Home / Romansa / The Devil's Gift / BAB 3 : Terbakarnya Sarang Pendosa

Share

BAB 3 : Terbakarnya Sarang Pendosa

Author: Shafazana
last update Last Updated: 2022-02-14 06:10:32

Setelah mengikat perjanjian dengan Cerano, Raveena mulai melepaskan kancing pakaiannya satu-persatu. Tindakannya itu membuat Cerano mengernyitkan keningnya dan bertanya, “Apa lagi yang ingin kamu lakukan?”

Raveena menatap Cerano dengan pandangan kosong. “Bukankah Anda berkata ingin meniduri seorang perawan? Sekarang saya sudah menjadi milik Anda, jadi tentu Anda dapat memanfaatkan saya sebaik mungkin.”

“Kapan aku berkata ingin meniduri perawan? Aku hanya berkata supaya kamu menemaniku malam ini. Cepat pasang kembali kancing bajumu,” perintah Cerano.

Tatapan mata Cerano terlihat serius, sehingga Raveena tidak berpikir bila pria itu hanya bercanda. Dia segera memasang kembali pakaiannya dan berdiri di hadapan Cerano, kepalanya menunduk sedikit sebagai simbolis bila dia hanyalah bawahan yang tak patut menatap wajah Cerano.

Setelah memastikan Raveena sudah berpakaian dengan benar, Cerano berjalan menuju bingkai jendela yang mengarah ke jalan setapak di Distrik Merah.

“Raveena, apa kau pernah takut mati?” tanya Cerano tiba-tiba.

“Saya tidak takut mati,” Raveena menjawab tanpa banyak berpikir. Tatapan matanya yang kosong memberi ilusi singkat bahwa Raveena hanyalah sebuah cangkang kosong tanpa jiwa.

Cerano menundukkan kepalanya, menatap ke arah para wanita yang sedang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. “Duniamu tampaknya begitu kacau. Bagaimana kamu bisa terjebak di dalam tempat ini?”

“Saya tidak ingat,” jawab Raveena.

Cerano menoleh. “Kamu tidak ingat?”

“Saya tidak bisa mengingat masa lalu saya sebelum datang ke tempat ini. Nama Raveena Hesper juga saya ketahui karena Tuan Wilson memanggil saya demikian.”

Seulas senyuman tipis tercetak di wajah Cerano, entah itu adalah jenis senyuman senang atau miris, Raveena juga tidak tahu. Cerano berkata, “Tidak apa-apa, terkadang ada baiknya kamu tidak mengingat masa lalu. Karena tidak semua masa lalu itu baik. Jika kamu tidak ingat, maka kamu tidak perlu terjebak di dalam masa lalu.”

“Tuan, saya tidak mengerti,” tukas Raveena.

Raveena memandang wajah Cerano di antara kemerlapnya cahaya lampu merah. Anehnya, warna merah begitu cocok dengan Cerano, seolah warna ini memang sudah melekat kuat di dalam jiwanya dan membuat sosoknya menjadi lebih menonjol.

“Apa yang kamu tidak mengerti?” tanya Cerano.

Raveena berkata, “Saya tidak tahu harus mengkategorikan Anda sebagai hitam atau putih. Moralitas yang Anda tunjukkan tidak sepenuhnya biadab, tapi tidak sepenuhnya baik.”

Cerano menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Mengapa begitu?”

“Awalnya saya berpikir Anda adalah seorang iblis keji yang senang dengan kekerasan dan pembunuhan. Namun, hari ini saya melihat Anda terlihat tidak suka dengan Tuan Wilson karena dia menjajakan wanita di bawah umur. Saya juga berpikir Anda akan memanfaatkan tubuh saya, tapi Anda berkata hanya minta ditemani,” jelas Raveena.

Raveena menambahkan, “Jujur, tingkah Anda membuat saya bingung.”

Cerano lantas tertawa, jenis tawa lepas yang seolah-olah tengah mengejek ucapan Raveena, “Raveena, tidak semua hal di dunia ini dapat kau kategorikan sebagai hitam ataupun putih. Pada dasarnya semua manusia berdiri di garis batas antara hitam dan putih. Kita semua ini abu-abu, bisa menjadi jahat atau baik.”

“Lalu mengapa Anda begitu baik kepada saya?” tanya Raveena.

“Aku baik kepadamu?” Cerano bertanya balik.

Raveena mengangguk. “Anda bahkan langsung menyetujui penawaran saya, padahal saya tidak begitu berguna.”

Cerano tersenyum. “Berguna atau tidak, kita bisa melihatnya nanti. Kamu sudah memberikan penawaran, sebagai seorang iblis yang lapar, aku hanya ingin memakan persembahan yang telah diberikan.”

Raveena ingin mengatakan sesuatu, tapi berhenti saat telinganya menangkap suara langkah kaki yang ribut dari koridor, langkah kaki itu terdengar berat dan terburu-buru, pertanda bila ada sesuatu yang terjadi sehingga para penghuni rumah bordil berhamburan keluar.

“Kenapa mereka berlari?” tanya Raveena penasaran.

Raveena hendak membuka pintu, namun Cerano mencegahnya. “Jangan dibuka, waktunya sudah dimulai.”

Raveena menatap Cerano dengan heran. “Apa maksudnya?”

kepulan asap masuk ke dalam ruangan melalui celah pintu, membuat Raveena mundur beberapa langkah ke belakang. Matanya menoleh ke arah Cerano dan dia bertanya, “Apa ini perbuatan Anda?”

Cerano duduk di tepi jendela, dia mengeluarkan kepalanya keluar dan menatap kemerlapnya bintang di langit malam sebelum menjawab, “Kamu bilang, kamu ingin tempat ini dilenyapkan hingga tidak bersisa.”

“Jadi aku membakarnya,” lanjut Cerano.

Raveena membulatkan kedua matanya, dia baru saja mengajukan permintaan sekitar 15 menit yang lalu. Tapi sekarang tempat terkutuk ini mulai mengeluarkan asap.

“Bagaimana dengan para wanita di sini? Mereka adalah korban, Anda tidak berniat untuk membakar mereka juga, kan?” tanya Raveena dengan suara panik.

Cerano membalas, “Tidak, tentu saja tidak. Bukankah kau mendengar banyak langkah kaki tadi? Mereka sedang diselamatkan.”

“Oleh siapa?” tanya Raveena.

Cerano tersenyum, “Anak-anak buahku.”

Raveena terkesiap, “Artinya ada banyak pembunuh yang Anda bimbing?”

Cerano sedikit tertawa. “Mereka bukan pembunuh, dan aku tidak berasal dari organisasi pembunuh bayaran. Aku hanya membunuh bila diperlukan dan membiarkan orang hidup bila tindakan mereka dapat ditoleransi.”

“Lantas Anda ini siapa?”

Cerano menjawab, “Acheron. Nama lengkapku adalah Cerano Acheron dan aku berasal dari Acheron Familia.”

Sontak Raveena semakin terkejut, nama Acheron Familia tidaklah asing di pendengaran Raveena, terutama bagi seseorang yang terbiasa tinggal di lingkungan yang dipenuhi oleh dosa itu. “Kamu Mafia Sisilia?”

“Kamu bisa menyebutnya begitu,” ujar Cerano.

“Pria ini berbahaya,” batin Raveena.

Raveena mengakui itu, tapi dia tidak berniat untuk melarikan diri karena kematian bukanlah hal yang ia takuti.

Hidup atau mati sama saja. Bersekutu dengan iblis atau menjadi budak iblis tidak akan ada bedanya.

“Uhuk ... Uhuk ….” Raveena batuk beberapa kali saat asap semakin banyak masuk ke dalam ruangan, udara di sekitar mereka juga terasa semakin panas.

Teriakan panik dari para wanita mulai terdengar, begitu nyaring dan menusuk gendang telinga.

Cerano lantas mengulurkan tangannya ke arah Raveena, “Kemarilah, kita juga harus keluar.”

“Di koridor mungkin sudah dipenuhi oleh api,” balas Raveena.

“Bukan lewat koridor, tapi lewat jendela,” kata Cerano.

Walaupun Raveena terlihat ragu dengan jawaban Cerano, dia tetap melangkahkan kakinya untuk mendekati pria itu dan menggenggam tangan Cerano yang diulurkan kepadanya.

Tanpa mengatakan apapun, Cerano segera menarik tangan Raveena sehingga tubuh wanita itu menabrak dada bidang Cerano. Pria itu lantas meletakkan satu tangannya di punggung Raveena, sedangkan tangan satunya lagi berada di bawah lutut Raveena, kemudian dia mengangkat tubuh wanita itu dan melompat dari jendela.

Raveena melingkarkan tangannya pada leher Cerano dengan erat, kedua matanya membelalak kaget saat dia menjumpai langit malam begitu dekat di hadapannya. Terpaan angin dingin yang kuat menerjang seluruh tubuhnya, membuat Raveena sedikit menggigil.

Ketika dia melihat ke belakang, gelungan asap tebal berwarna hitam membumbung tinggi di atas langit, kobaran api perlahan menjalar ke seluruh bangunan, terlihat bagaikan sebuah api unggun raksasa yang dinyalakan di tengah kota.

Kemudian penglihatan Raveena terjun dengan cepat dan dia baru sadar bila mereka telah melompat dari jendela lantai empat. Hanya orang tidak waras saja yang bisa melompat dari ketinggian ini tanpa rasa takut dan Cerano tampaknya memang tidak begitu waras.

Buk!

keduanya mendarat di atas tumpukan matras yang tebal, sehingga Raveena diam-diam segera membuang napas lega. Tapi napasnya kembali tercekat tatkala melihat ada belasan pria berpakaian serba hitam tengah menatapnya di sekitar matras, tatapan mata mereka terlihat agak bengis sekaligus penasaran.

Secara naluri, tentu Raveena akan balik menatap mereka dengan sama bengisnya, seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak bisa mereka tindas begitu saja.

“Mundur, jangan menatapnya seperti itu,” kata Cerano. Pria itu berusaha bangkit dari tumpukan matras dan juga membantu Raveena untuk berdiri.

“Bos, katamu kau hanya ingin mencari perawan di rumah bordil?” tanya salah satu bawahannya.

“Ya, memang. Wanita ini adalah perawan,” tukas Cerano dengan intonasi santai.

“Lalu kenapa kau juga ingin kami membakar bangunan dan menyelamatkan seluruh wanita di dalamnya? Kami bahkan harus mengusir penduduk di sekitar supaya bisa memasang matras. Boss, kamu selalu penuh kejutan.”

Cerano tertawa. “Aku sudah membuat perjanjian dengannya. Aku akan melenyapkan tempat ini dan dia akan mengikutiku sampai mati.”

Suara Cerano perlahan menjadi samar-samar di telinga Raveena, karena wanita itu terlalu sibuk untuk memperhatikan proses terbakarnya rumah bordil di hadapannya. Lautan api melahap seluruh kolom-kolom penyangga yang terbuat dari kayu, membuat dinding menjadi retak dan jatuh. Para wanita penghibur yang selamat juga ikut memperhatikan rumah itu seperti Raveena.

Perasaan mereka terlalu rumit tentang rumah itu.

Rumah di hadapannya telah menyimpan banyak kenangan di dalam ingatannya. Setidaknya, Raveena sudah tinggal di sana sejak ia masih berusia 12 tahun. Dan selama 12 tahun pula dia terjebak di dalam rumah bordil tanpa bisa melarikan diri.

Siksaan demi siksaan telah mengisi hari-harinya, terukir kuat di dalam hati Raveena sampai mampu menumbuhkan kebencian yang begitu besar terhadap rumah ini.

Ada terlalu banyak kenangan di dalam sana, tapi kebanyakan dari kenangan itu hanyalah sebatas mimpi buruk.

Mimpi yang seharusnya tidak perlu Raveena hadapi.

Ketika Raveena kembali melirik ke arah sekumpulan wanita, dia baru menyadari sesuatu dan buru-buru bertanya kepada Cerano, “Di mana Hose Wilson?”

alih-alih menjawab langsung, Cerano malah memainkan kata-kata. “Kamu bilang tempat ini adalah neraka.”

“Ya, tempat ini adalah neraka,” balas Raveena.

Cerano berjalan untuk mendekati Raveena, kemudian berkata, “Selalu ada iblis yang bersembunyi di dalam neraka, dan iblis itu biasanya akan mati ketika tempatnya musnah.”

Raveena tertegun saat menyadari maksud Cerano. “Kamu tidak mengeluarkan Hose dari tempat itu?”

“Aku menyuruh seseorang untuk mengurungnya di dalam sebuah ruangan, mengikatnya, dan membiarkan dia terbakar di dalam kobaran api,” kata Cerano dengan acuh.

Raveena awalnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, sehingga Cerano berpikir mungkinkah dia keterlaluan. “Apa kamu ingin dia selamat?”

“Tidak!” seru Raveena, “Tidak. Tidak. Biarkan dia terbakar, dia memang seharusnya terbakar.”

Raveena tanpa sadar menaikkan ujung bibirnya, dia tersenyum lebar di hadapan kobaran api. “Hose Wilson memang pantas terbakar sampai mati! Hahaha, dia benar-benar akan mati!”

Raveena lantas tertawa, tertawa, dan tertawa. Tertawa begitu keras sampai Raveena harus menutup mulutnya menggunakan tangan. Para anggota Acheron yang berada di belakang Cerano menatap Raveena dengan heran, berpikir bahwa wanita itu pasti sudah gila sampai bertingkah seperti itu.

Setelah tertawa begitu lama, Raveena akhirnya berhenti tertawa. Dia mengangkat kepalanya ke atas, menyaksikan langit yang sudah dipenuhi oleh pantulan api dan gulungan asap hitam.

Perlahan air mata mulai menuruni pipinya, kemudian menetes jatuh ke tanah tanpa menimbulkan suara.

“Dia sudah mati dan sekarang aku bebas,” bisik Raveena.

Raveena Hesper akhirnya mampu menghirup udara luar dengan leluasa.

• •

Kobaran api membumbung semakin tinggi, orang-orang yang berjalan di sekitar area kebakaran berbondong-bondong pergi dan menyaksikan dari kejauhan. Mereka bertanya-tanya mengapa bisa api muncul begitu saja.

Mobil pemadam kebakaran membelah kerumunan manusia. Para petugasnya buru-buru menarik selang dan menyemprot air dalam kapasitas besar. Mereka juga mengecek kesehatan setiap wanita yang berasal dari rumah bordil itu untuk memastikan tidak ada yang terluka.

“Kita harus pergi,” kata Cerano.

Cerano memperhatikan jam tangannya, dia terlihat seperti orang yang kehabisan waktu. “Ada hal yang harus kita lakukan.”

Raveena segera tersadar dari lamunannya. “Apa yang ingin Anda lakukan?”

“Menghancurkan seseorang yang telah mengusikku. Ayo, cepat masuk ke mobil,” kata Cerano yang kemudian menarik lengan Raveena. Dia dengan cepat menuntun wanita itu supaya masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sebelum Raveena menaiki mobil itu, dia mendengar suara familier datang dari belakangnya. “Raveena!”

Raveena sontak menoleh dan mendapati sosok Vallerie tengah berlari ke arahnya. “Vallerie, kenapa kamu kemari?”

Vallerie memeluk Raveena. “Aku yang seharusnya bertanya. Ke mana kamu akan pergi? Kenapa kamu pergi bersama pria itu? Apa kamu dipaksa?”

Raveena mengusap kepala anak itu secara perlahan. “Tidak ada yang memaksaku, aku pergi dengan keinginanku sendiri.”

Vallerie mengangkat kepalanya, matanya tampak berair saat dia berkata, “Kalau begitu, apakah kamu akan meninggalkanku?”

“Maaf, Vallerie. Tapi sekarang kita harus berpisah. Kini Hose sudah tidak ada, kamu juga bisa pergi.”

“Ke mana aku bisa pergi? Aku tidak memiliki siapapun,” gumam Vallerie.

Cerano yang menguping pembicaraan mereka menimpali, “Pergilah ke Panti Asuhan yang ada di pinggir kota. Usiamu masih 15 tahun, pasti diperbolehkan untuk tinggal di sana.”

Raveena menatap Cerano dengan pandangan tidak percaya, dia hanya tidak menyangka Cerano akan memberikan saran kepada orang yang tak memiliki hubungan dengannya.

“Kamu dengar itu?” Raveena bertanya kepada Vallerie, “Pergilah ke panti asuhan, lalu jalani hidup dengan baik. Jangan pernah lagi kamu menginjakkan kaki di distrik merah.”

Raveena mengeluarkan kantung uang dari sakunya, jumlahnya tidak banyak, tapi setidaknya bisa digunakan untuk naik kendaraan umum. “Bawa ini juga, belilah makanan kalau lapar dan naik kendaraan umum untuk sampai ke pinggiran kota.”

Vallerie menerima pemberian itu, dia kemudian menangis dan bertanya, “Apa kita bisa bertemu lagi.”

Raveena tersenyum. “Jika takdir mengizinkan, maka kita bisa bertemu lagi.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Vallerie kayaknya bakal muncul ntar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • The Devil's Gift   BAB 4 : Tugas Pertama

    Raveena memandang Vallerie dari balik jendela mobil. Mata wanita itu tampak kosong, tapi apabila dilihat lebih dekat, seseorang pasti bisa tahu kalau Raveena sedang menanggung duka. “Panti asuhan akan menerimanya, anak itu akan baik-baik saja,” kata Cerano. Raveena tidak mengatakan apa-apa selama beberapa menit. Dia terlalu fokus untuk memperhatikan jalan, seolah masih tidak percaya bila dirinya mampu keluar dari wilayah Distrik Merah. Sampai mobil bergerak keluar dari palang Distrik Merah, Raveena akhirnya berbicara, “Aku tidak hanya mengkhawatirkan Vallerie, tapi juga wanita lain. Mereka tiba-tiba kehilangan rumah dalam satu malam, mereka semua pasti kebingungan untuk mencari tempat tinggal malam ini.” Cerano menumpukkan kepalanya pada satu tangan, kemudian ikut melihat ke jalanan luar. “Tempat yang kau tinggali itu bukanlah rumah, jadi para wanita itu tidak akan merasa kehilangan rumah. Adapun tempat tinggal, petugas polisi di wilayah ini mungkin akan menempatkan

    Last Updated : 2022-02-23
  • The Devil's Gift   BAB 5 : Penyamaran

    “Bos! Kami sudah membawakan pakaian yang kamu minta!” seru Henry Russo, salah satu anak buah Cerano.Cerano menurunkan kaca mobilnya, kemudian mengambil kotak yang ada di tangan Henry. “Bagaimana dengan mobil yang membawa para wanita? Apa sudah diamankan?”Henry tersenyum bangga. “Tenang saja, Bos! Ugo sudah menghentikan mobilnya di tengah jalan, lalu mengikat supirnya, dan melemparnya ke gorong-gorong. Sekarang, Ugo-lah yang menyetir mobil kemari.”Cerano mengangguk mengerti, tangannya bergerak untuk membuka kotak, kemudian ia mengeluarkan sebuah gaun berwarna merah dari kotak itu. Warna merah dari gaun itu sangat mencolok mata, terlihat sensual sekaligus menarik. Terdapat dua tali pada bagian lengan yang nanti bisa diikat ke leher, sedangkan bagian punggungnya dibiarkan terbuka.Raveena ikut menatap gaun tersebut, lalu bertanya, “Kamu ingin aku memakai itu?”Cerano memperhatikan gaun tersebut, kemud

    Last Updated : 2022-02-24
  • The Devil's Gift   BAB 6 : Pesta Binatang Liar

    Raveena sengaja menuangkan narkotika ke dalam mangkuk koktail, hal ini karena kebanyakan tamu dan penjaga pesta mengambil minuman itu. Hanya dalam waktu beberapa menit, semua orang sudah memegang koktail di tangan mereka seraya menyeruputnya perlahan-lahan.Padahal Raveena juga ingin mencicipi rasa koktail. Tapi, sayangnya dia hanya bisa minum jus sebagai gantinya.“Nona Lili, kamu dipanggil oleh Bos untuk kembali,” bisik seorang penjaga di samping telinga Raveena.Karena tubuh anggota Kartel Meksiko itu cukup besar, ia bisa menutup jarak pandang Carlos ke arahnya, membuat penjaga itu mengambil kesempatan dengan menelusupkan tangannya ke dalam gaun Raveena, kemudian dengan sengaja mengelus perut wanita itu.Sabar, Raveena harus sabar.Dia akan merusak rencana Cerano apabila membuat keributan, jadi dia lebih baik diam saja.“Nona Lili, kamu memang sangat cantik, aku tidak sabar menunggumu di pesta utama.”Kata-k

    Last Updated : 2022-02-25
  • The Devil's Gift   BAB 7 : Teman Lama

    Cerano tidak memberikan kesempatan untuk Raveena membalas. Dia hanya melemparkan mantelnya ke atas tubuh Raveena, kemudian melangkah menaiki podium dan berhenti di depan Carlos Vincente. “Maaf, racunnya tidak sengaja kutumpahkan,” kata Raveena di bawah undakan tangga. Cerano kembali mengokang pistolnya, kemudian mengarahkan ujung senapannya ke depan kening Carlos. “Aku bisa menggunakan cara lain untuk membunuh seseorang.” Carlos lantas memandangi Cerano dengan raut wajah panik. Saat di pesta, dia tidak meletakkan senapan di dekatnya, karena Carlos percaya kalau seluruh anak buahnya mampu untuk melindunginya. Namun, sekarang dia menyesali kepercayaannya itu. “Carlos Vincente, ada dua hal yang tidak boleh kamu lupakan saat menjadi bos organisasi gelap. Pertama, jangan memprovokasi lawan yang lebih kuat darimu.” Cerano perlahan menarik pelatuknya sedikit demi sedikit, sehingga membuat suasana di antara mereka menjadi lebih tegang. “Kedua, kamu ti

    Last Updated : 2022-02-27
  • The Devil's Gift   BAB 8 : Mabuk

    Saat mendengar perkataan Cerano, Steven langsung ingin protes. Dia juga lelah! Kenapa Bos-nya sangat kejam sampai tidak mau berbagi kamar untuk bertiga?! Namun, Steven tidak berani mengutarakan protesnya itu. “Aku tidak keberatan,” bisik Raveena. Cerano mengangguk, lalu berbicara dengan resepsionis, “Baiklah, aku akan memesan satu kamar dan tolong beritahu alamat hotel terdekat untuk temanku ini.” Resepsionis tersenyum. “Baik, Tuan.” Beberapa saat kemudian, akhirnya Cerano dan Raveena bisa masuk ke dalam kamar hotel. Kamar itu cukup luas, tetapi hanya ada satu tempat tidur di dalam kamar. “Aku bisa tidur di sofa,” kata Raveena. Cerano, “Kenapa kamu harus tidur di sofa? Apa kamu tidak lihat kalau sofanya kecil dan tidak bisa digunakan untuk berbaring? Tidurlah di tempat tidur, gunakan saja pembatas di tengah kasur jika kamu tidak mau tidur denganku.” “Bukan begitu, kupikir kamu yang akan merasa tidak nyaman denganku,” be

    Last Updated : 2022-02-28
  • The Devil's Gift   BAB 9 : Gairah yang Meledak

    “Aku hanya memintamu untuk tidur, astaga!” Setelah diam sebentar, Raveena akhirnya berjalan mendekati tempat tidur. Namun, dia tidak naik ke kasur, melainkan merangkak ke atas tubuh Cerano dan membuat pria itu kalang kabut. “Kamu ingin apa?!” “Cerano,” panggil Raveena. “Saat kamu memilihku, katanya kamu ingin meniduri perawan, tapi kenapa sampai sekarang kamu belum menyentuhku?” “Apa maksudmu? Bukankah aku sudah pernah bilang, aku hanya membutuhkan perawan untuk menyusup masuk ke dalam kediaman Carlos Vincente. Aku tidak ingin menidurimu.” Raveena mengerutkan keningnya. “Kenapa tidak mau? Apa kamu berpikir aku tidak berpengalaman?” “Raveena, kamu mabuk. Berhentilah meracau dan segera tidur,” kata Cerano dengan lelah. Raveena masih bergeming di atas Cerano, wanita itu bahkan mulai menurunkan jubah bagian atasnya sehingga pundaknya dapat terlihat dengan jelas. “Aku merasa panas. Apa karena pendingin ruangannya belum dinyalakan?”

    Last Updated : 2022-02-28
  • The Devil's Gift   BAB 10 : Membersihkan Diri

    Tatkala Raveena membuka mata, dia merasa tubuh bagian bawahnya tidak nyaman, terasa lengket seolah ada banyak cairan yang menumpuk di sela-sela kakinya. Selain itu, rasa sakit yang tajam turut ia rasakan ketika Raveena berusaha untuk duduk, membuat wanita itu langsung kembali berbaring tanpa berani untuk bergerak lagi.Raveena terdiam selama beberapa saat, berusaha keras untuk mencerna situasi yang kini tengah ia alami. Secara tiba-tiba kepingan ingatan yang memalukan mulai menghujani benaknya, memaksa Raveena untuk melihat setiap adegan yang dipenuhi oleh gairah dan rasa panas. Raveena bahkan bisa ingat, saat di mana ia bergerak seperti wanita murahan di atas tubuh Cerano, mengingat saat dia melebarkan kedua kakinya supaya pria itu bisa melesakkan kejantanannya lebih dalam.Raveena Hesper ingat, dialah orang yang sudah memancing Cerano dan membuat pria itu kehilangan kendali.Klek. Suara pintu kamar yang terbuka membuat sekujur tubuh R

    Last Updated : 2022-03-03
  • The Devil's Gift   BAB 11 : Meninggalkan Philadelphia

    Hari esoknya, tatkala matahari belum terbit sepenuhnya. Cerano sudah membawa Raveena pergi menuju bandara. Sepanjang jalan, Raveena menatap jalanan Kota Philadelphia dengan perasaan hampa. Meskipun, seluruh memorinya buruk tentang kota ini, dia tidak dapat memungkiri bahwa dia sudah tinggal selama 12 tahun di Philadelphia.“Raveena, anak-anak buahku sudah menunggu kita di bandara Italia. Mereka memang terlihat kasar dan tidak baik, tapi tidak perlu takut, mereka tidak akan menyakiti kamu,” kata Cerano.Karena yang terkendala passport hanyalah Raveena, anak-anak buah Cerano sudah pulang lebih dahulu ke Italia sejak kemarin. Namun, mereka akan menjemput Cerano di bandara.Raveena akhirnya menoleh. “Aku mengerti.”Cerano, “Apa kamu sedih karena akan meninggalkan Philadelphia?”“Dibandingkan dengan sedih, hatiku sepertinya terasa kosong,” Ravena menambahkan, “Mungkin karena kehidupanku terlalu monoton saat tinggal di Distrik Merah. Tapi, aku

    Last Updated : 2022-03-04

Latest chapter

  • The Devil's Gift   BAB 33 : Bercumbu di Tempat Umum

    “Ahh … mhm ….”Raveena mendesah tatkala kejantanan Cerano memasuki intinya yang sudah begitu basah. Sementara Raveena menumpukkan tangannya di atas wastafel, Cerano memegang pinggang wanita itu dari belakang dan mulai menggerakan pinggulnya dengan cepat. Tepat di hadapan Raveena adalah sebuah cermin besar, sehingga wanita itu mampu melihat ekspresi wajahnya yang tampak memalukan serta pakaiannya yang dikacaukan oleh Cerano.Beberapa saat yang lalu, tepatnya setelah Cerano memeluk Raveena di lapangan. Pria itu tiba-tiba saja menariknya ke kamar mandi umum yang ada di dekat lapangan dan langsung mencumbunya dengan penuh gairah.Beruntung hanya mereka yang sedang mengunjungi lapangan tembak hari itu, sehingga kamar mandi umumnya kosong dan bisa mereka pergunakan untuk melakukan kegiatan panas.Usai Cerano mengunci pintu kamar mandi, dia mulai melepaskan kancing kemeja Raveena satu-persatu, kemudian meremas dada wanita itu selagi dia mencumbu bibir Raveena yang mulai memerah.Ketika tubu

  • The Devil's Gift   BAB 32 : Rasa Malu Raveena

    Raveena mengalihkan pandangannya dari Cerano, kemudian berkata dengan suara pelan, “Tentu saja aku merindukanmu, kau bahkan tidak pernah menghubungiku selama beberapa hari ini. Kupikir kau sudah bosan denganku, jadi tidak ingin menemuiku lagi.”Cerano tersenyum, tangannya perlahan membelai helaian rambut Raveena. “Mana mungkin aku bosan, kita bahkan baru menghabiskan waktu sebentar.”“Lalu mengapa kau tidak kunjung datang untuk menemuiku?”Cerano sempat terdiam. Manik cobalt-nya menatap Raveena lekat-lekat. “Aku hanya merasa bersalah kepadamu.”Raveena terkejut, tidak menyangka bila seorang bos dari organisasi gelap itu bisa mempunyai rasa bersalah kepadanya. “Bersalah tentang apa?”Cerano menghembuskan napas pendek, lalu berkata, “Walau aku tidak bermaksud buruk, tapi tetap saja aku membuatmu menjauhi salah satu teman dekatmu.”Cerano jelas mengetahui masa lalu Raveena dengan baik, dia sangat mengerti kalau wanita itu tidak pernah punya banyak teman yang bisa dia percaya di rumah bor

  • The Devil's Gift   BAB 31 : Kekecewaan

    Setelah Matilda keluar dari ruangan Cerano, pria itu kembali menemui Raveena di ruang kesehatan. Ekspresi wajahnya tidak terlalu bagus, malah cenderung diliputi oleh kekesalan karena tidak mampu mengungkap siapa dalang yang telah membuat Raveena terluka.Selain itu, Cerano merasa harga dirinya tercoreng karena tidak mampu melindungi Raveena meskipun dia berada di dekat wanita itu.“Cerano! Bagaimana hasil interograsinya? Apa Matilda benar-benar telah berusaha mencelakaiku?” tanya Raveena dengan raut wajah cemas. Pasalnya, dia tidak ingin teman dekatnya menjadi tersangka atas kecelakaan yang dia hadapi.Cerano meminta Henry dan Diego untuk keluar usai mengantarnya ke dalam ruang kesehatan, kemudian pria itu menjalankan kursi rodanya ke samping ranjang. “Jangan khawatir, Nona Buscemi dinyatakan tidak bersalah.”Begitu mendengar penuturan itu, Raveena langsung menghembuskan napas lega. “Syukurlah bukan dia pelakunya.”“Untuk apa kau bersyukur?” Cerano berbicara dengan agak ketus, “Tidak

  • The Devil's Gift   BAB 30 : Memanggil Matilda (2)

    “Nona Buscemi, ternyata kau memang cerdik, tidak salah aku meloloskan tesmu dulu.” Cerano berbasi-basi sebelum akhirnya mengeluarkan paku berkarat yang sudah dimasukkan ke kantung plastik dari dalam sakunya. “Apa kamu tahu alasan kami mencurigai kamu?” Tanpa banyak berpikir, Matilda segera membalas, “Karena aku adalah orang terakhir yang berlari sebelum Raveena. Jadi, Bos berpikir bila aku adalah orang yang menaruhnya.” “Ya, kau benar, kami memang memiliki kecurigaan seperti itu. Namun, atas permintaan Raveena, aku ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk membiarkan kau menjelaskan alibimu.” Matilda tertegun sebentar sebelum berkata, “Kalau alibiku tak membuatmu puas?” Cerano, “Maka kau akan kumasukkan ke dalam ruang bawah tanah dan kupaksa mengakui kejahatanmu.” Walau Cerano selalu terlihat lembut di hadapan Raveena, sesungguhnya dia bukanlah pria yang selembut itu. Sebagai ketua tim di organisasi mafia, Cerano sudah sering melakukan banyak cara kotor untuk mendapatkan informa

  • The Devil's Gift   BAB 29 : Memanggil Matilda

    Cerano mengangguk. “Ya, Matilda Buscemi adalah orang yang lari sebelum kamu. Aku tidak suka menuduh, tetapi ada baiknya melakukan pemeriksaan.”Raveena buru-buru memegang lengan Cerano. “Rasanya tidak mungkin bila Matilda yang melakukannya. Kami berteman cukup baik selama beberapa hari belakangan.”“Raveena, ketika kamu masuk ke dalam organisasi hitam seperti ini, kamu harus membiasakan diri untuk dikhianati. Teman bisa menjadi musuh dan musuh bisa menjadi kawan. Karena itu, kamu tidak bisa membela Matilda sampai bukti terungkap.”Cerano lantas mengalihkan pandangannya kepada Henry. “Panggil Nona Buscemi ke ruanganku, aku ingin memastikan kebenarannya sendiri.”Henry mengangguk, kemudian segera meninggalkan ruangan untuk melakukan perintah Cerano. “Tapi untuk apa Matilda mencelakaiku? Aku bahkan tidak memiliki sesuatu yang berharga untuk diperebutkan,” tukas Raveena, masih sepenuhnya mempercayai Matilda.“Siapa yang tahu? Kamu bahkan baru mengenal Matilda selama beberapa hari, bagaim

  • The Devil's Gift   BAB 28 : Mendapat Kesialan

    Sontak Raveena menepis tangan Cerano dan menatap pria itu dengan kaget. “Kita lagi ada di depan orang banyak.”“Tapi tanganku ada di belakang.”Ketika Raveena ingin membalas lagi, Diego sudah mengumumkan hasil waktu milik Matilda.“3 menit 55 detik. Matilda Buscemi lulus!”“Berikutnya, Raveena Hesper!”Raveena bergegas lari menuju lapangan, mengabaikan Cerano yang sempat meremas bokongnya sekali lagi. Ketika Raveena sudah ada di hadapan Diego, Diego segera membunyikkan peluit sehingga Raveena langsung menggerakkan kakinya dengan cepat.Raveena berusaha mengatur napasnya supaya tidak merasa sesak saat dia mempercepat laju larinya. Walau tidak bisa secepat Sergio, setidaknya Raveena juga termasuk salah satu anggota yang mampu berlari dengan cepat setelah berlatih selama berhari-hari.Setelah berlari selama 40 detik, dia berhasil melewati putaran pertamanya.Kemudian melewati putaran kedua di 40 detik berikutnya.Raveena berhasil lari dengan lancar, sampai tiba-tiba mengalami gangguan di

  • The Devil's Gift   BAB 27 : Tes Mingguan

    “Bagaimana ini? Aku takut tidak bisa lulus, lalu disuruh terus lari selama sebulan.” Paolina terus mengeluarkan ketakutannya sejak anak-anak baru berkumpul di ruang latihan.Saro yang sudah lelah mendengar keluhan Paolina akhirnya protes. “Bisakah kamu berhenti mengeluh?! Kamu malah menyebarkan energi negatif kepada kita semua!”“Kalau tidak suka, ya jangan didengarkan!” balas Paolina.Kedua orang itu akhirnya ribut dengan beradu mulut, bahkan Antonio harus susah payah melerai keduanya supaya tidak berlanjut ke kekerasan fisik.Sementara mereka ribut, Raveena dan Matilda melakukan pemanasan ringan supaya otot mereka tidak kaku, sesekali Matilda juga akan membantu Raveena untuk melenturkan tubuhnya.Setelah beberapa hari berlatih bersama, Raveena mulai merasa nyaman berada di dekat Matilda, mereka bahkan sesekali akan makan siang bersama saat istirahat.“Matilda, sesungguhnya aku juga agak takut tidak lulus,” kata Raveena sepelan mungkin supaya yang lain tidak mendengar.Matilda membal

  • The Devil's Gift   BAB 26 : Memuaskan Raveena

    Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Cerano segera menundukkan kepalanya dan mencium bibir Raveena. Ciuman itu tidak terburu-buru, cenderung lambat sehingga mereka bisa menikmati setiap lumatan yang mereka lakukan.Raveena masih khawatir dengan kondisi Cerano, tetapi ciuman Cerano membuatnya terbawa suasana sampai dia tidak lagi mau melepaskan ciuman mereka yang kian lama kian dalam.Cerano menarik lengan Raveena supaya tubuh mereka bisa semakin berdekatan, lalu di saat Raveena sedang lengah, tangan Cerano mulai merayap masuk ke dalam pakaian Raveena, mencari-cari dada Raveena yang masih ditutupi oleh bra.Begitu Cerano mengangkat bra milik Raveema ke atas, wanita itu segera sadar dan menahan tangan Cerano. “Cerano, ingat kata Rachel, kamu masih belum boleh bergerak terlalu banyak.”“Tenang saja, aku hanya akan menyenangkan kamu.”Karena setiap kali Cerano melihat Raveena, dia selalu ingin menyentuh tubuh wanita itu, meraba setiap jengkal kulitnya yang mulus dan lembut. Bisa dibilang, pria

  • The Devil's Gift   BAB 25 : Keinginan

    Raveena kembali ke kamar Cerano dalam keadaan sangat lelah. Evaluasi mingguannya akan segera tiba, sehingga dia dan rekan-rekannya harus berusaha keras meningkatkan stamina supaya mendapatkan nilai tinggi saat evaluasi.Begitu Raveena masuk ke dalam kamar, dia melihat Cerano sedang tidur sambil memegang buku di tangannya. Sepertinya obat yang diminum oleh Cerano membuatnya cepat lelah sampai-sampai dia bisa ketiduran saat membaca buku.Dengan hati-hati, Raveena mengambil buku dari tangan Cerano, kemudian menyelimuti tubuh pria itu. Meski sudah berusaha untuk bergerak sepelan mungkin, tetap saja pria yang dipenuhi oleh kewaspadaan seperti Cerano langsung bangun.“Kamu baru kembali?” tanya Cerano dengan suara seraknya.Raveena tertegun, merasa kalau suara itu terdengar sangat seksi di pendengarannya. “Mhm, aku baru saja kembali. Kamu tidur lagi saja.”“Setelah bangun, rasanya aku tidak mau tidur lagi,” Cerano berkata, “Bagaimana harimu? Latihannya berjalan baik?”Raveena menarik kursi se

DMCA.com Protection Status