Inara menyerahkan mangkuk berisi obat pada gadis di hadapannya."Ayo, minumlah selagi hangat," ujarnya.Kedua tangan Zhura memegang mangkuk itu dengan hati-hati. Dia tersenyum kecil, tapi matanya sayu. Diminumnya obat itu perlahan, kernyitan muncul di keningnya karena merasakan pahit yang teramat.Valea melihatnya, lantas berujar, "Tabib Ma yang membuatnya. Itu bisa mengembalikan stamina dan meringankan rasa sakitmu. Jadi, abaikan rasanya dan minum saja."Matahari bersinar terang, tapi tubuhnya tidak merasa hangat. Entah bagaimana, Zhura tidak bisa merasakan bugar bahkan setelah ia menandaskan obatnya. Ditatap wajah-wajah temannya, "Sampaikan terima kasihku pada Tabib Ma, aku terlalu sering merepotkannya.""Tentu saja," jawab Inara meraih mangkuk Zhura dan berjalan menuju nakas. Saat ia membungkuk untuk meletakkan mangkuk di nampan, sesuatu terjatuh dari sakunya. Itu adalah gulungan untuk bimbingan guru dan murid yang diberikan oleh Pak Dima."Apa itu?" Zhura memperbaiki posisi dudukn
"Padahal ada banyak hal yang ingin kuberitahu padanya. Tidak kusangka Yang Mulia bisa terkulai lemah seperti itu. Seperti apa hubungan di antara mereka? Kenapa dia rela berkorban tanpa memikirkan nyawanya seperti ini?"Ramia membuat raut permohonan. "Tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Jika ada orang lain yang mengetahui perasaan tuan yang sebenarnya, saya takut mereka berdua akan dalam bahaya.""Tenang saja," jawab Pak Dima. "Aku tidak akan mengatakan apapun."Ramia bernapas lega mendengarnya."Karena Yang Mulia sedang sakit, aku akan menyampaikan ini padamu. Pertama, ini adalah informasi rahasia, jadi kau pun harus menjaganya.""Saya mengerti."Pak Dima mengeluarkan berkas-berkas yang ia bawa di kotak kayu. "Ini adalah data anggota Shar yang dikirimkan oleh Tusk. Dia sudah berangkat ke sana kemarin dan sukses menyusup. Kemungkinan ia akan berada di sana dalam beberapa hari untuk mendapatkan lebih banyak informasi.""Informasi apa saja yang ia dapatkan?" tanya Ramia."Lihatlah, ini
Zhura berusaha memotong gelang Arbutus di tangannya dengan pedang yang pernah diberikan Ibu Suri. Bahan pedangnya yang keras terasa sangat menyakitkan untuk dipegang. Belum lagi bilahnya yang tajam kian menggores kulit lengannya hingga terluka. Ia tahu gelang itu hanya bisa dilepaskan oleh orang yang memasangnya. Namun, gadis itu tetap gigih untuk melepaskan benda pemberian Azhara itu dari sana. Inara yang berniat mengantarkan sarapan terkejut saat melihat temannya bersimpuh tergenang darah. Segera gadis elf itu berlari dan menghalaunya."Apa yang kau lakukan?!" tanya Inara saat melihat sebelah tangan Zhura terluka parah"Kembalikan padaku!" Zhura berusaha mengambil kembali pedangnya."Tidak!" Inara membuangnya menjauh. Melihatnya, Zhura lekas terisak menundukkan kepala. Suara tangisannya lirih tapi bahunya bergetar seakan ia merasakan penderitaan yang luar biasa besar. "Aku takut. Tak peduli seberapa keras aku mengabaikannya, dia terus datang. Dia ada di mana-mana bahkan saat aku ti
"Hari ini tidak ada latihan, jadi kita akan gunakan kesempatan ini untuk melakukan kegiatan lain."Arlia dan tiga gadis lain menampilkan raut heran saat Pak Dima mengatakannya. Keheranan mereka pun bertambah setelah guru mereka itu mengeluarkan banyak kertas."Apa yang sebenarnya Anda lakukan?" tanya Ilyza tak bisa menahan rasa penasarannya."Perayaan tahun baru akan segera tiba. Setiap gadis diizinkan menulis surat untuk dikirimkan pada keluarga atau kerabat. Jika ada balasan, istana akan memberitahukannya pada kalian," jelas Pak Dima meletakkan kertas di masing-masing meja muridnya. "Tulis apa saja yang ingin kalian sampaikan, ingat tulisannya akan diperiksa oleh pihak istana jadi tulislah yang baik-baik.""Permisi." Inara memasuki ruangan bersama Zhura. Gadis elf itu menundukkan kepalanya, "Maaf, kami terlambat."Pak Dima menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Katakan, hal apa yang lebih mendesak hingga kalian berdua menyepelekan waktu dengan datang seterlambat ini?""Kami ..
Mata birunya terbuka lebar mengamati berkas-berkas yang baru saja diberikan Ramia. Di sana tersaji berbagai data yang cukup membuat Azhara tercengang. Dia tidak mengira bahwa asal-usul anggota Shar berasal dari satu lingkup lingkaran yang sama. Fakta tentang perekrutan prajurit baru yang dilakukan secara resmi membuatnya semakin heran karena identitas mereka tidak dipublikasikan."Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Azhara beralih membaca lembaran lain. Kali ini ia menemukan gambar seseorang yang ia tidak asing tertera dengan kode nama Sin."Saya pikir dia adalah Ranzak, apakah Anda mengenalinya?" tanya Ramia yang berdiri di samping tuannya.Azhara memejamkan mata mencoba mengingat wajah pemuda itu. Bagaimana bisa Ranzak berada di daftar anggota Shar yang digambarkan Tusk? Bukankah dia adalah prajurit istana?Melihat kening tuannya yang mengerut, Ramia lantas menunjukkan sebuah berkas lain. "Ini adalah daftar informasi mengenai Ranzak yang saya dapatkan dari beberapa sumber. Di sini t
Arlia baru saja memasukkan kudanya ke istal saat ia melihat Zhura melangkah ke dalam istana. Dengan cergas ia bersembunyi di balik dinding, memperhatikan sosok yang mulai menjauh itu dengan penasaran. Sebelumnya Zhura tampak diantar oleh kereta kuda yang Arlia kenali adalah milik Ibu Suri. Kening gadis elf itu pun mengernyit, ia keheranan menerka apa yang Zhura lakukan dengan neneknya. Tak ingin berkubang dengan kecurigaan, Arlia memilih pergi menemui ayahnya."Apa kau yakin?" tanya Tuan Minra saat mendengar penuturan Arlia.Gadis itu itu mengangguk, "Aku melihatnya sendiri! Arlia tak mungkin salah mengenali kereta itu, bahkan kusir dan penjaganya mirip dengan orang-orang Ibu Suri. Mungkinkah dia menemuinya, Ayah? Tapi untuk apa?"Tuan Minra tampak berpikir, kemudian otot-otot keningnya menonjol saat sesuatu merasuki benaknya. "Ini di luar dugaan," ujarnya.Arlia yang mendengar itu lantas berujar, "Apanya?"Sosok tua berjubah kecokelatan itu menggeleng, mata hazelnya mencari arah pand
Setelah kembali dari kediaman Tuan Minra, Azhara hendak memasuki paviliunnya. Namun, ia melihat ada asap melayang dari halaman belakang. Segera ia bergegas masuk ke dalam dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana, Carmina tengah sibuk membakar sesuatu. Azhara melebarkan matanya saat melihat wanita itu hendak membakar layangan putihnya."Lancang!" serunya membuat Carmina terkejut."Yang Mulia, Anda sudah kembali?" Wanita muda itu diterpa ketakutan yang luar biasa. Itu terlihat jelas dari caranya mundur begitu Azhara mendekatinya."Siapa yang mengizinkanmu membakar benda-benda itu?" tanya Azhara seraya mengulurkan tangannya ke kobaran api. Detik itu juga, api itu padam menyisakan asap tipis yang mengganggu."Sa-saya ... saya hanya menuruti perintah. Setelah peristiwa kemarin, Yang Mulia Raja memberikan perintah untuk memusnahkan semuanya yang berhubungan dengan Lailla. Saya tidak bisa mengabaikan permintaan beliau," jawab Carmina menjatuhkan pandangan jelaganya ke rerumputan.Set
Sudah beberapa hari sejak Zhura dan teman-temannya kabur dari istana. Tidak adanya prajurit yang mengejar mereka adalah tanda kalau pelarian ini sukses. Kini mereka bertiga sedang beristirahat di pinggir sungai, dan akan melanjutkan perjalanan di esok hari. Setelah memberikan makanan pada kuda-kudanya, Valea duduk di sisi Zhura yang terlihat lesu. Tubuhnya bersandar pada pohon besar, sementara garis matanya dipenuhi lingkaran hitam."Sudah beberapa hari terakhir kau tidak beristirahat. Malam ini tidurlah dengan baik, kau akan mati jika terus-menerus begadang."Zhura menarik sudut bibirnya, "Kenapa kau jadi sangat perhatian? Apakah kau benar-benar Valea jahat yang dulu?"Gadis merah itu mengibaskan tangannya, tersenyum angkuh. "Kalau kau mati, siapa lagi yang bisa kuajak berkelahi?"Zhura menggelengkan kepala, tak habis pikir. Ia memilih mengalihkan pandangan pada sungai yang mengalir deras di hadapannya. Airnya sangat jeram, cahaya bulan jadi tidak bisa terpantul di sana. Seluruh tubu
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun