TBE 06
Titin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, sontak berdiri saat melihat kami melangkah masuk. Mata bulatnya memandangi kami dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan muda itu melangkah masuk ke rumah.Saat aku dan Risty memasuki ruang tengah Titin tengah menyiapkan meja makan. Dia hanya menatapku sesaat sambil mengarahkan jempol tangan kanan ke arah meja. Aku menangkapnya sebagai sikap mempersilakan kami untuk duduk di kursi depan meja makan, setelahnya Titin membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. Risty memandangiku sambil tersenyum. Kemudian, menyendokkan nasi ke atas piring dan mengulurkannya padaku yang segera menambahkan lauk pauk sebelum mengambil sendok dan bersiap-siap untuk mulai makan.Kami bersantap sambil mengobrol dengan santai. Sedikit melupakan pertemuan dengan Viana tadi dan fokus dengan menceritakan kehidupan masing-masing.Setelah makan, aku pamit pada Risty untuk menunaikan salat empat rakaat. Entah kenapa, saat ini aku ingin sekali mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah sekian lama hanya beribadah bila ingat. Suara orang mengobrol terdengar dari ruang tamu saat aku ke luar kamar. Pak Tono sedang duduk di kursi. Di sebelah kirinya ada sang istri. Sementara Risty duduk di seberang mereka. "Mas, sekarang aku tahu siapa yang telah memasang pagar gaib di sekeliling villa," ucap Risty dengan senyuman yang menawan. "Siapa?" tanyaku sambil bergerak duduk di kursi sebelah kanan Pak Tono. "Saya, Mas Anto." Pak Tono menjawab dengan suara yang tenang. Sejenak kami saling berpandangan. Ada banyak pertanyaan berkelebat dalam benakku. "Pasti Mas Anto penasaran, kan?" tanya pria paruh baya itu sembari memajukan tubuhnya sedikit ke depan. Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu mengubah posisi duduk hingga kami saling berhadapan dan bersiap untuk mendengarkan penjelasannya."Itu karena, saya tidak mau noni Belanda itu memasuki rumah lagi. Tari masih ketakutan sampai sekarang," ungkap Pak Tono."Maaf, Pak. Saya mengerti alasan Bapak. Namun, kalau bisa, saya ingin dibukakan lagi pagar gaibnya. Atau, dipasangnya di sekitar rumah Bapak dan Ibu saja," pintaku dengan bersungguh-sungguh. Pak Tono tampak saling beradu pandang dengan sang istri. Mungkin mereka bingung kenapa aku meminta hal itu. "Mas Anto, yakin? Apa noni itu tidak menakutkan?" tanya Bu Ismi dengan mata membola. Aku tersenyum menanggapi pertanyaan beliau. Menggeleng dengan kuat agar terlihat bahwa aku betul-betul tidak takut bila nanti akan berpapasan dengan hantu Noni Belanda yang dimaksud."Sebetulnya, ada alasan lain juga, Pak. Kenapa Mas Anto meminta agar pagar gaib dibuka," sela Risty. "Alasan apa, Non Risty?" tanya Pak Tono dengan alis menekuk. Risty tidak menjawab, dan hanya menyunggingkan senyum yang terkesan misterius. Selama beberapa saat kami saling menatap satu sama lain dan sama-sama mengulum senyum yang hanya kami yang memahami artinya.***Pak Rohim yang malam ini kembali berjaga sendirian, menyambut kedatanganku dengan senyuman lebar. Pria bertubuh tambun tersebut membuka pintu pagar sedikit lebih lebar, agar aku bisa masuk sambil menyeret koper berukuran sedang."Silakan masuk, Mas. Non dan Bapak sudah menunggu di dalam," ujarnya sambil menutup pintu pagar kembali. Aku mengangguk, jalan tegak menuju rumah yang pintu depannya sudah terbuka lebar. "Assalamualaikum," sapaku sesopan mungkin. "Waalaikumsalam. Ayo, masuk, Mas," sahut Risty dengan wajah berseri. Detak jantungku sedikit tidak beraturan saat mendapati dirinya yang begitu memesona. Walaupun Risty hanya mengenakan setelan celana panjang yang sederhana, rambut panjangnya diikat menyerupai ekor kuda, tetapi entah kenapa perempuan itu tetap terlihat menawan. "Mau pandang-pandangan saja atau mau mengobrol nih?" tanya Kakek Munir--kakeknya Risty-- dari dalam ruang tamu. Aku menunduk untuk menyembunyikan rasa grogi. Sementara Risty langsung membalikkan tubuh dan jalan mendekati sang kakek. Duduk di kursi sebelah kiri pria tua itu dengan santai. Aku maju beberapa langkah dan bergerak menyalami Kakek Munir dengan hormat. Kemudian, duduk dengan punggung tegak di kursi seberang mereka. Obrolan basa basi dimulai dengan berbagai pertanyaan Kakek Munir tentang asal usulku. Aku menjawab semua pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Termasuk tentang alasan kenapa aku menyepi ke tempat ini. Seorang perempuan dewasa datang dari dalam rumah. Risty mengambil alih nampan dari tangan perempuan tersebut, kemudian menyajikannya di atas meja, dan mengembalikan nampan ke perempuan dewasa, yang langsung masuk kembali. "Orang tua kakek, membeli tanah ini sekaligus dengan kebun di bagian kiri dan belakang itu tahun 1957. Saat itu kakek masih kecil. Mungkin usia kakek baru sekitar tujuh tahun," ujar Pak Munir memulai menceritakan sejarah tempat ini. "Dulu, rumah ini bentuk bangunannya hampir sama dengan villa milik pak Ridwan. Pelan-pelan diubah dengan menambahkan dua buah kamar di bagian samping kanan. Persiapan kalau keluarga besar kami berkunjung ke sini.""Rumah ini awalnya juga hanya menjadi villa dan kebun, yang dikunjungi setiap akhir pekan. Hingga akhirnya, setelah ayah kakek pensiun, beliau menetap di sini. Sementara kakek dan kedua adik, tetap memutuskan untuk tinggal di Kota Bogor.""Zaman dulu, di sini itu sepi sekali. Kendaraan yang melintas juga bisa dihitung dengan jari. Kakek juga tidak menyangka bila akan seramai ini sekarang. Karena dulu, kakek dan adik-adik pernah berseloroh. Bahwa daerah ini adalah tempat jin main sepak bola," jelas beliau yang membuatku dan Risty tersenyum lebar. "Mengenai noni Belanda itu, kakek juga tidak terlalu paham. Yang kakek ingat, waktu sering main ke sini tiap akhir pekan, kakek dan adik-adik sering bermain di depan pekarangan villa sebelah," lanjutnya dengan pandangan menerawang. "Apa Kakek pernah bertemu dengan noni Belanda itu?" tanya Risty. "Pernah beberapa kali. Tapi tidak pernah mengobrol. Hanya pernah ikut masuk ke dalam villa, saat diajak bertamu oleh orang tua. Itu beberapa tahun sebelum bu Viana dinyatakan pindah ke kota lain," jawab Pak Munir sambil mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Waktu itu juga sebetulnya orang tua kakek agak curiga. Karena saat terakhir mereka bertemu dengan ibu itu, beliau sama sekali tidak menyebutkan akan pindah.""Sekitar tahun berapa itu, Kek?" tanyaku dengan hati berdebar. Benar-benar antusias sekaligus penasaran."Ehm, itu sekitar tahun 1966. Waktu itu kakek baru masuk SMU. Sudah banyak kegiatan sekolah hingga jarang ke sini. Mulai sering berkunjung kembali setelah orang tua kakek benar-benar menetap di sini. Sekitar tahun 1975," pungkasnya.***Kletak. Kletak. Kletak. Suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer, sontak membuatku menghentikan aktivitas di depan laptop. Berjalan cepat dan membuka pintu dalam satu kali gerakan. Viana terus berjalan melewati pintu kamarku. Menatap lurus ke depan tanpa mengacuhkanku sedikit pun. Aku yang hendak memanggilnya, seketika tercekat saat menyadari bahwa Viana sedang berjalan menghampiri sesosok pria yang berdiri tegak menghadap pintu kaca pembatas teras samping. Saat pria itu membalikkan tubuh, jantungku seakan berhenti berdetak. Pria itu menyambut kedatangan Viana dengan tangan yang direntangkan. Merengkuh pundak perempuan itu dan memeluknya dengan erat. Mata pria itu terpejam dengan wajah yang ditempelkan ke telinga kanan Viana. Sepertinya dia membisikkan sesuatu, karena perempuan itu menanggapinya dengan tawa yang sangat renyah. Kemudian pria itu melepaskan pelukan dan meraih jemari Viana. Mereka jalan ke luar sambil berpegangan tangan. Aku bergegas mengejar. Menyambar senter di atas meja bufet dan menarik taplak meja di ruang tengah. Setidaknya benda itu bisa sedikit melindungiku dari hawa dingin di luar sana. Saat aku keluar dari pintu, kedua sosok itu telah menghilang. Meninggalkanku sendirian dengan batin berkecamuk. Selama beberapa menit aku berdiri, berharap mereka akan kembali.Rasa dingin yang makin menusuk akhirnya membuatku menyerah. Membalikkan tubuh dan jalan masuk ke rumah. Tak lupa untuk mengunci pintu kaca kembali, sebelum jalan dan menghempaskan bokong ke kursi. Aku berpikir keras untuk mencari jawaban yang sejak tadi mengganggu. Siapakah pria itu? Lalu, kenapa wajahnya bisa sangat mirip denganku?TBE 07Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupa
TBE 08Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami. "Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana. Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri. "Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar. "Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. Seje
TBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan
TBE 10"Ke mana?" tanyaku. "Tempat rahasia," jawab Viana, kembali dia mengedipkan sebelah mata dan merapikan rambut yang beterbangan oleh angin yang selalu muncul bersamaan dengan kehadirannya."Masih hujan, Vi." "Bukan ragamu yang akan ikut, tapi jiwamu." Kami saling berpandangan. Aku mencoba memahami maksud perkataannya, dan menggeleng setelah beberapa saat berpikir. "Tidak, aku tidak mau ikut," jawabku. "Apa kamu tidak ingin tahu tentang diriku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kiri dan mengusap pipiku dengan sentuhan yang lembut. "Cukup kamu cerita aja. Aku nggak perlu ikut denganmu."Tiba-tiba Viana tertawa dengan suara berdengung. Menarik tanganku dan menggenggam jemari dengan erat. "Apa kamu takut tidak akan kembali?" tanyanya selesai tertawa. Aku sepersekian detik berpikir, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaannya. Perempuan berparas blasteran itu tertawa k
TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c
TBE 12Kami terperangkap di dalam rumah. Berbagai usaha dilakukan Farid dan Johan untuk membuka pintu depan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Aku bangkit berdiri dan melangkah pelan, berpegangan pada meja dan kursi agar bisa mencapai satu-satunya tempat yang mungkin bisa dibuka. "Jo, angkat kursi itu dan hantamkan ke sini!" seruku.Pria bertubuh tinggi itu segera mengangkat kursi kayu di ujung sofa. Sekuat tenaga menghantamkannya ke jendela yang tidak berteralis. Kaca jendela yang tebal itu hanya terlihat retak. Johan mengangkat lagi kursi dan melakukan hantaman kedua. Prrraaannnggg! Kaca pecah dan berhamburan ke mana-mana. Farid menarik taplak meja dan meletakkan benda itu di pinggir jendela. "Jo, kamu duluan keluar!" titahnya. Johan bergerak ke luar dengan hati-hati, agar kakinya tidak menginjak pecahan kaca. "Sekarang giliran kamu, To," ujar Farid sambil menarik tanganku. Pria bertubuh agak tambun itu membant
TBE 13Di sebelah kananku, Opick tampak menggerak-gerakkan tangan sambil mengatur napas. Sesekali dia menyentuh kepala hingga pundak, seolah-olah sedang menyelubungiku dengan selimut gaib. Sosok di luar itu memandangi kami dengan raut wajah yang sangat dingin. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu yang terdengar sangat jauh. "Anto, ikutlah denganku," ucap Viana berkali-kali. Opick menarik kepalaku agar berhenti memandangi Viana. Dia juga menepuk-nepuk pundak Johan yang tampak panik karena mesin mobil mati dan tidak bisa dinyalakan. "Tenang, Jo. Istigfar, kamu pasti bisa," ujar Opick. Aku sempat memajukan tubuh untuk memastikan kondisi Farid. Sahabatku itu sepertinya sudah pingsan. Dia tidak bergerak sama sekali dengan kondisi mata yang tertutup. Bug! Bug! Bug! Suara benda yang dibenturkan ke belakang mobil, membuat aku dan Opick sontak menoleh. Terkesiap saat melihat beberapa makhluk tak ka
TBE 14Gelap! Semuanya tampak pekat. Aku hanya bisa menghirup bau apek khas tempat lembap. Aku mencoba mengubah posisi tubuh agar bisa mencari udara segar, tetapi semuanya sia-sia. Tubuhku seolah-olah membeku dan sulit untuk digerakkan, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memutar bola mata untuk mencoba mengira-ngira tempat ini. Setelah beberapa saat membiasakan diri dalam kegelapan, akhirnya aku bisa melihat bentuk tempat dan beberapa benda di sekitar.Mataku membeliak sempurna saat menyadari telah berada di dalam rumah tempat Viana dikurung atau diasingkan oleh kakaknya.Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini? Bukankah saat ini seharusnya aku sedang berada di rumah Lidya dan Farid? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Aku mencoba merunut peristiwa satu hari sebelumnya hingga saat terakhir, di mana aku sedang bersiap untuk tidur di kasur lipat. Nah, betul! Berarti sekarang aku sedan
TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru
TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan
TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk
TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso