Sabtu pagi. Delta terbangun dari tidur lelapnya karena merasa terganggu oleh bunyi jam beker yang terus saja berdering. Masih dengan setengah mengantuk, ia bangun dan mencari sumber suara tersebut lalu mematikannya. Delta tidak ingat kapan ia mulai menggunakan jam beker karena sehafalnya, dirinya tidak pernah menggunakan benda yang menurutnya mengganggu indera pendengaran dan tidur gantengnya.
Tak mau ambil pusing memikirkannya, Delta memilih untuk beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Jam 08.45, Delta turun ke bawah dengan wajah yang sedikit lebih segar. Ia berjalan ke arah pantri, membuka kulkas dan mengambil air minum.
Sambil bersandar pada meja dapur, Delta menatap ke sekeliling. Apartemennya terasa sunyi dan sepi seperti lama tidak ditempati. Padahal biasanya tidak. Setiap pagi telinganya selalu mendapat nutrisi omelan-omelan Deana mengingat dirinya yang susah dibangunin lah, ngaret lah, susah di suruh sarapan lah, lupa buat tugas lah, dan lain sebagainya yang membuat kupingnya seperti berakar serabut.
Tapi, mulai hari ini semuanya berubah 180° dan Delta harus mulai terbiasa dengan kehidupan barunya yang tanpa Deana.
Tanpa Deana? Ia bahkan tidak pernah berani membuat doa agar hal ini terjadi dalam hidupnya. Tidak sama sekali.
Delta menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum seolah mengejek jalan hidupnya. Ia kemudian berjalan ke arah meja, mengambil roti dan mulai mengoleskan selai.
Selain harus membuat sarapannya sendiri, ia sepertinya harus mengubah kebiasaannya untuk tidak meminum kopi sebagai teman sarapan. Biasanya, Deana akan melakukannya untuknya, berhubung kini hanya tinggal dirinya dan Delta paling malas membuat kopi sendiri, ia memutuskan untuk mengganntinya dengan yang ada di kulkas saja. Atau mungkin ia bisa membeli kopi kemasan yang siap minum sebagai stock.
Di kunyahan pertama, Delta menaruh kembali roti tersebut ke piring, tidak melanjutkan acara sarapannya yang sendirian itu dan memilih untuk buru-buru kembali ke atas.
Delta membuka pintu kamar yang terlihat sangat berantakan gara-gara ulahnya itu. Dengan gusar, ia mulai mencari benda yang kemarin sempat dia banting namun tak menemukannya, terselip entah di mana.
"Sialan!" rutuknya kesal. Ia menyerah lalu keluar dari kamar tersebut.
Setelah mengambil kunci mobil di kamarnya, Delta segera bergegas meninggalkan apartemen. Ia hampir lupa jika hari ini memiliki janji dengan Kenna.
—
"Ta?" panggil Kenna pelan. Tetapi lelaki yang sedari tadi memandang ke arah luar restoran itu tidak menggubris sama sekali.
"Delta!" ulangnya dengan nada sedikit lebih tinggi. Namun, masih tidak ada jawaban.
Merasa kesal, Kennara menarik dagu Delta mengarah ke arahnya yang refleks membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya.
"Hah? Kenapa, Ken?" tanya Delta refkeks.
"Kamu lagi mikirin apa sih, Ta? Hah? Sampe aku dicuekin gitu? Gak asik banget sih kamu!" keluh Kennara sambil memasang wajah cemberut.
"Ha? Astaga Ken maaf aku gak maksud nyuekin kamu," ucap Delta sambil meraih lengan Kenarra dan menciumnya lembut.
"Maafin aku ya. Aku bener-bener gak maksud kayak gitu," lanjutnya sambil menatap Kennara dengan penuh penyesalan.
Kennara tersenyum, melepaskan tangannya lalu mengelus lembut pipi Delta. "Iya, aku maafin. Kamu lagi mikirin apa emang? Hm?"
"Anna, Ken... Dia pergi dari rumah," ungkap Delta jujur.
"Ha?" Kennara terlihat terkejut. "Kok ... kok bisa, sih?"
"Aku juga nggak tahu apa alasannya, tapi yang bikin aku khawatir adalah ... dia pergi sama cowok. Kamu tahu sendiri kan Ken gimana Anna? Dia bahkan nggak punya temen deket cowok selain aku. Gimana kalau dia kenapa-napa? Gimana kalau ... akkkhhhh—" Delta tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Ta ..." panggil Kennara pelan. "Kamu harus cari Deana sampai ketemu, ya? Biar gimana pun dia isteri kamu."
"Ken?" Delta menatap gadis cantik di hadapannya lekat. "Aku udah bilang kan pernikahan kami hanya formalitas. Aku pasti bakal cari Anna sampai ketemu tapi bukan karena dia isteri aku. Kamu tahu kan, kalau aku udah anggap dia adik aku sendiri," paparnya.
"Tapi Ta ... tetep aja—"
"Kennara, sayang," Delta kembali meraih kedua tangan Kennara dan menggenggamnya erat. "Pokoknya aku cuman sayang sama kamu. Cuman kamu wanita yang aku inginkan. Gak ada yang lain sekalipun itu Deana. Okay?"
Kennara tersenyum senang. "Kamu gak bohong, kan?"
"Sejak kapan seorang Delta berani bohong sama orang yang paling dia sayang? Hmm?"
Gadis itu menggeleng pertanda Delta tidak pernah berbohong padanya. Bagaimana bisa berbohong jika selama ini Delta selalu menjadi pasangan yang sempurna. Mengerti apapun yang Kennara inginkan dan selalu mengabulkan permintaannya. Mobil, baju, tas branded, sepatu mahal, ponsel model terbaru, perhiasan, semuanya terkecuali satu, making love.
"Kalau gitu, gimana kalau aku gantiin tugas Deana?" Kennara mengusulkan.
Delta mengernyit tidak mengerti.
"No no no. Aku nggak tinggal di apartemen kamu. Maksud aku, gimana kalau aku yang bangunin kamu tiap pagi dan buatin kamu sarapan? That's good idea, right?" ujar Kennara penuh semangat.
Mendengar penuturan tersebut, Delta terdiam sejenak, mempertimbangkan usul yang dilayangkan oleh Kennara.
"Baiklah," putus Delta akhirnya. Ia tersenyum sambil mengusap penuh sayang pipi Kennara. Salah satu kelemahannya memang susah menolak apapun yang berhubungan dengan Kennara.
Ah, bukankah hidupnya akan kembali sempurna? Tidak, maksudnya lebih sempurna karena sekarang, Kennara yang akan melakukan segalanya untuknya. Delta tidak sabar menunggu hari esok dimulai.
—
Arash melempar anak busur pada papan target berwajah Delta, beberapa meter di hadapannya. Ia tersenyum puas ketika anak busurnya mengenai bagian-bagian tertentu seperti mata, pipi, dan mulut seolah itu benar-benar targetnya yang asli. Dia juga tidak segan mengganti kertas wajah Delta dengan yang baru ketika yang sebelumnya sudah penuh dengan bekas tancapan anak busurnya.
Apa yang sempat direnggut dari tangannya, Arash pastikan orang itu sendiri yang akan menanggung akibatnya. Arash tidak suka menggunakan orang lain sebagai ancaman, untuk itu Deana tidak dijadikannya opsi karena menurutnya, permainannya akan mudah selesai.
Maka dari itu, ia menggunakan Kennara, gadis polos yang amat mencintainya dan rela melakukan apa saja untuk dirinya.
Mata Arash memicing tajam pada objek di hadapannya. "Bakal gue pastiin lo mati di tangan gue, badebah!" tekadnya tak main-main, kembali melayangkan busur kecill yang menancap tepat di kening Delta.
Arash meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja sampingnya. Ia mencari nama Kennara dan segera mengetikkan sesuatu di sana.
Cepatlah pulang sayang. Aku mengingin, ah tidak. Maksudku, aku merindukanmu. √√
—
Pukul 05.30 pagi, Kennara bangun dari tidur ketika alarm ponselnya berdering untuk yang kesekian kali. Ia segera mencari ponsel tersebut dan mematikan alarmnya. Perlahan, Kennara memindahkan lengan besar yang melingkar di pinggangnya, berusaha agar sebisa mungkin tidak membangunkan pria itu. Masih ditutupi oleh selimut, Kennara meraih lingerie hitam yang berada di bawah ranjangnya, memakainya secepat kilat kemudian segera beranjak dari tempat tidur.
Tiga puluh menit berlalu, Kennara keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi. Namun, Ia kaget saat melihat Arash sudah bangun dan kini sedang menatapnya.
"Kamu akan pergi pagi-pagi begini?" tanya Arash sambil bersandar pada bantal di belakang punggung. Menampilkan tubuh bagian atasnya yang tanpa sehelai benang.
"Ah? Iya. Mulai hari ini, setiap pagi aku akan pergi ke apartemen Delta untuk membangunkannya," jawab Kennara jujur. "Kamu tidak keberatan, bukan?" lanjutnya.
"Aaaam, tidak. Asal kamu tidak melupakan tugas utamamu."
Kennara tersenyum kemudian berjalan mendekati Arash. Ia duduk tepat di pangkuan lelaki itu sambil melingkarkan tangannya pada leher Arash.
"Tentu saja tidak. Aku akan segera melakukannya untukmu. Setelah itu, aku pastikan akan mencapakknya dan kita akan hidup bahagia," ujarnya diiringi senyum mengembang.
Arash meremas dada Kennara sekilas, "Good! Cepat lakukanlah, jika kau ingin hidup bersamaku."
"Sure! Aku hanya butuh meyakinkannya sedikit lagi,” ucap Kennara sangat percaya diri. Ia bangkit dari posisinya, disusul oleh Arash.
"Baiklah. Lakukan tugasmu dengan baik." Arash kemudian mengambil kaos miliknya lalu memakainya.
"Jangan lupa minum pilmu. Aku tidak ingin kau melewatkannya meski hanya sekali. Paham?"
"I—iya," jawab Kennara patuh.
Mendengar jawaban tersebut, Arash tersenyum lalu mengelus pucuk kepala Kennara. "Good girl!" katanya, kemudian berlalu dari kamar gadis tersebut.
Kennara memandang nanar kepergian Arash. Dia mencintai lelaki itu, sangat. Bahkan, dirinya rela melakukan semua ini hanya demi Arash bersamanya. Meskipun perlakuan lelaki itu dingin dan kasar, Kennara tetap mencintainya. Ia yakin jika dirinya bisa merubah Arash secara perlahan dengan mengikuti semua alurnya.
Seolah teringat sesuatu, Kennara segera berjalan ke sisi meja rias dan mengambil botol kecil berisi pil. Mengeluarkannya satu butir dan segera meminunnya.
“Hampir saja lupa!” ujarnya menghela napas lega. Setelah itu Kennara langsung mengambil tas kecilnya dan bergegas ke apartemen Delta untuk melakukan tugas barunya.
—
Hello! Im so sorry kalau bab ini pendek banget. Semoga tetap membuat kalian menikmati cerita absurd ini ya. ❤
See u next part, guys!
Salam penulis amatir,
CHACHARAMEL
Setiap orang pasti pernah mengalami hal buruk dalam hidup. Entah kecelakaan, kehilangan, ketidakadilan, dan lain sebagainya termasuk Kennara. Orang tuanya meninggal saat umurnya 12 tahun dalam kecelakaan beruntun di jalan tol dan Itu menjadi pukulan sekaligus trauma yang berat di usianya yang masih sangat belia. Setelah kejadian itu, Kennara hidup bersama kakek dan neneknya hingga usia 15 tahun kemudian ikut bersama om dan tantenya hingga saat ini. Om dan tantenya adalah orang yang sibuk sehingga jarang sekali ada di rumah. Tiga anak mereka pun berkuliah di kota yang berbeda sehingga rumah besar yang ditempatinya terasa begitu sepi dan hampa. Kesepian yang dirasakan oleh Kennara terasa begitu nyata dan membuatnya haus akan kasih sayang. Wajar, karena saat hidup bersama kakek neneknya, Kennara selalu dilimpahi dengan kasih sayang selayaknya orangtua kandung. Suatu hari ia bertemu dengan Arash. Sosok lelaki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan per
“Kehilangan akan terasa begitu nyata ketika kebodohan menjadi penyebabnya.” —The Endless Love•••Jika manusia diciptakan dengan pilihan bisa merubah takdir, Deana ingin merubah segalanya. Merubah dunianya agar tidak bertemu dengan Delta atau tidak terlibat terlalu jauh dengan urusan pria itu dan memilih untuk merancang masa depan yang cerah secerah matahari pagi. Tapi dia bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan takdir hamba-Nya. Dan Deana juga tidak bisa menyesali semua yang terjadi mengingat itu juga keputusannya sendiri.Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang tapi Deana seolah enggan untuk beranjak dari balkon kamarnya. Banyak yang ia pikirkan. Tentang hidupnya, takdir dan juga Delta.Delta? Ah, pria itu ... Ini sudah berlalu lebih dari satu bulan, tapi tidak ada tanda-tanda jika Delta mencarinya. Deana tersenyum miris menatap kosong pada pemandangan di depan
“A—Alden?” ucap Delta terbata-bata, sama sekali tak menyangka.“Iya, ini gua Alden. Terkejut, eh?” ejeknya di sebrang telepon.Delta langsung mengepal lengannya kuat-kuat, emosinya meluap. “Sialan lo Alden! Lo bawa kabur kemana Anna? Hah?”“Kemana pun bukan urusan lo,” timpal Alden dengan nada begitu santai tapi berhasil membuat emosi Delta semakin tersulut.“Bukan urusan gua lo bilang? Anna istri gua bangsat!”“Istri yang gak lo akui maksudnya?” Koreksi Alden sengaja.“Gak usah banyak bacot deh lo! Kasih tahu gua di mana Anna, atau—”“Atau apa? Lo bakal lapor polisi, hah? Laporin aja, gue sama sekali nggak takut.”“Lo nantang, hah?”Di sebrang, Alden terdengar tertawa, mem
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Tiga hari pasca jebakan, Kenna mendatangi apartemen Delta dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang santai. Ya, wanita itu tidak terima dan sangat marah pada Delta atas apa yang lelaki itu lakukan pada Arash. Kenna menggedor-gedor pintu apartemen tersebut beberapa kali sampai akhirnya orang yang ia inginkan muncul dibalik pintu. “Jahat lo, Ta! Jahat! Keterlaluan! Gak punya hati!” protes Kennara yang langsung menyerang dada bidang Delta berkali-kali. Membuat Delta yang berdiri di pintu refleks melangkah mundur kembali ke dalam. Delta tidak menggubris sama sekali dan memilih membiarkan Kennara melampiaskan segala amarahnya. “Apa yang lo lakuin ke Arash? Hah? Kenapa lo buat dia masuk penjara? Kenapa Delta? Kenapaaaaa?!” “Lo jahat! Lo jahat Deltaaaaa!” Pukulan Kennara mulai melemah, sepertinya energi gadis itu sudah mulai habis, menyisakan isak tangis dan punggung yang
Delta langsung mendatangi rumah Kennara diikuti oleh Alden. Emosinya benar-benar ada dipuncak kemarahan sekarang. Delta tahu, menghadapi seorang wanita bukan sesuatu yang gentle, tapi ini bukan soal tantang menantang, ini soal kemunafikan yang selama ini gadis itu perlihatkan.Setelah mengetahui di mana Kenna berada dari asisten rumah tangganya, Delta dan Alden langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya memang bukan Kennara namun gadis itu pasti tahu di mana orang tersebut."Kenna buka Ken! Gua tahu lu di dalam!""Lo buka atau gue dobrak nih pintu?!" Delta memberi penawaran.Tak berselang lama, gadis itu pun keluar dari kamarnya. "Apa sih, Ta? Gue abis dari-""Gak penting lo abis dari mana! Gua cuman pengen lo jawab pertanyaan gue dengan sejujur jujurnya!"Delta menatap gadis dihadapannya lekat. Kennara tampak ketakutan namun Delta ti
Mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan sampai batas yang tidak ditentukan, Delta memutuskan agar Deana tinggal di rumah. Itu jauh lebih aman mengingat penjaan rumah yang ketat daripada di apartemen.Delta tidak ingin diam saja dan menunggu. Ia sudah lelah dan harus menyelesaikan semua masalahnya. Apapun tujuan peneror yang mengaku-ngaku sebagai Sherine itu, Delta tidak akan pernah membiarkannya menang dan mendapatkan apa yang diinginkannya.Setelah mengantar Deana pulang ke rumah yang disambut hangat oleh sang Papa, Delta pamit untuk menelusuri tentang Sherine. Hal Yang akan Delta lakukan pertama kali adalah mengunjungi sekolah SMAnya dan meminta data serta alamat atas nama Sherine.Sekitar satu jam mengemudi, akhirnya ia sampai di SMAnya. Delta memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tamu kemudian keluar dari mobilnya menuju lobi.Saat di lobi, ia di sambut oleh guru semasa SMA nya du
Semenjak Delta dan Deana memutuskan untuk kembali memulai segalanya dengan cara yang benar, keduanya seperti menemukan kehidupan baru yang lebih berwarna. Saling mengisi, berbagi hati, dan terutama belajar menjadi calon orang tua yang baik. Delta—lelaki itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya pada Deana dan berubah menjadi sangat posesif.Contohnya saja ketika Deana membereskan apartemen mereka, Delta pasti akan ngomel-ngomel dan menyuruh Deana untuk berhenti dari aktivitasnya seperti menyapu, mengepel lantai, dan lainya. Delta bahkan memilih untuk mempekerjakan pembantu agar Deana tidak melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon anaknya. Padahal yang dilakukan Deana bukan aktivitas berat tapi Delta mendadak berubah menjadi lelaki yang keras kepala dan tidak mau di debat.Deana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Delta yang menurutnya berlebihan itu. Tapi disamping itu, Ia sangat-sangat bersyukur karena semua kini kemba
Ditempat yang sama namun dengan hari dan suasana yang baru Delta berdiri tepat di anak tangga ke tiga. Tak henti-hentinya ia menarik sudut bibirnya dan mengucap syukur pada Tuhan yang sebesar-besarnya atas kembalinya Deana ke rumah. Ia menjewer kupingnya sendiri dan terasa sakit, menandakan jika yang berdiri di dapurnya saat ini benar-benar Deana.Ia kemudian menuruni anak tangga yang tersisa dan berjalan menghampiri gadis itu yang tengah sibuk dengan kompor dan teflonnya. Delta memeluknya dari belakang, melingkarkan tangannya pada perut Deana yang mulai nembesar."Ta ... apasih? Lepasin, gak? Gue susah gerak kalau lo peluk kayak gini," protesnya.Delta kembali tersenyum. Kepalanya yang bersandar di bahu Deana terlihat begitu nyaman. Mulai hari ini ia tidak akan menakan apapun lagi yang ingin berkembang di dalam hatinya. Ia akan membiarkan perasaan itu lepas dan tumbuh bersamaan dengan kebersamaannya dengan D
Deana duduk di sofa sambil menatap pemandangan ibu kota di malam hari dari jendela apartemen Alden. Pikirannya melayang pada banyak hal, salah satunya pada Delta.Deana tidak ingin berharap lebih namun perasaannya tak bisa dibohongi. Semakin ia menyangkalnya, semakin perasaan itu tumbuh lebih besar. Jika ditanya sejak kapan, Deana sendiri tidak tahu pasti. Mungkin sudah lama, mungkin juga baru-baru ini atau mungkin setelah malam itu. Entahlah...“Mikirin Delta lagi, eh?” celetuk Alden dari arah tangga.Lelaki itu berjalan santai mendekatinya, kemudian bersandar pada jendela tepat du hadapan Deana.“Kalo lu kangen sama dia, temui dia lah, De,” saran Alden kemudian.“Gue emang kangen sama Delta. Banget, malah. Tapi kalau gue nemuin Delta, kemungkinan besarnya adalah kita balik dengan posisi Delta yang cuman anggap gue sebagai ad
Kennara cepat-cepat menuju apartemen tepat setelah Delta menelponnya untuk datang. Ketika sampai, apartemen tersebut ternyata tidak dikunci yang membuat Kennara bisa leluasa masuk tanpa perlu memencet bel atau mengetuk terlebih dulu.Terlihat Delta sedang menunggunya di sofa. Kenara berjalan mendekati Delta dan duduk tepat disampingnya. "Sayang, ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanyanya dengan wajah cemas.Delta mengeluarkan sesuatu dari samping kirinya dan memperlihatkan benda tersebut ke hadapan Kena. "Jelasin, apa ini?"Kenara jelas shock ketika melihat botol yang dicarinya selama ini, kini berada ditangan Delta. Bagaimana bisa botol pil itu ada ditangannya? batinnya bertanya."Delta-""Aku bisa jelasin ini, okay?" ujar Kennara berusaha setenang mungkin."Aku harus nemuin alasan yang masuk akal agar Delta percaya. Jika sampai dia curiga, hancur s
Arash menengadah, menatap rintik hujan yang mulai membasahi jaketnya. Memasuki musim penghujan, awan mendung mulai aktif mengeluarkan isinya, membuat sebagian orang kembali mengingat kenangan, merasa de javu, bahkan bisa menghadirkan kembali luka di masa lalu. Percaya atau tidak, hujan menang sangat identik dengan hal-hal tersebut sama seperti Arash.Kenangan menyakitkan itu menyapanya. Menyibak luka yang sama sekali belum kering. Mengingatkannya pada kejadian dimana gadis itu mati di pelukannya. Arash menyaksikannya, bagaimana bibir mungil itu masih sempat-sempatnya mengucap nama lelaki tersebut di detik-detik kepergiannya. Tangannya mengepal, menatap nama yang tertera pada papan berwarna putih di hadapannya.“Aku akan membalaskan semua rasa sakitmu. Aku akan membuatnya merasakan pedihnya setiap air mata yang jatuh dari matamu,” ucapnya parau.“Aku akan—” Arash tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutny
Liburan semester memasuki bulan kedua. Disaat mahasiswa lain sedang asyik menikmati liburan, Delta malah sebaliknya. Ia semakin kacau dan frustrasi dengan semua terror yang diterimanya. Siapa yang peneror itu maksud sebenarnya? Singguh, Delta sama sekali tidak bisa mengingat yang peneror maksud di masa dulu.Ingin rasanya Delta menelpon sang Papa, meminta bantuan beliau namun diurungkannya. Delta merasa ia sudah dewasa dan harus menyelesaikan setiap masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain sekalipun itu papanya.Delta menatap setiap celah di sekeliling ruang tamu apartemennya. Satu kata: Sunyi. Daripada dibilang rumah, apartemen Delta lebih mirip kuburan atau desa tak berpenghuni. Ia tersenyum miris, mengejek dirinya sendiri. Merasa begitu menyedihkan dengan takdir yang Tuhan gariskan padanya.Bersamaan dengan itu, suara bel berbunyi. Fokus Delta langsung teralihkan namun ia tidak langsung beranjak dari so