Share

Chapter 4: Who Need Diana?

Hunter Rivièra turun dari jet pribadinya di tengah suasana kota yang terbungkus oleh warna-warna senja. Langit jingga keemasan membentang luas, memantulkan kilauan di atas hamparan kota yang tak pernah tidur. Bandara itu sibuk, pesawat-pesawat jet pribadi bertengger di landasan seperti serigala yang menunggu mangsanya. Di sana, Hunter tak punya waktu untuk menikmati sejenak angin malam yang menyegarkan. Udara dingin yang menusuk kulitnya mengingatkan pada kenyataan—dia bukan orang yang bisa bersantai begitu saja. Dia menghela napas panjang, memandang langit yang berubah dari jingga ke ungu pekat sebelum memusatkan kembali perhatiannya pada deretan limosin yang menunggu.

Bandara ini mungkin salah satu simbol kebesaran dunianya: dunia di mana segala sesuatu bergerak cepat dan setiap momen diukur dalam nilai tukar uang dan kekuasaan. Tanpa buang waktu, dia segera memasuki salah satu mobil mewahnya, ditemani sang pengawal setia, Finley. Waktu sudah berjalan sempit. Pertemuan dengan klien di pusat kota, yang berkaitan dengan akuisisi perusahaan minyak Thomas Diesel, tidak bisa ditunda. Di balik kaca mobil, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, mendominasi pemandangan. Mereka adalah lambang kekuasaan seperti dirinya—tak tergoyahkan, dingin, dan tidak kenal belas kasih.

Begitu tiba di tempat pertemuan, suasana ruangan berubah drastis. Ruang pertemuan klien itu megah, penuh dengan patung marmer klasik dan lukisan-lukisan mahal yang tampaknya dibuat hanya untuk memamerkan kekayaan. Namun, di balik keanggunan itu, ketegangan mengambang di udara. Setiap detik yang lewat seakan-akan dihitung. Para pengacara dan eksekutif yang hadir menunggu dengan napas tertahan. Tanpa bicara banyak, Hunter menandatangani kontrak akuisisi itu. Perjanjian yang telah dibuat dua bulan lalu kini resmi disegel dalam tinta emas, memastikan kekuasaannya semakin menggurita. Sesuai dengan gaya hidupnya, tidak ada perayaan atas kemenangan tersebut. Baginya kesuksesan seperti ini hanyalah satu langkah kecil dalam peta jalan menuju kejayaan yang lebih besar.

Setelah pertemuan itu, Hunter bergerak lagi, kali ini menuju kantor pusat perusahaannya, sebuah menara kaca yang memantulkan cahaya dari seluruh penjuru kota. Pintu lift membuka ke lantai tertinggi, langsung menuju ruang rapat yang dipenuhi oleh pemegang saham perusahaan teknologi miliknya. Langit yang tadi jingga kini berubah kelam, seakan mencerminkan suasana tegang di dalam ruangan itu. Seperti yang sudah diduga, rapat bulanan itu dipenuhi dengan kemarahan. Para eksekutif tua yang duduk di sana saling berteriak, bersilang argumen tentang kegagalan proyek terbaru. Ruangan itu menjadi medan perang verbal di mana setiap kata adalah peluru dan setiap argumen adalah senjata. Proyek yang awalnya diharapkan menjadi inovasi besar ternyata kalah saing. Namun, tidak ada dari mereka yang mau bertanggung jawab. Suara-suara itu saling tumpang tindih, memantul di dinding kaca gedung, menggema di seluruh langit malam kota.

Hunter, duduk di ujung meja, memperhatikan semua ini dengan diam. Rasa muak menguasainya. Para pemegang saham mayoritas dengan keangkuhan mereka, menyerang tim pelaksana proyek tanpa belas kasihan, sementara pemegang saham minoritas hanya diam, takut terseret dalam badai amarah itu. Wajah-wajah tua yang sombong itu terus melempar tuduhan sembari memamerkan kekuasaan mereka, tetapi tak satu pun dari mereka memberikan solusi nyata.

Dan di tengah kekacauan itu, Hunter Rivièra akhirnya berbicara.

“Tutup mulut kalian sebelum kuhancurkan kepala kalian!” Semua orang terdiam, seolah-olah waktu terhenti. Mata mereka yang tadi bersinar marah kini menunduk dalam ketakutan. Dia bangkit dari kursinya, tatapannya dingin, menyapu seluruh ruangan. Mata hitamnya menatap para pemegang saham dengan jijik, lalu beralih ke tim pelaksana yang tertunduk malu. Dunia ini memang seperti itu, yang kuat berkuasa, yang lemah menyerah. Tanpa berkata lagi, dia melangkah keluar, meninggalkan ruangan penuh kepalsuan dan kesombongan itu.

Setelah tanpa istirahat melakukan perjalanan udara selama 12 jam, tanda tangan akuisisi perusahaan, lalu menghadiri rapat, bukannya mendapat berita baik, dia justru dihadapkan pada keangkuhan orang-orang keras kepala di perusahaannya. Rasanya dia ingin menghancurkan kepala orang-orang angkuh tadi saat melihat mereka saling berteriak dan menyalahkan. Tapi memikirkan lagi perusahaannya, dia menunda eksekusinya. Mau bagaimanapun perusahaan dapat bertahan sampai sejauh ini berkat orang-orang itu.

Sebelum meninggalkan perusahaan, dia meminta Marcus untuk meninjau ulang pokok masalah dari kegagalan proyek perusahaan. Dan meminta Marcus—si direktur sekaligus wakilnya di perusahaan—untuk menegur para pemegang saham supaya mendinginkan kepala mereka untuk rapat bulanan di pertemuan berikutnya.

“Jangan pecat Rohaan dan timnya. Orang itu lebih kompeten daripada orang tua angkuh itu.”

“Saya mengerti.” Marcus yang memahami tugasnya, mengangguk mengerti sambil membukakan pintu mobil dan mempersilakan sang boss masuk.

Hunter mengangguk puas, lalu menarik napas panjang sembari melonggarkan dasinya. Lelah, bukan hanya karena tubuhnya yang tak beristirahat selama 12 jam penerbangan, tapi juga karena kebosanan yang perlahan menyelinap dalam hidupnya. Setiap hari, setiap jam, dia merasa terjebak dalam roda gila ambisi dan kekuasaan.

Dia butuh waktu untuk mengurangi rasa lelahnya. Sebenarnya Hunter tidak banyak beristirahat selama melakukan penerbangan 12 jam di udara. Di dalam pesawat dia tetap terjaga untuk melihat-lihat isi dokumen yang sudah diatur oleh sekretarisnya. Dia hanya sempat tidur selama satu jam. Tak lama kemudian dia terbangun saat mendengar suara sang pilot yang memberikan informasi jika pesawat akan segera mendarat.

Jika dihitung-hitung dalam satu pekan ini, dia sudah melakukan penerbangan selama enam kali. Pantas saja belakangan ini Hunter mudah lelah. Tulang punggungnya sepertinya sudah mati rasa karena terbiasa tidur dalam posisi duduk. Dia juga mulai jarang berolahraga semenjak jadwal perjalanan bisnisnya padat. Sepertinya dia perlu mengatur seseorang lagi untuk mengantikan posisinya sebagai wakil di beberapa perusahaannya di setiap negara yang telah dia akuisisi maupun sekadar merger.

“Kita mampir sebentar ke penthouse. Aku ingin menganti pakaianku,” perintahnya ke Clay, sopir pribadinya.

Hunter masih punya jadwal pertemuan lagi. Kali ini pertemuan pribadinya. Jackson atau biasa dipanggil Jack—teman satu kampus—mengundangnya ke acara pacuan kuda yang disponsori oleh perusahaannya. Meskipun dia bukan penggemar pacuan kuda—tidak seperti Jack yang tergila-gila pada kuda—dia tetap datang menonton demi menghormati undangan sang teman.

Lagipula dia butuh suasana baru setelah kemarin hanya bertemu orang-orang untuk membicarakan bisnis. Dan Jack adalah orang tepat jika Hunter membutuhkan suasana baru.

Tiba di penthouse-nya yang megah di pusat kota, Hunter menghabiskan waktu sejenak untuk mengganti pakaian. Penthouse itu berada di puncak salah satu gedung tertinggi di kota. Jendela-jendela besar memberikan pemandangan yang sempurna ke seluruh kota di bawahnya, sementara interiornya mencerminkan gaya hidup yang penuh kemewahan namun terasa dingin dan sepi. Tidak ada jejak kehidupan di dalamnya, kecuali kebisingan televisi yang tak pernah dinyalakan dan furnitur mahal yang jarang disentuh.

Tepat pukul tiga sore, dia baru tiba di arena pacuan kuda yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Lokasinya lumayan jauh dari ibukota. Clay terpaksa mengebut di jalan supaya sang tuan tidak datang terlambat. Setibanya di sana, suasana berubah drastis; dari pemandangan urban ke area lapang yang terbuka luas. Di sini aroma tanah dan kuda bercampur dengan sorak-sorai para penonton yang penuh semangat. Perlombaan kuda sudah berlangsung sejak 30 menit lalu. Jack memberitahunya setelah menerima pesan bahwa dia datang terlambat karena suatu alasan tertentu. Dan alasan itu dikarenakan Hunter sempat tertidur beberapa saat di penthouse-nya.

Deretan kursi penonton penuh sesak dengan berbagai macam orang—dari keluarga muda yang membawa anak-anak hingga para lansia dengan topi jerami lebar, mengamati pacuan kuda dengan mata tajam. Arena pacuan ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan metropolitan. Padang rumput hijau terbentang luas, dikelilingi tribun kayu yang megah namun sedikit usang, mencerminkan sejarah panjang perlombaan yang sudah menjadi bagian dari tradisi tempat ini. Di kejauhan, aroma tanah yang bercampur dengan bau kuda, jerami, dan udara segar terasa kuat, menghadirkan suasana rural yang kontras dengan kehidupan bisnis yang biasa Hunter jalani. Sorakan penonton menggema, memecah kesunyian langit senja yang mulai beranjak malam.

Jack, seperti biasa, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan sisi flamboyannya. Dia sudah menyiapkan tempat duduk VVIP di atas, di mana kaca besar menghadap langsung ke lintasan balap. Hunter mengikuti seorang pelayan yang berpakaian rapi, menaiki tangga khusus yang dipenuhi karpet merah, menandakan eksklusivitas ruangan itu. Setiap langkahnya teratur, terdengar samar di atas karpet tebal yang meredam suara. Begitu pintu ruangan VVIP terbuka, dia langsung disambut oleh suasana heboh yang dipenuhi sorak-sorai.

Jack, berambut pirang yang berantakan dengan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya, duduk santai di sofa mewah. Kedua lengannya melingkari tubuh dua wanita cantik yang duduk di atas pahanya, seolah mereka bagian dari perayaan kecil atas keberhasilan kuda jagoannya yang baru saja menyalip di lintasan. Matanya bersinar penuh semangat, beralih cepat dari layar monitor ke arena pacuan di luar.

Jack tetaplah Jack. Selain tergila-gila dengan pacuan kuda, dia juga tergila-gila bermain wanita.

“Jadi, siapa yang menang?” tanya Hunter sambil berjalan masuk dengan tenang.

Jack menoleh sekilas, cukup untuk memastikan kehadiran temannya sebelum fokus kembali ke layar yang menampilkan lintasan pacuan. “Tentu saja milikku!” serunya dengan penuh keyakinan, menunjuk ke arah kuda hitam gagah yang kini memimpin di depan. Kuda itu adalah kebanggaannya, selalu tampil di puncak, seakan mengesankan bahwa Jack selalu tahu caranya memilih pemenang.

Jagoannya adalah kuda hitam terbaik yang sering memenangkan berbagai macam perlombaan pacuan kuda.

Suasana dalam ruangan VIP itu terasa nyaman namun dipenuhi dengan hawa persaingan. Di luar, sorak-sorai penonton semakin keras saat kuda-kuda mulai berlari mendekati garis finis. Lampu sorot dari arena menciptakan bayangan panjang di padang rumput, memperkuat kesan dramatis dari setiap lompatan kuda yang menerjang lintasan dengan kekuatan penuh.

Di tengah semua ini, Hunter hanya berdiri tenang, mengamati dengan tatapan dingin, seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat kemenangan dan kekalahan sehingga semua terasa sama saja. Namun, di balik sikap dinginnya, dia merasakan sesuatu yang berbeda di udara—sebuah perasaan aneh, sebuah panggilan untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar permainan uang atau kemenangan semu di arena pacuan.

“Omong-omong, turut berduka cita,” ucap Jack sambil mengangkat gelasnya, nadanya setengah bercanda namun dengan sedikit keseriusan di balik itu.

Hunter hanya melirik sekilas, tak tertarik menanggapi. Duka cita? Ayahnya meninggal dua bulan lalu dan waktu telah meredakan perasaan apa pun yang sempat muncul. Tanpa banyak reaksi, dia menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di seberang Jack, lalu menerima segelas scotch yang dituangkan oleh salah satu wanita yang duduk di sisi temannya itu. Ruangan VVIP tersebut terbungkus dalam suasana mewah yang temaram, lampu kristal menggantung dari langit-langit, memancarkan cahaya hangat yang terpantul di dinding kaca besar, memperlihatkan arena pacuan kuda di bawah mereka. Dari kejauhan, suara sorakan penonton terdengar samar, menciptakan latar yang nyaris hening di ruangan itu—sebuah oasis tenang di tengah gemuruh perlombaan di luar sana.

“Aku membaca beritanya dan orang-orang di internet menjadi heboh mengetahui si megamiliuner menjadi lebih kaya raya berkat warisan orang tuanya.” Jack berdecak kagum, matanya menyipit seolah mengukur nasib temannya dengan rasa kagum yang disembunyikan—sejujurnya dia sedikit iri dengan keberuntungan sendok emos sang teman. “Hai, kalau kau bingung menghabiskan uangmu, tolong saja berikan padaku. Tanganku ini selalu terbuka lebar untuk uangmu, Bung!”

Hunter, yang sejak tadi menatap kosong ke arah luar, akhirnya menoleh. Sudut bibirnya terangkat sedikit, menunjukkan senyum tipis yang hampir jarang terlihat.

“Aku serius.” Jack menegaskan walaupun wajahnya tetap penuh canda. Dia memang bukan orang miskin—ayahnya seorang diplomat ternama dan ibunya seorang pengacara terkenal. Dia sendiri pebisnis sukses, meski kekayaannya tak sebanding dengan Hunter. Tapi siapa yang tidak ingin tambahan uang? Terlebih dari teman lama yang kini dijuluki si Taipan Muda, Hunter Rivièra.

Laki-laki itu memang terlahir dari sendok emas. Baru-baru ini Hunter masuk dalam daftar miliuner muda versi Forbes—majalah ternama bisnis dan finansial dari Amerika Serikat. Langit-langit keuangan dunia terbuka lebih luas untuknya ketika dia mewarisi kekayaan Peter Lim, taipan besar asal Asia yang merupakan ayah kandungnya.

Ayah kandungnya belum lama ini meninggal. Hunter sebagai satu-satunya putra kandung Peter Lim mewarisi seluruh kekayaan sang ayah. Berita di internet menjadi heboh lantaran pria yang sudah mendapatkan julukan si Taipan Muda mendapatkan warisan dalam jumlah besar. Terlebih jumlah warisan itu melebihi jumlah peninggalan untuk istri dan anak kedua Peter Lim sehingga perdebatan pun memanas di media sosial, banyak yang berspekulas bahwa Peter Lim lebih menyayangi putra kandungnya Hunter Rivièra, meskipun anak laki-lakinya itu telah mengganti namanya, daripada istri dan anak keduanya.

Hunter mendengarkan semua itu tanpa perasaan. Dia sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk internet yang membahas setiap gerak-geriknya. Berita tentang dirinya, kekayaannya, dan warisannya yang besar tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik perhatian. Bagi dunia, dia adalah megamiliuner muda yang namanya selalu muncul di media bisnis dan finansial. Namun, bagi dirinya sendiri, semua ini hanyalah bagian dari langkah panjang membangun kerajaan bisnis yang sudah dia rintis sejak lama, bahkan sebelum warisan orang tua angkatnya jatuh ke tangannya, dan kini, kekayaan Peter Lim hanya menambah tebal kantongnya yang sudah penuh.

Jack mengamatinya dengan senyum setengah bercanda, tapi ada kekaguman yang tak bisa disembunyikan di matanya. Kekayaan Hunter begitu besar hingga sulit dibayangkan. Bagi seseorang seperti Jack—yang meskipun kaya—melihat Hunter Rivièra hanya membuatnya ingin menggigit jari, membayangkan betapa mudahnya dunia terbuka bagi orang seperti dia. Membayangkan kekayaan yang seolah tak ada batasnya, Jack hanya bisa tertawa dalam hati—dia seperti seorang wanita yang jatuh cinta pada pria tampan dan kaya raya. Di satu sisi, Jack merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berteman dengan si taipan muda yang namanya masuk ke Forbes.

Hunter merasa aneh ketika memperhatikan Jack tiba-tiba menyeringai lebar, padahal posisi kuda jagoannya telah tersalip kuda lawan. Senyum yang tak wajar di wajah Jack membuat suasana dalam ruangan VVIP itu terasa ganjil. Lantunan suara gemuruh dari arena pacuan di luar bercampur dengan suasana mewah di dalam ruangan, Jack seolah terputus dari realitas, terserap dalam dunianya sendiri.

Jack baru tersadarkan ketika wanita di sampingnya memberitahu bahwa kudanya berada di posisi kedua. Ekspresi wajah Jack berubah drastis dari penuh percaya diri menjadi marah. Dia segera berdiri dan menunjuk ke arah joki kuda jagoannya di arena balapan, meneriakkan perintah dengan nada panik. “Jangan sampai kalah! Aku sudah mengeluarkan uang banyak kali ini!” teriaknya, seolah-olah si joki bisa mendengarnya dari kejauhan. Tangan Jack mengepal di udara, wajahnya memerah karena frustrasi.

Namun, ketegangan itu cepat memudar saat kudanya kembali mengambil alih posisi pertama. Wajah Jack berubah lagi, kali ini tersenyum lebar penuh kemenangan. Dalam kegembiraannya, dia mencium kedua wanita di sampingnya bergantian, seolah-olah ciuman itu adalah ritual penanda kemenangannya.

Hunter menyaksikan semua itu dengan tatapan datar, tak acuh. Ciuman Jack tidak menarik perhatiannya dan godaan salah satu wanita yang terus menuangkan scotch ke gelasnya pun tak mengusiknya. Wanita itu mengedipkan mata dengan manis, jelas berusaha menarik perhatiannya, tapi Hunter hanya mengangkat alis sedikit sebelum membuang muka, tak tertarik.

Apakah wanita itu sungguh mengira Jack tidak akan menyadari usahanya? Wanita bodoh, pikirnya. Jack mungkin terlihat seperti pria yang sembrono dan kekanak-kanakan, tetapi dia cukup pintar dan peka untuk mengenali sedikit kebusukan di sekitarnya.

“Percuma kau menggodanya. Dia tidak akan tertarik.” Wanita itu tersentak kaget, tak menyangka Jack mengetahui niat terselubungnya. “Bahkan jika kau telanjang di depannya, dia tidak akan menidurimu.”

Wanita itu memandang Hunter dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Belum pernah ada pria yang menolak perhatian dengan cara seperti ini, apalagi di hadapan seorang wanita cantik.

Jack tertawa kecil, kemudian menambahkan dengan nada main-main, “Aku tidak bilang dia tidak punya nafsu. Tapi, ya, dia terlalu selektif dalam memilih wanitanya.”

Hunter hanya memutar bola matanya, bosan. Ini bukan pertama kalinya Jack atau orang lain dalam lingkaran sosial mereka bercanda tentang kehidupan pribadinya. Sudah sering dia mendengar lelucon-lelucon tentang dirinya yang tidak tertarik pada wanita. Bahkan rumor tersebut pernah menghiasi halaman majalah gosip besar, menyebutnya sebagai pria tanpa gairah atau lebih buruk lagi, menyiratkan bahwa dia mungkin gay.

Padahal, kenyataannya tidak begitu. Hunter masih seorang pria yang normal, sama seperti yang lain. Dia hanya terlalu selektif ketika berhubungan dengan wanita. Ada alasan di balik sikapnya yang dingin dan terkendali, alasan yang membuatnya menjaga jarak dan tidak mudah terlibat terlalu dalam. Dia hanya memilih untuk tidak memamerkan setiap hubungan atau petualangan asmaranya ke hadapan publik, berbeda dengan Jack yang seringkali bangga memamerkan wanita-wanitanya di berbagai acara.

“Aku hanya bercanda.” Dengan senyum yang masih melekat, Jack mengalihkan percakapan dengan cepat. “Omong-omong, sudah dengar berita tentang Lantsov?”

“Maksudmu Luke?”

“Yap. Bocah gila itu.”

Hunter menggeleng pelan. Kesibukan mengurus bisnisnya akhir-akhir ini membuatnya tak banyak mengikuti kabar dari luar. Luke Lantsov, sosok yang diingatnya sebagai pria flamboyan dan ambisius, sepertinya telah mencoba menghubunginya dua minggu lalu. Namun, karena kesibukan dan jadwalnya yang padat, Hunter tidak sempat menanggapi panggilan itu.

“Dia sempat menghubungiku dua minggu lalu. Tapi aku tak sempat menjawab panggilannya,” Hunter berkata dengan nada datar, pandangannya kosong menerawang ke luar jendela kaca besar yang menghadap ke arena pacuan. Di luar, bayangan kuda-kuda yang berlari kencang tampak buram, kontras dengan suasana dalam ruangan VVIP yang tenang dan nyaman. Malam mulai merangkak turun, menyelimuti arena dalam cahaya temaram lampu sorot yang menyoroti lintasan. Suara sorakan penonton terdengar samar di latar belakang, sementara aroma scotch yang dituangkan memenuhi udara hangat ruangan tersebut.

Jack menyesap minumannya perlahan, mengangguk paham. “Tentu saja, kau sibuk dengan urusan bisnismu,” ujarnya, tak heran dengan rutinitas padat temannya itu. “Tapi kau mungkin ingin tahu—bocah itu membuat internet geger belakangan ini. Dia mengaku berhasil mengambil alih Pulau Mhthyr.”

Hunter sedikit tersentak, ekspresinya yang biasanya dingin tampak terganggu sejenak, sebelum dia kembali terdiam, mencerna informasi yang baru saja keluar dari mulut Jack. Suasana di ruangan terasa sedikit berubah, seolah-olah kabar itu membuka pintu menuju dunia yang lebih gelap dan misterius.

Jack, yang tampaknya tak menyadari perubahan suasana itu, melanjutkan dengan semangat. “Luke menghubungiku kemarin. Dia menawarkan salah satu wanita Suku Mhthyr padaku—dengan harga tinggi, tentu saja. Aku lumayan tertarik, jujur saja. Wanita-wanita itu mengingatkanku pada cerita tentang Suku A****n. Wonder Woman, kau tahu? Jadi aku menerima tawarannya dan kami sepakat bertemu di Monako akhir pekan ini.”

Hunter tetap diam, tatapannya terfokus namun hampa, membuat Jack terus berbicara tanpa curiga. “Dia juga bilang akan membuka lelang wanita-wanita Suku Mhthyr di mansion pribadinya di Monako. Lantsov benar-benar sinting. Dia tidak takut keluarga bangsawan Luksemburg meredang saat mengetahui kegilaannya. Sepertinya dia berniat menjual semua wanita dari suku itu. Bocah itu memang selalu punya cara untuk membuat kekacauan setelah kebangsawaannya dilucuti.”

Jack tertawa pelan, tapi suaranya menggantung aneh di ruangan yang mulai dipenuhi keheningan canggung. Meski mereka tak bisa disebut teman dekat, hubungan mereka berubah menjadi pragmatis—hubungan yang terjalin atas dasar bisnis dan keuntungan. Ketika ada sesuatu yang bisa diperjualbelikan, mereka mendadak menjadi sekutu.

“Dan seingatku, kau selalu tertarik dengan Suku Mhthyr.” Dari dulu entah bagaimana Hunter sangat tertarik mengenai Suku Mhthyr. Dia terus berupaya mencari tahu tentang suku wanita tersebut dengan mengandalkan cerita orang-orang yang mengaku pernah berhubungan dengan salah satu penduduk asli Suku Mhthyr. Jack dulu sempat berpikir Hunter terkena sihir Suku Mhthyr karena merasa aneh dengan kegigihannya untuk mendapatkan informasi mengenai Suku Mhthyr.

Hunter mendengarkan dengan tenang, ekspresinya tetap datar, meski pikirannya bergerak cepat. Jack tidak salah—minatnya terhadap Suku Mhthyr bukanlah hal baru. Namun, ada alasan di balik ketertarikannya, alasan yang lebih dalam dari sekadar legenda atau mitos. Jack, dengan senyumnya yang penuh arti, sepertinya tidak sepenuhnya memahami intensitas ketertarikan Hunter pada suku misterius itu.

“Kalau kau menghubungi Luke sekarang, aku yakin dia akan memberimu wanitanya secara cuma-cuma. Bocah gila itu masih berhutang banyak padamu, bukan?”

Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik. Hunter, dengan mata yang kosong namun tajam, memikirkan tawaran itu. Di luar, suara kuda-kuda yang mendekati garis finis semakin intens, sorakan penonton makin menggelegar, sementara di dalam, suasana tetap sunyi dan tegang. Jack, yang awalnya berbicara dengan nada main-main, mulai merasa suasana berubah.

“Kurasa aku harus menemuinya sekarang,” ujar Hunter tiba-tiba, memecah keheningan dengan ketegasan yang mengejutkan Jack.

Jack menatapnya, terdiam sejenak, lalu tertawa keras, “What the fuck, man!?” teriaknya dengan ekspresi tercengang. Dia tak menyangka Hunter masih memiliki semangat yang sama untuk Suku Mhthyr, suku yang tampaknya selalu menarik perhatian temannya itu. Jack mengira Hunter sudah melupakan obsesinya terhadap suku tersebut setelah beberapa tahun tak pernah membicarakannya lagi.

“Aku mengerti kau tertarik dengan Suku Mhthyr sejak dulu. Tapi apa memang harus sekarang? Kudengar kau baru mendarat dan sekarang, kau ingin terbang ke Monako for your fucking Wonder Woman?”

Hunter tidak menjawab langsung, hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Dalam pikirannya, pertemuan dengan Lantsov adalah sesuatu yang harus dilakukan. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perdagangan wanita atau rumor yang beredar. Hunter merasa seperti sudah menemukan tujuan baru—sebuah misteri yang selama ini dia kejar tanpa henti.

Jack yang mulai menyadari keseriusan Hunter, mencoba menahan tawanya. Dengan nada mengejek, dia bertanya, “Looking for your Wonder Woman, huh?”

Hunter menoleh, senyumnya kecil namun penuh makna. “Who needs Diana?” jawabnya datar. “I just need a doll.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status