"Tiffany, maafkan aku." David terus mengulangi kalimat yang sama sampai Tiffany sudah selesai dengan tugasnya. Luka David sudah terbalut dengan kain kasa."Istirahat sebentar di sini, aku akan ambilkan selimut untukmu." Tiffany menyeka air matanya lalu membaringkan tubuh David di sana.Tak lama, ia kembali dengan selimut tebal yang ia ambil dari kamar. Bukannya ia tidak mau memapah David ke kamar, hanya saja tubuh pria itu sangat besar dan Tiffany tidak mempunyai cukup tenaga untuk itu."Tidurlah di sini untuk malam ini. Aku akan menjagamu, maafkan aku."Tiffany menata rapih selimut itu dan memastikan tidak ada satu hal yang terlewat. David masih terus merancau meminta maaf padanya, peluh perlahan mulai membanjiri kening pria itu hingga membuat tubuhnya menggigil. "David, astaga. Aku sudah memaafkanmu, tolong jangan seperti ini." Air mata sudah tidak dapat Tiffany bendung lagi, melihat kondisi David sekarang membuat hatinya jauh lebih sesak, seperti ditikam ribuan belati. Tubuhnya j
"Aku lepaskan." kuncian Rosa yang erat membuatnya tak bisa kabur dari cengkeramannya. Miliknya yang terangsang dibawah sana juga serasa sangat menderita, ingin mengeluarkan cairannya."Di dalam saja!" desahan beserta penolakan tegas keluar dari bibirnya.Gilang masih berusaha menahannya, berusaha membaringkan Rosa ke kasur. Tetapi Rosa melawan dengan menahan pundaknya dan terus memompa di sana. Gilang takut akan terjadi sesuatu hal yang lain setelah ini, ia tidak mau mengambil resiko yang terlalu jauh."David.. please.." mohon Rosa berharap penuh. Rosa mengabaikan permintaan Gilang agar keluar di luar. Tangan kanan yang merangkul leher Gilang tadi turun, menuju ke daerah dibawah sana. Mencapai kedua bola itu, ia meraba, meremas, memainkan bola itu dengan tangannya yang halus.Bibir di atas sana juga mengarah ke leher sahabatnya itu, menjilatinya dan memberi gigitan kecil di sana. Godaan tak tertahankan terus dilakukan oleh iblis kecil ini. Terus berusaha untuk membuatnya keluar. Rosa
"Wah, sepertinya ini terlihat enak.""Tentu saja, makanlah." Tiffany segera memasukan satu sendokan ke dalam mulutnya dan seketika saja raut wajahnya berubah."Bagaimana? Enak, bukan?" Tiffany mengunyah perlahan seraya tersenyum kecil, "Enak, hanya saja kau terlalu banyak.""Hah? Terlalu banyak?""Coba saja."David menuruti permintaan Tiffany dan sama seperti Tiffany, raut wajah pria itu berubah."Ini sangat asin!" David memprotes pada dirinya sendiri."Itu! Kau ini kenapa? Kau ingin cepat menikah? Omelette asin, nasi goreng juga asin." Tiffany tertawa renyah melihat perubahan raut wajah David yang sontak membuat pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merutuki ucapannya tadi."Tak apa, aku akan mengatasinya." Tiffany mengambil kembali nasi goreng itu dan menyulapnya di atas wajan hingga rasanya kembali normal dan enak."Bagaimana sekarang rasanya?" David kembali mencicipinya dan reaksinya benar-benar membuat Tiffany tersenyum lebar."Wah! Kau benar-benar luar biasa! Ini
Dengan mulut yang menganga, Salsha berjalan gontai menuju ibunya dan juga Matthew yang sialnya sedang tersenyum lebar. Ini benar-benar kejutan di pagi hari. Lagi pula, apa yang dilakukan pria itu di sini dan mengapa tidak memberitahunya?"Matthew? Kenapa kau bisa ada di sini?""Aku berniat untuk mengantarmu ke rumah sakit, tapi karena kau terlalu lama di kamar, jadi ibumu mengajakku untuk sarapan bersama.""Mengapa kau tidak memberitahuku lebih dulu?""Aku ingin memberimu kejutan. Kau suka?"Tidak ada jawaban dari Salsha, gadis itu perlahan menduduki posisinya, ia tidak dapat mencerna kejadian pagi ini."Cepat sarapan. Kasihan Matthew, dia sudah menunggu lama di sini. Dimakan, Matthew." Ibunya berkata seraya memberikan sepiring nasi goreng dengan beberapa sayuran pelengkap di sana.Salsha masih terdiam saja seraya menatap Matthew yang kini sedang asik berbincang dengan ibunya. Merasa di tatap, Matthew berbalik menatap Salsha seraya mengedipkan sebelah matanya.Karena ketahuan, Salsha
Tidak sengaja, Rosa melihat ke sebuah tempat makan transparan di atas meja pria itu. "Kau membawa bekal?"David tersenyum manis seraya melirik sekilas ke arah tempat makan itu dan wajah Tiffany langsung membayanginya, "Ya, Tiffany membuatkan nasi goreng untukku, tadi aku yang lebih dulu memasaknya, tapi karena keasinan jadi Tiffany yang membuatnya kembali. Masakannya sangat enak, kau ingin mencobanya nanti?"Rosa tersenyum tipis, kedua tangannya yang terkepal ia sembunyikan di balik dress selututnya, "Tak apa, itu bekalmu dan dibuatkan khusus untukmu. Kapan-kapan aku juga akan membuatkannya untukmu. Bagaimana?""Boleh saja, jika kau mau, kau bisa mengajak Tiffany. Masakannya juga tak kalah enak denganmu."Kepalan tangan itu semakin kuat, tak banyak bicara lagi, ia segera berjalan menuju ruangannya dengan hati yang benar-benar berkecamuk."Rosa?"David menghampiri dan kini sudah berdiri depannya, wajahnya menyiratkan rasa khawatir."Kau kenapa? Wajahmu sangat pucat. Kau sedang sakit?"
Rosa mengerang tertahan saat bagian bawahnya kini malah semakin bertambah sakit. Keringat dingin mengucur deras di keningnya. Padahal, ruangan saat itu sudah menggunakan pendingin ruangan. "Tidak, sakit ini bukan di perut. Astaga, apa yang terjadi padaku?" Rosa mencengkeram ujung meja. Sungguh, memangnya apa yang ia lakukan selama mabuk, ini benar-benar menyiksa.Tak lama, ia mengingat jika ia selalu membawa obat pereda nyeri yang ia letakkan di dalam laci. Rosa segera meminumnya dan seketika saja rasa sakitnya perlahan berkurang."Rosa?"Gadis itu mendongak dan berusaha menampilkan senyumannya."Kau ingin ke rumah sakit?""Tidak, ini hanya masalah pada wanita. Memang, terkadang aku sulit menahannya.""Sebenarnya, aku tidak mengerti. Tapi, aku harap kau baik-baik saja."David mengusap lembut surai panjang milik Rosa. Dan, itu membuat sang gadis membatu di tempat, hanya dengan sentuhan kecil saja sudah berhasil membuat degup jantungnya berdetak kencang.Setelah itu, David kembali kelu
"Philip?""Tiffany? Kau ingin kemana?""Tanganmu." Tanpa menuju persetujuan dari sang empunya, Tiffany memegang begitu saja untuk melihat luka itu. "Ini harus segera di obati.""Sebentar, sepertinya aku ada plester. Ah, apa kau ada sapu tangan?"Philip mengangguk, ia memberikannya pada Tiffany, "Ini."Tiffany membersihkan darah dari luka itu hingga hanya menyisahkan sedikit saja, ia mengambil plester dari saku jas putihnya dan menutup luka Philip agar tidak terjadi infeksi."Sudah selesai, dengan seperti ini kau tidak akan infeksi. Akan berbahaya juga jika kau ingin memeriksa pasien."Philip tersenyum tipis, "Terima kasih.""Kau ini memang tidak pernah tersenyum lebar, ya?"Philip yang dikata seperti itu hanya berkedip tidak mengerti, "Apa maksudmu?""Ah, tidak. Lupakan saja. Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti."Setelahnya, tubuh ramping Tiffany menghilang dari balik lift. Philip masih memperhatikan gadis itu hinggap pandangannya jatuh pada plester di tangannya. Plester
Setelahnya, David kembali masuk dan melihat Rosa yang sudah selesai dengan makan malamnya."Eh, sudah habis?" Rosa mengangguk."Kau pasti ingin menjemput Tiffany, kan? Makanya, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan makan agar bisa segera pulang dan memesan taksi.""Tidak perlu, kau akan pulang bersamaku.""Benarkah? Lalu, bagaimana dengan Tiffany? Aku sungguh tidak enak padanya.""Dia akan menyusul. Aku juga sudah memberitahunya bagaimana keadaanmu sekarang. Jadi, kau tidak perlu khawatir.""Ah, Tiffany memang gadis baik. Kau sangat beruntung memilikinya."David terkekeh, "Ya, aku sangat beruntung dapat bertemu dengannya."Rosa hanya tersenyum tipis mendengar itu, dari balik selimutnya, satu tangannya kembali terkepal kuat. Baru saja, ia merasakan bahagianya bersama David, kini sudah ada saja yang menjadi pengacau. Benar-benar menyebalkan."Rosa? Kau sudah lebih baik?"Rosa mengangguk, "Ya, aku sudah lebih baik. Aku ingin segera pulang.""Baiklah, aku akan memanggil dokter lebih dulu un