"Berhenti!"Zhura mengangkat ujung jubahnya, memberi sedikit ruang bagi kakinya untuk berlari. Di belakang, tiga orang besar berpakaian prajurit masih saja mengejarnya. Sejak berpisah dengan Erland, Zhura merasakan keanehan. Instingnya berkata dia sedang diikuti. Benar saja, orang-orang itu memasang wajah datar dan mata elang untuk mengekorinya. Ini menandakan bahwa pelariannya sudah tercium dan orang-orang itu pasti ditugaskan memburunya.Zhura menunduk, bersembunyi di bawah meja yang terlihat seperti rongsokan di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian hitam itu melewatinya. Mereka berlari lurus.. Jalanan sore desa yang berdebu membuat keadaan terlihat kabur. Angin salah satu pemantiknya. Zhura menekan laju jantung yang hampir meledakkan dada. Sudah sangat lama sejak ia berlari sekencang tadi, otot-otot kakinya kini terasa berkedut."Syukurlah, mereka pergi."Gadis itu mengintip dari bawah meja sekali lagi, lalu keluar. Ditatapnya sekeliling dengan heran di wajahnya. Ia mungkin pelari
Pintu kamarnya kembali tertutup. Beberapa saat terlewat hingga Zhura membuka mata. Dari balik selimut tipisnya, ia memeriksa apakah orang-orang itu sungguh keluar. Beberapa jam berlalu sejak dirinya dibawa oleh petugas keamanan kota Zhepyr, kini ia ada di penginapan bernuansa kayu-kayuan, tempat peristirahatan yang juga mengurungnya dari luar.Ditatapnya sebelah kakinya yang berdenyut, perban yang melilit sudah terlepas karena kakinya bengkak. Tidak terlalu sakit, tapi cukup membuatnya kesulitan berjalan. Setelah seharian berjalan ditambah berlari, keadaan kaki kanannya yang memburuk memang wajar. Bahkan jika ia terbangun esok hari dengan mati rasa di kaki, itu hal yang masuk akal.Suara ribut mengalihkan pemikirannya dari palung khayalan. Di luar pintu, sesuatu yang kacau terjadi. Ia memberanikan diri mendekat, mengintip bawah pintu yang kini menampilkan sosok-sosok yang sedang berkelahi. Matanya menyipit, tapi penglihatannya kabur karena sudut pandang terbatas. Belum sempat ia mema
Semburat fajar yang membawa hangat berpijar, tapi dingin yang hatinya rasakan. Kuyu menjadi gambaran tersiratnya rasa hampa. Letih dan putus asa, ditatapnya setiap mata yang menyorot gelap nan merisaukan. Bukan hanya sosok-sosok asing yang terus menenggelamkannya dalam kepiasan, rasa getir turut datang menemani detik demi detik eksistensinya di tempat."Azhara, dengan merujuk pada bukti serta alasan konkret, kau dinyatakan sebagai terduga melakukan tindakan pelanggaran dengan pelarianmu ke dunia bawah. Apa kau ingin mengatakan sesuatu tentang klaim itu? " Jaidin, salah seorang pengadil berjubah hijau berbicara padanya. Perawakannya khas dengan lengan yang berbobot, rambutnya panjang terhias serban terhias beludru merah.Terdapat sekat bening yang memisahkan Azhara dengan orang-orang kerajaan. Mereka semua duduk di sisi ruangan, menyaksikan dirinya bersimpuh di tengah lantai pualam dengan air yang mengalir mengelilingi. Mata birunya turun pada segel yang dimantrai untuk membatasi perge
Talhart meminta temannya maju. Sosok pengeksekusi bernama Batsarda mengambil langkah tanpa menoleh. Di sisi lain, derap kaki Batsarda justru terdengar nyaring bak kuda di pacuan, begitu menyiksa di telinga Zhura yang frustasi. Gadis perak itu berusaha mengejar, tapi lengan-lengan kokoh penjaga menahannya. Dari tempatnya, Jaidin menautkan kedua tangan di belakang pinggang. "Nona Zhura, kau dan temanmu harus ditahan karena melakukan penyusupan. Untuk tindakan lebih lanjut, tunggulah hingga ini selesai."Talhart meninggalkan meninggalkan Azhara, menyisakan ruang untuk pengeksekusian. Dia meraih tangan Zhura, membawa gadis itu bersamanya."Lepaskan aku!" Zhura memberontak. Sekuat tenaga, ia mati-matian mengurai jarak dengan Talhart. Sayang sekali ototnya belum kembali, ia tak punya kekuatan untuk melawan. Tak lama setelahnya, cemeti panjang nan tipis dikeluarkan dari serban Batsarda. Gagangnya terbuat dari batuan keras sementara cambuknya dipenuhi duri. Inara, Valea, Arlia, dan orang-oran
Ketiga pengadil bergeming memendam pikiran. Wajah-wajah tegas tadi sirna tergantikan oleh sosok-sosok angler. Talhart mendekat pada Guru Agung Zarwyn. "Bagaimana menurut Anda? Meskipun dia tidak berkhianat dan mencoba melakukan pemberontakan, tapi dia tetap melakukan ritual terlarang itu," tuturnya."Tindakan beresiko yang didasari pada niat baik akan menggugurkan sebagian ketentuan hukumnya. Dia tidak menginginkan apapun selain kedamaian orang lain. Meskipun begitu, ia tetap akan dikenai tanggung jawab untuk membenahi segala masalah yang timbul akibat masalah ini.""Apakah itu tidak masalah?"Terkekeh kecil, Guru Agung Zarwyn mengusap jenggotnya. "Aku adalah orang yang mengunci hatinya saat kecil, jadi aku tahu apa yang ia sembunyikan. Roh jahat itu selalu berusaha mengambil jati dirinya, satu-satunya cara agar ia selamat adalah membuatnya tidak memiliki perasaan apapun bahkan saat Azhara ingin merasakannya. Siapa sangka, kuncinya melemah seakan roh itu tak lagi bisa dikendalikan.""
Gemercik air terdengar nyaring karena hujan turun deras. Jendela yang dibiarkan terbuka membuat cipratan mengenai tubuhnya, tapi gadis itu hanyut dalam pikiran. Ia sibuk memikirkan tentang semua yang terjadi hari ini. Teman-temannya sudah pulang setelah menemaninya seharian. Kini ia sendirian, hening yang runyam, Zhura mengembuskan napas bosan. Digapai tongkat kayunya, ia berniat kembali ke ranjang saat seseorang mengetuk pintu kamarnya."Ada apa?" tanya Zhura saat ia mendapati Sheta, pelayannya, berdiri di depan pintu."Nona Zhura ...-" Sheta tergagap lalu membisikkan sesuatu pada telinga Zhura."Yang Mulia Azhara ada di sini."Tercenung, telinga dan akal Zhura berlomba mencerna bisikan itu. Segera kakinya melangkah ke tempat yang ditunjukkan Sheta. Ia memilah-milah pijakan agar perbannya tetap kering karena air membasahi pinggiran lantai. Di sana, Zhura pun mendapati Azhara berdiri seorang diri di nimfeum yang diterangi lentera kecil. Pemuda itu berjubah putih khasnya dengan rambut
Waktu berjalan membawa banyak hal selama sebulan. Para gadis dan prajurit yang sudah pulih keluar dari tempat perawatan. Kepergian Azhara ke penjuru Firmest pun menyelesaikan satu per satu masalah. Dari ujung timur, pintu perekomian serta lainnya mulai terbuka hingga ke pelosok barat. Kehidupan kembali normal.Untuk pertama kalinya, dunia menyambut berkah tanpa perlu khawatir akan apapun. Langit yang biru kini berawan. Pepohonan yang runggut mulai berbuah. Burung-burung bernyanyi merayakan datangnya kemenangan. Semua orang berkumpul selama seminggu penuh mengadakan pesta di jalanan. Mereka bersatu berbagi suka dan duka, mengenang hari lalu di mana mimpi buruk masih ada.Lalu hari yang dinanti tiba.Wajah-wajah berseri memenuhi setiap penjuru negeri. Karpet merah dibentangkan seluas tempat pelantikan. Wangi-wangian tercium dari sudut yang dilingkupi cahaya kandelir bahkan di siang hari. Atmosfir di tempat itu menguarkan keagungan. Ratusan orang berserban berbaris membentuk barisan di d
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun