Nadin sedang memetik bunga berwarna lavender ketika sebuah suara mengagetkannya dari belakang.
"Main di taman sendiri lagi, Anak Cantik?"
Gadis kecil itu menoleh dan melihat lelaki tampan yang sering disebutnya Om Baik sudah berdiri di belakang. Kedua tangan lelaki itu dilipat di depan dada, senyum lelaki itu meghiasi bibir.
"Om Baik!" seru gadis kecil itu kegirangan.
"Halo, Cantik!"
"Om, kok ada di sini?" Gadis itu mendongak ke arah Marlo yang menjulang tinggi di hadapannya.
"Harusnya Om yang tanya begitu. Kamu enggak sekolah?"
Gadis kecil itu meringis, memperlihatkan gigi geliginya yang rapi.
"Aku udah pulang sekolah, Om. Aku sama temenku lagi main di sini, sambil menunggu mobil jemputan kami.”
"Oh, begitu. Ada Mama atau pengasuh kamu di sini?"
Nadin mengangguk. "Ada Bi Darni lagi nungguin di bangku."
"Yah, bagus kalau ada orang dewasa disekitarmu. Ingat, ya, enggak boleh
"Gimana menurut kamu? Bagus nggak?"Marlo menoleh ke arah Damar. Yang dilihat justru seperti melamun. Tatapan Damar menyasar ke plafon, tetapi pikirannya sedang berada di awang-awang."Woi, bocah!" Marlo menepuk pundak Damar dengan jengkel. Lelaki muda ituterkejut, seolah-olah kembali tersadar."Kamu kenapa, sih? Dari tadi saya ajak ngomong, lho!"Lelaki muda itu meringis memohon ampun kepada Marlo. "Apa ya tadi?"Marlo geleng-ggeleng-geleng kepala. Padahal ia khusus meminta Damar datang untuk melihat rumah barunya. Kini bocah itu malah keasyikan melamun. Marlo curiga Damar sedang terlibat cinta lokasi dengan sekretaris Prasetya, kawan karib Kania. Ia mencoba mengingat siapa namanya, tapi cukup sulit."Dari tadi saya nanya, gimana menurut kamu? Rumah ini?" kata Marlo setengah jengkel."Ooooh rumah ini? " Damar nyengir kuda, takut kena omel lelaki galak itu. "Bagus, bos, bagus banget. Suasananya juga nyaman,
Bab 40Mentari pagi bersinar dengan cerah, menandai hari baru. Sekali lagi sang surya memimpin kehidupan dari balik cakrawala. Kesibukan pagi di rumah Kania hampir sama dengan rumah-rumah lain di kompleks perumahan pinggir kota."Nadin, sudah selesai mandi belum? " teriak Kania dari arah dapur.Tangannya bergerak lincah memotong dan memegang alat dapur. Bekal Nadin sedang dalam proses. Sesuai permintaan gadis kecil itu, hari ini ia mau bekal nasi goreng bungkus telur dengan isian sosis dan bakso.Kania sudah menyiapkan tiga wadah bekal di atas meja, siap untuk diisi. Kenapa ada tiga? Satu untuk Nadin, satu untuk Kania, dan tentu saja satu lagi untuk Barry. Kania mulai menghias nasi goreng yang sudah dibalut dengan telur dadar. Ia sedang menambahkan hiasan hidung dan mulut dari wortel dan ketimun ketika mendengar balasan suara Nadin dari arah kamar."Sudah selesai, Mama! Aku sedang ganti
Bab 41"Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Barry?" suara Marlo terdengar berat.Kania berbalik, menatap manik mata setajam elang itu. "Bukan urusan Bapak," bisiknya.Wajah tampan sempurna seperti di pahat itu tiba-tiba menyunggingkan senyum. Kania menyadari, seharusnya lelaki di depannya ini lebih sering tersenyum. Senyum yang menghiasi wajah lelaki itu membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan."Kamu datang ke sini dengan dalih banyak hal demi mengetahui kondisi Barry, lalu kau sebut bukan urusanku?" Marlo masih menatap tajam, bahkan mulai berjalan semakin mendekat. "Jangan macam-macam denganku, Lady.""Rupanya saya salah, saya buang-buang waktu saja di sini." Kania berkata dengan ketus.Marlo semakin mendekat, mengeliminasi jarak di antara mereka berdua."Mungkin kita bisa menghabiskan waktu sebentar. Sedikit chit chat tidak akan membuan
Kania melangkahkan kaki ke lobi kantor Hadinegoro. Hari ini ia sedikit terlambat karena Nadin mogok sekolah. Tidak biasanya gadis itu rewel, apalagi di pagi hari. Nadin adalah gadis kecil yang paling semangat sekolah. Namun, sejak semalam bocah lima tahun itu rewel tidak mau datang ke sekolah keesokan harinya.Sebuah pernyataan cukup mengejutkan Kania dengar dari mulut kecil putrinya."Mama, kata Aldo aku enggak punya Papa, semua anak punya Papa, kenapa aku enggak?"Kania yang tadi sedang membujuk gadis kecil itu keluar kamar untuk bersiap ke sekolah langsung terdiam. Ia sadar hal ini pasti suatu saat akan ditanyakan oleh Nadin."Aku enggak mau sekolah, Ma. Nanti Aldo pasti bilangin ke teman-teman, semua ngejek aku, Ma. "Kania menarik napas, berusaha sabar. "Sayang, Mama sudah bilang, Papa Nadin sudah ada di surga sekarang.""Nadin mau tunjukin ke teman-teman kalau Nadin punya Papa
Marlo sedang berjalan melintasi taman ketika ponselnya berbunyi. Sambil terus berjalan ia merogoh saku dalam jasnya. Nama Damar muncul di layar. Lelaki jangkung itu segera mengangkat telepon."Om, sebaiknya segera ke kantor." Suara Damar terdengar cukup panik dari ujung telepon."Ada masalah apa?""Huru hara yang kemarin aku bicarakan, hari ini sudah ada laporannya di meja Om.""Oke, kasih tahu, inti masalahnya apa? Aku masih dalam perjalanan ke kantor dari rumah.""Intinya Kania, Om. Dia terancam di PHK secara tidak hormat.""What?"Marlo langsung masuk ke mobil, menyalakannya dengan terburu-buru. "Tunggu aku segera datang ke kantor!"***"Apa maksudnya ini, Pak? Saya salah apa?" Kania terduduk lemas di depan meja Prasetya.Lelaki paruh baya itu menatap Kania, ekspresi tak terbaca di wajahnya. "Saya yakin, Kan,
"Mau ke mana, Mbak?" Sekretaris Barry mencoba menghalangi Kania yang menerobos masuk."Saya mau ketemu Pak CEO, ini penting!" Kania berusaha nekat. Prasetya sudah gagal meyakinkan Barry, kini ia harus turun tangan sendiri."Aduh, maaf, Mbak, enggak bisa!" sekretaris Barry yang berbadan tinggi langsung melebarkan lengan, berusaha menghalangi Kania di depan pintu."Ini penting, saya harus ketemu Pak CEO sekarang, tolong!""Mbak, enggak bisa, di dalam sedang ada tamu.""Sebentar saja, tolong!" Kania semakin mengiba."Mbak Kania, enggak bisa, Mbak!" Sekretaris Barry sudah nyaris hilang kesabaran.Kania berhasil meloloskan diri dari upaya sekretaris Barry. Ia melontarkan diri ke pintu kaca yang tertutup vertikal blind. Pintu itu terdorong ke depan, hingga Kania nyaris terjerembab."Barry, aku perlu bicara!"Suara Kania
"Buat apa kamu tetap di sini? Pergilah!""Sudah kubilang, aku enggak akan pergi.""Dasar keras kepala." Kania tertawa getir. "Sekarang aku bisa memaki kamu sepuasnya! Aku bukan karyawan kalian lagi, kan?""Kamu dan kerabat-kerabat kamu. Kalian semua brengsek!" Kania mendekati Marlo, memukul dada lelaki itu dengan genggamannya.Marlo bergeming, membiarkan Kania meluapkan emosi. Ia sadar kondisi Kania sedang tidak baik untuk ditinggalkan sendiri. Ia rela dicaci dan dimaki."Silahkan pukul dan caci maki, kalau itu bisa buat kamu lebih tenang."Mata Kania menatap tajam lelaki bermata elang itu. Ketika tangan kanan Kania melayang hendak kembali memukul dadanya, lelaki itu merengkuh Kania dalam pelukan.Kania luruh dalam pelukan Marlo, emosi mencair menjadi tangis. Marlo semakin erat memeluk wanita itu, ingin berbagi sembilu yang menyayat hati sang wanita."Kamu boleh ngga
"Mama!" Suara Nadin melengking. "Mama sudah pulang, ya?"Nadin berlari ke dalam, nyaris menabrak Kania yang berjalan dari arah dapur."Astaga, Sayang, Hati-hati, enggak usah lari di dalam rumah, nanti jatuh.""Mama sudah pulang? Nadin seneng Mama pulang cepat!" suara Nadin terdengar riang."Iya, Mama juga senang. Kamu ganti baju, nanti kita makan siang sama-sama, ya! Mama sudah masak ayam goreng kesukaanmu," kata Kania.Gadis kecil itu berseru girang dengan cukup heboh."Emm, Sayang, Mama mau kenalin kamu dulu ke teman Mama, boleh? Temen Mama mau ikut makan siang sama kita." Kania melirik ke arah dalam.Nadin melihat seorang laki-laki baru keluar dari ruang makan, berbadan tinggi dengan baju kemeja lengan panjang yang sudah digulung sampai sebatas siku."Om Baik!" Seru Nadin menubruk lelaki itu.Mata Kania membulat sempurna. "Jadi ini Om Baik y
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko