuat cowok itu kesal dengan tingkahnya. Tapi apa peduli Deana? Sesuai dengan janjinya pada sang Mama, mulai hari ini ia tidak akan membiarkan Delta menghabiskan waktunya bersama Kenna sedikitpun.
"Ayo, Ta. Anter gue ke toko buku pokoknya!" rengek Deana.
"Gue nggak bisa, Na. Ada janji sama Kenna. Lo minta anter Mauren aja apa susahnya sih?" ujar Delta sambil menggulung kemejanya sampai sikut.
"Ck! Mauren nggak bisa. Udah ada janji sama cowoknya."
"Ya udah berangkat sendiri aja. Toh biasanya juga lo apa-apa sendirian. Jangan coba-coba ganggu hari gue sama Kenna, deh!"
"Ta, lo itu tunangan gue dan kita akan menikah. Jadi stop buat berhubungan sama Kenna. Okay?"
"Anna gue males debat sama lo. Mendingan lo berangkat sendiri aja karena gue bener-bener nggak bisa."
"Batalin janji lo sama Kenna, Ta. Gue nggak mau tahu!"
Delta menoleh ke arah Deana. "Lo apaan sih Na? Hah? Kenapa lo jadi nyebelin kayak gini? Mana Deana yang gue kenal cuek dan nggak pedulian? Gue tahu kita tunangan dan bakalan nikah, mungkin. Tapi semua itu hanya saat di hadapan nyokap gue. Okay? Diluar itu, kita bukan siapa-siapa selain lo adalah sahabat gue," katanya dengan tatapan wajah kesal.
"Fine! Gue bakal pergi sendiri," putus Deana akhirnya. Ia berjalan ke luar kamar Delta, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
"Hallo Al, lo Free nggak hari ini?" tanya Deana saat telepon itu sudah tersambung.
"...."
"Em, gue mau minta temenin ke toko buku. Bisa?"
"...."
"Serius? Ok. Bisa jemput gue di—" ucapan Deana langsung terhenti ketika Delta merebut telepon genggamnya dan mematikan sambungan telepon tersebut.
"Lo apa-apaan sih Ta, main rebut-rebut aja?! Gue belum selesai ngomong tahu!" kesal Deana. Tidak lebih tepatnya ia berpura-pura kesal.
"Lo yang apa-apaan! Ngapain lo nelepon Alden, hah? Kurang jelas omongan gue waktu itu?" tanya Delta sewot.
"Ta, lo tenang aja. Gue nggak akan berpaling sama Alden. Gue cuman mencintai elo, kok."
"Na ... gue nggak peduli tentang perasaan lo. Mau lo berpaling atau nggak, bukan urusan gue. Gue cuman nggak suka lo berhubungan sama Alden. Jadi, jangan coba-coba buat pergi sama dia!" ancamnya.
"Apa sih, Ta? Gue rela tuh pada akhirnya biarin lo pergi sama Kenna. Kenapa gue nggak boleh pergi sama Alden? Emangnya lo punya hak apa? Kan kita bukan siapa-siapa."
Delta menghembuskan napasnya jengah. "Fine! Gue bakal temenin lo ke toko buku!" Ia meraih ponselnya, kemudian menelpon seseorang.
"Iya hallo Kenn? Sorry aku nggak bisa pergi sama kamu hari ini. Mendadak ada urusan. "
"...."
"Iya. Aku bakal telepon kamu secepatnya," ucapnya terakhir kemudian mematikan teleponnya.
"Puas?" katanya menatap Deana tajam.
Deana tersenyum puas. Rencananya berjalan dengan sangat mulus. "Gitu dong! Dari tadi, Kek. Gue kan jadi nggak perlu repot-repot telepon Alden."
"Jangan sebut nama si brengsek itu lagi di depan gue!" katanya dengan tatapan yang masih tajam lalu berjalan melewati Deana untuk menuruni tangga.
—
Kenara membanting barang-barang yang ada di kamarnya kesal. Beberapa detik yang lalu, Delta baru saja menelponnya dan membatalkan janjinya. Rencana yang sudah ia susun untuk menjerat cowok itu pun kini tak berguna.
Tiba-tiba, seorang cowok berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi, memasuki kamar Kenara dan mendekati gadis itu. Membuat Kenara refleks mundur perlahan hingga mentok ke tembok. Cowok itu lantas mengunci Kenara dengan satu tangannya. "Gue butuh lo!" katanya pendek.
"Gue nggak mau!" jawab Kenara sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Gue nggak nerima penolakan, Kenna!" Ia mencengkram rahang Kenara kuat.
"Atau lo mau gue sebarin siapa lo sebenernya, hah?" seringai tajam tercetak jelas di bibir cowok tersebut.
"Lo udah janji gak bakal ngelakuin itu!"
“Kalau begitu, jangan pernah coba-coba buat nolak, Kenna!” peringatnya dengan nada tegas.
“Lo selalu kasar!”
Seketika ia tersenyum miring. "Tapi lo menyukainya. Right?"
Kenara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sungguh tidak bisa menatap cowok itu sekarang. Kenara tidak bisa mengelak jika hati kecilnya mengatakan jika ia memang menyukainya. Lelaki yang telah mengambil hal paling berharga di hidupnya itu sangat lihai dalam membuat Kennara menginginkannya lagi dan lagi.
"Lo bilang bakal berhenti buat jadi player. Tapi apa? Lo masih aja sama cewek lain. Gue enggak lebih dari sekedar pemuas lo aja!"
"Selama lo belum bisa penuhin syarat gue, gue masih akan tetap jadi Arash yang semua orang kenal. Paham?"
Cowok itu meraih dagu Kenara hingga menatapnya. "Dan, jangan pernah berkata kalau gue hanya mencari kepuasan semata karena faktanya lo juga menikmatinya, kan?”
Kennara menelan salivanya susah payah, masih menatap lekat lelaki di hadapannya. Bahkan ketika lelaki itu mendaratkan bibirnya lalu kemudian melumat bibir Kennara lembut, ia seolah kehilangan akal dan refleks mengalungkan tangannya di leher lelaki tersebut. Ia juga mulai balas melumat bibir kenyal lelakinya.
“Lets replay our game!”Lelaki itu kemudian memapah Kennara ke ranjang dan menjatuhkan tubuh mereka diatasnya dengan posisi Kennara berada di bawah.
—
Setelah sekitar 4 jam berputar-putar di gramedia dan makan siang, keduanya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan keduanya hanya saling diam. Deana sesekali melirik ke arah Delta yang sedang fokus menyetir. Sejak malam itu, Delta benar-benar merubah sikapnya. Nggak ada lagi Delta yang jahil dan menyebalkan, nggak ada lagi Delta yang memohon bantuannya mengerjakan tugas, nggak ada lagi Delta yang tiba-tiba membuatkan hot chocolate kesukannya, nggak ada lagi Delta yang mengganggunya. Yang ada kini hanyalah sosok cowok dingin dan ketus.
Wajar ... Deana bisa memahaminya karena cowok itu pun pasti merasa bingung dengan perubahannya yang tiba-tiba. Lagipula, ini adalah konsekuensi yang harus Deana terima. Setidaknya sampai Delta sadar jika Kenna tidak sebaik yang lelaki itu kira selama ini.
Sekitar 45 menit, mereka sampai di rumah. Catat rumah. Bukan apartemen. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, Delta keluar lebih dulu di susul oleh Deana.
Di ruang tamu, terlihat Mamanya sedang berbicara dengan seorang perempuan. Sepertinya itu ada hubungannya dengan rencana pernikahan Delta dan Deana melihat beberapa gaun terpajang di dekat mereka.
"Mama ...." panggil Delta lembut sambil mengalungkan tangannya di pundak Larasathy.
"Delta, anak Mama. Syukurlah kamu datang di saat yang tepat. Anna mana?"
"Anna di sini Ma," sahut Deana dari arah belakang.
Larasathy menoleh dan tersenyum hangat. "Sini sayang. Ada yang Mama ingin bicarakan dengan kalian berdua," katanya.
Anna berjalan mendekati Larashaty. Keduanya pun duduk di satu sofa yang sama.
"Berhubung pernikahan kalian sebentar lagi, Mama sudah mempersiapkan semuanya. Lihat, ada beberapa contoh undangan. Coba kalian berdua pilih mana yang paling cocok," katanya sambil menyerahkan undangan itu pada Delta dan Deana.
"Ma ...." panggil Delta pelan.
"Sonia, tolong kamu bantu pilihkan gaun yang cocok untuk calon menantu saya, ya?"
Perempuan yang merupakan designer khusus keluarga Altheraldo itupun mengangguk. "Ayo, akan kubantu pilihkan beberapa gaun untukmu," katanya bersemangat.
Deana mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Sonia menjauh dari Delta dan Mamanya. Deana paham apa yang akan mereka bahas.
Larashaty menggenggam erat lengan anak kesayangannya. Ia tahu ini tidak adil untuk Delta. Ia tahu ia memaksakan kehendaknya sendiri. Tapi, insting seorang ibu tidak akan pernah salah.
"Delta, Mama tahu kamu pasti marah karena mama mengambil keputusan tanpa persetujuan kamu. Tapi Ta, kamu tahu kan umur Mama nggak akan lama lagi? Mama hanya ingin melihat kamu menikah di sisa umur Mama," paparnya.
"Ma ... Mama ngomongnya kok gitu, sih?"
"Memang benar, kan? Penyakit jantung Mama sudah sangat parah, Delta. Mama tidak yakin bisa melihat kamu menikah dalam kurun waktu 5-6 tahun yang akan datang."
"Tapi Ma, umur Delta masih sangat muda. Dan, Anna ... Delta tidak mungkin menikahi Anna, Ma. Mama tahu kan Delta sudah menganggap Anna seperti adik Delta sendiri."
"Tapi Anna kemarin bilang kalau dia sebenarnya mencintai kamu Delta. Dan mama pikir dia cukup untuk kamu."
"Ma ...."
"Kalau kamu menolak pernikahan ini. Itu artinya kamu membuat Mama sedih dan waktu Mama meninggalkan dunia ini akan lebih cepat," ujarnya lirih.
Delta mendesah. Ia paling tidak bisa membuat Mamanya sedih. Tapi haruskah dirinya melakuakan pernikahan tidak masuk akal ini?
"Baiklah, Ma. Delta akan melakukannya untuk Mama," putusnya.
Senyum mengembang serta binar bahagia terlihat jelas di wajah Larasathy. "Kamu serius?"
Delta mengangguk. "Asal Mama selalu bahagia."
—
Sonia entah pergi ke mana dan saat ini Deana kesulitan menarik resleting gaunnya. Ia sudah mencobanya tapi tetap tidak bisa. Namun tiba-tiba saja seseorang membantunya menaikkan resleting itu hingga punggungnya yang terkespos kini tertutup sempurna. Deana membalikkan tubuhnya dan mendapati Delta yang menatapnya datar.
"Udah selesai ngomong sama Mamanya?" tanya Deana.
"Iya," jawab Delta pendek.
"Gue terima pernikahan konyol ini," ujar Delta tanpa diminta.
"Baguslah. Lo emang harus terima mau nggak mau," timpal Deana cuek.
"Gimana gaun ini menurut lo? Gue pantes gak pake ini? Hm?"
"Na, gue datang ke sini bukan buat ngomentarin gaun lo. Ada yang mau gue bicarain."
"Ok. Ngomong aja. Gue dengerin, kok." Deana masih sibuk mengamati gaun yang melekat pas di tubuhnya.
"Gue bakal buat peraturan. Pertama, selama di apartemen kita nggak bakal tidur sekamar. Kita bakal tidur sekamar seandanya kita ada di rumah atau Mama Papa datang ke apartemen, dengan catatan lo tidur di sofa."
"Ok."
"Kedua, gue nggak mau lo halang-halangin gue buat dapetin Kenna lagi. Gue bakal tetep kejar dia sekalipun kita udah menikah. Karena setelah dapetin Kenna lagi, gue akan segera urus perceraian kita.”
"Nggak. Gue nggak setuju. Dan Mama juga pasti bakal shock berat kalau sampai tahu hal ini."
"Gue nggak peduli lo setuju atau nggak karena gue gak minta persetujuan lo. Soal Mama, gue yakin Mama pasti ngerti," tukas Delta keras kepala.
"Ketiga ... Gue nggak mau denger apapun lagi yang berhubungan sama Alden. Jadi pastiin lo jauh-jauh dari dia."
"Kenapa gue gak boleh sementara lo boleh?"
"Karena gue udah anggap lo sebagai adik gue sendiri dan gue nggak mau sampai Alden ngerusak masa depan lo!"
"Kalau gitu lo juga nggak boleh berhubungan lagi sama Kenna apapun alasannya. Suka gak suka. Terima gak terima. Karena Gue punya hak atas itu, Ta!" balas Deana sengit.
"Anna! Jangan egois. Gue udah setuju sama pernikahan ini. Jadi anggap aja point kedua adalah timbal balik yang gue dapetin."
"Sekalipun gue mohon-mohon di kaki lo supaya berhenti berhubungan lagi sama Kena?"
"Ana lo kenapa sih jadi segininya banget sama gue, hah? Lo berubah tahu, gak?! Dan gue nggak suka!"
"Karena gue mencintai elo! Gue cinta sama lo, Delta!!!!" teriak Deana.
Delta menatap datar gadis di hadapannya. "Saran gue, jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal buat orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia," katanya lalu berbalik dan melenggang pergi. Meninggalkan Deana yang terpatri di tempatnya.
Sakit? Yah, Deana merasakan hal itu. Akhir-akhir ini, tiap kali mereka berdebat, hati Deana berdenyut nyeri entah karena alasan apa. Padahal dulu, sekalipun Delta mengatakan hal yang menyakitkan Deana merasa biasa saja dan tidak peduli.
Maafin gue, Ta. Tapi gue ngelakuin semua ini demi lo. Gue nggak mau pada akhirnya nanti lo mengambil keputusan yang salah. Gue nggak mau lo terjebak sama orang yang sama sekali nggak menginginkan elo.
Flashback on
Saat menunggu Mauren yang sedang ada keperluan dengan anak Teknik di gedung Teknik, Deana penasaran dengan Fakultas Teknik dan berjalan menyusuri koridor untuk menjelajahi gedung tersebut.
Sampai di lorong yang lumayan sepi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan dua orang yang salah satu suaranya terasa familiar di telinganya.
Saat mendekat, ia melihat Kenara bersama seseorang yang tidak di kenalnya. Sambil bersandar pada tembok, Deana berusaha menangkap pembicaraan mereka yang sepertinya sangat serius.
"Gimana? Lo udah dapetin Delta balik?" tanya cowok itu.
"Belum. Sedikit lagi."
"Bagus. Pastiin kalau pada akhirnya lo bisa bikin dia balik sama lo."
"Buat dia nggak bisa berkutik sedikitpun. Kalau perlu, lo jebak dia dan setelah itu lo kuras hartanya sebanyak-banyaknya kemudian tinggalin dia. Itupun ... kalau lo mau jadi satu-satunya wanita di hidup gue. Gue juga janji nggak bakal jadi player lagi."
"Janji?"
"Gue janji."
Flashback off.
—
“Semakin pelik, berarti semakin besar kekuatan cinta itu diuji. Sampai dimana keduanya saling bertahan tidak mau mengakui.” — The Endless Love—Deana langsung meninggalkan kelas tepat ketika seorang dosen masuk bahkan tidak memperdulikan panggilan dosen tersebut. Menurutnya itu sama sekali tidak penting karena yang lebih penting sekarang adalah mama Larashaty. Tadi asisten rumahnya menelepon dan mengatakan jika keadaan mama Larashaty tiba-tiba saja memburuk kemudian tidak sadarkan diri.Sepanjang jalan menuju gerbang utama, Deana terus berusaha menghubungi Delta yang sudah menghilang sejak mata kuliah kedua tadi. Tapi nihil, cowok itu tidak juga mengangkat teleponnya. Di panggilan ke 12 Deana menyerah, Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan buru-buru menyetop taksi yang kebetulan lewat di hadapannya.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya ia merapalkan Doa un
“Kalau yang lo mau bukan gue? Gue bisa apa?” — Deana•••Sejak pembicaraan Delta dan Deana 2 minggu yang lalu, Delta selalu mengajak Kenna ke apartemennya, hampir setiap perkuliahan selesai. Deana kadang muak saat tengah malam gadis itu belum juga beranjak pulang. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu kekperlihatkan kemesraannya dengan Kenna di hadapannya hanya agar membuat Deana cemburu kemudian menyerah. Deana tahu itubtapi ia tidak bisa terus-terusan memberontak seperti yang sudah-sudah karena itu hanya akan membuat usahanya selama ini akan sia-sia. Biarlah, untuk beberapa waktu ia membiarkan semua mengalir sesuai alur yang sudah Delta tentukan.Deana mengarahkan pandangannya ke sekitar kemudian menghela napasnya dalam. Ia sudah selesai mengemas semua barang-barangnya dan siap pergi. Hari
Sabtu pagi. Delta terbangun dari tidur lelapnya karena merasa terganggu oleh bunyi jam beker yang terus saja berdering. Masih dengan setengah mengantuk, ia bangun dan mencari sumber suara tersebut lalu mematikannya. Delta tidak ingat kapan ia mulai menggunakan jam beker karena sehafalnya, dirinya tidak pernah menggunakan benda yang menurutnya mengganggu indera pendengaran dan tidur gantengnya.Tak mau ambil pusing memikirkannya, Delta memilih untuk beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.Jam 08.45, Delta turun ke bawah dengan wajah yang sedikit lebih segar. Ia berjalan ke arah pantri, membuka kulkas dan mengambil air minum.Sambil bersandar pada meja dapur, Delta menatap ke sekeliling. Apartemennya terasa sunyi dan sepi seperti lama tidak ditempati. Padahal biasanya tidak. Setiap pagi telinganya selalu mendapat nutrisi omelan-omelan Deana mengingat dirinya yang susah dibangunin lah, ngaret lah, susah di suruh sarapan lah,
Setiap orang pasti pernah mengalami hal buruk dalam hidup. Entah kecelakaan, kehilangan, ketidakadilan, dan lain sebagainya termasuk Kennara. Orang tuanya meninggal saat umurnya 12 tahun dalam kecelakaan beruntun di jalan tol dan Itu menjadi pukulan sekaligus trauma yang berat di usianya yang masih sangat belia. Setelah kejadian itu, Kennara hidup bersama kakek dan neneknya hingga usia 15 tahun kemudian ikut bersama om dan tantenya hingga saat ini. Om dan tantenya adalah orang yang sibuk sehingga jarang sekali ada di rumah. Tiga anak mereka pun berkuliah di kota yang berbeda sehingga rumah besar yang ditempatinya terasa begitu sepi dan hampa. Kesepian yang dirasakan oleh Kennara terasa begitu nyata dan membuatnya haus akan kasih sayang. Wajar, karena saat hidup bersama kakek neneknya, Kennara selalu dilimpahi dengan kasih sayang selayaknya orangtua kandung. Suatu hari ia bertemu dengan Arash. Sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan per
“Kehilangan akan terasa begitu nyata ketika kebodohan menjadi penyebabnya.” —The Endless Love•••Jika manusia diciptakan dengan pilihan bisa merubah takdir, Deana ingin merubah segalanya. Merubah dunianya agar tidak bertemu dengan Delta atau tidak terlibat terlalu jauh dengan urusan pria itu dan memilih untuk merancang masa depan yang cerah secerah matahari pagi. Tapi dia bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan takdir hamba-Nya. Dan Deana juga tidak bisa menyesali semua yang terjadi mengingat itu juga keputusannya sendiri.Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang tapi Deana seolah enggan untuk beranjak dari balkon kamarnya. Banyak yang ia pikirkan. Tentang hidupnya, takdir dan juga Delta.Delta? Ah, pria itu ... Ini sudah berlalu lebih dari satu bulan, tapi tidak ada tanda-tanda jika Delta mencarinya. Deana tersenyum miris menatap kosong pada pemandangan di depan
“A—Alden?” ucap Delta terbata-bata, sama sekali tak menyangka.“Iya, ini gua Alden. Terkejut, eh?” ejeknya di sebrang telepon.Delta langsung mengepal lengannya kuat-kuat, emosinya meluap. “Sialan lo Alden! Lo bawa kabur kemana Anna? Hah?”“Kemana pun bukan urusan lo,” timpal Alden dengan nada begitu santai tapi berhasil membuat emosi Delta semakin tersulut.“Bukan urusan gua lo bilang? Anna istri gua bangsat!”“Istri yang gak lo akui maksudnya?” Koreksi Alden sengaja.“Gak usah banyak bacot deh lo! Kasih tahu gua di mana Anna, atau—”“Atau apa? Lo bakal lapor polisi, hah? Laporin aja, gue sama sekali nggak takut.”“Lo nantang, hah?”Di sebrang, Alden terdengar tertawa, mem
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Tiga hari pasca jebakan, Kenna mendatangi apartemen Delta dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang santai. Ya, wanita itu tidak terima dan sangat marah pada Delta atas apa yang lelaki itu lakukan pada Arash. Kenna menggedor-gedor pintu apartemen tersebut beberapa kali sampai akhirnya orang yang ia inginkan muncul dibalik pintu. “Jahat lo, Ta! Jahat! Keterlaluan! Gak punya hati!” protes Kennara yang langsung menyerang dada bidang Delta berkali-kali. Membuat Delta yang berdiri di pintu refleks melangkah mundur kembali ke dalam. Delta tidak menggubris sama sekali dan memilih membiarkan Kennara melampiaskan segala amarahnya. “Apa yang lo lakuin ke Arash? Hah? Kenapa lo buat dia masuk penjara? Kenapa Delta? Kenapaaaaa?!” “Lo jahat! Lo jahat Deltaaaaa!” Pukulan Kennara mulai melemah, sepertinya energi gadis itu sudah mulai habis, menyisakan isak tangis dan punggung yang
Delta langsung mendatangi rumah Kennara diikuti oleh Alden. Emosinya benar-benar ada dipuncak kemarahan sekarang. Delta tahu, menghadapi seorang wanita bukan sesuatu yang gentle, tapi ini bukan soal tantang menantang, ini soal kemunafikan yang selama ini gadis itu perlihatkan.Setelah mengetahui di mana Kenna berada dari asisten rumah tangganya, Delta dan Alden langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya memang bukan Kennara namun gadis itu pasti tahu di mana orang tersebut."Kenna buka Ken! Gua tahu lu di dalam!""Lo buka atau gue dobrak nih pintu?!" Delta memberi penawaran.Tak berselang lama, gadis itu pun keluar dari kamarnya. "Apa sih, Ta? Gue abis dari-""Gak penting lo abis dari mana! Gua cuman pengen lo jawab pertanyaan gue dengan sejujur jujurnya!"Delta menatap gadis dihadapannya lekat. Kennara tampak ketakutan namun Delta ti
Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan sampai batas yang tidak ditentukan, Delta memutuskan agar Deana tinggal di rumah. Itu jauh lebih aman mengingat penjaan rumah yang ketat daripada di apartemen.Delta tidak ingin diam saja dan menunggu. Ia sudah lelah dan harus menyelesaikan semua masalahnya. Apapun tujuan peneror yang mengaku-ngaku sebagai Sherine itu, Delta tidak akan pernah membiarkannya menang dan mendapatkan apa yang diinginkannya.Setelah mengantar Deana pulang ke rumah yang disambut hangat oleh sang Papa, Delta pamit untuk menelusuri tentang Sherine. Hal Yang akan Delta lakukan pertama kali adalah mengunjungi sekolah SMAnya dan meminta data serta alamat atas nama Sherine.Sekitar satu jam mengemudi, akhirnya ia sampai di SMAnya. Delta memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tamu kemudian keluar dari mobilnya menuju lobi.Saat di lobi, ia di sambut oleh guru semasa SMA nya du
Semenjak Delta dan Deana memutuskan untuk kembali memulai segalanya dengan cara yang benar, keduanya seperti menemukan kehidupan baru yang lebih berwarna. Saling mengisi, berbagi hati, dan terutama belajar menjadi calon orang tua yang baik. Delta—lelaki itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya pada Deana dan berubah menjadi sangat posesif.Contohnya saja ketika Deana membereskan apartemen mereka, Delta pasti akan ngomel-ngomel dan menyuruh Deana untuk berhenti dari aktivitasnya seperti menyapu, mengepel lantai, dan lainya. Delta bahkan memilih untuk mempekerjakan pembantu agar Deana tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon anaknya. Padahal yang dilakukan Deana bukan aktivitas berat tapi Delta mendadak berubah menjadi lelaki yang keras kepala dan tidak mau di debat.Deana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Delta yang menurutnya berlebihan itu. Tapi disamping itu, Ia sangat-sangat bersyukur karena semua kini kemba
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so