TBE 01
Rinai hujan yang turun sejak sore hari membuat udara makin terasa dingin. Suasana di luar sangat sepi dan sunyi, yang terdengar hanyalah suara binatang malam yang saling bersahut-sahutan.Jemariku bergerak menutup layar laptop, dilanjutkan dengan merentangkan tangan dan menggeliat hingga tulang berbunyi gemeretak. Mata yang terasa lelah menagih untuk diistirahatkan, tetapi aku masih belum mengantuk dan memutuskan untuk berpindah ke tempat lain.Aku bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu balkon kamar yang terbuka lebar. Mengayunkan tungkai hingga tiba di dekat pagar pembatas dan menyandarkan tubuh. Kedua siku diletakkan di pagar dan dagu ditumpangkan ke telapak tangan. Memandangi sekeliling yang tampak gelap, meskipun sudah ada lampu sorot di empat titik halaman, tetapi cahayanya ternyata tetap tidak mampu menembus pekatnya malam. Kletak.Kletak.Kletak.Bunyi hak sepatu terdengar dari koridor depan pintu kamar, yang diiringi dengan ketukan yang selalu bernada dan berjumlah sama, seakan-akan merupakan kode bahwa pengetuk itu memberitahukan kedatangannya.Aku memejamkan mata selama beberapasaat, menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Membuka mata kembali sambil membalikkan badan dan jalan dengan langkah sedikit diseret menuju pintu. Sepersekian detik memegang gagang benda besar bercat cokelat itu sebelum memutarnya dan pintu terbuka."Hai, Mas. Aku cantik, nggak?" tanya sang tamu sambil memutar tubuhnya bak balerina. Aku memutar bola mata dan menatapnya dengan malas, kemudian menjawab, "Iya, cantik.Sudut bibirnya yang dipoles lipstik merah itu melengkungkan senyuman, memamerkan gigi putih yang berbaris rapi. Wajahnya yang putih tampak sedikit berbintik-bintik di tulang pipi, tetapi tetap tidak mengurangi keelokan parasnya. Rambut panjang sepunggung itu tampak diterbangkang angin kencang yang entah muncul dari mana, hal yang selalu terjadi bila dirinya mengunjungiku.Selama beberapa saat kami saling beradu pandang, sebelum kemudian dia mengangkat alis, gaya khasnya bila ingin mengatakan sesuatu yang sudah bisa ditebak olehku."Kita keluar, yuk?" ajaknya dengan nada suara yang terdengar manja. "Nggak mau, aku capek," sahutku."Sebentar aja. Cuma duduk di taman itu," rayunya sambil mengedipkan mata yang dihiasi bulu mata lentik dan panjang yang kutahu adalah asli, bukan palsu.Perempuan berambut panjang itu merengut, mungkin kesal melihatku tetap bergeming untuk menolak ajakannya. Tiba-tiba dia menarik tangan kananku dengan gerakan cepat dan menggusur tubuhku hingga keluar dari kamar.Aku sama sekali tidak menduga bila perempuan berperawakan sedang seperti dirinya bisa mengeluarkan tenaga menarik yang besar dan kuat. Sekali-sekali kaki atau tanganku tersangkut perabotan berbahan jati di sepanjang koridor. Namun, dia tidak peduli dan terus menarik.Sesampainya di halaman dia mengajakku duduk di bangku panjang, tepat di depan kolam ikan kecil di sudut kanan. Perempuan yang kali ini mengenakan gaun merah itu menyejajarkan kaki sembari memijat betisnya. "Makanya, jangan gegayaan pake hak tinggi segala," ledekku seraya tersenyum lebar."Aku cuma ingin tampil cantik dan anggun di depanmu," sahutnya sembari mendelik dan mengerucutkan bibir. Tampak lucu dan menggemaskan."Kenapa harus begitu?"Perempuan itu memutar bola mata yang membuatku nyaris tak bisa menahan tawa. Sebetulnya tanpa diungkapkan pun aku sudah mengetahui alasannya, tetapi aku tetap berpura-pura tidak tahu agar bisa menggodanya lebih lama.Sejenak suasana hening, yang terdengar hanya gemericik air dari kolam dan ditingkahi suara katak yang sepertinya berjumlah cukup banyak di seputar tempat ini."Mas," panggilnya. Aku bergeming. "Mas!" ulangnya dengan suara yang naik satu oktaf. Aku tetap bergeming, hingga tiba-tiba dia memalingkan wajahku dengan paksa sampai kami saling berhadapan. Aku mengangkat alis saat melihat bibirnya mencebik."Kalau dipanggil itu harus jawab!" titahnya dengan suara ketus.Aku tetap mempertahankan raut wajah tenang karena tahu bila emosinya itu akan cepat mereda. Perlahan aku menarik kedua tangannya dari wajah dan mengusap punggung tangan yang terasa dingin itu dengan santai.Selama beberapa detik berikutnya kami saling menatap satu sama lain, kemudian dia memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di pipi kananku sekilas. Perempuan itu tampak mengulum senyum sembari kembali pada posisi semula.Tanpa sadar aku pun turut tersenyum. Merasa lucu dengan tingkah hantu yang ternyata bisa malu-malu. Seperti halnya dia, hantu perempuan bergaun merah bernama Viana. ***Pertemuan pertama kami adalah saat aku baru menginjakkan kaki di rumah ini, sebuah bangunan besar berarsitektur khas rumah tempo dulu. Sebagian dindingnya dibiarkan polos, sementara sebagian lagi dihiasi batu-batu hitam dengan berbagai ukuran.Pada bagian depan, pekarangan yang luasnya mungkin sama dengan lapangan sepak bola itu tampak terawat. Beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya tampak rimbun dan seolah-olah memberikan kesan teduh bagi setiap mata yang memandang.Dua buah ayunan dengan tiang-tiang tinggi nan kokoh terlihat masih indah di dekat kolam ikan berukuran kecil. Di belakang ayunan tampak rimbunan pohon berukuran sedang yang bunganya tengah bermekaran dengan aneka warna yang memukau.Seorang pria dewasa yang mengenakan kemeja hijau muda dan dipadukan dengan celana kain hitam menyambut kedatanganku di teras depan. Beliau adalah Pak Tono, seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai pengurus villa. Di sini, beliau tinggal bersama istri dan kedua anaknya, yang juga ikut membantu merawat vila milik orang tua Farid, sahabatku. Rumah yang Pak Tono tempati merupakan sebuah paviliun di bagian samping kiri pekarangan, yang berada paling dekat dengan pintu pagar tinggi bercat putih.Saat aku mengatakan ingin menyepi dari kesemrawutan dunia luar, dengan cepat Farid menyarankan untuk tinggal di sini. Kendatipun aku awalnya agak ragu-ragu, tetapi Farid meyakinkan bahwa tempat ini adalah pilihan terbaik dan tidak terlalu jauh dari Kota Jakarta.Sudah hampir satu bulan aku menempati vila, dan sejak itu pulalah Viana selalu hadir di jam yang sama, pukul 00.00 dini hari. Kletak.Kletak.Kletak.Tuk. Tuk. Tuk. Tuk. Tuk.Tuk. Tuk. Tuk. Tuk. Tuk."Sebentar," jawabku sambil bangun dari atas tempat tidur dan jalan menuju pintu.Kala benda berat itu terbuka, ternyata tidak ada seorang pun di depannya. Terdorong rasa penasaran, aku melongok ke luar kamar, menoleh ke kanan dan kiri, tetapi tetap tidak menemukan sosok yang telah mengetuk pintu.Aku mendengkus dan membalikkan tubuh. Niatku untuk menutup pintu akhirnya tertunda karena tiba-tiba merasakan ada hawa dingin dari ujung kiri koridor yang mengarah ke dapur. Bulu kuduk spontan berdiri, kian menguat kala hawa dingin itu terasa kian dekat.Perlahan aku berbalik dan seketika mematung saat melihat penampakan seorang perempuan bergaun putih melambai yang berdiri tegak depan pintu. Wajahnya tampak pucat pasi. Rambut panjangnya berkibar tertiup angin kencang yang entah sejak kapan berembus. Setelah berhasil menguasai diri, aku memutar tubuh kembali dan jalan menuju jendela. Menyandarkan tubuh ke kusen dengan santai. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Berusaha untuk mengabaikan sosok yang mendekat. "Kamu nggak takut sama aku?" tanyanya dengan suara yang terdengar aneh, seperti berdengung dan bergaung."Ngapain harus takut?" Aku balik bertanya. "Tapi orang lain yang melihatku pasti pada takut, termasuk Farid," jelasnya seraya tersenyum lebar."Farid memang penakut, tapi aku nhgak." Selama beberapa detik suasana terasa hening, yang terdengar hanya bunyi gesekan dedaunan dari pepohonan rindang di halaman. "Namaku, Viana," ujarnya sambil melayang mendekat dan berhenti di samping kiri.Aku menoleh dan sontak terpana. Wajahnya yang kuyakini sebagai perpaduan wajah asli Indonesia dengan wajah orang luar negeri tampak cantik. Kulit putih, alis lebat menaungi sepasang mata beriris biru, hidung mencuat tinggi di atas bibir tipis melebar. Rahang meruncing membingkai paras rupawan yang seolah-olah terpahat sempurna."Namaku ...." "Anto, kan? Aku udah tau," tukasnya sebelum aku menyelesaikan ucapan.Aku mengangguk membenarkan sembari membalas tatapannya yang tampak sendu. Kata-kata indah yang biasanya meluncur dengan lancar kini seakan-akan menghilang dan membuatku tak sanggup mengatakan apa pun."Aku cantik, nggak?" tanyanya penuh harap. "Cantik," jawabku dengan lugas."Kalau begini, apa masih cantik?" Dia mengubah wajah dan menampilkan wajah pucat pasi dengan urat-urat bertonjolan yang membuatku terkesiap sepersekian detik."Kalau begitu, wajahmu jelek sekali!" sungutku, yang berhasil membuat Viana tertawa melengking, sebelum sosoknya memudar dan akhirnya menghilang seiring dengan munculnya kabut tebal.TBE 02Semenjak saat itu Viana selalu hadir setiap hari. Terkadang dia muncul di waktu petang. Duduk manis di seberang meja makan sambil menemaniku bersantap. Kadang pula dia hanya muncul selintas di halaman, bolak-balik dari ujung kiri ke kanan sambil memegangi payung berenda khas Noni Belanda. Malam ini, seperti hari-hari sebelumnya Viana.sudah duduk di kursi seberang meja. Memandangiku seraya mengulaskan senyuman sambil merapikan rambut panjangnya yang tergerai, dengan jemari lentik berpoles pewarna merah.Kali ini Viana mengenakan pakaian yang bagus. Bila biasanya dia akan menggunakan gaun panjang dengan warna-warna cerah, tetapi kali ini berbeda. Gaun biru tua itu tidak terlalu panjang dan kuperkirakan hanya sebatas betis. Aksen renda putih di bagian bawah dada dan tiga buah kancing mutiara sebagai aksesori tambahan, menjadikan tampilannya sangat anggun.Saat Bu Ismi, istrinya Pak Tono meletakkan minuman hangat untukku di atas meja
TBE 03Pagi hari menyapa dengan dinginnya udara yang menusuk. Embusan angin seolah-olah menerobos masuk lapisan kaus lengan panjang dan sweater rajut yang kukenakan. Makin mendekati pergantian musim, maka cuaca pun menjadi tidak menentu. Sering kali, paginya dingin menggigit, tetapi siang sampai sore matahari bersinar dengan teriknya. Malam harinya kembali lagi ke udara sejuk, yang akan bertambah dingin seiring dengan pergantian jam. Bu Ismi sudah datang ke villa sebelum jarum jam dinding menunjuk ke angka tujuh. Suara senandung lagu khas Sunda terdengar dari bibirnya. Ibarat radio, mengalun tanpa henti dan cukup merdu di telinga. Hari ini, Titin---anak pertama Bu Ismi dan Pak Tono--- ikut membantu sang Ibu membersihkan rumah dan berbagai barang antik milik keluarganya Farid. Perempuan muda yang kali ini mengenakan jilbab merah muda dan blus senada itu, tampak sekali-sekali mencuri-curi pandang ke arahku yang sedang duduk di kursi put
TBE 04Ucapan Viana kemarin sore kembali terngiang. Hal itu membuatku sangat penasaran dan ingin mengorek keterangan lebih dalam. Akan tetapi, sebelum Viana melanjutkan omongan, azan Magrib telah berkumandang. Dia tiba-tiba menghilang dan tidak muncul kembali sampai detik ini. Kemarin malam, aku sengaja tidur lebih larut dari biasanya. Menunggu dirinya hadir di jam-jam biasa. Berulang kali aku melongok ke jendela ataupun ujung koridor, tempat di mana biasanya dia akan hadir, tetapi tetap saja dia tidak muncul.Radar penasaran yang meningkat tajam, membuatku memasang alarm di ponsel agar bisa bangun lebih awal. Niatku cuma satu, ingin mengobrol lebih banyak dengan penghuni rumah sebelah. Tuk, tuk, tuk! Bunyi ketukan di pintu kamar diiringi dengan suara panggilan Bu Ismi, membuatku bergegas berpakaian dan keluar dari kamar. Melangkah menuju ruang makan yang ditingkahi suara televisi yang tengah menayangkan berita infotainm
TBE 05Malam ini keluarga Pak Tono akhirnya memutuskan untuk menginap di kamar bagian depan villa, tepatnya di samping kiri ruang tamu. Sekali-sekali masih terdengar isakan Tari. Sepertinya dia masih syok setelah melihat penampakan Viana. Lagi-lagi aku tidak bisa langsung tertidur. Kegiatan menunggu Viana menjadi hal yang sangat melelahkan sekaligus mendebarkan. Di antara banyak pohon di halaman, tampak kelebatan dirinya beberapa kali. Akan tetapi, dia tetap tidak mau mendekatiku yang hanya bisa memandanginya dari jendela. Hingga akhirnya rasa kantuk menguasai, dan aku tertidur dengan jendela yang masih belum tertutup gordennya. Sinar matahari pagi yang menembus dari balik jendela, menyapa hari dan menyentuh kulit dengan lembut. Sesaat setelah terjaga aku bergegas jalan masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin agar bisa segera menuntaskan misiku hari ini. "Mas, sarapan dulu," ajak Titin yang tengah menyapu rua
TBE 06Titin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, sontak berdiri saat melihat kami melangkah masuk. Mata bulatnya memandangi kami dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan muda itu melangkah masuk ke rumah. Saat aku dan Risty memasuki ruang tengah Titin tengah menyiapkan meja makan. Dia hanya menatapku sesaat sambil mengarahkan jempol tangan kanan ke arah meja. Aku menangkapnya sebagai sikap mempersilakan kami untuk duduk di kursi depan meja makan, setelahnya Titin membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. Risty memandangiku sambil tersenyum. Kemudian, menyendokkan nasi ke atas piring dan mengulurkannya padaku yang segera menambahkan lauk pauk sebelum mengambil sendok dan bersiap-siap untuk mulai makan.Kami bersantap sambil mengobrol dengan santai. Sedikit melupakan pertemuan dengan Viana tadi dan fokus dengan menceritakan kehidupan masing-masing. Setelah makan, aku pamit pada Rist
TBE 07Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupa
TBE 08Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami. "Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana. Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri. "Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar. "Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. Seje
TBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan
TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru
TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan
TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk
TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso