Share

Chapter 02: Mimpi

Persis tiga jam sebelum Suku Mhthyr berubah menjadi lautan darah, Kaiâ menyelinap keluar dari rumah.

Malam pemberkahan sudah dekat, tapi dia tidak ingin terjebak dalam persiapan yang terasa membosankan. Diam-diam, dia menyelinap keluar dari jendela kamar. Rumah sukunya terbuat dari perpaduan tanah liat dan batang kayu, diapit oleh pohon besar kauri raksasa setinggi 50 meter yang berfungsi sebagai pagar alami antar bangunan rumah warga suku. Bentuknya yang besar menyerupai sebuah menara tinggi mampu untuk menyembunyikan tubuh kecilnya dari mata sang pengawas.

Niatnya hanya keluar sebentar, mencari ketenangan sebelum melewati malam pemberkahan. Paling-paling hanya tiga puluh menit, lalu kembali sebelum ada yang menyadarinya. Kemungkinan kecil Serèia tahu karena ibunya itu sedang mengikuti pertemuan dengan para tetua di rumah utama, kecuali seseorang mengadukannya kepada ibunya.

Maka dari itu, tidak ada yang boleh melihatnya saat keluar rumah. Titik!

“Kaiâ?” Ah, sial. Baru saja dia mengatakan tidak boleh ada yang melihatnya keluar rumah, tapi belum ada lima menit keluar seseorang sudah memergokinya. “Melihatmu bersembunyi di belakang pohon kauri. Kau pasti mau kabur lagi.”

Lagi? Ya, hobinya memang sering kabur dari rumah. Membuat saudari-saudarinya kalang kabut dengan tabiatnya yang selalu merepotkan Serèia.

Beruntungnya orang yang memergokinya hari ini bukan Ròxy, yang hobinya suka mengadu ke Serèia. Melihat wanita itu pulang setelah sekian lama tak berjumpa, wajah Kaiâ langsung cerah. Wanita itu adalah Astrìd, saudarinya. Tanpa berpikir panjang, Kaiâ berlari menghampirinya.

“Sìur!”

Kaiâ menghantamkan tubuhnya ke dalam pelukan Astrìd, yang hanya bisa terkekeh geli melihat antusiasme adiknya.

“Sudah lama, ya? Sekarang kau sudah dewasa.”

Benar, sudah lama mereka tidak bertemu. Terakhir kali adalah ketika Kaiâ baru saja menyelesaikan upacara kedewasaannya pada usia 20 tahun. Setelah itu, Kaiâ menjalani masa pembelajaran sebagai Mìonna, putri terpilih Mhyër, selama lima tahun. Sekarang, dia sudah 25 tahun.

Rumah belajar Mìonna cukup dekat dengan tempat tinggal Suku Mhthyr, tapi tempat itu tertutup dan tidak sembarangan orang bisa keluar masuk dengan bebas. Tempat itu dijaga ketat ketua suku dan diberkati langsung oleh pelindung Mhyër sehingga lokasinya tersembunyikan dari mata orang awam. Hanya orang-orang pilihan yang dapat melihat keberadaan rumah belajar Mìonna. Sementara anak-anak yang ditunjuk sebagai calon Mìonna, tidak diizinkan untuk keluar dari rumah belajar sebelum dinyatakan lulus selama masa belajar.

Selama lima tahun itu, Kaiâ tidak pernah bertemu dengan Astrìd. Meski pembelajarannya sudah selesai sebulan yang lalu, mereka belum sempat bertemu karena Astrìd sibuk menjalankan tugasnya sebagai utusan suku ke tanah asing.

Sebagai seorang utusan, Astrìd seringkali melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri. Paling lama dia akan pergi selama setahun, paling cepat tiga bulan. Setiap kali pulang, Astrìd membawa cerita-cerita menarik tentang tanah asing, serta pengetahuan baru yang ia bagikan kepada para wanita suku.

Sebenarnya masih ada banyak hal-hal menarik tentang kehidupan di tanah asing yang ingin Astrìd bagikan kepada saudari sesukunya, tapi sebagai seorang utusan dan bagian dari Suku Mhthyr, dia harus mengikuti aturan suku agar tidak membahayakan keberadaan suku dengan menyebarkan budaya-budaya orang dari tanah asing secara berlebihan.

Para tetua khawatir budaya luar akan merusak tradisi leluhur. Sebab itu, mereka selalu mengawasi para utusan supaya tidak berlebihan bercerita dan mengupayakan untuk menyimpan hal-hal yang telah mereka ketahui di luar sana.

Sementara itu, tugas para utusan untuk memperdagangkan kekayaan Suku Mhthyr ke tanah asing, seperti batu permata dan kerajinan tangan. Selesai berdagang mereka akan pulang membawa masuk kebutuhan pangan, pengetahuan, serta budaya yang berasal dari tanah asing.

Kaiá ingat, beberapa hari lalu dia mendengar berita bahwa para utusan, termasuk Astrìd, akan pulang dari pejalanan jauh mereka. Karena itulah ia berencana keluar dari rumah untuk menjemput saudarinya. Namun, rencana itu terhenti saat ia tak sengaja melihat Tetua Rosaliè.

“Hehe.” Kaiâ dengan bangga membusungkan dada, lalu berceloteh, “Aku sudah dewasa, Sìur. Sekarang aku sudah siap menjelajah ke tanah asing bersamamu!”

Mimpi gadis itu adalah melakukan perjalanan jauh ke dunia luar, di tanah asing bersama saudarinya. Ia ingin merasakan sensasi kehidupan di luar sana, ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seberapa luas dunia di luar Suku Mhthyr.

Selama ini dunia Kaiâ hanya sebatas Suku Mhthyr belaka. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan, dia kerap membayangkan kehidupan dunia luar melalui buku-buku yang pernah dia baca tanpa mengetahui kebenarannya, betapa luasnya dunia itu. Dulu sekali, dia pernah menyelinap ke dalam perahu, tapi aksinya itu langsung tertangkap oleh Ròxy.

“Di mana Mitèra?” Sementara tak ingin membicarakan tentang mimpi saudarinya, Astrìd menanyakan keberadaan ibu mereka sambil menuntun Kaiâ untuk pulang ke rumah bersama-sama.

Kaiâ yang patuh mengikuti saudarinya ke rumah, tapi mulutnya itu tak pernah berhenti mengoceh tentang mimpinya menjelajah tanah asing bersama Astrìd. Baru-baru ini, dia menemukan hal-hal menarik dari buku-buku yang Astrìd berikan padanya, membuat keinginannya untuk melihat dunia luar semakin besar.

Namun, tiba-tiba ekspresi Astrìd berubah serius. “Sebelum petang, pergilah ke gua dekat danau, tempat kita biasa bersembunyi dari Mitèra.”

Kaiâ memiringkan kepala, sedikit bingung mendengar kata-katanya. “Apa maksudmu? Aku harus berkumpul dengan anak-anak lain untuk malam pemberkahan. Sìur, kau tahu aku akan menjadi Mìonna.”

“Tdak ada yang menarik dari menjadi Mìonna!”

“Sìur! Kau mengejek sang Dewi?” Ekspresi Kaia menjadi merah padam. Ia marah, sangat marah. Ucapan Astrìd barusan jelas sedang mengejek Mhyër karena Mìona adalah julukan untuk putri pilihan sang dewi.

“Sebagai saudarimu, kau harus mendengarku.” Meski mereka bukan saudara kandung, mereka telah tumbuh bersama sejak Serèia mengangkat Kaiâ sebagai putrinya. ““Pergilah ke gua sebelum petang. Jangan keluar sebelum aku dan Mitèra tiba. Dan apa pun yang kau dengar, jangan pernah tinggalkan gua itu!”

Apa maksudnya? Mengapa ia harus pergi ke gua bahkan sampai melarangnya keluar?

Kaiâ ingin bertanya lebih lanjut, tapi Astrìd terlihat sibuk mencari sesuatu di rumah sehingga melupakan keberadaannya untuk sesaat, sebelum perhatiannya tercurahkan lagi kepadanya. Wanita itu berhenti mencari sesuatu dan berjalan mendekat hingga jarak di antara mereka hanya tersisa beberapa senti belaka.

Kaià merasakan keseriusan dalam tatapan mata Astrìd dan nada bicaranya yang tegas, menekankan bahwa ia harus mengikuti setiap perkataannya. Kaià terdiam, perasaannya campur aduk. Ini pertama kalinya ia melihat saudarinya terlihat aneh dan sedikit mengancam.

“Sì-siur.” Ia gugup dan merasa sedikit terancam.

Seolah tak peduli dengan kegugupan saudarinya, Astrìd memegang pundak Kaiâ dengan kuat. “Begitu kau meninggalkan rumah sebelum petang dan pergi ke gua dekat danau, aku berjanji akan membawamu pergi ke tanah asing.”

Untuk sesaat ekspresinya berubah cerah. Itu adalah mimpinya!

Kaiâ selalu bermimpi melampaui batas-batas Suku Mhthyr, tapi sekarang, saat Astrìd memberikan tawaran itu, hatinya malah dipenuhi keraguan. “Tanah asing” terdengar seperti kebebasan, tetapi upacara Mìonna telah tertanam dalam dirinya sejak dia masih kecil. Bagaimana mungkin dia mengabaikan takdir yang ditetapkan oleh Mhyër?

“Terima kasih sudah peduli padaku. Tapi aku tidak bisa pergi.”

“Bodoh!”

“Hm?”

“Kaià, lupakan soal menjadi Mìonna. Kau tetap bisa menjadi Mìonna tanpa harus mengikuti upacara konyol itu, selama Mhyër masih mengawasimu.”

“Sìur!”

Lagi dan lagi, Astrid mengejek tradisi Suku Mhthyr. Sejak kapan saudarinya berubah begini? Menjadi serius dan gampang marah.

“Pergilah ke gua dekat danau sebelum petang. Aku akan segera menyusulmu bersama Mitèra. Dan jangan pernah pergi meninggalkan gua sebelum aku tiba.”

“Tapi, Sìur—”

Astrìd sudah dulu pergi meninggalkan rumah dengan langkah tergesa-gesa, membiarkan Kaiâ yang tercengang bingung selama menatap punggung kepergiannya.

Lalu apa sekarang? Kaiâ bimbang. Apa dia harus pergi ke gua? Sebenarnya pun tadi dia berencana pergi ke gua dekat danau untuk bermain selama 30 menit sebelum Serèia pulang.

Gua itu sangat rahasia. Hanya Kaià dan Astrìd yang tahu bahwa di dekat danau di tengah hutan, terdapat gua tersembunyi di antara semak belukar, dilindungi oleh bebatuan besar seperti menara. Bagi orang yang tidak mengetahui keberadaan gua tersebut, mereka pasti akan mengira itu hanya batu besar biasa.

Mungkin tidak apa-apa kalau hanya 30 menit ..., pikir Kaiâ akhirnya memutuskan tetap pergi ke gua dekat danau. Sebelum itu, dia harus berhati-hati agar tidak terlihat oleh mata pengawas, terutama Ròxy yang selalu saja mengadu setiap kali memergokinya sedang bersembunyi ataupun kabur.

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

Di mana dia? Tempat ini jelas bukan gua dekat danau. Tidak ada tanah, bebataun, atau semak-semak yang menutupi pintu masuk. Kaiâ memandang sekeliling dengan ekspresi bingung.

Di sini pun tidak ada siapa pun, selain hanya ada dirinya yang berputar-putar kebingungan mencari jalan keluar. Sebenarnya tempat macam apa ini? Di sukunya tidak ada tempat sejenis ini. Ruang ini terasa kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan. Sekelilingnya hanya berwarna putih bersih tanpa ada setitik noda hitam. Kaiâ seakan berada di dunia baru yang belum pernah dia jelajahi. Di dunia di belahan mana pun yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Aneh sekali. Semestinya dia ada di dalam gua rahasia dekat danau karena ingatan terakhirnya pergi ke sana. Lalu kenapa tiba-tiba dia berpindah kemari? Di tempat asing yang menyesatkan keberadaannya.

“Hallo?” Ia berteriak berharap menerima sahutan dari seseorang, entah dari arah mana pun. Kaiâ bergidik ngeri saat mendengar gaung suaranya yang memantul, menyerang balik indra pendengarnya.

Kaiâ meringis kecil sambil mengusap dadanya yang sempat mencelos panik saar mendengar gaung suaranya sendiri. Dia kemudian berjalan lagi, mencoba mencari petunjuk tentang keberadaannya sambil berteriak memanggil. Mungkin saja selain dirinya di sini masih ada orang lain bersembunyi di suatu tempat.

Ah, ketemu! 

Kaiâ tampak lega saat dari jauh melihat seseorang berdiri membelakanginya. Dengan semangat, dia berlari mendekati sosok tersebut.

“Permisi?” Sebelumnya Kaiâ tidak mengharapkan apa pun dari sosok yang berdiri membelakanginya ini. Dia asal berlari karena mengira sosok itu dapat memberinya petunjuk tentang keberadaannya. Bahkan dia tidak memiliki pikiran sosok itu sebagai orang jahat atau orang baik.

Tindakan impulsifnya menyapa sosok tersebut, membuatnya sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan sebagai Suku Mhthyr.

Sebagai wanita dari Suku Mhthyr, dia tidak boleh menyapa laki-laki asing!

Kaiâ bergerak cepat untuk menjauh. Sebisa mungkin dia menjaga jarak antara dirinya dan laki-laki itu. Ketertarikannya sebelumnya terhadap seorang laki-laki, seolah hanyut ke dasar lautan ketika dia di hadapankan langsung dengan seorang laki-laki. Kaiâ mengigit bibir sambil menatap waspada sosok laki-laki di depan yang hanya diam dan menatapnya kosong.

“Kaiâ.”

DEG!

Seluruh tubuh Kaiâ gemetar ketika mendengar suara seorang wanita memanggil namanya. Suara itu terdengar merdu, semerdu deru ombak lautan, dan selembut kain sutra. Kaiâ merasakan kehangatan serta kerinduan yang begitu mendalam hingga tanpa sadar berlutut untuk memberi sebuah penghormatan.

“Mhyër,” gumamnya, tubuh merinding mendambakan kerinduan.

Dia sangat yakin bahwa suara wanita tadi adalah milik Dewi Mhyër yang agung.

“Putriku, Kaiâ.”

Jantungnya berdebar-debar, tak kuasa menahan haru ketika sang dewi memanggilnya sebagai putrinya. Kaià tersenyum hangat, menyambut panggilan sang dewi dengan penuh suka cita.

“Putriku Kaiâ, ingatlah wajah laki-laki di depanmu.”

Tatapan Kaiâ berpaling kembali pada sosok laki-laki yang berdiri di depannya dengan mata kosong. Apa maksudnya? Meski bingung dengan permintaan sang dewi, dia tetap menatap serius wajah laki-laki itu, mengamati, dan berusaha mengingatnya.

Kaiâ tidak mengatakan apa-apa selama mengamati laki-laki di depannya. Wajahnya putih dan bersih. Tidak ada yang istimewa dari sosoknya, kecuali matanya yang kosong, seolah tak ada jiwa di dalam sana. Laki-laki itu memiliki rahang tegas dan tulang pipi yang menonjol dengan sesuatu yang kelihatan seperti bekas luka pisau di pipi. Sulit baginya untuk mendeskripsikan laki-laki itu sebagai sosok yang tampan atau tidak, sebab konsep ketampanan sendiri tidak pernah ada di kepalanya.

Terbiasa melihat kecantikan Suku Mhthyr, membuat segalanya tampak serupa di matanya ketika dihadapankan pada jenis kecantikan lain. Semua garis keturunan Suku Mhthyr memiliki paras yang menawan hingga orang-orang dari tanah asing sering menyebut mereka sebagai “kecantikan dari tanah subur”.

Kaiâ merasakan simpul samar yang membuat hatinya gusar, dan entah mengapa, dia merasa sedikit tidak nyaman saat menatap laki-laki itu lagi. Kaiâ segera mengalihkan pandangannya, berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan kosong itu.

“Dewi, untuk apa saya harus mengingat laki-laki ini?” Kaiâ ragu apakah Mhyër telah meninggalkannya, dia pun bertanya lagi, “Apakah Anda ingin memberi peringatan pada putri Anda yang malang ini, Dewi?”

Kaiâ tiba-tiba teringat bahwa Mìonna yang selalu diberi nubuat oleh sang Dewi melalui mimpi. Mengingat keberadaannya saat ini, Kaiâ mulai menyadari bahwa dirinya sedang berada di dunia mimpi bertemu dengan sang dewi.

Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Ketika Kaiâ hampir menyerah untuk bertanya lagi, Mhyër tiba-tiba membisikkan sesuatu kepadanya, “Takdirmu ada pada pilihanmu, Putriku.”

Nubuat sang dewi berakhir di situ, karena meskipun Mhyër adalah seorang dewi, “Dia” tidak bisa ikut campur tangan dalam roda takdir anak-anaknya.

Kaiâ mengangguk paham, lalu berterima kasih kepada sang dewi karena telah memberinya nubuat, meskipun dia secara resmi belum diangkat menjadi Mìonna.

Tunggu ... Mìonna?

Sejak saat itulah dia terbangun. Kaiâ yang baru sadar langsung memeriksa sekeliling sebelum bergegas berdiri, menggerutu betapa cerobohnya dia tertidur di gua, padahal malam ini dia harus melewati malam pemberkahan.

Kaiâ yang baru hendak keluar mendadak berhenti saat samar-samar mendengar teriakan dan tangisan dari luar gua. Jantungnya mencelos. Mendadak rasa cemas merayapinya saat dia bersiap melangkah keluar dari gua dekat danau. Saat itu juga, peringatan saudarinya beberapa waktu lalu terngiang di kepalanya.

“... apa pun yang kau dengar nanti, jangan pernah keluar dari gua.”

Kaiâ yang sangat cemas meremas kedua tangannya yang dingin oleh keringat. Sebenarnya apa yang terjadi di luar sana?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status